Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati
dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita
sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7
hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok
pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.

            Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan
lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak
semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah
ketentuan itu.
B.      Rumusan Masalah
1. Apa itu Pengertian Istishab…. ?
2.      Apa itu Syarat-syarat Istishab……?
3.      Bagaimana  Macam- Macam Istishab……?
4.       Apa contoh dari Contoh Istishab………?
5.       apa saja  Dasar Hukum Istishab…….?
6.      Bagaiman  Kehujjahan Istishad……?
7.       Relevansi Istishab dengan UU Positif …..?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari pembahasan ini untuk mengetahui tentang istihad baik berupa
pengertian, syarat-syarat, jenis istihad, dan hal yang bersangkutan dengan istihad
lainnya.

1
BAB  II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Istishad
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-haba ((
‫حب‬::‫استص‬ dalam shigat is-tif’âl (‫تفعال‬::‫)اس‬, yang berarti: ‫حبة‬::‫تمرار الص‬::‫اس‬. Kalau
kata ‫الصحبة‬ diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫استمرار‬  diartikan “selalu” atau
“terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu
menemani” atau “selalu menyertai”.1
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
1. Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan
yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang
mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah
ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.2
3. Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang
mengubahnya.3

Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di
masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang

1 Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 78

2 M. Fadlil Said An-Nadwi, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot, (Surabaya : Al-Hidayah,


2004), hlm. 134

3 Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994),
hlm. 267

2
mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang
mengubah hukum tersebut.4

B. Syarat-syarat Istishab
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat
bahwa hak- hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak
terhadap hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak
saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk
menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
C. Macam- Macam Istishad
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam
yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam
Istishab itu adalah.5
1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia
adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat
manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan
pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan
tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini,
maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak
boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan
berlangsung terus
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila

4 Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.79

5 Ibit. h. 274

3
seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka
berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak
bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika
seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada
sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari
masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium
bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul
fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat
dijadikan hujjah. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini
hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang
telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum
ada.Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa
hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang
membatalkannya.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa
hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang
membatalkannya.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa
hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang
membatalkannya.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa
hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang
membatalkannya.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa

4
hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang
membatalkannya.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa
hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang
membatalkannya.
Sedangkan Ulama Malikiah menolak istishab sebagai hujjah dalam
beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya.
Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena
apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan
di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu
kembali dan mengulangi shalatnya.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil
yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada
dalil nasakh (yang membatalkannya).
Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang
menasakhkannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi
umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas,
selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut
Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul
fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil
berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum
datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat
hukumnya terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang
menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia
berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk 
mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat
bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada
penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah,

5
istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan
tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama
Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat
menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada
maupun hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan
ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya.
Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air
tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi
dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh
membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa
shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’
tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan
shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan
shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’
menurut mereka hanya terkait dengan hukum sah nya shalat bagi orang
dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
D. Contoh Istishab
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena
telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B
belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A
dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah
lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.6
6 Ibit, h. 275

6
E. Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku
suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C,
maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan
pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal
dengan yang haram.7
F.  Kehujjahan Istishad
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.8:
1.  Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi
hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari
penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan
hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk
menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-
akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan
ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan
perkara yang belum tetap hukumnya.9
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa
dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau

7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.82

8 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setis, 2010), hlm. 127

9 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setis, 2010), hlm. 127.

7
menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum
yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula
berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab
merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu
hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil.
Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan
datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil.
Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan
suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah :
bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan
hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil
mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan
pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara
qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang
telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada
perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa
dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa
membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum
yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum
perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak
Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya
yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa
diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan
kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan
kepada ahli waris lain.   Menurut ulama Hanafiyah, orang yang
hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena
mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa
dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-

8
benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi
adalah wafatnya seseorang.
Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka
hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu
tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak
baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf)10.
G.    Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan
Masyarakat  Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala
sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan
keharamannya, dan kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian. Dalam
istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti
secara meyakinkan bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum
positif Indonesia khususnya dikenal dengan istilah praduga tak bersalah.11

10 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, ( Jakarta : Pustaka Amani,
2003 ), hlm. 122.

11 A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.221

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita
sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-
hukum yang ada,
2.  Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan hanya melihat dari satu sudut
pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk
beluk istishab itu sendiri dari keseluruhan aspeknya.
B. Saran
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca
agar sekiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam pembuatan makalah
dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

10
Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet
4. 1994.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam,   Jakarta : Pustaka  
Amani. 2003.

Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,  
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

M. Fadlil Said An-Nadwi. Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot. Surabaya :  


Al-Hidayah. 2004.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,    
2009.

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Amzah.


2005.

Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

11

Anda mungkin juga menyukai