A. Istishab
Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna
menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki
mendefinisikannya sebagai:
“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama
karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-
Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)
Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka
keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan
melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada
bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal.
Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal,
yaitu:
1. Istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:
2. Istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal,
yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya.”
3. Istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa
lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini
melahirkan kaidah fiqih:
4. Istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat
hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti
bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-
Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih
berbunyi:
Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup
sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari
keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum
asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini masih berlaku sampai ada
dalil yang menegaskan kematiannya.
B. ‘Urf
Secara etimologi Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan
‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Secara terminologi adalah Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka,ataupun suatu
kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi,
dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita mengetahui
bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali apabila ‘urf itu mesti berlaku
atau sering-seringnya berlaku pada perkara tersebut, sehingga masyarakat yang
mempunyai ‘urf tersebut selalu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi
unsur pembentukan ‘urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya
terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian,
maka disebut perbuatan perseoranagan.
1. Macam-macam ‘Urf
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja
pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam
acara-acara khusus.
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya
tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu. Misalnya dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash
(ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat
kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak mempunyai undang-undang
(hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka.
Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.
Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-
unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam
bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.
Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan hak-hak yang
sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak
memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at Islam juga
membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain dalam
kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang sebaik-
baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan keperdataannya (segi keduniaannya)
dimaksudkan untuk mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu kebiasaan yang
telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai dengan dasar-dasarnya
yang umum.
C. Syazzuz Zariah
Secara etimologi dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu”. Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudaratan”. Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Juziyah (691-751 H/1292-1350 M) ahli fiqh
Hambali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah yang bertujuan kepada yang
dianjurkan.
Oleh sebab itu menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat
umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu : yang dilarang, disebut dengan saad
al- dzari’ah dan yang menuntut untuk dilaksanakan disebut faht al-dzari’ah.
Adapun maksud dan tujuan dari hal tersebut di atas dapat kita pahami secara bersama-sama yakni
pembeli pada saat membeli kendaraan mendapatkan uang sebesar lima belas juta rupiah, tetapi ia
tetap harus melunasi hutangnya (kretid kendaraan itu) sebsar tipa puluh juta rupiah. Jual beli seperti ini
dalam fiqih disebut dengan hay’u all-aj’al.
Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena
perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang
dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban-yaitu membayar zakat-maka perbuatan ini dilarang.
Seorang ahli fiqh Iman al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhu, sehingga suatu
perbuatan itu dilarang, yaitu :
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa seseorang melakukan suatu pekerjaan yang
pada dasarnya dibolehkan karena mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir
pada suatu kemafsadatan dan kegunaan yang dilakukan membawa kemafsadatan
Ada dua pengelompokkan dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh Dzari’ah dilihat dari segi
kualitas kemafsadatannya dan dzari’ahnya dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.
Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath’i).
Perbuatan yang dilakukan ini boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan
Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan
Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis pahami bahwa pandangan kita hanya ditujukan kepada patokan
dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi. Jadi di sanalah letak
kedudukan itu ada.
Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung
pendapatnya, yaitu:
1. Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba, sekalipun
sifatnya fhilbah al zhann (dugaan berat), karena dalam banyak kasus, Syari’ sendiri sering
mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al-zhann
2. Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dsar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada
dasarnya dibolehkan, selama rukun dan syaratnyaterpenuhi danm bahwa seseorang harus
terhindar dari segala bentuk kemudaratan.
3. Banyak sekali nash yang menunjukkan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang membawa
kepada kemafsadatanya.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah dari segi ini terbagi kepada:
Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan
mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan
Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk
melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dibagi lagi kepada :
Terdapat perbedaan pendapat ulama tehradap keberadaan sadd al dzari’ah sebagai dalil dalam
menetapkan hukumnya syara’, seperti salah satunya Ulama Malikiyah dan ulama Hanabila menyatakan
bahwa Sadd al-Dzari’’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’:
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat al-An’am ayat 6 : 108.
"Dan janganlah kamu memaki sesambahan yang mereka sembah selain Allah karena nanti mereka akan memaki
Allah dengan tanpa batas tenpat pengetahuan."
Sedangkan ulama lain seperti Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syiah dapat menerima ad-dzari’ah sebagai dalil
dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain.
Ada dua sisi cara memandang dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, yaitu :
1. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baok bertujuan
untuk yang halal maupun yang haram
2. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negatif
Sedangkan ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam Al-Qarafi megnatakan bahwa dzari’ah adakalanya di larang
disebut dengan sadd al-dzariah, dan adakalannya dianjurkan, disebut dengan fath al-dzariah adalah suatu
perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara’.
Namun menurut Wahbah al-Zuhaili apa yang digambarkan ibn Qayyim al-Juaziyah dan Imam al-Qarafi
tersebut bukan termasuk dalam dzari’ah, tetapi termasuk dalam kaidah yang oleh Jumhur ulama ushul fiqh
disebuts ebagau muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Secara etimologi
dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu
Kedudukan dan hukum Dzari’ah dapat dilihat dari berbagai bentuk contoh seperti Masalah zakat, sebelum
waktu haul (batas waktu perhitungan zakat hingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang. Seseorang yang
Ada dua pengelompokkan dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh Dzari’ah dilihat dari segi
kualitas kemafsadatannya dan dzari’ahnya dilihat dari segi jenis kemafsadatannya, Dzari’ah dilihat dari
Segi Kualitas Kemafsadatannya, Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya. Terdapat
perbedaan pendapat ulama tehradap keberadaan sadd al dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan
hukumnya syara’, seperti salah satunya Ulama Malikiyah dan ulama Hanabila menyatakan bahwa Sadd
al-Dzari’’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’
DAFTAR PUSTAKA