Anda di halaman 1dari 9

Istishab

Disusun dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah

Ushul Fiqih

Disusun oleh:
Gitya Ritzky

Ranti Permata Sari

Nuzul Laila Qadrina

Dosen Pengampu:
Efizal.A SH.I, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

STAI DARUL QUR’AN PAYAKUMBUH

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan
hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak
disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu
Istishab.

Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga
sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Istishab
2. Syarat-syarat Istishab
3. Macam- Macam Istishab
4. Contoh Istishab
5. Dasar Hukum Istishab
6. Kehujjahan Istishab
7. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada
Zaman Sekarang
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Istishab

Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((‫استصحب‬ dalam
shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬. Kalau kata ‫الصحبة‬ diartikan “sahabat” atau
“teman”, dan ‫استمرار‬ diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi
artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan
oleh para ulama, di antaranya ialah:

1. Imam Isnawi

Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan
karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.

1. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah

 Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan
apa yang sebelumnya tiada.

1. Abdul-Karim Zaidan

Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama
belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu,
diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum
ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.

B.     Syarat-syarat Istishab

1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak
yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya
terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan
tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak
untuk mentsabitkan.

C. Macam- Macam Istishab


  Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian
disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah:

1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah

Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh
selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan
adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut
telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan
memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli
ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

1. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.

  Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus
sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah
wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada
karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika
seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau
tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu
mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al-
Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk
hukum yang belum ada.
I mam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung
oleh nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada
dalil yan laing yang membatalkannya.
Sedangkan Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus,
seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus
seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya
sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu
kembali dan mengulangi shalatnya.
1. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang
membatalkannya). Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya.

  Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap
wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi
menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil
berdasarkankaidah bahasa.

1. Istishab hukum akal sampai adannya hukum syar’i

  Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’.
Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai
datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain
bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk 
mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan
dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan
menurut ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah
ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga
dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum
yang akan datang.

1. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu
diperselisihkan.

  Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama
fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum
untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus
dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan
shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat
air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan
bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan
tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu. Mereka
tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat
bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
D. Contoh Istishab
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B
ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah
terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.

E. Dasar Hukum Istishab


Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab
itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak
ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga
jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi
perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah
dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.

F. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada
dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:

1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak
akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan
penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata
lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah
ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan
dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang
belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus
pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan
penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa
lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang
akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya
menetapkan hukum yang ada d i masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan
datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa
menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada
yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa
lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni
(relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga
keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa
dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada
tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah
SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima
pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini
disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris
itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada
ahli waris lain.   Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima
warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya,
harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu
benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah
wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka
hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi),
bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah
dan wakaf).

G. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat


pada Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam Undang-Undang Pidana sebagai landasan, karena
segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan
keharamannya, dan kebanyakan dari hukum Undang-Undang perdata pun demikian.
Dalam istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti
secara meyakinkan bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif
Indonesia khususnya dikenal dengan istilah praguga tak bersalah.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1. Istishab  merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai
umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
2. Istishab  merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut
pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab  itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satri. Ushul Fiqh.  Cet. 1 ; Jakarta :


Kencana Prenada Media Group, 2008
Koto, Alauddin. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih.  Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
Yahya, Muhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. Bandun : PT Al-Marif, 1986
Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Rifa’i, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, t.t.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

Anda mungkin juga menyukai