Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN TENTANG LAFAL DITINJAU DARI SEGI TERANG DAN

TIDAK TERANG MAKNANYA (ZHAHIR DAN KHAFI)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah

Ushul Fiqh 2 Prodi HKI 2 (Ahwal al-Syakhsyiyyah)

Dosen Pengampuh : Drs. Hamsidar, M.HI

Oleh :

AKBAR
742302022032
HIKMAL
742302022046
MUH RIFKY
742302022052
MUH. SYAHRIL
742302022053
MUHAMMAD AKSAR
742302022056

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE 2024


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahnatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena telah memberikan

kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas berkat limpahan

rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Kajian tentang Lafal Ditinjau dari Segi Terang dan Tidak Terang Maknanya

(Zhahir dan Khafi)” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari ibu Drs. Hamsidar, M.Hi.

selaku dosen pada mata kuliah Ushul Fiqh 2. Selain itu, penulis juga berharap

agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca tentang

“Pengertian Istinbath Hukum dan Kaidahnya”. Penulis juga mengucapkan terima

kasih pada semua pihak yang membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diperlukan

demi tercapaimya kesempurnaa dalam makalah ini.

Watampone, 14 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................................1

C. Tujuan ...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2

A. Pengertian Lafal yang jelas Maknanya ........................................................2

B. Lafal yang jelas maknanya (Zhahir, Nash, Mufassar dan Muhkam) ............3

BAB III PENUTUP ..............................................................................................10

A. Kesimpulan .................................................................................................10

B. Saran............................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran dan sunna (keduanya merupakan sumber dan dalil pokok


hukum Islam) adalah berbahasa Arab, karena Nabi yang menerima dan
menjelaskan Al-Quran itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu setiap
usaha memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber hukum tersebut
sangat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arab. Para ahli ushul
menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum haru berdasarkan
aqidah.

Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan
artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang
tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz yang terang artinya ini adalah yang
jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan
penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu zhahir, nash,
mufassar dan muhkam . Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak terang
artinya adalah yang belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud
kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Jenis ini pun terbagi dalam 4
tingkatan, yaitu, khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian lafal yang jelas maknanya ?

2. Apa saja pembagian lafal yang jelas maknanya ?

3. Apa saja pembagian lafal yang tidak jelas maknanya ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian lafal yang jelas maknanya.


2. Untuk mengetahui pembagian lafal yang jelas maknanya.
3. Untuk mengetahui pembagian lafal yang tidak jelas maknanya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafal yang jelas Maknanya

Lafaz yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafaz

yang menujukkan suatu pengertian berdasarkan shigaht lafal itu sendiri,

tanpa ketergantungan pada suatu yang bersifat khariji (eksternal) untuk

menjelaskannya. Lafaz itu sudah dapat dipahami maknanya tanpa bantuan

penjelasan lain, sehingga taklif yang dikehendaki dalam lafal itu dapat

dilaksanakan. Lafaz yang telah terang artinya dan jelas menunjukkannya

terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas kejelasan itu beban hukum

dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai tingkatan dalalah lafaz

dari segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi

lafaz dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari

yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas

(mufassar), sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang kedua jumbur ulama

dari kalangan mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’i yang

membagi lafaz dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan

nash. Menurut ulama mutakallimin, kejelasan lafaz terbagi atas dua

macam, yaitu zhahir dan nash. Namun, Imam al-Syafi’i tidak membedakan

antara zhahir dengan nash. Baginya, lafaz zhahir dan lafaz nash ini adalah

dua nama (lafaz) untuk satu arti. Seperti dikemukakan oleh Abu Al-Hasan

Al-Basri, nasb menurut batasan Imam al-Syafi’io adalah suatu khitab

2
(firman) yang dapat diketahui hukum yang dimaksud baik diketahuinya itu

dengan sendirinya atau melalui yang lain. Tetapi dalam perkembangan

selanjutnya, setelah Imam al-Syafi’i lafaz nash dan lafaz zhahir ini

dibedakan pengertiannya yaitu nash adalah suatu lafaz yang tidak

mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai

kemungkinan untuk ditakwil.

B. Lafal yang jelas maknanya (Zhahir, Nash, Mufassar dan Muhkam)

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa lafaz ditinjau dari

segi kejelasan maknanya, menurut kalangan Hanafiyah itu ada empat,

yaitu:

1. Zhahir

Zhahir secara bahasa adalah lafaz yang bisa dipahami maknanya

secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafaz yang

jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya,

atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya

mendengarkan bunyi lafaznya.

Tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan

lafadz itu sendiri masih dapat ditakwilkan di tafsiran dan dapat pula di

nasakhkan pada masa Rasulullah Saw, misalnya firman Allah :

‫س ۤاءِ َمثْ ٰن َوث ُ ٰلثَ َو ُر ٰب َۚ َع‬


َ ِ‫اب لَكُ ْم مِنَ الن‬
َ ‫ط‬َ ‫َوا ِْن خِ ْفت ُ ْم اَ اَّل ت ُ ْق ِسطُ ْوا فِى ا ْليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬

‫فَا ِْن خِ ْفت ُ ْم اَ اَّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َواحِ دَة ً اَ ْو َما َملَكَتْ اَ ْي َمانُكُ ْۗ ْم ٰذلِكَ اَدْ ٰنٰٓى اَ اَّلىتَعُ ْولُ ْو ْۗا‬

3
Artinya. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan

dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak

yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak

berbuat aniaya.

Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera

dapat dipahamkan dari lafadz “fankihu ma thaaba lakum minan

nisa’i” ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi, akan

tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalan (rangkaian pembicaraan)

maka bukan itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari

ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini

yaitu 4 orang sekali pegang.

Hukum lafadz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna

yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan,

menta’wilkan atau menasakhkannya.

2. Nash

Pengertian Nash menurut Bahasa adalah munculnya segala sesuatu

yang tampak. Secara istilah Nash berarti lafadz yang memiliki

petunjuk yang tegas sebagai makna yang dimaksudkan atau suatu

lafaz yang tidak mungkin mengandung pengertian lain tanpa ada

4
faktor lain. Nash juga harus diamalkan menurut makna yang

ditunjukkan oleh Nash tersebut, hingga ada dalil yang mentakwilkan.

‫ص ْي ِب َها ٰٓ اَ ْو َدي ْۗ ٍْن‬


ِ ‫صيا ٍة ي ُّْو‬ ْ ْۢ
ِ ‫مِن َب ْع ِد َو‬

Artinya. “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya (An Nisa:12)

Lafadz “washiyati” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah lafadz

nash. Sebab makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh

siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan mendahulukan

wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka

kepada para ahli waris.

Ketentuan lafadz nash itu sama dengan ketentuan hukum lafadz

zhahir. Yakni wajib diamalkan menurut madlulnya (dalam hal ini

mana yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil

yang mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya.

3. Mufassar

Mufassar ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana

dikehendaki oleh shigat lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia

tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh syari’. Contoh

firman Allah Swt :

ً ‫فَاجْ ِلد ُْوهُ ْم ثَمٰ نِيْنَ َج ْلدَة‬


Artinya. Maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh

kali (An-Nur.4)

5
4. Muhkam

Lafadz muhkam ialah lafadz yang menunjuk kepada makna

sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafadz itu dan siyaqul kalam.

Akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh pada

saat Rasulullah Saw masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam

itu adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh.

Misalnya firman Allah Swt berikut yang sangat jelas dan tegas dan

tidak mungkin diubah :

‫ش َها َدة ً اَ َبد ًَۚا‬


َ ‫او ََّل تَ ْق َبلُ ْوا لَ ُه ْم‬

Artinya. Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka

selama-lamanya. (QS. An Nur : 4).

Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti

lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna

khash. Contoh Firman Allah Swt, tentang haramnya menikahi janda

Rasullullah Saw.

C. Lafal yang jelas tidak jelas maknanya (Khafi, Musykil, Mujmal,

Mutasyabih)

Dilalah tidak jelas dikenali juga dengan al-Mubham, yaitu lafaz

yang mana tidak jelas sudut pengertiannya yang dikehendaki atau

ditunjuki olehnya, bahkan ia perlu kepada perkara luaran. Sesuatu lafal itu

tidak jelas kadangkala bukan disebabkan lafalnya sendiri, tetapi

disebabkan sudut penerapan lafal itu pada sebahagian dari pada madlulnya.

6
Ulama’ Ushul telah membagi Lafadz yang tidak terang pada empat

bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih

1. Khafi

Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian

penunjukan (dilalah)-nya yang di sebabkan oleh faktor luar, bukan

dari segi sighat lafadz sendiri.

Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang

dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan

arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang

samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan

ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.

2. Musykil

Suatu lafadz yang samar artinya, di sebabkan oleh lafadz itu

sendiri. Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap

definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya

sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya di

perlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang di maksud

oleh lafadz tersebut.

Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri.

Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak

secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami

artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.

7
3. Mujmal

Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan

beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya. Lafadz mujmal ini

lebih tidak jelas di bandingkan dengan lafadzlafadz sebelumnya,

karena lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti artinya.

Tambahan dari itu tidak ada qarinah yang memberi petunjuk.

Oleh karena itu, untuk mengetahui apa sebenarnya yang di

maksud dari lafadz itu sepenuhnya tergantung pada penjelasan dari

yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini adalah Nabi Saw.

Umpamanya kata shalat dan zakat yang terdapat dalam al-Qur’an,

namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya. Untuk itu

penjelasannya di serahkan kepada Nabi Saw.

4. Mutasyabih

Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang

meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.

Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah lafadz yang samar

artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai

artinya.

Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena

sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada

pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’

membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam

hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali

8
menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui

kelemahan dan kekurangmampuan manusia.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Lafaz yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafaz

yang menujukkan suatu pengertian berdasarkan shigaht lafal itu

sendiri, tanpa ketergantungan pada suatu yang bersifat khariji

(eksternal) untuk menjelaskannya.

2. Lafaz ditinjau dari segi kejelasan maknanya, menurut kalangan Hanafiyah

itu ada empat, yaitu: (Zhahir, Nash, Mufassar dan Muhkam).

3. Lafal yang jelas tidak jelas maknanya yaitu lafaz yang mana tidak

jelas sudut pengertiannya yang dikehendaki atau ditunjuki olehnya,

bahkan ia perlu kepada perkara luaran.

4. Ulama’ Ushul telah membagi Lafadz yang tidak terang pada empat

bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.

B. Saran

Dengan adanya makalah tentang ini “Kajian tentang lafal yang


ditinjau dari segi terang dan tidak terang maknanya (zhahir dan khafi)”
diharapkan penulis dan pembaca dapat memahami lebih lanjut terkait
topik pembahasan tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum

Fiqih Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2012.

Zuhaili, Wahbah az, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986.

11

Anda mungkin juga menyukai