Anda di halaman 1dari 5

USHUL FIQIH

MATERI KE 6 : SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI

A. ‘URF
1. Pengertian
Secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik, sedangkan secara istilah adalah
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas/masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari baik baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sehingga ‘urf bisa berupa
perkataan atau perbuatan.
2. Macam-macam
a. ‘Urf bisa berupa :
- Perkataan : kata/lafadz yang biasa digunakan oleh suatu masyarakat tertentu,
contoh walad bermakna kata laki-laki bukan anak perempuan secara urf
padahal secara bahasa kata walad itu bermakna anak baik laki maupun
perempuan. Contoh lain adalah daging menurut urf itu untuk hewan di darat
saja sedangkan dalam laut maksudnya ikan padahal kata bahsa di Al-Quran
maksud lahmun adalah kata daging baik didarat maupun laut. Contoh lain
dahaba menurut urf bermakna hewan berkaki empat seperti kambing sapi dll
padahal makna aslinya itu segala hewan yang berjalan di muka bumi berarti
tidak hanya yang berkaki empat tapi juga berkaki dua. Semisal di jawa
mengatakan menjual motor seharga 4000 pulung berarti 4 juta secara ‘urf
padahal makna asli pulung itu lubang.
- Perbuatan : segala perbuatan/kegiatan yang biasa dilakukan oleh suatu
masyarakat. Misalnya saja jual beli tanpa ada ijab qobul tapi langsung secara
perbuatan memberi, orang menikah menyebutkan mahar seperangkat alat
sholat yang maksudnya berupa mukena, al-Qur’an, dll. Contoh lain adalah
masuk ke toilet umum bayar 2000 untuk buang air kecil sesuai ketentuan
meskipun tidak ada ukuran seberapa lama dia di toilet maupun seberapa
banyak air digunakannya, hidangan untuk dimakan oleh tamu yang boleh
dimakan tanpa tamu tersebut mengucap permisi.
b. Ditinjau dari sisi syariah maka berstatus :
- ‘Urf sahih : ‘urf yang diperbolehkan syara’, tidak bertentangan nash syara’,
tidak bertentangan kemaslahatan, tidak mendatangkan mafsadat maka
diperbolehkan. Misalnya tradisi memberi makan/upah bagi seorang majikan
kepada karyawan, pemberian laki-laki kepada wanita saat melamarnya,
slametan atau kenduri.
- ‘Urf fasid : ‘urf yang bertentangan dengan nash syariah, bertentangan dengan
kemaslahatan yang diakui oleh syara’, dapat mendatangkan mafsadat maka
tidak diperbolehkan. Misalnya, urf yang menghalalkan yang haram, urf yang
mengharamkan yang halal. Seperti adat istiadat bermain kartu di rumah orang
yang punya hajatan, menyembelih hewan ditempat tertentu yang dianggap
keramat, berpesta, berfoya-foya, membuat kerusakan-kerusakan, mengisi
tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, membagi rata warisan.
c. ‘Urf berdasarkan cakupannya :
- Urf Am (Umum) : dilakukan masyarakat luas yang bisa dipahami oleh
masyarakat umum, contoh perkataan suami pada istri tentang haram aku
menggaulimu maka itu masuk talak, bayar toilet sukarela,
- ‘Urf khas (khusus) : dilakukan masyarakat tertentu yang bisa dipahami oleh
masyarakat tertentu, misal tradisi daerah jawa utara bahwa wanita melamar
pihak laki-laki untuk menikah dengannya.
3. Kehujjahan ‘urf :
Para ulama’ mengakui bahwa urf bisa dijadikan hujjah syari’ah dengan salah
satu kaidah bahwa adat kebiasaan bisa dijadikan hukum, suatu perkataan/perbuatan
yang baik yang sudah menjadi urf maka bisa d. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa
dalil yang dijadikan dasar urf adalah QS. Al-Anfal ayat 199 “suruhlah orang-orang
berbuat yang ma’ruf “ , namun sebagian ulama’ mengatakan itu lemah sehingga tidak
bisa dijadikan dasar tapi ada yang mengatakan bahwa hadits Nabi “segala apa yang
dipandang orang Islam itu baik maka baik juga menurut Allah swt.” Namun ada yang
mengatakan itu hadits mauquf atau lemah.
Urf diakui oleh syariat Islam meski secara hakikat tidak ada dalil yang benar-
benar dijadikan sebagai patokan kehujjahan urf oleh karena itu ada beberapa
pertimbangan sbb : manusia selalu berhubungan dengan adat kebiasaan, jika adat
kebiasaan tidak diakomodasi maka akan menyulitkan manusia itu sendiri. Seluruh
ulama’ sepakat dengan adanya urf sahih untuk pertimbangan ijtihadnya para ulama’
dan menolak urf fasid. Madzhab hanafi selalu menggunakan urf sebagai dasar hukum
dalam menentukan ilmu fiqih. Pada dasarnya masing-masing madzhab sepakat
menggunakan urf.
4. Syarat-syarat penggunaan Urf :
a. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits
b. Berlaku dan bersifat umum
c. Urf harus sudah ada sebelum muncul pemasalahan untuk penentuan suatu hukum
d. Tidak ada ketegasan antara pihak-pihak terkait yang berbeda dengan pihak
setempat
B. Syadzuz Dzariah
1. Pengertian :
Syad : menyumbat/menutup
Dzariah : segala perantara dan jalan kepada sesuatu yang bersifat merusak
Maknanya menutup segala perantara/ jalan yang menuju kerusakan. Contoh
larangan menjual beras untuk membeli bahan minuman keras. Larangan
meminjamkan HP untuk hal perzinahan. Larangan menyewa rumah untuk
pelacuran. Dll.
2. Macam-macam :
a. Qathi : jalan kerusakan yang pasti dan jelas mengarah pada kerusakan, oleh
karena itu ulama’ sepakat mengharuskan jalan tersebut untuk ditutup.
Misalnya menjual anggur kepada penjual arak untuk dijadikan minuman keras.
Menjual senjata untuk si pembunuh, menyewa kamar untuk perzinahan, dll.
b. Dzanni : bersifat dugaan atau eblum pasti itu akan mengarah pada kerusakan.
Jika kerusakan itu mengarah ke kepastian dengan dugaan yang kuat maka
wajib ditutup. Misalnya jual beli yang diduga ada unsur riba. Jika dugaan
kemaslahatan itu kuat sedngakan mafsadatnya lemah maka tidak boleh ditutup
misalnya menanam anggur yang mungkin nanti digunakan untuk makan tanpa
dijadikan arak.
3. Kedudukan :
Malikiyah dan Hanabillah bahwa sya’dud dzariah ini dijadikan sumber hukum
islam yang mana dalam QS. Al-An’am ayat 108 yang intinya “janganlah kamu
memaki sembahan orang musyrik agar mereka tidak memaki Allah swt”. Di hadist
pun dijelaskan. Kemudian madzah Hanafiyah dan syafi’iyah secara eksplisit tidak
menjadikan hal ini sebagai dasar hukum Islam namun secara implisit
menerimanya.
Selanutnya madzhab dzariah secara pasti menolak adanya sya’dud dzariah.
C. Madzhab Sahabi
1. Pengertian : pendapat para sahabat nabi atas suatu kasus yang mana hukumnya
tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Yang dimaksud dengan sahabat
nabi adalah orang Islam yang menyaksikan kehadiran nabi dan tinggal bersama
serta menimba ilmu dari Nabi seperti khulafaur rasyidin, aisyah, dll. Contoh
pendapat umar tentang lelaki yang menikahi wanita saat masa iddah dengan
hukuman laki-laki tersebut tidak boleh menikahi wanita tersebut selama-lamanya.
Pendapat aisyah tentang batas terlamanya wanita hamil adalah dua tahun.
Apakah madzab sahabi bisa dijadikan dasar saat seorang mujathid untuk
memfatwakan suatu hukum, maka ada penjelasan sbb:
a. Ucapan para sahabat yang tidak dinilai pendapat dan bukan dari ijtihad mereka
maka bisa dijadikan hujjah sehingga masuk ke sunnah nabi yang kemungkinan
itu berasal dari Nabi. Seperti ucapan sahabat Ibnu Mas’ud tentang haid yang
paling sedikit adalah tiga hari, dan ada sahabat mengatakan paling sedikit
amhar adalah 10 dirham.
b. Ucapan para sahabat yang disepakati oleh semua sahabat bisa dijadikan hujjah
maka ini namanya ijma’ yang mana hal tersebut tidak ada keraguan sehingga
bisa dijadikan dasar hukum
c. Ucapan sahabat tapi berbeda-beda semisal sayyidah aisyah begini sedangkan
ali begitu maka hal ini bukan hujjah dan tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Para ulama’ pun sepakat tentang hal itu.
D. Syar’u man qoblana
1. Pengertian : hukum-hukum yang disyariatkan Allah untuk umat-umat terdahulu
sebelum kedatangan Nabi Muhamamd Saw.
2. Kedudukan:
a. Yang tidak tercantum dalam Al-Quran dan Hadits maka sudah tidak berlaku
lagi untuk kita
b. Yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits tapi juga ada ketegasan hukum
tersebut tidak berlaku maka tidak berlaku lagi untuk kita misalnya QS. Al-
An’am bahwa berlakunya kuku jari hewan untuk orang-orang yahudi
c. Yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits dan ada keterangan hukum
tersebut masih berlaku maka hukum tersebut harus tetap diajlankan misalnya
syariat berhaji, berpuasa, menyembelih qurban.
d. Yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits tapi tidak ada dalil itu berlaku
maupun tidak berlaku atas ketegasan hukum tersebut berlaku misalnya
ketentuan dalam kitab taurat “jiwa dibalas dengan jiwa...” berlaku di qishas
saja namun di QS. Al-Baqarah ayat 177 berkenaan dengan qishas dalam hal
pembunuhan. Maka sebagian ulama’ seperti madzhab hanafi masih tetap
berlaku dan bisa dijadikan hujjah dengan alasan pada dasarnya syariat itu
datang dari Allah Swt.

Anda mungkin juga menyukai