Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH USHUL FIQH

“DILALAH TERHADAP LAHFAZ”

Tugas Terstruktur Ushul Fiqh

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4

MUHAMMAD FARHAN ALGHIFARI (4422001)

NABILATUN NISWAH (442200)

WELDI WIJAYA (44220

Dosen Pengampu:

AHMAD HAMIDI, SH.I, MA.

PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SJECH M DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamu’aiaikum wr. wb

Puji syukur kehadirat Allah Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dilalah Terhadap
lahfazd” Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari alam jahilayah ke alam yang berilmu pengetahuan seperti saat
sekarang ini.

Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang
yang kami sebagai penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima selaku penulis demi kesempurnaan
makalah ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Bukittinggi, 17 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
Latar belakang................................................................................................................1
Rumusan Masalah..........................................................................................................1
Tujuan............................................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................2
Pengertian Dilalah..........................................................................................................2
Macam Macam Dilalah..................................................................................................2
Dilalah Menurut Ulama Hanafiyah................................................................................4
Dilalah Dalam Pandangan Ulama Syafi’iyah................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Agama Islam memiliki dua sumber utama yang harus dipegangi oleh umat
muslim dimanapun mereka berada dan kapanpun. Kedua sumber tersebut adalah al
Qur’an dan al Sunnah. Nash atau teks yang ada di dalam kedua sumber tersebut setelah
Rasulullah saw wafat tidak bertambah, masih tetap pada kondisinya.

Di sisi lain, persoalan yang dihadapi oleh umat muslim selalu berkembang dan
berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai sumber utama agama
Islam, maka al Qur’an dan al Sunnah harus dapat menjadi pegangan hidup umatnya
dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Disinilah dibutuhkan pemahaman
yang komprehensif untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang muncul. Maka kami
merancang makalah dialalah terhadap lafaz ini agar mampu memberi pengetahuan
kepada membaca bagaimana memahami makna dan arti kedua sumber hukum islam
tadi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu yang dimaksud dengan Dilalah ?
2. Bagaimana Dilalah menurut Ulama Hanafiiyah ?
3. Bagaimana Dilalah meurut Ulama Syafiiyah ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan Dilalah.
2. Mengetahui Dilalah menurut Ulama Hanafiiyah.
3. Mengetahui Dilalah menurut Ulama Syafiiyah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dilalah


Arti Dilalah secara umum adalah: “Memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata
“sesuatu” yang disebutkan pertama disebut madlul (yang ditunjuk). Dalam
hubungannya dengan hukum yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.

Kata “sesuatu” yang disebutkan keduakalinya disebut dalil atau yang menjadi
petunjuk dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”. Misalkan
Dalam kalimat asap menunjukkan adanya api, kata api disebut madlul sedangkan asap
yang menunjukkan adanya api disebut dalil.

Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul
fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu itu
tidak mesti dilihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan
menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat
disebut berpikir secara dilalah.

2.2 Macam Macam Dilalah


Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu,
dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafziyah dan dilalah ghairuh lafzhiyah.

1. Dilalah lafziyyah

Dilalah lafziyah (penunjukkan berbentuk lafaz) yaitu dilalah dengan dalil yang
digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.
Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menunjukkan kepada maksud tertentu.
Penunjukannya kepada maksud tertentu ia diketahui melalui tiga hal:

2
a) Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjukkan kepada maksud tertentu
yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.

Umpamanya “rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah


memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada
dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui
bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang
kesakitan. Penunjukan dilalah seperti ini disebut thabi‘iyyah secara lengakap
bisa disebut dilalah lafziyyah thabi‘iyyah.

b) Melalui akal maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat


mengetahui bahwa suara atau kata yang di dengarnya memberi petunjuk
kepada maksud tertentu.

Umpamanya, suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan


adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat di belakang rumah itu. Dengan
adanya suara itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara
kendaraan tertentu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata.
Penunjukan secara suara tersebut dinamai aqliyah, secara lengkap bisa disebut
dilalah lafziyyah aqliyyah.

c) Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu.
Umpamanya kita mendengar ucapan binatang yang mengeong kita akan
mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu, yaitu kucing. Hal ini dimungkinkan
karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan binatang yang
mengeong, itu untuk memberi istilah pada kucing.Penunjukan bentuk ini
disebut wadhi‘iyyah. Dari ketiga bentuk dilalah diatas, dilalah bentuk ini (c)
yang paling dominan dibicarakan dalam ushul fiqh.

3
Para ahli membagi lagi dilalah wadhi’iyyah ini menjadi tiga bentuk:
1) Mutabhiqiyyah yaitu bila istilah yang digunkan sebagai dilalah merupakan
keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah
tersebut.Contoh istilah “binatang yang mengeong” untuk kucing merupakan
istilah yang lengkap dan memenuhi syarat ajmi-mani dalam suatu istilah.
2) Tadhammuniyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan
salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun
hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menujukkan
maksud yang dituju. Umpamanya kata yang mengeong yang hanya berbentuk
unsur fasal dalam istilah, tetapi semua orang sudah dapat mengetahui
maksudnya, yaitu kucing.
3) Iltizhamiyyah yaitu bila dilalahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya,
tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut.
Melalui penyebutan sifat yang lazim itu, orang akan mengetahui apa yang
dimaksud.
Umpamanya penggunaan ungkapan bilangan genap, untuk angka 4
bilangan genap bukanlah arti sebenarnya dari angka 4, karena angka 4 itu
sebenarnya 2 + 2 atau 6 – 2 atau yang lainnya. Penggunaan ungkapan
bilangan genap untuk angka 4 sebenarnya tidak salah karena memang ia
merupakan salah satu sifat yang berlaku pada angka 4 itu, namun bukan
merupakan arti sebenarnya.

2. Dilalah ghairu lafziyyah

Dilalah ghairu lafziyyah (dilalah bukan lafaz), yaitu dalil yang digunakan
bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini
berarti bahwa diam, atau tidak bersuaranya sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada
sesuatu, contohnya seperti raut muka seseorang mengandung maksud tertentu.

4
2.3 Dilalah Menurut Ulama Hanafiyah
Menurut Ulama Hanafiiyah Dilalah juga terbagi menjadi 2 macam yaitu
dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafhzhiyah

Dilalah lafaziah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz
menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafhzhiyyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui
lafaz menurut lahirnya Dilalah ghairu lafhzhiyyah ini di kalangan Hanafiah disebut
“dilalah sukut” atau disebut juga “Bayan al-dharurah”.

1. Dilalah lafazhiyah

Dilalah lafzhiyah ini menurut ulama hanafiyah terbagi menjadi 4 macam


tingkatan kekuatan nya:

a) Dilalah Ibarah atau disebut juga Ibarah nash yaitu:

Ibrah nash adalah makna yang segera dapat dipahami dari susunan Suatu lafaz
baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli. Baik dalam bentuk nash maupun
dalam bentuh zharir.

Contoh nya: firman Allah Qs. An-Nisa’ (4): 3.

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”

Ayat ini menurut ibarat Nash atau menurut yang tersurat, sesuai dengan tujuan
semula yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai 4 orang bila terpenuhi syarat adil,
lafaz dalam ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut.

Di samping memberi petunjuk secara jelas dan langsung, ayat ini secara tidak
langsung (Bukan menurut maksud semula atau secara zahirnya) menunjukkan bahwa

5
boleh mengawini wanita yang disenangi atau boleh menikah lebih dari 1 orang,
meskipun tujuan ayat ini sebenarnya bukan hanya sekedar untuk itu.

b) Dilalah Isyarah atau disebut juga isyrah al-nash

Isyārah al naṣ atau dilālah isyārah disebut juga dengan makna yang tersirat,
yaitu suatu pengertian dari lafaz sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu
ungkapan dan bukan dari ungkapan itu sendiri.

Contohnya: Qs. Al-baqarah (2): 233

Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak selama dua tahun penuh, bagi
yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya”.

Ayat di atas mengandung ‘ibārah al naṣ karena mempunyai maksud dan


konteks makna kalam menerangkan kewajiban nafakah bagi ibu yang menyusui. Inilah
yang dipahami secara langsung dan zahir. Demikian juga ayat ini mempunyai implikasi
isyārah al naṣ karena secara mudah bisa dipahami bahwa nasab anak kepada bapaknya.
Karena anak dalam ayat tersebut di-iḍāfah-kan dengan huruf “lam” yang menunjukkan
kekhususan, kekhususan disini adalah kekhususan nasab bukan kepemilikan.

c) Dilalah Al-nash atau Dilalah dilalah

Dilalah Al-nash yaitu asal makna pada sesuatu yang tertulis, berlaku pula pada
asal makna sesuatu yang tersirat

Contoh nya: Qs. Al Isra: 23

Artinya: “maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan


‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik”

6
Ayat diatas menjelaskan bahwa tidak boleh membentak orang tua dalam
bentuk perkataan. Dilalah nash nya adalah bahwa semua perkataan dan perbuatan yang
menyakiti hati orang tua termasuk dalam larangan ini.

b) iqidha Nash

Iqtiḍā’ al naṣ atau makna yang dikehendaki, yaitu penunjukkan lafaz terhadap
sesuatu, dimana pengertian lafaz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu
tersebut.

Contoh nya: Qs. An-Nisa’ (4): 23

Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan....”

Makna ayat diatas akan sulit untuk dipahami maka di perlukan kata “menikah”
agar makna atau maksud dari ayat di atas dapat dipahami, walaupun tidak adak ada kata
‘nikah’ pada ayat tadi.

2. Dilalah Ghairu lafhziyah

Atau dilalah sukut yaitu petunjuk atau arah hukum yang bukan berasal dari
lafaz. Menurut ulama hanafiyah ada 4 macam yaitu:

1) “Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang


tidak disebutkan”

Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat maka dibalik yang
tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain Meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu.
kelazimanman itu dapat diketahui dari ungkapan lafaz tersebut.

Contoh nya Qs. An Nisa’ (4) :11

7
Artinya:“Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”.

Ibarat Nash dari ayat ini ialah bila ahli waris Hanya dua orang ibu bapak maka
Ibu menerima sepertiga meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah namun dari
ungkapan ayat ini dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga yaitu 2/3.

Sebenarnya pengetahuan kita akan hak ayah yang 2/3 itu adalah karena kita
sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan Ayah bila tidak bersama anak laki-
laki adalah berhak atas sisa hak waris.

2) “Dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah


untuk memberi penjelasan”.

Artinya diam nya seseorang itu menunjukan sikap atau memberikan petunjuk
hukum terhadap sesuatu.

3)“Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara Untuk


menghindarkan penipuan”.

Bedanya dengan yang kedua diamnya sudah menjadi petunjuk, tetapi pada
bentuk yang ketiga diamnya seseorang tidak menunjukkan arti apa-apa tetapi masih
diperlukan ucapannya.

Contoh nya: Umpamanya seorang wali yang bersikap diam pada saat orang
yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian dengan
hartanya seperti jual beli, orang yang berada di bawah perwaliannya itu baru Sah
tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya tidak hanya diam semata.

4) “Dilalah Sukut yang menyatakan sesuatu yang terbilang namun telah biasa
dibuang Untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan”.

Artinya Suatu katang atau lafaz yang di buang supaya tidak terlalu
memanjangkan kata nya namun makna nya masih sama. Contoh nya: bisa kita lihat

8
dalam penyebutan bilangan angka yang biasanya dipersingkat supaya tidak terlalu
panjang.

2.4 Dilalah Dalam Pandangan Ulama Syafi’iyah


Dalam garis besarnya ulama syafi‘iyah membagi dilalah menjadi dua macam,
yaitu dilalah Manthuq dan dilalah Mafhum.

1. Dilalah Manthuq

Dilalah manthuq ialah petunjuk lafaz kepada arti yang disebutkan oleh lafaz itu
sendiri. Definisi ini mengandung pengertian bahwa apabila kita memahami “sesuatu
hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman
secara manthuq. Contoh firman Allah SWT: “Diharamkan atasmu mengawini anak-
anak tiri yang berada dalam asuhanmu dari istri-istri yang telah kamu gauli”. (Qs. an-
Nisa: 4:23). Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri
yang berada dibawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk
disini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dari ayat tersebut. Penunjukannya
begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan dibalik yang tersurat itu.

Syaikh Muhammad al-Khudri menjelaskan bahwa, dilalah manthuq terbagi


lagi menjadi dua macam yaitu, Dilalah Manthuq Sharih dan dilalah Manthuq gairu
sharih.

1) Dilalah Manthuq Sharih

Dilalah Manthuq Sharih adalah petunjuk lafaz kepada arti yang secara tegas
disebutkan oleh lafaz tersebut. Misalnya firman Allah SWT: “maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah” (Qs. al-Israa’: 23) Lafaz
pada ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman berkata kasar kepada kedua
orang tua.

2) Dilalah Manthuq Ghairu Shahih

9
Yaitu petunjuk lafaz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafaz
tersebut. Arti yang ditunjuki dengan dilalah manthuq ghairu sharih ini dapat berupa:
pertama, arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafaz (syara‘) akan tetapi tidak secara
tegas disebutkan oleh tuturan lafaznya. Kedua, arti yang disebutkan oleh tuturan lafaz
adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan lafaz‘.

Contoh nya: Qs. Al Baqarah (2) : 233


Artinya: “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka(istri dan anak)
dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya”.

Maksud Ibrahnya: Kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian secara patut
kepada istri . Maksud Isyarah nya: Bahwa anak yang lahir dari bapak nya di isyaratkan
dinashapkan kepada ayah nya. Jadi dilalah mantuq ghairu shahih ini semakna dengan
dilalah isyarah dan dilalah iqthida hanafiiya.

2. Dilalah Mahfum

Dilalah Mahfum adalah petunjuk lafaz kepada arti yang tidak disebutkan oleh
lafaz tersebut, tetapi paham tersebut tersirat didalamnya. Dilalah mafhum terbagi
menjadi dua macam yaitu: dilalah mafhum muwafaqah dan dilalah mafhum
mukhalafah.

a) Dilalah Mahfum Muwafaqah

Ialah pengertian yang menunjukkan lafaz kepada berlakunya arti (hukum)


Sesuatu yang disebutkan oleh lafaz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan oleh lafaz
yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan “illat hukumya”.Perlu
ditandaskan bahwa illat hukum ini adalah semata-mata dipahami dari segi bahasa dari
lafaz tersebut bukan diambil dengan jalan ijtihad. Dilalah ini semakna dengan dilalah
nash hanafiiyah.

10
Dari segi kekuatan berlaku nya hukum pada apa yang tidak di sebutkan,
Mahfum Muwafaqah terbagi menjadi 2 Yaitu:

1. Mahfum Awlawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat
atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan
dalam lafaz, kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada
mantuq nya.
contohnya firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 23 tadi yaitu Memukul orang
tua hukumnya haram sebagaimana haramnya mengucapkan kata “uf” atau “ah” karena
sifat menyakiti dalam memukul lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar.

2. Mahfum Musawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam Manthuq
nya contohnya firman Allah dalam surat an-nisa ayat ke 10:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala (neraka)”.

Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara
aniaya ada yang tersirat di balik manthuqnya tersebut yaitu haramnya “membakar” harta
anak yatim, karena “meniadakan harta anak yatim” itu terdapat dalam “memakan” yang
juga terdapat dalam “membakar” harta. Kekuatan hukum haram pada membakar sama
dengan hukum haram pada memakan karena kesamaan alasan “meniadakan” pada
kedua keadaan tersebut. dengan demikian hukum pada yang tersirat (tidak disebutkan)
kekuatannya sama dengan hukum yang tersurat (disebutkan).

b) Dilalah Mafhum Mukhafalah

11
Mahfum mukhalafah ialah mahfum yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum
yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan
hukum yang berlaku berdasarkan mahfum, yang berlawanan dengan hukum yang
berlaku pada bentuk manthuq. mahfum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil
khithab. Mahfum mukhalafah terbagi kepada beberapa bentuk diantaranya yang pokok
adalah:
1. Mahfum sifat
Mahfum sifat ialah menunjukkan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat
terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut
tidak ada. Atau dengan arti sederhana: Selama ada sifat maka berlaku hukum pada lafaz
itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada maka berlakulah hukum yang sebaliknya
umpamanya firman Allah dalam Quran Surat An-Nisa’ surat (4) ayat 25 :

Artinya: “Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi
perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang
beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”. 

Mantuq (apa yang tersurat) dari ayat ini adalah bolehnya menikahi hamba
sahaya Mukmin bila tidak mampu menikahi perempuan Merdeka yang Mukmin
Mahfum sifat (yang tersirat) dari ayat tersebut adalah tidak bolehnya menikahi hamba
sahaya yang tidak Mukmin.

2. Mahfum Syarat

Mahfum Syarat ialah penunjukan Suatu lafal yang pada lafaz itu berlaku
hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu
yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi. Atau dalam definisi yang lebih
mudah: Bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum. Tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi
maka dapat ditetapkan hukum yang sebaliknya. Umpamanya firman Allah dalam surat
At-Talaq (65) ayat: 6

12
Artinya: “.....Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan......”

Manthuq dari ayat ini menetapkan hukum wajib memberi nafkah untuk
perempuan yang dicerai dengan syarat ia sedang dalam keadaan hamil. mahfum syarat
(yang tersirat) dari ayat tersebut adalah tidak wajibnya memberi nafkah pada istri yang
dicerai bila ia tidak dalam keadaan hamil.

3. Mahfum al ghayah

Mahfum al ghayah ialah penunjukan Suatu lafal yang pada lafal itu ada hukum
yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit
waktu sudah berlalu. Atau dalam definisi yang lebih sederhana sebelum limit waktu
yang ditentukan habis maka berlaku hukum. Tetapi sesudah limit waktu yang ditentukan
maka hukum tersebut tidak berlaku lagi.

contohnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah surat (2) : 230.

Artinya: “Kemudian jika dia menceraikannya (talak tiga), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain”.

Manthuq yang tersurat dari ayat tersebut tidak bolehnya menikahi istri yang
telah ditalak 3 hingga ia mengawini laki-laki lain. mahfum al ghayah dari ayat ini ialah
bila bekas istri yang ditalak tiga telah kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian
bercerai dan telah habis masa iddahnya maka boleh mengawini bekas istri yang telah
ditalak tiga itu.

4. Mahfum al ‘adad

Mafhum al-adad ialah penunjukan Suatu lafal yang menjelaskan berlakunya


hukum dengan bilangan tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain dari
bilangan yang ditentukan itu.

Contoh nya firman Allah dalam surat An-Nur surat (24): 2 :

13
Artinya : “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah....”.

Manthuq dari ayat di atas adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina
laki-laki dan perempuan. mafhum al ‘adad dari ayat tersebut adalah tidak sahnya
pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang
ditentukan.

5. Mafhum al laqab

Mafhum al laqab ialah penunjukan Suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya


suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu
untuk orang lain.

Umpamanya ucapan Muhammad itu adalah Rasul Allah. Manthuq dari ucapan
itu adalah menetapkan kerasulan untuk seorang yang bernama Muhammad bin
Abdullah. Mafhum al laqap dari ucapan itu adalah tidak berlakunya kerasulan bagi
orang selain Muhammad bin Abdullah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Syariffuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Grub.

Amrona Rosyada, Yassirly. 2017. Dalalah Lafdzi: Upaya Menemukan Hukum. 2 (2),
130-134. al hakam: Fakultas Syariiah iain Surakarta.

Azkia, Nasri. 2020. Dilalah Dalam Perspektif Hukum Islam : Analisis Deskriptif
KIasifikasi Dilalah Sebagai Penunjukan Atas Hukum Dalam Islam. 2 (2), 173-178.
Jurnal pendidikan dan Sains: STIT Palapa Nusantara Lombok NTB.

15

Anda mungkin juga menyukai