Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

METODE ISTINBATH

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah

Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Dr. Kholidah, M. Ag.

Disusun oleh :

Yusra Padila Hasibuan (2210300054)

Fitriani Siregar (2210300053)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

PADANGSIDIMPUAN

T.A 2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, dan atas pertolongan-Nya
kami dapat Menyusun makalah yang berjudul “Penafsiran Ayat-Ayat Terkait Sumber Hukum
Islam”.

Terimakasih kami ucapkan kepada ibu dosen yang membimbing kami dalam sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya tanpa ada kendala yang
berarti.

Dalam hal ini kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah
ini, karena kami menyadari masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan ilmu dan
pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami senantiasa menerima kritik dan saran dari ibu dosen
dan teman teman sekalian.

Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Terimakasih.

Padangsidimpuan, 1 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................... 1
C. TUJUAN .................................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 2
A. PENGERTIAN ISTINBATH ................................................................................................... 2
1. Pengertian Istinbath secara Bahasa ......................................................................................... 2
2. Pengertian Istinbath secara Istilah........................................................................................... 2
B. METODE ISTINBATH LAFDZIY ......................................................................................... 2
1. Pengertian Istinbath Lafziy ..................................................................................................... 2
2. Pembagian Istinbath Lafziy .................................................................................................... 3
a. Lafadz dilihat dari sisi makna yang diciptakan cakupannya ................................................... 3
b. Lafadz dilihat dari sisi penggunaannya terhadap makna. ....................................................... 4
c. Lafadz dilihat dari sisi kejelasan dan tidaknya dalam menunjukkan makna. ......................... 5
C. METODE ISTINBATH MENURUT ULAMA HANAFI ...................................................... 6
D. METODE ISTINBATH MENURUT ULAMA SYAFI’I ....................................................... 7
BAB III................................................................................................................................................. 10
PENUTUP............................................................................................................................................ 10
A. KESIMPULAN ....................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Metode istinbath adalah sebuah pendekatan dalam ilmu ushul fiqh yang digunakan
untuk menghasilkan hukum-hukum Islam yang belum terdokumentasi secara langsung dalam
Al-Qur'an dan hadis. Metode ini melibatkan deduksi dan penalaran logis dari sumber-sumber
utama Islam untuk mencapai kesimpulan hukum yang akurat.

Metode istinbath mengacu pada pendekatan yang didasarkan pada penjelasan rinci dan
sistematis tentang bagaimana metode ini digunakan dalam proses pemikiran dan penalaran
hukum. Dalam konteks ini, latar belakang menjadi penting untuk memahami bahwa metode
istinbath secara deskriptif melibatkan pemahaman yang mendalam tentang sumber-sumber
Islam, seperti Al-Qur'an, hadis, ijma', dan qiyas.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu yang dimaksud dengan istinbath?
2. Apa saja pembagian istinbath?
3. Bagaimana penunjukan lafaz terhadap hukum menurut ulama Hanafiyah?
4. Bagaimana penunjukan lafaz terhadap hukum menurut ulama Syafi’iyah?

C. TUJUAN
1. Mengetahui defenisi istinbath.
2. Mengenal pembagian istinbath.
3. Memahami penunjukan terhadap hukum di kalangan ulama Hanafiyah.
4. Memahami penunjukan terhadap hukum di kalangan ulama Syafi’iyah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTINBATH
1. Pengertian Istinbath secara Bahasa
Secara Bahasa Istinbath diambil dari Bahasa Arab yaitu nabata (‫ )ﻧﺒﻂ‬yang memiliki arti
pokok atau kuat. Kata istinbat diambil dati fi’lal tsulatsi mazid (fi‘l yang sudah
mendapatkan tambahan huruf) yang artinya mengeluarkan, penetapan, pengambilan, dan
penggalian hukum Islam dari nas syar‘i. 1 0F

2. Pengertian Istinbath secara Istilah


Menurut Imam Syafi’I, istinbath mengemukakan kaidah dasar dengan menunjukkan
bukti-bukti dari nash, kemudian menganalisis secara cermat dan sempurna dengan melihat
adanya keterkaitan antara kaidah-kaidah dan bukti-bukti yang telah dijadikan kaidah.

Menurut Imam Qarafi, Istinbath Hukum adalah mengeluarkan makna-makna dari nash
dengan mengandalkan kekuatan intelektual (Fart al-Dhin) yang dimiliki oleh seseorang. 2

B. METODE ISTINBATH LAFDZIY


1. Pengertian Istinbath Lafziy
MetodeIstinbat Lafziyyah adalah suatu metode Istinbat hukum Islam dengan cara
pendekatan kebahasaan, literasi teks, dan semesta tanda. Penerapan Pendekatan lafziyyah
membutuhkan beberapa faktor pendukung, antara lain penguasaan terhadap lafal nas dan
makna huruf. Untuk memahami lafal nasdan makna huruf para mujtahid dalam menggali
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis harus mengerti dan mendalami
bahasa Arab secara menyeluruh, seperti nahwy, Sharaf, balagah, ma’n bayan, dan lain-lain.

Para ulama ushul telah menetapkan bahwa hal pertama yang menjadi fokus perhatian
dalam pengistinbatan hukum Islam terhadap fakta sosial yang memenuhi kriteria sebagai
landasan pertimbangan penetapan perubahan hukum Islam adalah pemahaman
terhadaplafalyang berhubungan dengan posisi lafal-lafal dalam nas. Pemahaman terhadap

1
Munawwir, Kamus Arab Indonesia-Indonesia Arab, (Bandung: Mizan, 2001), h. 78.
2
Moh. Jazull, (Jazul, 2021) V. 4, No. 1, Maret 2021, h. 108

2
lafal tersebut oleh ulama ushul membagi dalam dua kategori pertama, al-’asma’ al-
lugawiyyah (isim-isim yang lazim dipakai dalam kebahasaan), dan yang kedua, al-’asma’
al-syar‘iyyah (isim-isim yang dipakai dalam istilah syariah). 3

2. Pembagian Istinbath Lafziy


a. Lafadz dilihat dari sisi makna yang diciptakan cakupannya
Lafadz dilihat dari sisi makna yang diciptakan cakupannya dibagi menjadi dua ,
yaitu :

1) ‘Amm

‘Amm menurut bahasa ialah cakupan sesuatu baik lafaz atau selainnya. Sedangkan
menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan
yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku. (Hasbullah,
2001)

Adapun yang dimaksud dengan satu makna yang berlaku yaitu lafaz yang tidak
mengandung arti lain yang bisa menggantikan makna tersebut (bukan musytarak).
Di sini penulis dapat tegaskan bahwa lafaz ‘âm tersebut menunjukkan arti banyak
dengan menggunakan satu ungkapan dan dalam keadaan yang sama.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap mufradat (sinonim) dan uslûb (gaya bahasa)
dalam bahasa arab, menunjukkan bahwa lafazlafaz yang arti bahasanya
menunjukkan kepada makna yang umum dan mencakup keseluruhan satuan-
satuannya para ulama ushul mengklasifikasikannya sebagai berikut: 4

a) Lafaz jamak, seperti: kullu, jamî’, ayyu, ‘âmmah, sâir, kâffah, dan qâthabah.
b) lafaz mufrad yang dima’rifatkan dengan alif-lam jinsiyah.
c) Lafaz jamak yang dita’rifkan dengan idhâfah.
d) Isim maushûl,
e) Isim syarth,
f) Isim nakirah yang dinafikan.

3
Hasbullah, Ushul fiqh dalam buku Syarifuddin, (Cet : I Jakarta: Offcet Press, 2001), h.57.
4
Muhammad Sulaimân Abdullah alAsykar, al-Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh, (Ammân: Dâr al-Fath, 1992), h. 178-180

3
2) Khas

Khas menurut bahasa ialah lawan daripada ‘âm. Sedangkan menurut istilah ialah
suatu lafaz yang menunjukkan arti tunggal yang menggunakan bentuk mufrad, baik
pengertian itu menunjuk pada jenis, atau menunjuk macam, atau juga menunjuk arti
perorangan, ataupun isim jumlah. 5

Singkatnya bahwa setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khâs.
Dan menurut kesepakatan para ulama bahwa setiap lafaz yang khâs, menunjukkan
pengertian yang qath’iy yang tidak mengandung adanya
kemungkinankemungkinan yang lain.

b. Lafadz dilihat dari sisi penggunaannya terhadap makna.


1) Haqiqi

Haqîqi, secara etimologis berarti sesuatu yang ditetapkan secara pasti.2 Dan
secara terminologis adalah kata yang digunakan untuk menunjuk pada suatu makna
sesuai dengan istilah yang digunakan.

2) Majazi

Majâz, secara etimologis bermakna melewati atau melampaui6 dan secara


terminologis adalah kata yang digunakan untuk menunjuk pada suatu makna yang
tidak sesuai dengan istilah yang digunakan. 6Makna majâzî terbentuk karena adanya
sebab

3) Sarih dan Kinayah

Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati ‘’terang’’ ia
menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang
seterang mungkin. Menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang
dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala
diucapkan dan tidak mengandung makna lain dalam pengertian istilah hukum,
sharih berarti Setiap lafaz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk
haqiqah atau majaz

5
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 236.
6
Shâlih 'Uhan, Asar al-Ikh�lâf fi at-Tasyîi' al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Kutub al-Jâmi, t.th), hlm.75

4
Sedang kan kinayah adalah setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui
lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, karena masih memerlukan penjelasan
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan.

c. Lafadz dilihat dari sisi kejelasan dan tidaknya dalam menunjukkan makna.
1) Waḍih ad-Dilālah

Waḍih ad-dalālah adalah lafadz yang menunjukkan makna melalui bentuk


asalnya tanpa terikat oleh faktor lain. Lafadz yang masuk dalam kategori Waḍih ad-
dalālah dibagi menjadi empat yaitu yaitu naṣ, ẓāhir, mufassar dan muhkam. Dalam
kaitannya dengan penunjukan makna, empat istilah tersebut mempunyai tingkatan
yang berbeda. Tingkat yang paling rendah adalah naṣ, ẓāhir, mufassar dan muhkam
yang menempati tingkatan paling tinggi 7.

2) Gair wāḍih ad-dalālah

Gair wādih ad-dalālah adalah lafadz yang tidak jelas penunjukkannya terhadap
makna. Lafadz yang masuk dalam kategori ini bisa menunjukkan makna apabila
didukung oleh indikasi eksternal .

d. Lafadz dilihat dari sisi cara pengungkapannya terhadap makna


1) ‘Ibārat an-Naṣ

‘Ibārat an-naṣ adalah makna yang ditunjukkan oleh nash sesuai redaksi kalimat,
baik makna pokok (aṣālah) atau tambahan (taba’iyah), dan berdasarkan redaksi
kalimat makna tersebut terangkum di dalamnya .

„ibārat an-naṣ mencakup makna pokok (aṣālah) dan makna tambahan (taba’iyah),
sedangkan naṣ hanya mencakup makna pokok saja.

2) Isyārat an-Naṣ

Isyārat an-naṣ adalah penunjukan lafadz terhadap suatu makna yang bukan makna
yang dimaksud oleh redaksi nash, tetapi merupakan makna yang terkait (lazim)
dengan hukum yang disebutkan di dalam nash.

7
Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Al- Islam Wa Adillatuhu, Juz. 9, (Damaskus: Dar Al- Fikr, 2006.), h. 312

5
3) Dalālah an-Naṣ

Dalālah an-naṣ adalah apabila ada nash yang secara tekstual menunjukkan hukum
suatu kasus dan kemudian hukum tersebut dapat diterapkan pada kasus lain karena
adanya faktor penyebab hukum yang sama. Menurut as-Sarakhsi (w. 490 H),
dalālah annaṣ adalah hukum yang ditetapkan melalui makna struktur kalimat
dengan pendekataan kebahasaan dan bukan melalui cara istinbāṭ dengan
menggunakan daya nalar.

4) Iqtiḍā’ an-Naṣ

Iqtiḍā’ an-naṣ adalah dilalah lafadz terhadap suatu makna yang tidak dapat berdiri
sendiri kecuali dengan mentakdirkan (menyisipkan) lafazh yang lain.

C. METODE ISTINBATH MENURUT ULAMA HANAFI


Langkah-langkah ijtihad Imam Abu Hanifah secara berurutan merujuk pada Al-Qur’an,
sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (Ijma’ ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa
sahabat yang berbeda-beda dalam satu kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan
Istinbāţh hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan
tersebut. Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan pendapat ulama tabi’in sebagai
rujukan karena rentang weaktu yang sudah jauh antara Rosulullah dan ulama dari generasi
tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukan tabi’in dalam hal berijtihad. 8

Imam Hanafi menggunakan istihsan sebagai metode istinbath. Istihsan ialah


berpindahnya seorang mujtahid dari hal penetapan hukum pada suatu masalah yang secara
substansial serupa dengan apa yang lelah ditetapkan karma terdapatnya alasan yang lebih kuat
yang menghendaki perpindahan tersebut.

Umumnya di kalangan Ulama Hanafi, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab


Khalaf, 9 bahwa Imam al-Bazdawi dan Imam al-Nasafi mengartikan istihsan dengan pindah
dari ketentuan qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas dengan suatu
dalil yang lebih kuat. Artinya, substansi istihsan di kalangan Ulama Hanafi karena terjadinya
perlawanan dalam penerapan ketentuan qiyas. Seharusnya sebuah masalah dalam
penerapannya berpijak pada sebuah ketentuan qiyas yang telah baku dan sudah jelas, akan

8
Abd. Rahman Dahlan, Ushul FIqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h.25.
9
Abdul Wahab Khalaf. Masadir al-Tasyri al-Islami Fima La Nassa Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 2007), hal. 69-70

6
tetapi ada sebuah alasan yang lebih kuat serta lebih tepat. Maka ketentuan berpegang kepada
sebuah alasan yang lebih kuat untuk didahulukan dari pada ketentuan qiyas yang sudah jelas.

Dasar perumusan dan pemikiran istihsan sepert itu, yang selanjutnya dijadikan sebuahh
dalil dan metode istimbath hukum. Pada mulanya dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah di
kalangan para pengikutnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Zaky al-Din Sya’ban,37 bahwa
dikalangan mazhab Hanafi banyak persoalan-persoalan hukum fiqh yang ditetapkan
berdasarkan istihsan. Salah satu contoh yang bisa diungkapkan yaitu mengenai bekas arir
minuman burung liar (buas). Dalam hal ini, burung buas disamakan dengan hewan buas,
dimana dagingnya tidak boleh dimakan dikarenakan mengandung najis. Maka secara otomatis
ar liurnya juga mengandung najis. Maka, jika burung itu minung, maka sisia minumannya akan
dinilai najis pula.

D. METODE ISTINBATH MENURUT ULAMA SYAFI’I


Imam syafi’I dalam beristinbath menggunakan nalar burhani terhadap pola atau kaidah al-
Ibrah. Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Madzhab Syafi’i menggunakan
lima sumber, yaitu :

1. Nash al-Qur’an

Imam Syafi’i memandang Al-Quran dan Sunnah, kedua masuk dalam satu martabat,
beliau menempatkan al-Qur’an sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau, sunah itu
menjelaskan Al-Qur’an, kecuali hadis Ahad32 yang tidak sama dengan al-Qur’an dan hadis
mutawatir. Disamping itu karena Al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun
kekukautan sunnah secara terpisah tidak sekuat Al-Qur’an.33 Dengan demikian keduanya
merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain keduanya berarti pengikut saja. Para
sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan
Al-Quran atau sunnah.

2. Ijma.

Merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i menempati urutan
setelah Al-Quran dan Sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu
zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun
ijma pertama yang digunakan oleh imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau
menetapkan bahwa ijma diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila

7
masalah yang sudah disepakati bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah maka tidak ada
hujjah padanya.

Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang
sudah disepakati, seperti ijma’ mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan
perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam
keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak
ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini
imam Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau
ijmak, atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat
pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada

3. Qiyas

Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam
untuk mengetahui tafsiran hukum Al-Quran dan Sunnah yang tidak ada nash secara pasti.
Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang
mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali
oleh seorang mujtahid.

4. Istidlal

Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak
menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumber istidlal yang diakui
oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan
sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang
digunakan oleh imam Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam
Syafi’i.

5. Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Para ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Qaul Qadim dan Qaul
Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak.
Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di
Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama
Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Dan menurut imam Dawud Ali al-Dhzahiriy, “bahwa di
antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil

8
dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, alKarabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur”.39
Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di
sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya
sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl
al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut Qaul Jadid. Dengan demikian, Qaul Qadim adalah
pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya
yang bercorak sunnah.

6. Fatwa Sahabat

Dalam diskursus lain Musthafa Sa’id al-Khin, yang mengambil pendapat imam syairazi
dalam kitabnya at-tabsirah berkata “apabila seorang sahabt mengeluarkan fatwa dan tidak
tersebar, maka hal itu bukanlah hujjah, dan mendahulukan qiyas dari padanya dalam qaul
jadidnya. Dalam qaul jadidnya, imam syafi’I mengatakan: “Ia (fatwa sahabat) hujjah yang
harus dikedepankanatas qiyas, dan mentkhsis umum dengannya. 10

7. Al-Ishtishab

Al-Istishab Secara bahasa menetapkan, memberlakukan, menuntut kebersamaan dan


tanpa ada pemisah. Sebagaimana dalam kamus al-misbah almunir, istishab berarti “setiap
sesuatu itu tetap dan membutuhkan kebersamaan, dan selalu membawa”. Secara istilah
permintaan untuk memberlakukan hukum yang terdahulu, seperti keluarnya sesuatu pada
selain dua jalur tidak membatalkan wudhu.

8. Al-Istiqra (khusus-umum)
9. Al-akhdzu bi al-aqal ma Qila (mengambil target minimal atau yang terendah dari suatu
ukuran yang diperselisihkan)
10. Al-‘Urf (Kebiasan /adat)

10
Musthafa Said Al- Khin, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2014, cet -1, h. 221

9
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Istinbath Hukum adalah mengeluarkan makna-makna dari nash dengan mengandalkan
kekuatan intelektual (Fart al-Dhin) yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu pembagian
istinbath adalah istinbath lafdzi. MetodeIstinbat Lafziyyah adalah suatu metode Istinbat hukum
Islam dengan cara pendekatan kebahasaan, literasi teks, dan semesta tanda.

Bagi ulama Hanifi langkah-langkah ijtihad secara berurutan merujuk pada Al-Qur’an,
sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (Ijma’ ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa
sahabat yang berbeda-beda dalam satu kasus hukum.

Sedangkan Bagi Ulama Syafi’I langkah-langkah ijtihad secara berurutan merujuk pada
nash Al-Qur’an, Ijma, Qiyas, Istidlal, Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Fatwa sahabat, al-istishab,
al-Istiqra, Al- akhdzu bi al-aqal ma Qila, dan Al-Urf.

10
DAFTAR PUSTAKA

al-Khin, M. S. (2014). Sejarah Ushul Fiqih. jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Dahlan, A. R. (2010). Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Hasbullah. (2001). Ushul Fiqh . Jakarta : Offcet Press.

Jazul, M. (2021). Metode Istinbath Hukum dan Pengaruhnya terhadap Fiqih di Indonesia
(Kajian Komparatif PCNU dan PD Muhammadiyah Sumenep),. 4(1).

Khalaf, A. W. (2007). Masadir al-Tasyri al-Islami Fima La Nassa Fih. k.

Munawir. (2001). Kamus Bahasa Indonesia-Indonesia Arab. Bandung: Mizan.

Sulaiman, M. (1992). al-Asykar al-Wadhih fi Ushul Fiqh. Amman: Dar al-Fath.

Uhan, S. (t.th). Asar Al-Ikhtilaf fi At-Tasyii al-Islami. Kairo: Dar Al-Kutub al-Jami'.

Zahra, M. A. (1999). Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Zuhaili, W. (2006). Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Dar Al-Fikr.

11

Anda mungkin juga menyukai