Anda di halaman 1dari 15

ISTIHSAB SEBAGAI METODE, NILAI DAN

PENERAPANNYA DALAM PENEMUAN HUKUM

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi Dosen
Pengampu:
Dr. H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si.

Taufiq Alamsyah, S.H., M.H.

Disusun oleh:

M. ALFAIZI 1193060043

DEKY FIRDAYANTI 1193060019

HARISSALAM 1193060036

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
INIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dengan ucapan Bismillahirrohmanirrohim kami awali makalah ini agar


keberkahan senantiasa mengiringi perjalanan kami sebagai mahasiswa. Makalah ini
ditulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hukum Pidana dalam
Yurisprudensi sekaligus melatih kami agar dapat berproses dan sabar dan ikhlas. Rasa
syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas ridho-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Terima kasih kami ucapkan kepada kedua orangtua kami
yang selalu mendukung serta mendoakan kami hingga saat ini.

Ucapan terima kasih tak lupa pula kami ucapkan kepada dosen pembimbing kami
yang selalu membimbing kami yakni Bapak Dr. H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si.
dan Bapak Taufiq Alamsyah, S.H., M.H. Serta kepada teman-teman sekelas Hukum
Pidana Islam yang telah memberikan semangat bagi penulis. Makalah ini berjudul
“Istihsab sebagai metode, nilai dan penerapannya dalam penemuan hukum”.

Kami sebagai penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ataupun


penyusunannya masih dalam kekurangan dan perlu untuk diperbaiki. Maka dari itu, kami
mohon kepada pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang dapat membantu
untuk memperbaiki kekurangan kami dalam pengerjaan makalah lainnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Wassalammu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.

Bandung, 11 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3


A. Pengertian Istishab ....................................................................................... 3
B. Macam – Macam Istishab ........................................................................... 6
C. Penerapan Istishab Dalam Dalil Hukum ...................................................... 9

BAB III PENUTUPAN ........................................................................................ 11


A. Simpulan .................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai suatu agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir, memiliki
karakteristik yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Diantara perbedaan itu
adalah Islam bersifat komprehensif dan universal.

Komprehensif memiliki arti bahwa Syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan,
baik yang bersifat ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Sedangkan universal
bermakna bahwa Syariah Islam dapat diterapkan dalam berbagai dimensi waktu dan
ruang (tempat). Universalitas Islam secara spesifik dapat terlihat jelas pada bidang
muamalah. Selain cakupannya fleksibel dan luas, muamalah dalam perspektif Islam
tidak membeda-bedakan antara muslim dan nonmuslim.

Kehidupan manusia bersifat dinamis, selalu bergerak maju menuju perubahan dalam
berbagai aspek. Perubahan yang terjadi, secara langsung maupun tidak langsung akan
menimbulkan persoalan baru dibidang hukum yang tidak akan kunjung usai. Namun di
sisi lain, sumber hukum Islam yaitu al-Quran dan as-Sunnah sangat terbatas dan tidak
mungkin terjadi penambahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Ibn Rusyd yang
menyatakan bahwa problematika kehidupan manusia tidak ada batasnya, sedangkan
jumlah nash, baik al-Quran dan as-Sunnah terbatas jumlahnya.

Terhadap dinamika yang terjadi di bidang hukum Islam, mengharuskan para ulama
untuk dapat memberikan jawaban sekaligus solusi yang cepat dan tepat. Disinilah
ijtihad menduduki posisi yang sangat strategis dalam mengantisipasi dinamika sosial
dengan berbagai kompleksitas persoalan yang muncul.

Para ulama berijtihad dengan menggali hukum dari berbagai sumbernya. Secara garis
besar, sumber hukum Islam dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, sumber hukum yang
disepakati mayoritas ulama yaitu al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas. Kedua, sumber
hukum yang diperselisihkan yaitu istihsan, istishab, ‘urf, syar’u man qablana, sadd al-
zari’ah, mazhab sahaby dan lainnya.

Salah satu sumber hukum yang diperdebatkan nilai kehujahannya adalah istishab. Bagi
kelompok ulama yang menolak istishab sebagai dalil hukum, berpandangan bahwa
istishab tidak memiliki argumentasi yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai dalil

1
hukum, karena ia hanya didasarkan pada hukum yang bersifat dugaan, bukan didasarkan
pada fakta. Sedangkan kelompok ulama yang menerima istishab sebagai dalil hukum,
berpandangan bahwa ia menjadi salah satu alternatif penentuan hukum Islam ketika
dalil hukum tidak ditemukan dalam al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas.

Oleh karenanya, penulis berpendapat disinilah letak signifikansi pembahasan istishab


sebagai salah satu alternatif metode perumusan hukum. Makalah ini berupaya untuk
memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan konsep istishab, baik kedudukannya
sebagai dasar penetapan hukum maupun nilai kehujjahannya sebagai dalil hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Istihsab?

2. Apa saja macam-macam Istihsan?

3. Bagaimana penerapannya dalam dalil hukum?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Istihsab.

2. Mengetahui apa saja macam-macam Istihsab.

3. Mengetahui bagaimana penerapannya dalam dalil hukum.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai apa yang


dimaksud dengan Istihsab.
2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai macam- macam
Istihsab.
3. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang penerapan dalil
hukum dalam dalam istishab.
E. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam penulisan makalah ini adalah


dengan menggunakan metode literasi dari buku-buku dan sumber-
sumber di internet.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsab
Istishab secara lughawy (etimologi) berasal dari kata is-tash-ha-ba (‫ )استصحب‬dalam sighat
istif’al (‫ )استفعال‬yang artinya ‫( طلب الصحابة‬mencari persahabatan), ‫اعتبار الصحابة‬
(menganggap bersahabat), dan ‫( طلب الصحبة‬mencari teman). Suhbah dimaknai dengan
membandingkan sesuatu kemudian mendekatkannya. Dengan demikian, secara lughowy
(etimologi), dipahami bahwa istishab yaitu mendekatkan suatu peristiwa dengan hukum
tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama status hukumnya.
1

Sedangkan secara istilahy (terminologi), para ulama ushul berbeda-beda dalam


memberikan makna istishab. Meskipun dengan redaksi yang berbeda namun secara
substansi mengarah pada makna yang sama, berikut beberapa pendapat para ulama :
1. Al-Syawkani, istishab adalah tetapnya (hukum) sesuatu selama belum ada
dalil lain yang merubahnya.
2. Imam Ibnu al-Subki mendefinisikan istishab sebagai menetapkan hukum
atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena
tidak ditemukan dalil yang merubahnya.
3. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengartikan istishab sebagai
melanggengkan hukum dengan cara menetapkan hukum berdasarkan
hukum yang sudah ada, atau meniadakan hukum atas dasar tidak adanya
hukum sebelumnya.
4. Wahbah Zuhaili memaknai istishab dengan menghukumi tetap atau
hilangnya sesuatu pada masa kini atau masa mendatang berdasar pada tetap
atau hilangnya sesuatu tersebut di masa lalu karena tidak ada dalil yang
merubahnya.
5. Sedangkan definisi istishab menurut Al-Ghazali yaitu tetap berpegang
teguh dengan dalil akal atau dalil syar’i, bukan karena tidak mengetahui
adanya dalil, melainkan karena mengetahui adanya dalil yang
mengubahnya setelah berusaha keras mencarinya.
6. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari, mendefinisikan istishab dengan menyatakan
tetap adanya sesuatu pada masa kedua karena sesuatu tersebut memang ada

1
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html

3
pada masa pertama.
7. Abdul Wahab Khallaf, mendefinisikan istishab yakni menjadikan
ketentuan hukum yang telah tetap di masa lalu tetap berlaku pada saat ini
sampai muncul keterangan tentang adanya perubahan.
8. Shihab al-Din al-Zanjani al-Shafi’i, seorang ulama ushul fiqh mazhab
Syafi’i mengartikan bahwa istishab adalah mengambil dalil-dalil hukum
dikarenakan ketiadaannya dalil atas hukum tersebut, atau mengukuhkan
apa yang pernah berlaku pada masa lalu dengan dalil.2
9. Umar Maulud Abd al-Hamid, memberikan makna istishab yakni penetapan
hukum pada masa kedua sebagaimana yang telah ditetapkan pada masa
pertama, maksudnya adalah menetapkan hukum yang mana hukum tersebut
telah ada pada zaman sebelumnya, sehingga tinggal penetapan dari hukum
tersebut.
10. al-Asnawy menyatakan bahwa istishab adalah penetapan (keberlakuan)
hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum
itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).

Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada
prinsipnya istishab adalah suatu metode hukum yang sudah ada sebelumnya selama
belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya. Dengan makna lain,
istishab bukanlah merumuskan hukum yang murni baru, akan tetapi justru mencari
hukum sekarang yang didasarkan pada hukum lama.

Istishab didasarkan pada perkiraan yang kuat yaitu apabila sesuatu keadaan terus
berlangsung, maka hukumnya tetap, oleh karena itu tidak dianggap dalil yang kuat di
dalam istimbath al-ahkam, dengan pengertian lain, apabila ada dalil lain dalam al-Quran,
al-Hadits, Ijma maupun Qiyas, maka seluruhnya ini didahulukan daripada Istishan.

2
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwwir, Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progessit
1997), 265

4
Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa prinsip istiṣḥāb adalah memberlakukan hukum
lama selama belum ada hal lain yang mengubahnya. Sehingga pola istiṣḥāb bukan
menciptakan hukum baru, melainkan memertahankan dan melestarikan hukum lama.

Konsep istishab sebagai penggalian hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1. Segi waktu. Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu
lampau, (al-madhi), waktu sekarang (al-hadir) dan waktu yang akan datang (al-
mustaqbal). Tiga konsep waktu ini dalam istishab cenderung dipandang mempunyai
nilai yang sama hingga terbukti adanya pergeseran yang dapat mengubah
karakteristik hukum yang melekatnya.
2. Segi ketetapan hukum. Istishab mengandung dua bentuk ketetapan hukum yaitu
ketetapan hukum boleh (itsbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehkan
(nafy). Dengan demikian berarti bahwa yang dahulunya “belum pernah ada”, maka
keadaan “belum pernah ada” itu tetap diberlakukan untuk masa berikutnya. Begitu
pula, jika di masa sebelumnya “pernah ada”, maka keberadaannya tetap diberlakukan
untuk masa berikutnya.
3. Segi dalil hukum. Istishab mendasarkan ketetapan hukum berdasarkan hukum yang
sudah ada, selama tidak ada dalil lain yang menyatakan sebaliknya. Parameter
penting dari konsep istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada
pengetahuan seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan tentang dalil menjadi
kerangka dasar menetapkan posisi hukum asalnya. 3
Menurut Muhammad Taqi al-Hakim sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamaluddin
Imam menyatakan bahwa unsur-unsur istishab (arkan al-istishab) ada tujuh unsur yaitu :
1. Adanya keyakinan (al-yaqin) terhadap realitas hukum.
2. Adanya keraguan (al-syakk) sebagai bandingan dari sifat yakin.
3. Adanya kesatuan keterkaitan antara realitas yang diyakini dengan realitas yang
diragukan.
4. Baik hal diragukan maupun yang diyakini keduanya memang betul-betul ada (factual
ada).
5. Adanya kesatuan masalah antara yang diyakini dan yang diragukan baik pada aspek
tema, objek maupun tingkatan masalahnya.

3
Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997),

5
6. Adanya persambungan waktu antara hal yang diyakini dan yang diragukan.
7. Adanya keyakinan itu lebih dahulu ketimbang yang diragukan.

B. Macam-Macam Istishab

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushul al-Fiqh al-Islamy,membagi istishab


menjadi lima macam, yaitu:
1. Istishabu al-hukmi al-Ibahah al-Ashliyah li al-Asya’ allati lam yarid Dalilun bi
Tahrimiha
‫استصحاب الحكم االباحة االصلية لالشياء التي لم يرد دليل بتحريمها‬
“meneruskan pemberlakuan hukum asal dari sesuatu itu mubah untuk hal-hal yang
belum ada dalil yang mengharamkannya”.

2. Istishab al-Umum ila an Yarida Takhsis wa Istishab al-Nash ila an Yarida Naskh
‫استصحاب العموم الى ان يرد تخصيص و استصحاب النص الى ان يرد نصخ‬
“meneruskan pemberlakuan suatu hukum umum sampai ada dalil yang mengkhususkan,
dan meneruskan pemberlakuan redaksi dalil sampai ada yang menghapusnya.

3. Istishabu Ma Dalla al-‘Aqlu wa al-Syar’u ala Tsubutihi wa Dawamihi


‫استصحاب ما د ّل العقل والشرع على ثبوته ودوامه‬
“meneruskan pemberlakuan apa yang ditunjuk oleh akal dan syara’ tentang tetap dan
berlanjutnya”

4. Istishabu al-Adam al-Ashli al-Ma’lum bi al-‘Aqli fi al-Ahkam al-Syar’iyyah


‫استصحاب العدم االصلى المعلوم بالعقل فى االحكام الشرعية‬
“mengukuhkan pemberlakuan prinsip tidak ada menurut asalnya, yang diketahui oleh
akal dalam hukum syariat.”

5. Istishabu Hukmin Tsabitin bi al-Ijma’ fi Mahalli al-Khilaf baina al-‘Ulama


‫استصحاب حكم ثابت باالجماع فى مح ّل الخالف بين العلماء‬
“mengukuhkan pemberlakuan hukum yang ditetapkan dengan Ijma’ pada hal yang
dipertentangkan oleh ulama.”

6
Menurut Abi Sahl al-Sarahsi dan Muhammad Abi Zahrahmembagi istishab menjadi
empat macam, yaitu:

1. Istishab al-Ibahah al-Asliyyah ( ‫)استصحاب االباحة االصلية‬


Istishab yang didasarkan pada hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Ketentuan
hukum mubah sebagai hukum asal setiap sesuatu didasarkan pada QS. al-Baqarah
ayat 29:
‫هو الذي خلق لكم ما في االرض جميعا‬
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang adaa di bumi untuk kamu”
Al-Sarahsi menyatakan bahwa huruf lam pada kata (‫ ) لكم‬disebut lam al-tamlik yaitu
lam yang menunjukkan makna kepemilikan yaitu sifat kebolehan (sifat al-hilli) yang
berkonotasi hukum mubah. Dari ayat ini, para ahli usul al-fiqh merumuskan kaidah
dasar ilmu fiqh bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh ( ‫االصل في االشياء االباحة‬
). Dalam pandangan ‘Abd al-Wahhab Khallaf, pernyataan bahwa bumi dan isinya
diperuntukkan bagi manusia, memberikan makna implisit bahwa semua yang ada di
atas bumi adalah boleh untuk dimanfaatkan. 4

Di bidang muamalah, prinsip istishab melahirkan satu asas hukum bahwa setiap
transaksi muamalah dihukumi boleh/mubah sampai ada dalil yang menyatakan tidak
boleh (keharamannya). Dengan demikian, di bidang muamalah pengembangan
pemikiran hukum Islam sangat terbuka bagi umat Islam untuk melakukan inovasi-
inovasi dalam bertransaksi, misalnya di dunia perbankan Syariah. Hal ini berbeda
dengan bidang ibadah bahwa setiap sesuatu adalah haram/tidak boleh kecuali ada
dalil yang menyatakan boleh. Dengan demikian ruang untuk pengembangan
pemikiran dalam bidang ibadah bersifat terbatas. Inovasi atas persoalan ‘ubudiyah
dinilai sebagai perbuatan bid’ah.
2. Istishab al-bara’ah al-asliyyah (‫)استصحاب البراءة االصلية‬,
Menetapkan hukum yang berpegang pada prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang
itu bebas dari tuntutan beban sehingga ditemukan dalil yang menyatakan sebaliknya.
Atas dasar ini lahirlah kaidah fiqh bahwa pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari
tanggungan ( ‫) االصل براءة الذمة‬.

4
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html

7
Di bidang muamalah,seseorang pada dasarnya terbebas dari semua jenis tanggungan
sampai ada bukti baru bahwa orang itu mempunyai hutang. Dalam bidang
perkawinan, seorang laki-laki dan perempuan tidak berhak untuk melakukan
hubungan sebagai suami istri sampai ada bukti hukum yang menyatakan keduanya
telah menikah dan terikat sebagai suami istri.
3. Istishab al-hukm (‫)استصحاب الحكم‬,
Menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai ada dalil lain
yang merubahnya. Dengan kata lain, penetapan hukum dengan metode ini adalah
mendasarkan pada keberadaan hukum yang sudah ada dan berjalan untuk tetap
diberlakukan sebagai hukum pada saat sekarang dan masa yang akan datang hingga
ada dalil lain yang merubahnya. Karenanya, lahirlah kaidah fiqh yang berbunyi:
‫االصل بقاء ما كان علي ما كان‬
Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai sebidang tanah, maka tanahnya tersebut
tetap dianggap sebagai harta miliknya selama tidak terbukti ada perubaha status hak
milik seperti jual beli, hibah dan sebagainya.

4. Istishab al-Wasf (‫)استصحاب الوصف‬,


Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya sifat hidup seseorang
yang hilang, tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti bahwa ia telah meninggal
dunia. Demikian halnya air yang diketahui sebelumnya sebagai air bersih, tetap
dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya. Begitu juga ketika
seorang ragu dalam salatnya apakah ia telah sampai tiga rakaat atau empat rakaat,
maka tetapkanlah yang yakin yaitu tiga rakaat dan buanglaj yang ragu-ragu. Antara
bilangan tiga rakaat dengan empat rakaat, yang pasti adalah tiga rakaat, sedangkan
bilangan empat rakaat pada posisi yang diragukan.
Dari beberapa contoh penerapan istishab tersebut, para ulama merumuskan kaidah
fiqh bahwa keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan ( ‫) اليفين ال يزال بالشك‬.
Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada
dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya
sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka
sehingga sifat memabukkannya hilang. Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan
pendasaran hukum (‘illah al-hukm). Hal ini sesuai kaidah fiqh yang berbunyi hukum
itu berputar pada ada dan tidaknya ‘illah dan sebab yang mendasarinya ( ‫الحكم يدور مع‬

8
‫) علته وسببه وجودا و عدما‬.
Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis
sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada illah
suatu hukum.

C. Penerapan Istishab dalam Dalil Hukum


Syaikh Abu Zahrah menegaskan bahwa para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis
Istishâb yang disebutkan pertama, yaitu: Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb
albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, sekalipun mereka berbeda dalam sebagian
penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan Istishâb keempat yaitu Istishâb al-wasf,
para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahannya.5

Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, Istishâb al-wasf dapat dijadikan
hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu
yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (al-
itsbat).

Adapun nilai kehujjahan Istishâb secara umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama,
mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb
merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(al-daf’u), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat). Mereka
menggunakan Alquran, Hadis, Ijmâ’, dan akal, untuk memperkuat pandangannya.

Sedangkan menurut Mustafa Sa’id al-Khani, selain pendapat dari dua kelompok ulama
diatas, terdapat pendapat lain yaitu pendapat Sebagian ulama Hanafiyah dan Sebagian
ulama Syafi’iyyah dan Abi Husain al-Basri serta sekelompok ulam Mutakallimin yang
menyatakan bahwa istishab tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum
baik untuk menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada atau menetapkan
hukum yang belum ada. Argumentasi mereka adalah bahwa status hukum halal atau
haram adalah hukum syara’ yang harus didasarkan pada justifikasi tekstual yang

5
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html

9
bersumber dari al-Quran dan al-Hadits.

Menurut Saifuddin al-Amidi, pendapat ulama yang menyatakan bahwa istishab bisa
dijadikan hujjah hukum merupakan pendapat yang ia pilih. lebih lanjut, al-Amidi
menyatakan bahwa adanya hukum pada masa lalu menjadikan dasar adanya dugaan kuat
(zann) bahwa hukum itu masih berlaku hingga saat ini. Menurutnya, dugaan kuat (zann)
merupakan dasar yang bisa dijadikan pegangan dalam syariat.

Lebih lanjut al-Amidi menyimpulkan bahwa dasar istishab adalah


‫االصل في جميع االحكام الشرعية انما هو العدم وبقاؤما كان علي ما كان اال ما ورد الشارع‬
“Asal dari semua hukum syara’ adalah ketiadaan dan tetapnya sesuatu menurut hukum
yang telah ditetapkan sebelumnya”.6
Dalam pandangan ‘Abd al-Wahhab Khallaf, penolakan ulama tentang kehujjahan
istishab al-wasf karena pendasaran istishab itu hanya pada asumsi-asumsi (i’tibar) yang
bersifat spekulatif (zanni) bukan pada fakta. Pendapat ini bisa dibuktikan secara empiris
dimana salah satu contohnya adalah para hakim menjadikan istishab sebagai salah satu
metode penetepan hukum, dimana salah satu pertimbangan dalam menetapkan status hak
kepemilikan hakim didasarkan pada bukti akta (sertifikat hak milik) yang telah disahkan
pada waktu yang lalu.

Sementara itu, kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil hukum,
mendudukkan posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana tidak ditemukan dalil lain
yang menjelaskan hukumnya. Argumentasi mereka adalah bahwa menyandarkan hukum
pada istishab pada hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan
selalu bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.

6
Abdul Wahhab Khalat, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qolam 19/8)

10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, kita dapat memahami beberapa hal terkait dengan
Istishab adalah salah satu metode ijtihad dengan cara menetapkan hukum sesuatu pada
hukum asalnya selama belum ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Sehingga pola
istiṣḥāb bukan menciptakan hukum baru, melainkan memertahankan dan melestarikan
hukum lama.
Para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis Istishâb yang disebutkan pertama, yaitu:
Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm,
sekalipun mereka berbeda dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan
Istishâb keempat yaitu Istishâb al-wasf, para ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahannya. Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, Istishâb al-wasf
dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sesuatu yang belum ada
(itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk menetapkan
sesuatu yang belum ada (al-itsbat).
Kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil hukum, mendudukkan
posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana tidak ditemukan dalil lain yang
menjelaskan hukumnya. Argumentasi mereka adalah bahwa menyandarkan hukum pada
istishab pada hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan selalu
bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.
Problematika sosial dengan segala kompleksitasnya melahirkan dinamisasi pemikiran
hukum Islam, dan salah satu perangkat metodologi yang dapat digunakan untuk
menjawab problematikan sosial tersebut adalah dengan menggunakan metode istishab.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khalat, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qolam 19/8)

Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997),
Munawwir, A.W.1997. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progessit.
Djazuli, Acep dan I. Nurol Aen. 1997. Ushul Fiqh. Bandung: Gilang Aditya Press.
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html

12

Anda mungkin juga menyukai