Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi Dosen
Pengampu:
Dr. H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si.
Disusun oleh:
M. ALFAIZI 1193060043
HARISSALAM 1193060036
Ucapan terima kasih tak lupa pula kami ucapkan kepada dosen pembimbing kami
yang selalu membimbing kami yakni Bapak Dr. H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si.
dan Bapak Taufiq Alamsyah, S.H., M.H. Serta kepada teman-teman sekelas Hukum
Pidana Islam yang telah memberikan semangat bagi penulis. Makalah ini berjudul
“Istihsab sebagai metode, nilai dan penerapannya dalam penemuan hukum”.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 2
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai suatu agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir, memiliki
karakteristik yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Diantara perbedaan itu
adalah Islam bersifat komprehensif dan universal.
Komprehensif memiliki arti bahwa Syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan,
baik yang bersifat ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Sedangkan universal
bermakna bahwa Syariah Islam dapat diterapkan dalam berbagai dimensi waktu dan
ruang (tempat). Universalitas Islam secara spesifik dapat terlihat jelas pada bidang
muamalah. Selain cakupannya fleksibel dan luas, muamalah dalam perspektif Islam
tidak membeda-bedakan antara muslim dan nonmuslim.
Kehidupan manusia bersifat dinamis, selalu bergerak maju menuju perubahan dalam
berbagai aspek. Perubahan yang terjadi, secara langsung maupun tidak langsung akan
menimbulkan persoalan baru dibidang hukum yang tidak akan kunjung usai. Namun di
sisi lain, sumber hukum Islam yaitu al-Quran dan as-Sunnah sangat terbatas dan tidak
mungkin terjadi penambahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Ibn Rusyd yang
menyatakan bahwa problematika kehidupan manusia tidak ada batasnya, sedangkan
jumlah nash, baik al-Quran dan as-Sunnah terbatas jumlahnya.
Terhadap dinamika yang terjadi di bidang hukum Islam, mengharuskan para ulama
untuk dapat memberikan jawaban sekaligus solusi yang cepat dan tepat. Disinilah
ijtihad menduduki posisi yang sangat strategis dalam mengantisipasi dinamika sosial
dengan berbagai kompleksitas persoalan yang muncul.
Para ulama berijtihad dengan menggali hukum dari berbagai sumbernya. Secara garis
besar, sumber hukum Islam dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, sumber hukum yang
disepakati mayoritas ulama yaitu al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas. Kedua, sumber
hukum yang diperselisihkan yaitu istihsan, istishab, ‘urf, syar’u man qablana, sadd al-
zari’ah, mazhab sahaby dan lainnya.
Salah satu sumber hukum yang diperdebatkan nilai kehujahannya adalah istishab. Bagi
kelompok ulama yang menolak istishab sebagai dalil hukum, berpandangan bahwa
istishab tidak memiliki argumentasi yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai dalil
1
hukum, karena ia hanya didasarkan pada hukum yang bersifat dugaan, bukan didasarkan
pada fakta. Sedangkan kelompok ulama yang menerima istishab sebagai dalil hukum,
berpandangan bahwa ia menjadi salah satu alternatif penentuan hukum Islam ketika
dalil hukum tidak ditemukan dalam al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsab
Istishab secara lughawy (etimologi) berasal dari kata is-tash-ha-ba ( )استصحبdalam sighat
istif’al ( )استفعالyang artinya ( طلب الصحابةmencari persahabatan), اعتبار الصحابة
(menganggap bersahabat), dan ( طلب الصحبةmencari teman). Suhbah dimaknai dengan
membandingkan sesuatu kemudian mendekatkannya. Dengan demikian, secara lughowy
(etimologi), dipahami bahwa istishab yaitu mendekatkan suatu peristiwa dengan hukum
tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama status hukumnya.
1
1
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html
3
pada masa pertama.
7. Abdul Wahab Khallaf, mendefinisikan istishab yakni menjadikan
ketentuan hukum yang telah tetap di masa lalu tetap berlaku pada saat ini
sampai muncul keterangan tentang adanya perubahan.
8. Shihab al-Din al-Zanjani al-Shafi’i, seorang ulama ushul fiqh mazhab
Syafi’i mengartikan bahwa istishab adalah mengambil dalil-dalil hukum
dikarenakan ketiadaannya dalil atas hukum tersebut, atau mengukuhkan
apa yang pernah berlaku pada masa lalu dengan dalil.2
9. Umar Maulud Abd al-Hamid, memberikan makna istishab yakni penetapan
hukum pada masa kedua sebagaimana yang telah ditetapkan pada masa
pertama, maksudnya adalah menetapkan hukum yang mana hukum tersebut
telah ada pada zaman sebelumnya, sehingga tinggal penetapan dari hukum
tersebut.
10. al-Asnawy menyatakan bahwa istishab adalah penetapan (keberlakuan)
hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum
itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).
Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada
prinsipnya istishab adalah suatu metode hukum yang sudah ada sebelumnya selama
belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya. Dengan makna lain,
istishab bukanlah merumuskan hukum yang murni baru, akan tetapi justru mencari
hukum sekarang yang didasarkan pada hukum lama.
Istishab didasarkan pada perkiraan yang kuat yaitu apabila sesuatu keadaan terus
berlangsung, maka hukumnya tetap, oleh karena itu tidak dianggap dalil yang kuat di
dalam istimbath al-ahkam, dengan pengertian lain, apabila ada dalil lain dalam al-Quran,
al-Hadits, Ijma maupun Qiyas, maka seluruhnya ini didahulukan daripada Istishan.
2
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwwir, Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progessit
1997), 265
4
Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa prinsip istiṣḥāb adalah memberlakukan hukum
lama selama belum ada hal lain yang mengubahnya. Sehingga pola istiṣḥāb bukan
menciptakan hukum baru, melainkan memertahankan dan melestarikan hukum lama.
Konsep istishab sebagai penggalian hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1. Segi waktu. Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu
lampau, (al-madhi), waktu sekarang (al-hadir) dan waktu yang akan datang (al-
mustaqbal). Tiga konsep waktu ini dalam istishab cenderung dipandang mempunyai
nilai yang sama hingga terbukti adanya pergeseran yang dapat mengubah
karakteristik hukum yang melekatnya.
2. Segi ketetapan hukum. Istishab mengandung dua bentuk ketetapan hukum yaitu
ketetapan hukum boleh (itsbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehkan
(nafy). Dengan demikian berarti bahwa yang dahulunya “belum pernah ada”, maka
keadaan “belum pernah ada” itu tetap diberlakukan untuk masa berikutnya. Begitu
pula, jika di masa sebelumnya “pernah ada”, maka keberadaannya tetap diberlakukan
untuk masa berikutnya.
3. Segi dalil hukum. Istishab mendasarkan ketetapan hukum berdasarkan hukum yang
sudah ada, selama tidak ada dalil lain yang menyatakan sebaliknya. Parameter
penting dari konsep istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada
pengetahuan seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan tentang dalil menjadi
kerangka dasar menetapkan posisi hukum asalnya. 3
Menurut Muhammad Taqi al-Hakim sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamaluddin
Imam menyatakan bahwa unsur-unsur istishab (arkan al-istishab) ada tujuh unsur yaitu :
1. Adanya keyakinan (al-yaqin) terhadap realitas hukum.
2. Adanya keraguan (al-syakk) sebagai bandingan dari sifat yakin.
3. Adanya kesatuan keterkaitan antara realitas yang diyakini dengan realitas yang
diragukan.
4. Baik hal diragukan maupun yang diyakini keduanya memang betul-betul ada (factual
ada).
5. Adanya kesatuan masalah antara yang diyakini dan yang diragukan baik pada aspek
tema, objek maupun tingkatan masalahnya.
3
Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997),
5
6. Adanya persambungan waktu antara hal yang diyakini dan yang diragukan.
7. Adanya keyakinan itu lebih dahulu ketimbang yang diragukan.
B. Macam-Macam Istishab
2. Istishab al-Umum ila an Yarida Takhsis wa Istishab al-Nash ila an Yarida Naskh
استصحاب العموم الى ان يرد تخصيص و استصحاب النص الى ان يرد نصخ
“meneruskan pemberlakuan suatu hukum umum sampai ada dalil yang mengkhususkan,
dan meneruskan pemberlakuan redaksi dalil sampai ada yang menghapusnya.
6
Menurut Abi Sahl al-Sarahsi dan Muhammad Abi Zahrahmembagi istishab menjadi
empat macam, yaitu:
Di bidang muamalah, prinsip istishab melahirkan satu asas hukum bahwa setiap
transaksi muamalah dihukumi boleh/mubah sampai ada dalil yang menyatakan tidak
boleh (keharamannya). Dengan demikian, di bidang muamalah pengembangan
pemikiran hukum Islam sangat terbuka bagi umat Islam untuk melakukan inovasi-
inovasi dalam bertransaksi, misalnya di dunia perbankan Syariah. Hal ini berbeda
dengan bidang ibadah bahwa setiap sesuatu adalah haram/tidak boleh kecuali ada
dalil yang menyatakan boleh. Dengan demikian ruang untuk pengembangan
pemikiran dalam bidang ibadah bersifat terbatas. Inovasi atas persoalan ‘ubudiyah
dinilai sebagai perbuatan bid’ah.
2. Istishab al-bara’ah al-asliyyah ()استصحاب البراءة االصلية,
Menetapkan hukum yang berpegang pada prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang
itu bebas dari tuntutan beban sehingga ditemukan dalil yang menyatakan sebaliknya.
Atas dasar ini lahirlah kaidah fiqh bahwa pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari
tanggungan ( ) االصل براءة الذمة.
4
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html
7
Di bidang muamalah,seseorang pada dasarnya terbebas dari semua jenis tanggungan
sampai ada bukti baru bahwa orang itu mempunyai hutang. Dalam bidang
perkawinan, seorang laki-laki dan perempuan tidak berhak untuk melakukan
hubungan sebagai suami istri sampai ada bukti hukum yang menyatakan keduanya
telah menikah dan terikat sebagai suami istri.
3. Istishab al-hukm ()استصحاب الحكم,
Menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai ada dalil lain
yang merubahnya. Dengan kata lain, penetapan hukum dengan metode ini adalah
mendasarkan pada keberadaan hukum yang sudah ada dan berjalan untuk tetap
diberlakukan sebagai hukum pada saat sekarang dan masa yang akan datang hingga
ada dalil lain yang merubahnya. Karenanya, lahirlah kaidah fiqh yang berbunyi:
االصل بقاء ما كان علي ما كان
Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai sebidang tanah, maka tanahnya tersebut
tetap dianggap sebagai harta miliknya selama tidak terbukti ada perubaha status hak
milik seperti jual beli, hibah dan sebagainya.
8
) علته وسببه وجودا و عدما.
Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis
sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada illah
suatu hukum.
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, Istishâb al-wasf dapat dijadikan
hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu
yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (al-
itsbat).
Adapun nilai kehujjahan Istishâb secara umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama,
mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb
merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(al-daf’u), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat). Mereka
menggunakan Alquran, Hadis, Ijmâ’, dan akal, untuk memperkuat pandangannya.
Sedangkan menurut Mustafa Sa’id al-Khani, selain pendapat dari dua kelompok ulama
diatas, terdapat pendapat lain yaitu pendapat Sebagian ulama Hanafiyah dan Sebagian
ulama Syafi’iyyah dan Abi Husain al-Basri serta sekelompok ulam Mutakallimin yang
menyatakan bahwa istishab tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum
baik untuk menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada atau menetapkan
hukum yang belum ada. Argumentasi mereka adalah bahwa status hukum halal atau
haram adalah hukum syara’ yang harus didasarkan pada justifikasi tekstual yang
5
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html
9
bersumber dari al-Quran dan al-Hadits.
Menurut Saifuddin al-Amidi, pendapat ulama yang menyatakan bahwa istishab bisa
dijadikan hujjah hukum merupakan pendapat yang ia pilih. lebih lanjut, al-Amidi
menyatakan bahwa adanya hukum pada masa lalu menjadikan dasar adanya dugaan kuat
(zann) bahwa hukum itu masih berlaku hingga saat ini. Menurutnya, dugaan kuat (zann)
merupakan dasar yang bisa dijadikan pegangan dalam syariat.
Sementara itu, kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil hukum,
mendudukkan posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana tidak ditemukan dalil lain
yang menjelaskan hukumnya. Argumentasi mereka adalah bahwa menyandarkan hukum
pada istishab pada hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan
selalu bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.
6
Abdul Wahhab Khalat, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qolam 19/8)
10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, kita dapat memahami beberapa hal terkait dengan
Istishab adalah salah satu metode ijtihad dengan cara menetapkan hukum sesuatu pada
hukum asalnya selama belum ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Sehingga pola
istiṣḥāb bukan menciptakan hukum baru, melainkan memertahankan dan melestarikan
hukum lama.
Para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis Istishâb yang disebutkan pertama, yaitu:
Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm,
sekalipun mereka berbeda dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan
Istishâb keempat yaitu Istishâb al-wasf, para ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahannya. Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, Istishâb al-wasf
dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sesuatu yang belum ada
(itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk menetapkan
sesuatu yang belum ada (al-itsbat).
Kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil hukum, mendudukkan
posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana tidak ditemukan dalil lain yang
menjelaskan hukumnya. Argumentasi mereka adalah bahwa menyandarkan hukum pada
istishab pada hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan selalu
bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.
Problematika sosial dengan segala kompleksitasnya melahirkan dinamisasi pemikiran
hukum Islam, dan salah satu perangkat metodologi yang dapat digunakan untuk
menjawab problematikan sosial tersebut adalah dengan menggunakan metode istishab.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khalat, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qolam 19/8)
Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997),
Munawwir, A.W.1997. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progessit.
Djazuli, Acep dan I. Nurol Aen. 1997. Ushul Fiqh. Bandung: Gilang Aditya Press.
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/881-istishab-sebagai-metodologi-ijtihad.html
12