Anda di halaman 1dari 10

akalah ini.

Walaupun dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi Sebagai manusia
biasa tentunya tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan Segala kerendahan hati
kami dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk Menyempurnakan makalah ini,
dan kiranya makalah ini dapat memberikan Masukan dan informasi kepada semua pihak
yang berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala
Kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah
Diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu
Wata’ala. Amin

Bengkulu, 23 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Cover............................................................................................................

Kata Pengantar ............................................................................................

Daftar isi .....................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................

A. Latar belakang.................................................................................
B. Rumusan masalah ...........................................................................
C. Tujuan penulisan ............................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................

A. Pengertian istishab ..........................................................................


B. Dasar hukum istishab ......................................................................
C. Macam-macam istishab ..................................................................

BAB III PENUTUP ....................................................................................

A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Saran ................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam sebagai suatu agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir,
memiliki yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Diantara
perbedaan itu adalah Islam bersifat komprehensif dan universal.
Memiliki arti bahwa Syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan,
baik yang bersifat ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah).
Sedangkan universal bermakna bahwa Syariah Islam dapat diterapkan
dalam berbagai dimensi waktu dan ruang (tempat). Universalitas Islam
secara spesifik dapat terlihat jelas pada bidang muamalah. Selain
cakupannya fleksibel dan luas, muamalah dalam perspektif Islam tidak
membeda- bedakan antara muslim dan non muslim.
Manusia bersifat dinamis, selalu bergerak maju menuju perubahan
dalam berbagai aspek. Perubahan yang terjadi, secara langsung
maupun tidak langsung akan menimbulkan persoalan baru dibidang
hukum yang tidak akan kunjung usai. Namun di sisi lain, sumber
hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah sangat terbatas dan tidak
mungkin terjadi penambahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam
Rusyd yang menyatakan bahwa problematika kehidupan manusia tidak
ada batasnya, sedangkan jumlah Nash, baik Al-Qur’an dan as-Sunnah
terbatas jumlahnya.
Terhadap dinamika yang terjadi di bidang hukum Islam,
mengharuskan para ulama untuk dapat memberikan jawaban sekaligus
solusi yang cepat dan tepat.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana pengertian istishab ?
B. Bagaimana dasar hukum istishab ?
C. Bagaimana macam-macam istishab ?
C. Tujuan Masalah
A. Mengetahui pengertian istishab
B. Mengetahui dasar hukum istishab
C. Mengetahui macam-macam istishab

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab

Istishab secara lughawy (etimologi) berasal dari kata is-tash-ha-ba ( )‫استص‬


‫حب‬dalam sighat istif’al ( )‫اس;;تفعال‬yang artinya ( ‫الص;;حابة طلب‬mencari
persahabatan), ( ‫الصحابة ا;عتبار‬menganggap bersahabat), dan ‫الصحبة طلب‬
(mencari teman). Suhbah dimaknai dengan membandingkan sesuatu
kemudian mendekatkannya. Dengan demikian, secara lughowy (etimologi),
dipahami bahwa istishab yaitu mendekatkan suatu peristiwa dengan hukum
tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama status
hukumnya. jurnal Istishab dan Hukumnya dalam Islam oleh Ridwan,
istishab pada dasarnya merupakan suatu metode penemuan hukum
berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil
(bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya.
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada
hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan
tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya
hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya.
Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah
ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada
masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap
berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang
mengubahnya.Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah
ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C.
Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka
walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah
ditetapkan,
yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.

B. Dasar Hukum Istishab


Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul
istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan
tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang
mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk
menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara
yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas.
Selandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan
antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang
sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab
itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan
untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar
atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah
menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada
yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar
hujjah.

C. Macam-Macam Istishab
Mengutip buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan
(2019: 98), Abu Zahrah membagi istishab menjadi empat macam, yaitu:
a. Al-ibabah Al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh).
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah
muamalah, seperti terkait makanan dan minuman, selama tidak ada
dalil yang melarangnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab,
pada dasarnya segala sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah
bagi kehidupan manusia.

b. Istishab Al-baraah Al-ashliyyah


Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia
bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang mengubah status
tersebut. Atas dasar ini, manusia bebas dari kesalahan sampai ada
buktinya.

c. Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil
yang mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas
melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan tersebut
berlaku sampai terbukti adanya perceraian.

d. Istishab Al-Washfi
Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan
diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci
sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat
dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi
timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
a. Istishab berdasarkan penetapan akal
ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu
ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi
ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat
digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala
sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan
atau dikerja- kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah
itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau
mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-
Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun
ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat
tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang
dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:

a. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh


dikerjakan).
b. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari
tanggungan.”
c. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishab berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad
nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang
perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya,
maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya
melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini
telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun
mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang
kawin dengan laki- laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu
tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya
mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
a. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan
hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-
ragu.”
b. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah
ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan
yang mengubahnya.”
c. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah
ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang
mengubahnya.”
Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya Kaidah-kaidah istishab
antara lain:
‫االصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره‬
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan
yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
‫االصل في االشياء اال باحة‬
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.” ‫الب‬
‫راءة االنسان في االصل‬
beban.” dari bebas adalah asalnya pada
‫“ بالشك واليزول االبيقين مثله ما ثبت باليقين اليزول‬manusia
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur
karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”

Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu
jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan
shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan
Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka
tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh
keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan
mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus
dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istishab adalah salah satu metode ijtihad dengan cara menetapkan
hukum sesuatu pada hukum asalnya selama belum ada dalil lain yang
merubah hukum tersebut. Sehingga pola istiṣḥāb bukan menciptakan
hukum baru, melainkan memertahankan dan melestarikan hukum lama.
Para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis Istishâb yang
disebutkan pertama, yaitu: Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb
albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, sekalipun mereka berbeda
dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan Istishâb
keempat yaitu Istishâb al-wasf, para ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahannya. Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah,
Istishâb al-wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam
menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk
menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat).
Kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil
hukum, mendudukkan posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana
tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskan hukumnya. Argumentasi
mereka adalah bahwa menyandarkan hukum pada istishab pada
hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan
selalu bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di
masyarakat.
B. Saran
perlunya ada pembahasan yang lebih merinci dan bukti sejarah yang
mengaitkan pokok-Pokok ajaran islam supaya lebih leluasa untuk
mencari informasi dan penjelasan-penjelasannya serta diharapkan
pembaca dapat memahami materi dalam makalah yang telah Penulis
buat ini

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
1995.
Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih
perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993.
Usman, Iskandar. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 1994.
CyberMQ.com

Anda mungkin juga menyukai