Anda di halaman 1dari 16

ISTISHAB DAN ‘URF

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh II

Dosen Pengampu Ahmad Gunawan, S.Ag., M.Si

Disusun Oleh Kelompok 2:

Ida Sajidah(21220009)

Susanti(22120003)

Umu Lutfiatul Azizah(21220018)

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)

YA’MAL TANGERANG

2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan......................................................................................... 1

a. Latar Belakang ..................................................................................... 1


b. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

Bab II Pembahasan ........................................................................................ 2

a. Pengertian Istishab ............................................................................... 2


b. Syarat-syarat Istishab ........................................................................... 3
c. Macam-macam Istishab ....................................................................... 3
d. Contoh Istishab .................................................................................... 5
e. Dasar Hukum Istishab .......................................................................... 5
f. Pengertian ‘urf ...................................................................................... 7
g. Macam-macam ‘urf .............................................................................. 8
h. Contoh-contoh ‘urf ............................................................................... 8
i. Kaidah ‘urf ........................................................................................... 9

Bab III ............................................................................................................ 11

Kesimpulan .................................................................................................... 11

Saran ............................................................................................................... 12

Daftar Pustaka ................................................................................................ 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, Ijma', dan
Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu
dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu
Istishab Metode-metode yang digunakan para mujtahid untuk menarik atau
menyimpukan sebuah hukum relatif berjumlah banyak, dan salah satu metode
yang digunakan untuk itu adalah istishab.

Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mengungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan istishab mulai dari pengertian, syarat-syarat, bentuk-bentuk,
kaida-kaidahnya sampai pada relevansi istishab terhadap hukum positif yang
khusunya ada di Indonesia.

Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut


keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa
yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada
dalil yang mengubah ketentuan itu

Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-
aturan untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak
ditemui permasalahan- permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang
sering kali membuat pemikiran umat Muslim yang cenderung kepada
perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam sebagai solusinya.

1
Dalam berbagai sumber hukum islam terdapat banyak sekali
pembahasan, salah satunya adalah "urf yang akan saya coba jelaskan yang
mana budaya atau "urf' sebagai salah satu bagian dari sumber hukum islam,
apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai salah satu
pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan
nyata masyarakat. Hal tersebut tentunya tidak semudah yang kita diskusikan,
karena tidak semua ulama setuju tentang 'urf ini, akan tetapi tidak sedikit juga
yang menjadikannya sebagai pijakan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Istishab?
2. Apa syarat-syarat istishab?
3. Jelaskan macam-macam istishab?
4. Apa saja contoh-contoh istishab?
5. Jelaskan dasar hukum istishab?
6. Pengertian ‘Urf?
7. Macam-macam ‘urf?
8. Contoh-contoh ‘urf?
9. Kaidah ‘urf?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab

Secara lughowi (etimologi) istishab itu berasal dari kata istishaba dalam
shigat isti’fal, yang berarti: istimarassohabah, kalau kata sohabah diartikan
“sahabat”atau “teman”, dan istimara diartikan “ selalu” atau “terus menerus”,
maka istishab itu secara lughowi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu
menyertai”.

Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat bebarapa definisi yang


dikemukakan oleh para ulama, diantaranya ialah:

1. Imam isnawi, istishan ialah melanjutkan berlakunya hukum yang gtelah


ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain
yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, istishab ialah mengukuhkan menetapkan
apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada
3. Abdul Karim Zaidan, istishab ialah menganggap tetap nya status
sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti ada sesuatu
yang mengubahnya. Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya
hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan
datang selama tidak terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunnya suatu
hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah
hukum tersebut.

Jadi apabila sudah ditetapkan suatu perkara pada sesuatu waktu, maka
ketentuan hukumnya tetap seperti itu, sebelum ada dalil baru yang
mengubahnya, sebaliknya apabila sesuatu perkara telah ditolak pada

3
sesuatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa,
sebelum terdapat dalil yang menerima (metsabitkan) perkara itu

Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi.”


(QS. Al-Baqarah:29)

Artinya: “segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia


menemani atau menyertainya.”

B. Syarat-syarat Istishab
a. Syafi’iyah dan Hanabillah serta zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat
bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang
berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
b. Hanafiyyah dan Malikiyyah membatasi istishab terhadap aspek yang
menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi
hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.

C. Macam-macam Istishab

Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa istishab ada 5macam yang
sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam istishab
itu adalah:

a. Istishab hukum al-ibahah al-asliyyah, Maksudnya menetapkan hukum


sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada
dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di
hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing
orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai
ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik
sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan
memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti

4
ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum
b. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung
terus, Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah
batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena
keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda
Rasul Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali-kali janganlah ia
keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara
atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
c. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i, Maksudnya, umat
manusia tidak dikenakan hukum syar'i sebelum datangnya syara'. Seperti
tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat
manusia,sampai datangnya dalil syara' yang menentukan hukum. Misalnya
seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah
uang. maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas
tuduhannya, apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan
ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini
diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya
bisa menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
d. Istishab hukum yang dietapkan berdasrkan ima’ tetapi keberadaan ijma’
itu diperselisihkan, Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang
kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma'
bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk
mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air,
apakah shalat harus dibatalkan?
Menurut ulama' Malikiyyah dan Syafi'iyyah, orang tersebut tidak boleh
membatalkan shalatnya, karena adanya ijma' yang mengatakan bahwa

5
shalatnya sah apabila sebelung melihat air. Mereka mengaggap hukum
ijma' tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan
shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus
membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma'
karena ijma' menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat
bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
D. Contoh Istishab

Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian


mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu maka Bangin kawin dengan laki-laki C. Dalam
hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan
dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan,
yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishab

E. Dasar Hukum Istishab

Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa


sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku
suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau
yang mengecualikan Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan
sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang
lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan
si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan
pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal
dengan yang haram.

6
A. Pengertian Urf

Kata urf berasal dari kata arafa ya'rifu sering di artikan dengan al-ma'ruf
dengan arti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang
telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan
atau tidak melakukan sesuatu.

Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,


Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab Al-
Aisbah wa al-Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada
perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam
dan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara'. Adat
didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional. Sedangkan 'urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam
perkataan atau perbuatan.

Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh
jenis 'urf. Tetapitidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok
tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat tidak
dikatakan "urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf lebih umum daripada adat, sebab
adat hanya menyangkut perbuatan, sedangkan 'urf menyangkut perbuatan dan
ucapan sekaligus.

B. Macam-macam Urf
1. Dari segi objeknya, urf di bagi dua,yaitu al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang
menyangkut ungkapan ) dan al-urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan)
2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-'am (kebiasaan yang
bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus)

7
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, urf terbagi dua, yaitu al-
‘urfal shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak)
C. Contoh-contoh ‘urf
a. ‘urf Al-lafdzi, adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat misalnya: ungkapan “daging” yang berartidaging sapi
padahal kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.
b. ‘urf al-‘amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan
biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, sepertikebiasaan libur
kerja pada hari-hari tertentudalam satu minggu, kebiasaan masyarakat
tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu
dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara
khusus.
c. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan
ban serep termasuk dalamharga jual, tanpa akad sendiri,dan biaya
tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat
barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah dua puluh
kilogram.
d. Al-'urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila
terdapat cacat tertentu padabarang yang dibeli dapat dikembalikan,
sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat
dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masagaransi

8
terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku d
kalangan pengacara hukum
e. Al-'urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan
nash (ayat atau hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan
tidak pula membawa madarat bagi mereka. Misalnya, dalam masa
pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita
dan hadiah ini di anggap sebagai mas kawin.
f. Al-urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil
syara' dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara'. Misalnya,
kebiasaan menghalalkan riba,seperti peminjam uang antara sesama
pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam
tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila
jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi
keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebanyak 10%
tidaklah memberatkan, karena keuntungan sepuluh juta rupiah tersebut
mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini
bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan
syara', karena pertukaran barang sejenis, menurut syara' tidak boleh
saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibnu Hanbal).
Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku
di jaman jahiliyyah, yang dikenal dengan sebutan ribal-nasi'ah (riba
yang muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti
ini,menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam kategori al-'urf al-fasid.
D. Kaidah-kaidah ‘urf
1. Adat itu dapat dijadikan hukum
2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan
tempat
3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang diisyaratkan itu
menjadi syarat

9
4. Yang ditetapkan melalui ’urf sama dengan yang ditetapkan melalui
nash (nash atau hadits)

10
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita
sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-
hukum yang ada.
2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya
3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat dari satu sudut pandang saja,
akan tetapi mempelajari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
4. Dari kaidah-kaidah istishab dan perbedaan fuqaha dalam penerapannya, jelaslah
bahwa istishab itu sendiri bukanlah dalil syara' dan bukan sumber istidlal, tetapi
hanyalah pengamalan terhadap dalil yang sudah ada dan pengakuan terhadap
hukum yang sudah tsabit yang tak terdapat sesuatu yang mengubahnya.
5. Pengertian "urf, Segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan
manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
6. Macam-macam urf
a. Dari segi objeknya, "urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang
menyangkut ungkapan) dan al-'urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan
b. Dari segi cakupannya, urf di bagi dun, yaitu al-urf al-'am (kebiasaan yang
bersifat umum) dan al-wuf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara'urf terbagidua yain al-'urtal
shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-'urf al-fasid (kebiasaan yang
dianggap rusak).
7. Kaidah urf
a. Adat itu dapat dijadikan hukum
b. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat

11
c. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat
d. Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash
(nash atau hadits)

B. Saran

Dasar dasar fiqih islam seperti istishab sebaiknya diterapkan dalam kehidupan
untuk menetapkan hukum setelah sumber-sumber hukum yang lain. Dan
diharapkan istihhab ini diterapkan dengan sebaik- bainya dalam kehidupan, agar
memperoleh ridho dari Allah SWT. Dan semoga isi makalah diatas membawa
manfaat untuk yang membacanya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet v, Jakarta Kencana Prenada Media
Group, 2009, h. 364-5

Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqh 1, Cet ii, Bandung CV Pustaka Setia, 2000, h.
144

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 365

Satria Efendi, Ushul Fiqh, Cet. I, Jakarta: Prenada Media, 2005, h. 159

Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, Cet. X, Bandung: PT Alma’arif, t.t, h, 140

Sulaiman Abdullah Sumber hukum islam permasalahan dan fleksibilitasnya. Cet


1, Jakarta: Sinar Mustika, 1995, h, 158

13

Anda mungkin juga menyukai