Anda di halaman 1dari 8

ISTISHAB

A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan landasan hukum atau dalil dalil
hukum yang menurut para jumhur ulama ada dalil hukum yang disepakati dan dalil
hukum yg tidak disepakati oleh ulama fiqh. Adapun landasan hukum yang disepakati
oleh para ulama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Sedangkan
landasan hukum Islam yang tidak disepakati antara lain Istihsan, Istishab dan
Marsalah Mursalah dan yang akan kita bahas salah satunya adalah Istishab.

Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan sebagai
rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahan yang dihadapinya
apabila tidak terdapat penjelasan dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Dalam peristilahan
ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan
juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku
hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab
Istishab secara etimologi berasal dari kata "Istishaba" dalam sighat istifalun

diartikan dengan teman atau sahabat ‫الصحية‬ ‫ استمرار الصحبة‬yang berarti (‫)استفعال‬
dan diartikan selalu atau terus menerus, istishab berarti selalu menemani.
atau selalu menyertai". Dengan kata lain istishab adalah menyertakan, mem-
bawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:

‫استضخيت الكتاب في سفري‬

Aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku

Adapun secara terminologi ushul fiqh, sebagaimana umumnya istilah- istilah yang digunakan
dalam disiplin ilmu ini, ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama ushul fiqh,
diantaranya:

1. Menurut Muhammad Ubaidillah Al-As'adi, istishab adalah menetapkan hukum


atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap
berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
2. Al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara',
bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan
pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang
mengubahnya.
3. Al-Asnawi yang menyatakan bahwa "(istishab) adalah penetapan (keberlakuan)
hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu
telah berlaku sebelumnya, tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut)".
4. Al-Qarafi seorang ulama Malikiyah mendefinisikan istishab sebagai "keyakinan
bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekuensi bahwa ia
tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang".
5. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah-tokoh ushul fiqh Hambali- mendefinisikan istishab,
yaitu: menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukannya atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau yang sudah kekal
menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
6. Sementara Asyaukani dalam kitabya Irsyadul Fukhul mengatakan:

‫االستصحاب هو بقاء األمر مالم يوجد ما يغيرة‬


Istishab adalah mengekalkan apa yang telah ada selama tidak ada yang
mengubahnya.

Definisi ini menunjukkan bahwa istishab sesungguhnya adalah penetapan


hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun
mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti
ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu
melalui proses jual-beli atau pewarisan, selama kita tidak menemukan ada dalil atau
bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan
bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti.
Dengan kata lain, istishah adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa
sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.

B. Dasar Hukum Istishab


Istishab sesunggunya bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru, tetapi
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan bukan untuk menetapkan yang
belum ada. Ulama Hanafi menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda atau
kebalikannya dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu
hukum baru dengan kata lain istishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan
perkara yang belum tetap hukumnya.
Pendapat yang lain menyatakan, seperti yang dikemukan oleh Abdullah Yusuf bin Isa
bin ya’qub al-Jadi’ al-Inziy dalam kitabnya Taisir ilm ushul al-Fiqh. Beliau
menyatakan sebagai berikut:

C. Macam-macam Istishab
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab sebagai berikut:
1. Istishab al-ibahah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum ashal dari
sesuatu, yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah suatu prinsip yang
mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan
dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya
makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak ada dalil
yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut
berdasarkan ayat pada surah al-Baqarah ayat 29 yang berbunyi :

‫ج ِم ْي ًعا‬
َ ‫ض‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذيْ َخل‬
ِ ْ‫ق لَـ ُك ْم َّما فِى ااْل َ ر‬
Artinya: "Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk
kamu....
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk
umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh
dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini,
jika ada larangan, berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat
bahaya bagi kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu
makanan, atau suatu tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan
seperti hukum aslinya, selama tidak ada dalil yang melarang.

2. Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip


bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada
dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai
ada bukti yang mengubah statusnya itu. Seseorang yang menuntut bahwa
haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena
pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya
itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi, seseorang
dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak
bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.

3. Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum
yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya,
seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil,
maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan
peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya
kepada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berutang kepada si fulan, akan
selalu dianggap berutang sampai ada yang mengubahnya, seperti
membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang
itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita,
maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai terbukti telah
diceraikannya.

4. Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya
sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap
masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air yang
diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah
statusnya itu.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab

Anda mungkin juga menyukai