Anda di halaman 1dari 13

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Yang saya hormati Bapak Rahmat Fauzi dan teman-teman diskusi semuanya, berikut tanggapan
lanjutan saya atas tanggapan yang Bapak berikan …
Sumber hukum yang telah disepakati oleh para ulama fiqih adalah Alquran dan al-Sunnah.
Sedangkan yang lainnya; Ijma, Qiyas, Ishtishhab, Istihsan, mashlahah mursalah, Saddu zdara'i,
Urf, istihsan, hukum bagi umat sebelum kita, mazdhab shahabi, ada yang menggunakan dan
adapula yang tidak menggunakan.
Sumber hukum yang disepakati atau Muttafaq oleh ulama Fiqih adalah Al-Qur'an dan Hadits.
Kedua sumber hukum tersebut, sudah sangat jelas dan pasti karena merupakan hukum yang
diturunkan langsung oleh Allah SWT, dan menjadi pedoman atau rujukan utama dalam
berhukum.
Al-quran sebagai Sumber hukum yang disepakati contohnya :
a. Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada
Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari
akhirat.
b. Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. manusia
wajib berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk.
c. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Hukum amaliyah ini ada dua; Mengenai Ibadah dan Mengenai muamalah dalam arti yang
luas.
Hadits (Sunnah) sebagai Sumber hukum yang disepakati contohnya :
a. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah ini sering juga dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan Nabi
saw. yang didengar atau disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat kepada
yang lain. Contoh perkataan Nabi saw : “Tidak ada kemadharatan dan tidak pula
memadharatkan.”
b. Sunnah Fi'liyah
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang diketahui dan disampaikan oleh
sahabat kepada orang lain, seperti cara shalat, cara berwudlu yang dipraktekan Nabi Saw.
Sunnah fi'liyah ini.
c. Sunnah Taqririyah
Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw. atau
sepengetahuan Nabi , namun Nabi diam dan tidak mencegahnya, maka sikap diam dan
tidak mecegahnya, menunjukan persetujuan nabi. hal ini kerena kalaulah Nabi tidak
setuju, tentu Nabi tidak akan membiarkan Sahabatnya berbuat atau mengatakan yang
salah, akrena Nabi itu Ma'sum (terjaga dari berbuan dan menyetujuan sahabat berbuat
kemunkaran, karena membiarkan dan menyetujui atas kemunkaran sama dengan berbuat
kemunkaran. Contohnya Taqrir Nabi saw. terhadap para wanita keluar dari rumah untuk
hadir di mesjid mendengarkan khutbah-khutbah.

Ijma
Jumhur ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa ' ijma ' adalah Kesepakatan seluruh mujtahid
Islam dalam suatu masa sesudah wafat Rasulullah saw.akan suatu hukum syariat yang amali.
Contohnya : Pengangkatan Khalifah Abu Bakar r.a. - hak pusaka nenek 1/6 dari harta
peninggalan - terhijabnya cucu laki-laki dari anak laki-laki oleh anak laki-laki /ibnu 39 - saudara
sebapak mempunyai setatus mengganti saudara seibu-sebapak, Batalnya pernikahan muslimah
dengan non-muslim.
Qiyas
Kata qiyas itu artinya : ukuran, sukatan, timbang/an. Para ahli ushul fiqih memberi definisi Qiyas
secara istilah bermacam-macam:
Mengeluarkan hukum yang sama dari yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan
menghimpun antara keduanya.
Membandingkan yang didiamkan kepada yang dinashkan ( diterangkan) karena ada illat hukum
Contohnya :
Dalam peristiwa yang tidak ditunjukan oleh wahyu sering Rasulullah menetapkan hukumnya
dengan jalan Qiyas, misalnya, saat Rasulullah menjawab pertanyaan Umar r.a. tentang mencium
istri saat shaum, Rasulullah mengqiyaskannya kepada berkumur-kumur waktu shaum, karena
sama illatnya yaitu perbuatan permulaan, maka hukumnya sama tidak merusak shaum.
Istadalla
Secara bahasa kata berasal dari kata / Istadalla artinya : minta petunjuk, memperoleh dalil,
menarik kesimpulan. Imam al-Jurjani, memberi arti istidlal secara umum, yaitu yaitu
menentukan dalil untuk menetapkan sesuatu keputusan bagi yang ditunjukan.
Contohnya :
seorang mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan
Alquran, kemudian al-Sunnah, lalu al-Ijma selanjutnya Alqiyas. Dan jika Ia tidak menemukan
pada Alquran , alSunnah, Al-Ijma dan Qiyas, maka hendaklah mencari dalil lain.
Istishab
Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya ' menemani ' atau ' menyertai'. atau al-
mushahabah : menemani , juga istimrar al-suhbah ; terus menemani. Menurut Istilah ilmu Ushul
Qiqih yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim: Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada
pada sejak semula tetap berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.
Contohnya :
1.Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya
pemilikan seperti karena membeli, warisah, hibah atau wasiat, maka pemilikan tersebut terus
berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukan perpindahan pemilikan pada orang
lain.
2.Orang yang hilang tetap dipandang hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang
menunjukan bahwa dia meninggal dunia.
Mashlahah Mursalah
Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah, berarti prinsip kemaslahatan, kebaikan
yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik atau bermanfaat. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih,
bermakna :
Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dirasakan oleh hukum,
sesuai dengan akal dan tidak terdapat pada asal.
contohnya:
1. Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushhafkan Alquran, memerangi orang yang
membangkang membayar zakat, menunjuk Umar ra. jadi khalifah.
2. Dicetaknya mata uang untuk memudahkan dalam bermuamalah.
3. Adanya penjara bagi orang jahat, untuk mengurangi kejahatan dan kemadharatan.dll.
Istihsan
Istilah Istihsan menurut ahli Ushul Fiqih adalah : Istihsan itu adalah berpindah dari suatu hukum
yang sudah diberikan, kepada hukum lain yang sebandingnya karena ada suatu sebab yang
dipandang lebih kuat. Istihsan yaitu berpindah dari qiyas pada qiyas yang lebih kuat
contohnya: Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya
apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang
kepada bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai
hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia
mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
Qaul shahabi
Adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa
maupun ketetapan hukum, yang didak dijelaskan dalam ayat atau hadits. Yang dimaksud dengan
shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw.
beriman kepadanya, mengikuti serta hidup bersamanya, dalam waktu yang panjang, serta
dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah
saw.
Contohnya :
Keputusan Abu Bakar ra. perihal bagian bebrapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah
1/6 harta peninggalan yang kemudian dibagikan rata antara mereka itu. Tidak ada shahabat yang
membantah keputusan Abu Bakar ra. tersebut, bahkan dalam masalah yang sama Umar ra.pun
memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh shahabat Abu Bakar ra.
tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin karena tidak mendapat
perlawanan dari shahabat, bahkan tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah
itu.
Dzariah
adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau, jalan untuk sampai kepada yang
diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram
pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib,
wajib pula.
Contohnya : Contoh Sanddu Dzariah adalah Menebang dahan pohon yang meliuk di atas jalan
umum, dapat mengakibatkan timbulnya gangguan lalu lintas. Contoh fathhu dzariah adalah
Meninggalkan jual beli pada waktu shalat jum’at, agar dapat melakukan shalat jum’at adalah
wajib.
Urf
Secara etimologi ‘Urf’ berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat.
Menurut kebanyakan ulama ‘ Urf’ dinamakan juga ‘ Adat ‘, sebab perkara yang telah dikenal itu
berulang kali dilakukan manusia. Para ulama ushul Fiqih membedakan antara ‘ Adat ‘ dengan ‘
Urf ‘ dalam kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan
dengan” Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional.
Contohnya :
1). Al-Urf al-Lafdhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadh atau ungkapan
tertentu. Misalnya kata al-walad menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki
saja, sedang anak perempuan tidak masuk dalam lafadh itu.
2). Al-Urf al-Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan. Misalnya;
Kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan makanan tertentu atau minuman tertentu.

Sumber referensi :
H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Orba Sakti, Bandung 1993.
Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, Departemen Agama RI. 1995.

Demikian jawaban dari saya, terima kasih atas tanggapan dan penilaian yang diberikan.

Menurut saudara, proses rujukan pada sumber hukum Islam dalam menyelesaikan kasus dalam
praktik kehidupan sehari-hari harus dilakukan secara berurutan! Sertakan alasannya.
Salam sejahtera, yang saya hormati Bapak/Ibu Dosen Tutor dan teman-teman diskusi semuanya,
berikut jawaban saya atas pertanyaan diskusi 1 yang diberikan…
Pertama-tama, sekedar menambahkan, bahwa mungkin pertanyaan yang ditanyakan lebih
tepatnya adalah ditambahkan kata “Mengapa” menjadi “Mengapa proses rujukan pada sumber
hukum Islam dalam menyelesaikan kasus dalam praktik kehidupan sehari-hari harus dilakukan
secara berurutan? Karena saya perhatikan teman-teman mahasiswa diskusi banyak yang tidak
menjawab sesuai pertanyaan karena kurangnya satu kata tersebut.
Adapun sumber hukum Islam ada tiga macam, yaitu al-Qur’an, as-sunnah, dan Ijtihad.
Pernyataan ini didasarkan sebuah hadist dialog Rasulullah dngn Muadz bin Jabal sebagai
berikut :
Rasulullah : Bagaimanakah kamu akan memutuskan thd suatu perkara yg datang kepadamu?
Muadz : Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah
Rasulullah : Kalau engkau tidak mendapatinya dalam Al-Quran?
Muadz : Saya akan memutuskannya berdasar sunnah Rasulullah
Rasulullah : Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak ada?
Muadz : Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.
Rasulullah : Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq-Nya sesuai dengan apa yang
diridha’I oleh-Nya dan Rasul-Nya.
Berdasarkan Al-Quran Surat An-Nisa dan Hadis yang berasal dari Mu’az bin Jabal
tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sumber hukum Islam terdiri dari tiga jenis. Sumber
hukum Islam tersebut adalah Al-Quran, AsSunah, dan akal pikiran manusia yang memenuhi
syarat untuk berijtihad. Ketiga sumber hukum Islam tersebut memiliki jenjang yang bertingkat.
AlQuran, Sunah, kemudian baru Ijtihad. Dalam menentukan suatu hukum, maka pertama kali
dicari melalui Al-Quran, apabila tidak ada dicari dalam Sunah, apabila masih tidak ditemukan
maka menggunakan Ijtihad dengan dasar Al-Quran dan Sunah. Dalam hal ini, Ijtihad tersebut
tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, kemudian Sunah tidak boleh bertentangan
dengan Al-Quran.
Lalu mengapa dalam proses rujukan pada sumber hukum Islam dalam menyelesaikan kasus
dalam praktik kehidupan sehari-hari harus dilakukan secara berurutan?
Hal ini karena kitab suci Al-Quran merupakan sumber hukum islam yang tertinggi yang diyakini
bersumber dari Sang Pencipta sehingga setiap penyelesaian kasus seharusnya terlebih dahulu
merujuk pada Al-Quran. Sama seperti Pancasila yang menjadi sumber hukum tertinggi di
Indonesia dan UUD 1945 yang menjadi dasar hukum tertinggi di Indonesia, maka segala produk
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat adalah harus merujuk dan tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis yaitu suatu yang dinisbahkan oleh
Rasullullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun sikap belaiu tentang suatu peristiwa. Karena
Rasullullah SAW adalah nabi suci yang menerima langsung ajaran Al-Quran maka sudah tentu
apabila dalam upaya menyelesaikan kasus dalam praktik kehidupan sehari-hari tidak
menemukannya di Al-Quran, haruslah merujuk kepada setiap perkataan, perbuatan, maupun
sikap Rasullullah SAW, karena itu dianggap sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-
quran.
Alasan lainnya adalah apabila tidak dilakukan secara berurutan, misalnya mencari cara
penyelesaian dengan melalui cara Ijtihad dahulu maka dikhawatirkan apabila akal pikiran yang
dipakai ternyata kurang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah, akan mengakibatkan
kekeliruan dalam menyelesaikan sebuah kasus, karena akal pikiran manusia cenderung
mengambil keputusan dari sudut pandang sendiri yang egoistik.
Sedangkan apabila hanya langsung merujuk kepada Sunnah dalam mencari cara penyelesaian
kasus, tanpa mencari di Al-Quran terlebih dahulu, dikhawatirkan pula akan timbul penafsiran
yang keliru terhadap apa yang dikatakan maupun diperbuat oleh Rasullullah SAW. Sebaliknya
kalau dalam menyelesaikan kasus, dilakukan secara berurutan dengan mulai mencari dari Al-
Quran terlebih dahulu, maka diharapkan penyelesaian kasus tersebut akan menghasilkan proses
yang sesuai hukum islam dan bisa lebih terhindar dari kekeliruan maupun kesalahan dalam
mengambil keputusan.
Demikian jawaban dari saya, terima kasih atas tanggapan dan penilaian yang diberikan.
Sumber Referensi :
BMP UT HKUM4408 Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama Modul 2
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang saya hormati Bapak Rahmat Fauzi dan teman-teman diskusi semuanya, berikut tanggapan
lanjutan saya atas tanggapan yang Bapak berikan …
Mohon maaf Sebelumnya, karena Bapak bilang pendapat saya tidak ada dalam pembahasan di
atas, padahal alasan-alasan yang saya kemukakan tentang pertanyaan “mengapa dalam proses
rujukan pada sumber hukum Islam dalam menyelesaikan kasus dalam praktik kehidupan sehari-
hari harus dilakukan secara berurutan, semua adalah murni berasal dari pendapat dan
pemahaman saya sendiri”, untuk itu saya akan melampirkan kembali tanggapan saya terkait
pertanyaan Bapak dan menambahkan jawaban atas pertanyaan lain yang Bapak berikan, yakni
mengenai pembagian sumber hukum yang di sepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati
para ulama...
Lalu mengapa dalam proses rujukan pada sumber hukum Islam dalam menyelesaikan kasus
dalam praktik kehidupan sehari-hari harus dilakukan secara berurutan?
Hal ini karena kitab suci Al-Quran merupakan sumber hukum islam yang tertinggi yang diyakini
bersumber dari Sang Pencipta sehingga setiap penyelesaian kasus seharusnya terlebih dahulu
merujuk pada Al-Quran. Sama seperti Pancasila yang menjadi sumber hukum tertinggi di
Indonesia dan UUD 1945 yang menjadi dasar hukum tertinggi di Indonesia, maka segala produk
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat adalah harus merujuk dan tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis yaitu suatu yang dinisbahkan oleh
Rasullullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun sikap belaiu tentang suatu peristiwa. Karena
Rasullullah SAW adalah nabi suci yang menerima langsung ajaran Al-Quran maka sudah tentu
apabila dalam upaya menyelesaikan kasus dalam praktik kehidupan sehari-hari tidak
menemukannya di Al-Quran, haruslah merujuk kepada setiap perkataan, perbuatan, maupun
sikap Rasullullah SAW, karena itu dianggap sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-
quran.
Alasan lainnya adalah apabila tidak dilakukan secara berurutan, misalnya mencari cara
penyelesaian dengan melalui cara Ijtihad dahulu maka dikhawatirkan apabila akal pikiran yang
dipakai ternyata kurang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah, akan mengakibatkan
kekeliruan dalam menyelesaikan sebuah kasus, karena akal pikiran manusia cenderung
mengambil keputusan dari sudut pandang sendiri yang egoistik.
Sedangkan apabila hanya langsung merujuk kepada Sunnah dalam mencari cara penyelesaian
kasus, tanpa mencari di Al-Quran terlebih dahulu, dikhawatirkan pula akan timbul penafsiran
yang keliru terhadap apa yang dikatakan maupun diperbuat oleh Rasullullah SAW. Sebaliknya
kalau dalam menyelesaikan kasus, dilakukan secara berurutan dengan mulai mencari dari Al-
Quran terlebih dahulu, maka diharapkan penyelesaian kasus tersebut akan menghasilkan proses
yang sesuai hukum islam dan bisa lebih terhindar dari kekeliruan maupun kesalahan dalam
mengambil keputusan.
Tanggapan mengenai pembagian sumber hukum yang di sepakati dan sumber hukum yang tidak
disepakati para ulama...
Dalam Islam ketentuan sumber hukum terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum yang disepakati
dan sumber hukum yang tidak disepakati. Sumber hukum Islam yang disepakati diantaranya
yaitu Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum Islam yang tidak disepakati
yaitu Istihsan, Istihsab, Maslahah mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man
Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber
hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat
dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Sumber hukum yang disepakati para ulama
1. Alquran
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-
hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari
pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-
perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang
ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia,
baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain ibadat
menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
2. As-Sunnah atau al-hadits
As-Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan),
fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal
tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3
macam, yaitu:
1) Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam
agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau
melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-
rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan
oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
3. Ijma
Ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah
Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat
suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu
waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut.
Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
1) Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi
fatwa atau memberi keputusan.
2) Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya
tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua
bagian juga yaitu sebagai berikut.
1) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan
lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum
syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
2) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat
mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil
ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
4. Al-Qiyas
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul
Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang
ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua
kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu
perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-
Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat
memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
Sumber hukum yang tidak disepakati para ulama
1. Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-
Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia
telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang
berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.”
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah
yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan
pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak.
2. Isthisab
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam
disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih,
diantaranya adalah Definisi al-Asnawy yang menyatakan bahwa Istishhab adalah penetapan
(keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu
telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut)”.
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu
ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah
penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada
dalil yang merubahnya”.
3. Mashalihul mursalah
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua
terma yaitu adanya manfaat dan menjauhkan madharat. Terkadang maslahat ini ditinjau dari
aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha
bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk
menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak yaitu maslahat yang secara khusus tidak
dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
4. Urf
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang
diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh
manusia dan mereka menjadikannya tradisi.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk
madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara.
Sumber referensi :
Sulaiman Abdullah. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Nasrun Rusli.1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Logos.

Anda mungkin juga menyukai