Anda di halaman 1dari 17

SUNNAH

Disusun oleh :
Rifdah Salsabila
Moh. Rendy Alfaizi
PENGERTIAN
SUNNAH
Sunnah secara harfiyah berarti perjalanan, pekerjaan, atau cara. Secara terminologis,
menurut hukum Islam ialah segala perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad
SAW.
Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadits, yaitu : seluruh yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW. baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang
sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah “segala yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.”.
Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan para
ulama’ ushul fiqh diatas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taqlifih, yang
mengandung pengertian-pengertian perbuatan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat siksa (tidak berdosa).
MACAM-MACAM
SUNNAH
Pembagian hadist atau sunnah dapat didasarkan dari berbagai pendekatan. Ada beberapa pendekatan yang
biasa digunakan untuk menentukan pembagian tersebut. Pembagian yang didasarkan pada pendekatan
sumbernya. Berdasarkan pendekatan ini, maka hadist dibagi menjadi : Hadist Qudsi dan Hadist Nabawi.

Hadist Qudsi adalah hadist yang maknanya dari Allah SWT. dan lafadznya dari Rasul Allah. Dan Hadits
Nabawi maksudnya hadist dan makna lafadz kata-katanya sepenuhnya berasal dari nabi, hal ini dibagi kepada
tiga macam, yaitu :
1. Sunnah Qauliyah (perkataan),yaitu macam-macam sunnah yang berasal dari ucapan Nabi Muhammad
SAW. Pengertian Sunnah Qauliyyah adalah ucapan Rasulullah yang didengar atau disampaikan oleh
seseorang atau beberapa sahabat. Macam sunnah ini cenderung berisi tuntunan yang berkaitan dengan
pembinaan hukum agama. Sunnah ini juga bisa berupa penjelasan tentang makna-makna yang terkandung
dalam ayat Al-Qur'an. Sunnah ini juga disebut dengan sabda nabi yang menjadi sumber dari Hadis. Sunnah
Qauliyyah umumnya identik dengan hadis karena ucapan Rasulullah dicatat oleh para sahabat dan disebut
"hadits". Contoh :
a. Hadis tentang penentuan puasa Ramadan
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban
karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh
hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim)
b. Hadis tentang membaca al fatihah saat salat
"Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca surat al Fatihah." (HR. Bukhari-Muslim)
c. Hadis tentang makan dan minum
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, hendaklah ia membaca ‘Bismillah’ (dengan menyebut
nama Allah). Jika ia lupa membacanya sebelum makan maka ucapkanlah ‘Bismillaahi fii awwalihi wa
aakhirihi.” (HR. At-Tirmidzi)

2. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan), yaitu Sunnah fiiliyyah adalah sunnah yang berasal dari perbuatan Nabi
Muhammad SAW. Perbuatan ini dilihat, diketahui, dan disampaikan para sahabat kepada orang lain.
Sunnah ini bersumber dari segala bentuk perbuatan Nabi. Tindakan yang dimaksud dalam sunnah ini,
termasuk tindakan agama dan duniawi. Sunnah fiiliyyah biasanya terkait dengan penjelasan soal ibadah,
dan penyelenggaraan hukum Islam. Contoh sunnah fiiliyyah seperti tata cara salat, puasa, haji, sedekah,
dan semacamnya. Contoh :
a. Hadis mencuci tangan sebelum makan
Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:
“Rasulullah SAW jika beliau ingin tidur dalam keadaan junub, beliau berwudhu dahulu. Dan ketika beliau
ingin makan atau minum beliau mencuci kedua tangannya, baru setelah itu beliau makan atau minum.”
(HR. Abu Daud no.222, An Nasa’i no.257, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i)
b. Hadis tentang keistimewaan kucing
“Ketika Nabi Muhammad akan berwudhu dihampiri oleh seekor kucing dan kucing tersebut minum di
bejana tempat beliau wudhu. Nabi berhenti hingga kucing tersebut selesai minum lalu berwudhu”. (HR
Muslim).
c. Hadis tentang salat sunnah
"Nabi SAW melakukan sholat sejumlah sebelas rakaat. Itu lah sholat beliau." dan "Beliau
melaksanakan sholat malam sebanyak tiga belas rakaat."(Hadis riwayat Bukhari)

3. Sunnah Taqririyah (Persetujuan), yaitu sunnah yang berasal dari respons Rasulullah terhadap segala
perbuatan sahabat yang diketahuinya. Sunnah ini berupa perbuatan atau ucapan sahabat yang
dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW. Tetapi Nabi hanya diam dan tidak
mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah dari Nabi Saw menunjukkan persetujuan (taqriri) Nabi
SAW terhadap perbuatan sahabat tersebut. Sunnah Taqriyyah meliputi persetujuan Nabi Muhammad
SAW tentang tindakan para sahabat yang terjadi dalam dua cara yang berbeda. Pertama, ketika
Rasulullah mendiamkan suatu tindakan dan tidak menentangnya. Kedua, ketika Rasulullah
menunjukkan kesenangannya dan tersenyum atas tindakan seorang sahabat. Contoh :
a. Hadis tentang tayamum
Dari Abu Sa'id Al Khudri radliallahu 'anhu ia berkata: "Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah
perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka berdua
bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian keduanya mendapati air (dan
waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi shalatnya dengan air wudhu
dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: 'Kamu
sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup'. Dan beliau juga berkata kepada yang berwudhu
dan mengulangi shalatnya: 'Bagimu pahala dua kali'
b. Hadis tentang daging dhabb
Hadis ini menceritakan ketika Rasulullah dijamu daging dhabb (sejenis biawak), namun rasul tidak
memakannya. Kemudian ada sahabat yang menanyakan apakah daging tersebut halal atau tidak.
”Apakah makanan ini haram ya Rasulullah? Lalu rasul menjawab,” Tidak, hanya saja makanan ini
tidak terdapat pada kaumku dan aku tidak menyukainya.”
Pembagian hadits dari segi kualitasnya :
 Mutawatir
Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar “al-tawatur” semakna
dengan “at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-beriringan seperti kata “tawatara al-
matharu” yang berarti hujan turun berturur-turut.
Menurut istilah, hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua
thabaqat (generasi) yagn menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk
berdusta.
Contohnya : Perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.

 Masyhur
Hadist masyhur dipahami sebagai suatu hadist yang telah dikenal dikalangan para ahli ilmu tertentu atau
dikalangan masyarakat umum tanpa memperhatikan ketentuan syarat di atas, yakni banyaknya perawi
yang meriwayatkannya, sehingga kemungkinannya hanya mempunyai satu jalur sanad saja atau bahkan
tidak berasal (bersanad) sekalipun.
Contohnya : seperti hadist yagn diriwayatkan Anas ra.
 Ahad
Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti : satu (hadist wahid)
berarti hadist yang diriwayatkan satu perawi. Menurut istilah, hadist ahad adalah :

Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak
mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan
terdapat dalam kitab-kitab referensi jenis hadist ahad.
Contohnya : Hadist Nabi Muhammad SAW.
Pembagian hadist menurut perawinya :
 Shahih
Kata Shahih (‫ )ص@@حيح‬dalam pengertian bahasa, diartikan sebagai orang sehat antonim dari kata as-saqim
(@‫ )س@@قيم‬artinya orang yang sakit. Jadi yang dimaksudkan hadist shahih adalah hadist yang sehat dan
benar tidak terdapat penyakit dan cacat.

Imam As-Suyuthi mendefinisikan hadist shahih dengan “hadist yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh ar-rawiy (periwayat) yang ‘adil dan dhabith, tidak syadz dan tidak ber’illat.
Syarat-syarat Hadist Shahih :
• Sanadnya bersambung
• Ar-Rawiy (periwayat)-nya bersifat ‘adil
• Ar-Rawiy (periwayat)-nya bersifat dhabith
• Tidak syadz
• Tidak ber’illat
 Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu “indah”. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama bebeda pendapat dalam mendefinisikan
hadist hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara hadist shahih dan hadis dha’if,
dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari
definisinya yaitu :
 Al-Khaththabi : “hadist yang diketahui tempat keluarnya, dan telah masyhur ar-ruwat (para
periwayat) dalam sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadist, dan yang diterima
kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fuqaha’.”.

 Maudhu’
Dari segi bahasa, maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang berarti mengada-
ada atau membuat-buat. Bila dikaitkan dengan Hadist maka berarti mengada-adakan hadist atau
memalsukan hadist. Menurut ilmu hadist, Hadist Maudhu’ berarti hadist yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW. yang Rasulullah SAW. sendiri tidak pernah mengerjakan, berbuat, dan
memutuskannya. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Hadist Maudhu’ berarti kebohongan yang
dibuat dan diciptakan serta disandarka kepada Rasulullah SAW.

 Dha’if
Kata “Dha’if” menurut bahasa berasala dari kata “dhu’fun” yang berarti lemah lawan dari kata “qawiy”
yang berarti kuat, sedangkan hadist sha’if berarti hadist yang tidak memenuhi kriteria hadist hasan.
Hadist Dha’if disebut juga hadist mardud (ditolak). Contoh Hadist Dha’if adalah hadist yang artinya :

“bahwasannya Nabi Muhammmad SAW wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya.”
Hadits tersebut dikatakan Dha’if karena diriwayatkan dari Abu Qais Al-Audi, seorang rawi yang masih
dipersoalkan.
Secara termonologis, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya. Namun demikian,
secara substansial kesemuanya memiliki persamaan arti. Imam Al-Nawawi, misalnya mendefiniskan
Hadits Dha’if dengan hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-
syarat hadits hasan. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Hadits Dha’if didefiniskan
sebagai segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Nur al-Din itr merumuskan
Hadits Dha’if dengan hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits
yang shahih atau hadits yang hasan).
Berdasarkan definisi rumusan diatas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat
dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan, maka Hadits tersebut dapat dikategorikan
sebagai Hasan Dha’if.

Macam-macam dha’if
Hadits Dha’if dapat idbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Hadits Dha’if karena gugurnya rawi
dalam sanadnya, dan hadits dha’if karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits Dha’if karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan samad, maupun pada pertengahan atau
akhirannya. Ada beberapa nama bagi hadits dha’if yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara
lain:
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan
bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya diakhir sanad. Yang dimaksud dengan
rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
Penentuan awal dan akhir sanad ialah rawi adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat
dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat
dengan Rasulullah. Jadi, hadits mursal adalah hadits dlam sanadnya tidak menyebutkan sahabat
Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :

‘Rasulullah bersabda, “Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri
jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya.”.’

2) Hadits Munqathi’
Hadits Munqathi’ menurut emitologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan
bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang
akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang
gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut
tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’ :
“Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam masjid, membaca ‘dengan nama Allah dan sejahtera
atas Rasulullah; Ya Allah ampunlah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu.”

3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan
para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih,
secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha”
yang berbunyi; Imam Malik berkata: Telah sampai kepadaku, daru Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.”

4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama
tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga
bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh : Bukhari berkata :Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.”


b. Hadits Dha’if karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi.
Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya,
dan menyalahi rawi-rawinya yang dipercaya.
Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan
terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
1) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-
orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai
urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk :

“Rasulullah SAW bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-
sungguh.”

2) Hadits Munkar
Hadits munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari aau tidak dikenal. Batasan yang
diberikan para ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkakn zakat, mengerjakan haji, dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga. (H.R Abu Hatim)”

3) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits
syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung
keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad,
pada matan, ataupun keduanya. Contoh :

“Rasulullah bersabda : ‘Hari Arafah dan hari-hari tasyariq adalah hari-hari makan dan minum’.”
KEDUDUKAN DAN FUNGSI
SUNNAH
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia
menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang
berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an.
Hal ini karena, hadits merupakan mubayyin bagi Al-Qur’an, yang karenanya siapapun yang tidak
bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya
menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur’an memiliki kaitan
erat, yang untuk mengimani dan mengamalkan tidak bisa terpisakan atau berjalan sendiri.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi
bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara” setelah Al-Qur’an.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai