Anda di halaman 1dari 6

A.

Bnnnnnnnnn
B. Pembagian Sunnah
Sunnah dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu :
1. Dari segi bentuknya
a. Sunnah Qauliyah (perkataan nabi).
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Yang ia
riwayatkan dari Qutaibah Ibnu Umar, Al Laits, Ibnu Syihab, Abdullah Bin
Abdullah Ibnu Umar, Abdullah Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW. Dalam
hadits tersebut disebutkan bahwa sambil berdiri di mimbar Rasulullah
bersabda yang artinya, “Barang siapa diantara kamu hendak melakukan shalat
Jum’at hendaklah mandi”.

b. Sunnah Fi’liyah (perbuatan nabi).


Sunnah ini adalah perbuatan Nabi yang dilihat atau diketahui dan
disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Misalnya tata cara dan
rukun shalat lima waktu yang dilakukan Nabi melalui sabdanya yang berarti,
"Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

c. Sunnah Taqririyah (ketetapan/perizinan nabi).


Sunnah ini adalah ketetapan Nabi SAW, yaitu suatu perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat pada zaman Nabi SAW dan nabi tidak melarangnya
dan tidak pula melakukannya. Diantaranya hadits riwayat Abu Daud-Shahih
menurut Al Daraquthni-dari Anas Ibnu Malik R.a yang artinya, “Sahabat
Nabi SAW pada zaman Nabi SAW menunggu datangnya shalat Isya’ hingga
(kepalanya tertunduk), kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu terlebih
dahulu.” (Ibnu Hajar Al-As-Qalani,t.th:25)

d. Ulama Syariah juga mengelompokkan sunnah ke dalam dua kelompok yaitu :


1) Sunnah tasyri’iyah merupakan perbuatan atau kebiasaan Nabi SAW yang
berimplikasi pada hukum syariat, seperti bidang ibadah, muamalah, dan
perintah atau larangan lainnya, semuanya wajib diteladani dan mengikat
semua umat islam.
2) Sunnah ghairu tasyri’iyah merupakan perbuatan atau kebiasaan Nabi
SAW yang tidak berimplikasi pada hukum syariat. Misalnya hal-hal yang
berkaitan dengan adat kebiasaan beliau sebagai manusia biasa atau
sebagai orang Arab yang mungkin menyenangi jenis-jenis makanan
tertentu atau model pakaian tertentu dan lainnya serta memelihara
jenggot merupakan tabiat dari seorang manusia yang dapat dipengaruhi
oleh linkungan atau adat istiadat setempat. Kebiasaan ini tidak wajib
secara syar’i untuk diikuti, namun juga tidak salah bila diikuti bahkan
mungkin dianggap sesuatu yang terpuji karena ditiru dari perbuatan Nabi
SAW.

2. Dari segi kualitasnya


Ditinjau dari segi kualitas hadits dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Hadits Shahih.
Menurut bahasa berarti hadits yang bersih dari cacat, hadits yang
benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits shahih, yang diberikan
oleh ulama, yang artinya, “Hadits shahih adalah hadits yang susunan lafadnya
tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir,
atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
Syarat hadis shahih adalah :
1) Diriwayatkan oleh perawi yang adil
2) Kedhabitan perawinya sempurna
3) Sanadnya bersambung
4) Tidak ada cacat atau illat
5) Matannya tidak syaz atau janggal

b. Hadis Hasan.
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam
Turmuzi hadis hasan adalah yang artinya, “yang kami sebut hadis hasan
dalam kitab kami adalah hadis yang sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap
hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang
dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad
yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”
Syarat hadits hasan adalah :
1) Para perawinya adil
2) Kedhabitan perawinya di bawah perawi hadits sahih
3) Sanadnya bersambung
4) Tidak mengandung kejanggalan pada matannya
5) Tidak ada cacat atau illat

c. Hadis Dha’if.
Menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki
dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal
dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif, yang artinya, “Hadis
dha'if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.” Jadi hadits dha'if itu bukan saja
tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, melainkan juga tidak memenuhi
syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits dha'if itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.

3. Dari segi jumlah orang yang meriwayatkannya


a. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir menurut lughat adalah mutatabi yang berarti beriring-
iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut
istilah adalah suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.
Hadits mutawatir merupakan suatu (hadits) yang diriwayatkan
sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta,
hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat
kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Contohnya adalah Rasul SAW bersabda: “Barangsiapa berbuat dusta
atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat
tinggalnya di neraka”. Hadits ini diriwayatkan dari Nabi SAW dengan redaksi
yang sama oleh lebih dari tujuh puluh orang sahabat.
b. Hadits Masyhur
Merupakan hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua.
Hadits ini ada yang berkualitas shahih, hasan dan ada juga yang dha’if.
Contohya adalah Rasul SAW bersabda: “ Bila salah seorang diantara
kamu hendak mendirikan shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi”. Hadits ini
diriwayatkan dari Nabi SAW melalui banyak sanad.

c. Hadits Ahad
Adalah hadits yang diterima dari Nabi Muhammad SAW secara orang
perorangan sampai kepada rawinya yang terakhir. Hadits ini diterima dan
disampaikan secara berantai dari satu orang ke satu orang yang lainnya,
begitu seterusnya.

4. Dari segi diterima atau tidaknya


a. Maqbul yaitu hadis yang mesti diterima.
b. Mardud yaitu hadis yang mesti ditolak.

5. Dari segi orang yang berbuat atau berkata


a. Marfu yaitu nabi yang pernah bersabda berbuat dan membuat ketetapan.
b. Mauquf yaitu sahabat yang berbuat, nabi tidak menyaksikan.
c. Maqtu, yaitu tabi`in yang berbuat yang berhubungan dengan keagamaan.

C. Fungsi dan Peranan Sunnah

Ditinjau dari segi fungsinya, sunnah mempunyai hubungan yang sangat kuat
dan erat sekali dengan al-Qur’an. Sunnah al-Nabawiyah mempunyai fungsi sebagai
sebagai penafsir al-Qur’an dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah SWT dalam
perintah dan hukum-hukum-Nya. Dan jika ditinjau dari segi dilalah-nya (indeksial)nya
terhadap hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an, baik secara global maupun rinci,
status sunnah dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu :

1. Sebagai pengukuh (ta’kid) terhadap ayat-ayat al-Qur’an.


Sunnah dikaitkan sebagai pengukuh ayat-ayat al-Qur’an apabila makna
yang terkandung di dalamnya cocok dengan dengan makna yang terkandung di
dalam ayat-ayat al-Qur’an.
2. Sebagai penjelas terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an. Hadits ini terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu :
a. Menjelaskan ayat-ayat mujmal.
b. Membatasi lafaz yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an.
c. Mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.
d. Menjelaskan makna lafaz yang masih kabur

3. Menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an.


Contoh sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadits-hadits yang
menetapkan hukum haram mengawini (poligami) seorang perempuan beserta
bibinya, riba fadhl, dan makan daging himar piaraan.

4. Menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an.


Contohnya hadits yang menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an
tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua,
atau kerabat-kerabat waris lainnya.

Maka fungsi-fungsi dari hadits atau as-Sunnah terkait dengan al-Qur’an adalah:

1. As-Sunnah sebagai pemerinci, penafsir ayat-ayat yang mujmal (global) dari al-
Qur’an.
2. As-Sunnah memberikan taqyiid (batasan).
3. As-Sunnah memberikan takhshiish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang mutlak dan ‘aam.

Menurut Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata, hubungan as-Sunnah dengan al-


Qur’an ada tiga macam, yaitu :

1. Terkadang as-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam
al-Qur’an.
2. Terkadang as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang
disebut mujmal (global) dalam al-Qur’an.
3. Terkadang as-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an.
Menurut Amir Syarifuddin, fungsi sunnah terhadap al-Qur’an sebagai berikut :

1. Fungsi Taqrir, yaitu memperkokoh hukum yang sudah ditetapkan al-Qur’an.


2. Fungsi Tafsir/tafshil, yaitu menafsirkan atau merinci ayat-ayat al-Qur’an yang
mengandung pengertian secara global.
3. Fungsi Taqyid, yaitu memberikan batasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
mengandung pengertian secara mutlak.
4. Fungsi Ististna, yaitu memberikan pengecualian terhadap pernyataan al-Qur’an
yang bersifat umum.

Anda mungkin juga menyukai