Walaupun dengan usaha maksimal telah kami lakukan, tapi Sebagai manusia
biasa tentunya tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu dengan Segala kerendahan hati
kami dari penulis mengharapkan kritik dan saran untuk Menyempurnakan makalah ini,
dan kiranya makalah ini dapat memberikan Masukan dan informasi kepada semua pihak
yang berkaitan dengan hal ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala
Kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah
Diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu
Wata’ala. Amin
Penulis
DAFTAR ISI
Cover............................................................................................................
A. Latar belakang.................................................................................
B. Rumusan masalah ...........................................................................
C. Tujuan penulisan ............................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Saran ................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam sebagai suatu agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir,
memiliki yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Diantara
perbedaan itu adalah Islam bersifat komprehensif dan universal.
Memiliki arti bahwa Syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan,
baik yang bersifat ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah).
Sedangkan universal bermakna bahwa Syariah Islam dapat diterapkan
dalam berbagai dimensi waktu dan ruang (tempat). Universalitas Islam
secara spesifik dapat terlihat jelas pada bidang muamalah. Selain
cakupannya fleksibel dan luas, muamalah dalam perspektif Islam tidak
membeda- bedakan antara muslim dan non muslim.
Manusia bersifat dinamis, selalu bergerak maju menuju perubahan
dalam berbagai aspek. Perubahan yang terjadi, secara langsung
maupun tidak langsung akan menimbulkan persoalan baru dibidang
hukum yang tidak akan kunjung usai. Namun di sisi lain, sumber
hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah sangat terbatas dan tidak
mungkin terjadi penambahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam
Rusyd yang menyatakan bahwa problematika kehidupan manusia tidak
ada batasnya, sedangkan jumlah Nash, baik Al-Qur’an dan as-Sunnah
terbatas jumlahnya.
Terhadap dinamika yang terjadi di bidang hukum Islam,
mengharuskan para ulama untuk dapat memberikan jawaban sekaligus
solusi yang cepat dan tepat.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana pengertian istishab ?
B. Bagaimana dasar hukum istishab ?
C. Bagaimana macam-macam istishab ?
C. Tujuan Masalah
A. Mengetahui pengertian istishab
B. Mengetahui dasar hukum istishab
C. Mengetahui macam-macam istishab
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
C. Macam-Macam Istishab
Mengutip buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan
(2019: 98), Abu Zahrah membagi istishab menjadi empat macam, yaitu:
a. Al-ibabah Al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh).
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah
muamalah, seperti terkait makanan dan minuman, selama tidak ada
dalil yang melarangnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab,
pada dasarnya segala sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah
bagi kehidupan manusia.
c. Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil
yang mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas
melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan tersebut
berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
d. Istishab Al-Washfi
Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan
diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci
sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat
dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi
timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
a. Istishab berdasarkan penetapan akal
ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu
ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi
ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat
digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala
sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan
atau dikerja- kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah
itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau
mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-
Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun
ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat
tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang
dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu
jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan
shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan
Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka
tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh
keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan
mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus
dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istishab adalah salah satu metode ijtihad dengan cara menetapkan
hukum sesuatu pada hukum asalnya selama belum ada dalil lain yang
merubah hukum tersebut. Sehingga pola istiṣḥāb bukan menciptakan
hukum baru, melainkan memertahankan dan melestarikan hukum lama.
Para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis Istishâb yang
disebutkan pertama, yaitu: Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb
albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, sekalipun mereka berbeda
dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan Istishâb
keempat yaitu Istishâb al-wasf, para ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahannya. Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah,
Istishâb al-wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam
menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan
Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (al-daf’u) saja, bukan untuk
menetapkan sesuatu yang belum ada (al-itsbat).
Kelompok ulama usuliyyun yang menerima istishab sebagai dalil
hukum, mendudukkan posisi istishab sebagai dalil terakhir bilamana
tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskan hukumnya. Argumentasi
mereka adalah bahwa menyandarkan hukum pada istishab pada
hakikatnya bersandar pada fakta hukum yang sudah ada yang akan
selalu bergerak dinamis seiring dengan dinamika yang terjadi di
masyarakat.
B. Saran
perlunya ada pembahasan yang lebih merinci dan bukti sejarah yang
mengaitkan pokok-Pokok ajaran islam supaya lebih leluasa untuk
mencari informasi dan penjelasan-penjelasannya serta diharapkan
pembaca dapat memahami materi dalam makalah yang telah Penulis
buat ini
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
1995.
Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih
perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993.
Usman, Iskandar. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 1994.
CyberMQ.com