Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“ISTISHAB DAN ISTISHAN”

D
I
S
U
S
U
N

OLEH KELOMPOK IV :
DIAN
MIRSAD
ASRAR

MA NUHIYAH PAMBUSUANG
TAHUN AJARAN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum
yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara
umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan
menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.

            Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada
sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang
mengubah ketentuan itu.
B.      Rumusan Masalah
            Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1.       Pengertian Istishab dan istihsan
2.       Macam- Macam Istishab dan istihsan
3.       Contoh Istishab dan istihsan
4.       Dasar Hukum Istishab

A.  Pengertian Istishab
            Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((
‫استصحب‬ dalam shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬. Kalau
kata ‫الصحبة‬ diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫استمرار‬  diartikan “selalu” atau
“terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani”
atau “selalu menyertai”.
            Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat definisi yang dikemukakan
oleh ulama, di antaranya ialah:

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah


            Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan
meniadakan apa yang sebelumnya tiada

Istishab juga dapat berarti mempunyai arti selalu menemani atau selalu
menyertai. Menurut istilah istishab adalah menjadikan hukum yang telah tetap pada
masa lampau terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui adanya dalil yang
merubahnya.
B. Macam-macam istishab
1. Istishab al-‘Adam yaitu tidak adanya suatu hukum yang ditiadakan oleh akal
berdasarkan asalnya dan tidak pula ditetapkan oleh syara’.
Contohnya : shalat yang keenam itu tidak ada, diwajibkan sholat lima waktu
alam sehari semalam. Akal mengetahui bahwa shalat yang keenam itu hukumnya
tidak wajib, meskipun syara’ tidak menegaskannya, karena tidak ada dalil yang
mewajibkannya. Jadi manusia tidak wajib melakukan sholat keenam dan berlaku
sepanjang masa.
2. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil
yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil
nasakh (yang membatalkannya).
            Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi
umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk
istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan
istishab tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
3. Istishab hukum yang ditunjukkan oleh syara’ tetapnya dan kekalnya karena
ada sebabnya.
Contohnya: seorang wanita menjadi halal bagi seorang laki-laki sebab adanya
akad nikah yang sah, dan hukum halal terus berlaku selama tidak ada hukum yang
merubahnya, misalnya talak, fasakh dan sebagainya.
4. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’
itu diperselisihkan.
            Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya
para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada,
seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat,
ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
            Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh
membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah
apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai
adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian
berwudhu dan mengulangi shalatnya.
            Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat
dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk
berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait
dengan hukum sah nya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan
keadaan tersedianya air.
C.     Contoh Istishab
            Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah
lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum
dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A
dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
E.     Dasar Hukum Istishab
            Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi
ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum
yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi
perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara
yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.

A. Pengertian istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah


Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas
nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada
hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan
dimenangkan baginya perpindahan ini.

Menurut istilah dari Al-Hasan Al-KurkhiAl-Hanafi yaitu salah seorang ulama’ ushul,
memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu
yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih


cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum pertama.
B. Macam macam istishan

1. Istishan berdasarkan bil an-Nash

Pengalihan suatu ketentuan hukum berdasrkan ketetapan qiyas kepada ketentuan


hukum yang berlawanandengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan
sunnah

Contoh istihsan dengan rasulullah adalah dalam lasu orang yang makan dan
minum karena lupa pada waktuia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas).
Puasa orang ini batal karena telah memasukkan sesuatu kedalam
tenggerokonnyadan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan
tetapi hukum ini dikecualikan oleh nabi saw yang mengatakan: “siapa yang makan
atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki
yang diturunkan allah kepadanya”

2. istishan berdasarkan ijma’

Istihsan berdasarkan ijma’ artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya


ijma’ dalam hukum kasus terkait.

Misalnya:

Hukum jual-beli untuk barang yang hanya ada contohnya. Atau disebutkan
spesifikasinya. Seperti kita pesan meja atau rumah. Barangnya belum ada. Masih
akan dibuatkan. Dalam hukum Islam disebut istishna’.
Istishna’ ini menurut kaidah umum hukum Islam adalah tidak boleh. Tidak
sah. Karena istishna’ itu merupakan akad yang barangnya belum ada. Masih akan
dibuatkan. Namun ternyata ada ijma’ di antara para ulama. Bahwa istishna’ itu
hukumnya adalah boleh. Alias sah.

Berdasarkan ijma’ ini, maka yang semula tidak boleh menjadi boleh. Yang semula
tidak sah menjadi sah.

3. Istishan berdasakan qiyas khafi

Qiyas khafi itu merupakan kebalikan qiyas jali. Bila qiyas khafi itu sifatnya
samar dan lemah. Maka qiyas jali itu sifatnya terang dan kuat.

Istihsan berdasarkan qiyas khafi artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan


adanya qiyas khafi dalam hukum kasus terkait, dengan meninggalkan qiyas jali.

Misalnya kasus tanah wakaf. Akad wakaf tanah itu lebih dekat diqiyaskan kepada
akad jual-beli atau akad sewa-menyewa. Akad wakaf itu bisa diqiyaskan kepada
akad jual-beli. Karena tujuan dari akad wakaf dan akad jual-beli itu sama-sama
merupakan akad pemindahan hak milik. Akad wakaf itu juga bisa diqiyaskan
kepada akad sewa-menyewa. Karena akad wakaf dan akad sewa-menyewa itu sama-
sama merupakan pemindahan hak guna. Qiyas akad wakaf kepada akad jual-beli itu
lebih jelas, daripada akad wakaf kepada akad sewa-menyewa. Qiyas akad wakaf
kepada akad jual-beli itu merupakan qiyas jali. Adapun qiyas akad wakaf kepada
akad sewa-menyewa itu merupakan qiyas khafi.

Masalahnya:
Bila seseorang memiliki tanah seluas 1.000 meter. Lalu dia wakaf tanah
seperempatnya. Sedangkan letak tanah itu ada di sebelah tengah yang tidak punya
akses jalan ke luar.

Maka:

Bila kita pakai qiyas jali. Maka tanah itu selamanya tidak punya jalan ke luar.
Untuk memiliki jalan akses ke luar, maka harus membeli tanah tambahan sebagai
jalan akses dari orang yang wakaf tadi. Bila kita pakai qiyas khafi. Maka tanah itu
harus diberi jalan akses ke luar. Tanpa beli kepada orang yang wakaf tadi. Jadi
orang yang wakaf tadi harus memberikan tambahan tanah wakaf sebagai jalan akses
ke luar.

4. Istihan berdasrkan ‘urf

‘Urf adalah adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Apabila ‘urf
tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka ia bisa menjadi dalil yang cukup
kuat. Namun apabila bertentangan dengan syariat, maka ‘urf itu tidak dianggap dan
tidak bisa digunakan sebagai dalil.

Istihsan berdasarkan ‘urf artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya ‘urf
berkaitan dengan perkara terkait.

Misalnya:

Wakaf itu asalnya harus berupa benda yang tidak bergerak. Seperti: tanah pertanian,
tanah perkebunan, ataupun tanah kosong.

Namun, wakaf itu juga boleh berupa benda yang bergerak. Karena adanya ‘urf
dalam masalah wakaf ini. Seperti: wakaf sepeda motor, mobil, emas perhiasan,
bahkan uang kertas
5. Istihsan berdasarkan maslahah

Maslahah artinya manfaat yang tidak bertentangan dengan syariat. Bila tidak
bertentangan dengan syariat, maka maslahah itu bisa menjadi dalil yang cukup kuat.
Sama halnya dengan ‘urf. Namun bila bertentangan dengan syariat, maka maslahah
itu tidak bisa digunakan sebagai dalil. Seperti minuman keras dan perjudian.
Keduanya bisa mendatangan maslahah. Namun bertentangan dengan syariat. Ada
ayat dan hadits yang secara tegas mengharamkan minuman keras dan perjudian.
Sehingga maslahah dalam hal ini tidak bisa digunakan sebagai dalil. Istihsan
berdasarkan maslahah artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya
maslahah berkaitan dengan perkara terkait.

Misalnya:

Bila kita masuk toko barang pecah-belah. Seperti: gelas, piring dan guci. Bila kita
tidak sengaja memecahkan barang di situ, apakah kita harus memberikan ganti rugi?

Hukum asalnya, bila tidak sengaja, maka tidak wajib mengganti.

Namun hukum itu berubah berdasarkan maslahah. Meskipun tidak sengaja, orang
yang memecahkan barang di toko, maka dia wajib membelinya. Atau istilah
populernya: Memecahkan berarti membeli. Atau: Merusak berarti membeli. Karena
bila setiap orang yang memecahkan barang di toko itu tidak wajib memberikan
ganti rugi, maka yang menanggung adalah si pemilik. Tentunya hal ini akan sangat
merugikannya. Oleh karena itu, berlakulah istihsan dalam masalah seperti ini. Demi
sebuah maslahah.

6. Istihsan berdasarkan dharurah

Dharurah itu artinya kondisi yang di luar kendali kita. Baik karena ancaman orang
lain, maupun kondisi tertentu yang di luar kemampuan kita untuk menghindarinya.
Istihsan berdasarkan dharurah artinya: istihsan yang dilakukan berdasarkan adanya
kondiri dharurah yang berkaitan dengan perkara terkait.

Misalnya:

Menghirup uap nasi maupun masakan itu sebenarnya membatalkan puasa. Namun
bagi orang yang sedang masak, tentu dia tidak bisa menghindarinya. Secara
dharurah dia pasti selalu membaui berbagai aroma masakan yang membuatnya
kenyang. Sehingga biasanya orang yang habis masak itu tidak makan langsung.
Karena dia sudah merasa kenyang.

Nah, orang yang sedang masak itu tidak bisa meninggalkan dapur. Meskipun sedang
puasa, mau tidak mau dia akan selalu mencium aroma masakan. Secara hukum,
sebenarnya orang yang sedang memasak di dapur itu batal puasanya. Namun karena
alasan dharurah, sesuatu yang di luar kemampuan untuk menghindarinya, maka
puasa orang itu tidak batal. Alias tetap sah.

Anda mungkin juga menyukai