Anda di halaman 1dari 8

SUMBER HUKUM ISLAM

A. Istishab
Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna
menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki
mendefinisikannya sebagai:

“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama
karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-
Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)

Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka
keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan
melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada
bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal.
Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal,
yaitu:

1. Istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:

“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”

Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki


utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang
dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari
tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu mengajukan bukti yang
memperkuat pengakuannya.

2. Istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal,
yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
mengharamkannya.”

Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Al-Quran


maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh
hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini,
ulama menghalalkan jerapah.

3. Istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa
lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini
melahirkan kaidah fiqih:

“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu


ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”
Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak
berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur
masih tersisa waktu sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa
orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan
waktu sahur.

4. Istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat
hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti
bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-
Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih
berbunyi:

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas


ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab
merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).

Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu


Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang
belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama
mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam
berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali.

Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad


ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti
dalam masalah hukum waris orang hilang Ulama berbeda pendapat tentang orang
hilang yang tidak jelas status hidup atau matinya; apakah dia dihukumi mati sehingga
hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak atas warisan dari keluarganya
yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak dibagi dan dia
berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal.

Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup
sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari
keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum
asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini masih berlaku sampai ada
dalil yang menegaskan kematiannya.

Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa hartanya


tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya
yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya berlaku untuk
mempertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang baru.
Di sisi lain, imam Ahmad bin HanbalI berpendapat, orang tersebut dianggap
hidup selama empat tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka
dianggap mati, karenanya hartanya diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan
warisan dari keluarganya yang meninggal. (Lihat Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul
Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari,
t.t, halaman 221-222)

Penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum Islam kontemporer


sangat diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas praduga tak
bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti
hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Asas praduga tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-
Ashliyyah”, yaitu Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia
bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Wallahu A’lam.

B. ‘Urf
Secara etimologi Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan
‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Secara terminologi adalah Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka,ataupun suatu
kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi,
dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita mengetahui
bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali apabila ‘urf itu mesti berlaku
atau sering-seringnya berlaku pada perkara tersebut, sehingga masyarakat yang
mempunyai ‘urf tersebut selalu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi
unsur pembentukan ‘urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya
terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian,
maka disebut perbuatan perseoranagan.

Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan ialah


bahwa keluarga dari fihak calon mempelai laki-laki datang ketempat orang tua calon
mempelai perempuan untuk meminangnya.[2] Selain itu, pada adat perbuatan, seperti
kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk
ucapan akad. Dan juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai
“ikan”

1. Macam-macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :

 Dari segi objeknya :

1. Al-‘Urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan).


Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata
“daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging,
sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya
beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat
setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

1. Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja
pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam
acara-acara khusus.

 Dari segi cakupannya:

1. Al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum).

Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya
tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.

1. Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu. Misalnya dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

 Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :

1. Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash
(ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat
kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

1. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).


Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada
dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba,
seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah
dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan
perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan
utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah
tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan
yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut
syara’ tidak boleh saling melebihkan.

1. Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum

Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak mempunyai undang-undang
(hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka.
Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.

Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-
unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam
bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.

Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan hak-hak yang
sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak
memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at Islam juga
membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain dalam
kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang sebaik-
baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan keperdataannya (segi keduniaannya)
dimaksudkan untuk mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu kebiasaan yang
telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai dengan dasar-dasarnya
yang umum.

C. Syazzuz Zariah
Secara etimologi dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu”. Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudaratan”. Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Juziyah (691-751 H/1292-1350 M) ahli fiqh
Hambali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah yang bertujuan kepada yang
dianjurkan.
Oleh sebab itu menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat
umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu : yang dilarang, disebut dengan saad
al- dzari’ah dan yang menuntut untuk dilaksanakan disebut faht al-dzari’ah.

 Saad al- Dzari’ah

Imam al-Syathibi mendefenisikan dzari’ah dengan :l


“Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu
kemafsadatan”
Berdasarkan arti hadits terebut di atas dapat penulis pahami bahwa seseorang melakukan suatu
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan
dicapai berakhir pada suatu kemafsadatan.

Sebagai contoh misalnya :


Pada dasarnya jual beli itu adalah halal, karena jua beli merupakan salah satu sarana tolong menolong
untukmemenuhikebutuhan hidup manusia. Seseorang membeli sebuah kendaraan seharga tiga puluh juga
rupiah secara kredit adalah sah karena pihak penjual memberi keringan kepada pembeli untuk tidak segera
melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu yang dibeli dengan kredit sebesar tiga puluh juga rupiah-dijual
kembali kepada penjual (pemberi kredit) dengan harga tunai sebesar lima belas juga rupiah, maka tujuan
ini akan membawa kepada suatu kemafsadan, karena seakan-akan barang yang diperjual belikan tidak
ada dan pedangang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan saja.

Adapun maksud dan tujuan dari hal tersebut di atas dapat kita pahami secara bersama-sama yakni
pembeli pada saat membeli kendaraan mendapatkan uang sebesar lima belas juta rupiah, tetapi ia
tetap harus melunasi hutangnya (kretid kendaraan itu) sebsar tipa puluh juta rupiah. Jual beli seperti ini
dalam fiqih disebut dengan hay’u all-aj’al.

B. Kedudukan dan Hukumnya


Kedudukan dan hukum Dzari’ah dapat dilihat dari berbagai bentuk contoh seperti :
Masalah zakat, sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat hingga wajib mengeluarkan zakatnya)
datang. Seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian hartanya
kepada anaknya, sehingga berkurang nisbah harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat.

Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena
perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang
dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban-yaitu membayar zakat-maka perbuatan ini dilarang.

Seorang ahli fiqh Iman al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhu, sehingga suatu
perbuatan itu dilarang, yaitu :

1. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemanfsadatan


2. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan
3. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih banyak

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa seseorang melakukan suatu pekerjaan yang
pada dasarnya dibolehkan karena mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir
pada suatu kemafsadatan dan kegunaan yang dilakukan membawa kemafsadatan

C. Pengelompokkan Sadduz Zariah

Ada dua pengelompokkan dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh Dzari’ah dilihat dari segi
kualitas kemafsadatannya dan dzari’ahnya dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.

1. Dzari’ah dilihat dari Segi Kualitas Kemafsadatannya


Imam al-Syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatanya, dzari’ah erbagi kepada empat
macam :

 Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath’i).
 Perbuatan yang dilakukan ini boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan
 Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan
 Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis pahami bahwa pandangan kita hanya ditujukan kepada patokan
dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi. Jadi di sanalah letak
kedudukan itu ada.
Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung
pendapatnya, yaitu:

1. Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba, sekalipun
sifatnya fhilbah al zhann (dugaan berat), karena dalam banyak kasus, Syari’ sendiri sering
mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al-zhann
2. Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dsar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada
dasarnya dibolehkan, selama rukun dan syaratnyaterpenuhi danm bahwa seseorang harus
terhindar dari segala bentuk kemudaratan.
3. Banyak sekali nash yang menunjukkan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang membawa
kepada kemafsadatanya.

2. Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah dari segi ini terbagi kepada:

 Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan
mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan
 Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk
melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.

Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dibagi lagi kepada :

1. Yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemaslahatannya


2. Yang kemafsadatannya lebih besar ari kemaslahatannya

Kedua bentuk dzariah ini, menurutnya, ada empat bentuk yaitu :

1. Yang secara segaja ditujukan untuk suatu kemafsadatannya


2. Pekerjaan yang pada dasarnya diperbolehkan
3. Pekerjaan itu hukumnya boleh dan pelakunnya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan.
4. Suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan

D. Pandangan Ulama tentang Sadduz Zariah

Terdapat perbedaan pendapat ulama tehradap keberadaan sadd al dzari’ah sebagai dalil dalam
menetapkan hukumnya syara’, seperti salah satunya Ulama Malikiyah dan ulama Hanabila menyatakan
bahwa Sadd al-Dzari’’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’:
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat al-An’am ayat 6 : 108.
"Dan janganlah kamu memaki sesambahan yang mereka sembah selain Allah karena nanti mereka akan memaki
Allah dengan tanpa batas tenpat pengetahuan."

Sedangkan ulama lain seperti Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syiah dapat menerima ad-dzari’ah sebagai dalil
dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain.
Ada dua sisi cara memandang dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, yaitu :

1. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baok bertujuan
untuk yang halal maupun yang haram
2. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negatif
Sedangkan ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam Al-Qarafi megnatakan bahwa dzari’ah adakalanya di larang
disebut dengan sadd al-dzariah, dan adakalannya dianjurkan, disebut dengan fath al-dzariah adalah suatu
perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara’.
Namun menurut Wahbah al-Zuhaili apa yang digambarkan ibn Qayyim al-Juaziyah dan Imam al-Qarafi
tersebut bukan termasuk dalam dzari’ah, tetapi termasuk dalam kaidah yang oleh Jumhur ulama ushul fiqh
disebuts ebagau muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Secara etimologi
dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu

Kedudukan dan hukum Dzari’ah dapat dilihat dari berbagai bentuk contoh seperti Masalah zakat, sebelum
waktu haul (batas waktu perhitungan zakat hingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang. Seseorang yang
Ada dua pengelompokkan dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh Dzari’ah dilihat dari segi
kualitas kemafsadatannya dan dzari’ahnya dilihat dari segi jenis kemafsadatannya, Dzari’ah dilihat dari
Segi Kualitas Kemafsadatannya, Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya. Terdapat
perbedaan pendapat ulama tehradap keberadaan sadd al dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan
hukumnya syara’, seperti salah satunya Ulama Malikiyah dan ulama Hanabila menyatakan bahwa Sadd
al-Dzari’’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Anwar al-Baruq fi anuu’ al-Faruq, Jilid II


Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat., Jilid II
Abu Ishaq al-Syatibi, Op cit, Jilid III, hal. 305 dan Jilid IV, 198-200 Ibn Qayyim al-Juziyah,
Al-Bannani, Syarh al-Mahalli ali jam’I al-Jauwimi, Jilid III, hal. 264 dan Muhammad Ibn
Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya, Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2006
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : Ar-Ruzz, 1971
Idris al-sayfi’I al –Ulum, Op Cit, Jilid III, Hal, 272

Anda mungkin juga menyukai