Anda di halaman 1dari 17

A. PENDAHULUAN.

Hadis Nabi SAW. merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam yang
kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya
saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum
muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan hadis diantaranya


adalah ayat-ayat yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk taat kepada Rasulullah
saw. firman Allah Swt :

‫يأيها الذين ءامنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم فإنتنزعتم فى شيئ فردوه إلى هللا‬
) 59 : ‫والرسول إن كنتم تؤمنون باهلل واليوم األخر ذلك خير وأحسن تأويال ( النساء‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
.lebih baik akibatnya.(Qs.An-Nisa’ : 59)

Kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al-Qur’an dan kembali


kepada Rasul maksudnya kembali kepada Sunnah atau Hadis beliau SAW.

Perintah untuk mengikuti segala apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan
menjauhi segala apa yang dilarangya, Allah Swt berfirman:

‫َو َم ا َآَتاُك ُم الَّرُسوُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َنَهاُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهوا‬


Terjemahannya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr :7).

Hadits menurut istilah ahli hadis,ialah :“Segala ucapan Nabi,segala perbuatan


beliau dan segala keadaan beliau”.[1]Disamping Al-Quran ,hadis juga menjadi pedoman
bagi kehidupan manusia.Rasulullah merupakan uswatun hasanah bagi kita karena apapun
yang beliau katakan selalu dibimbing oleh Allah SWT .Hal ini ditegaskan oleh Allah
dalam Al-Quran :

Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(Q.s.An-Najm : 3-4).

Rasulullah dilahirkan di tanah Arab yang dalam kehidupan sehari-hari tentu saja
memakai bahasa Arab,tetapi tidak semua bahasa Arab itu adalah hadis .Salah satu kesalahan
persepsi sebagian masyarakat Islam saat ini adalah apa-apa yang disampaikan oleh seorang
da’i dalam bahasa Arab mereka anggap itu adalah hadis ,walaupun tidak memiliki sanad dan
rawi yang jelas.Untuk itu umat Islam harus memiliki pengetahuan mengetahui
pengklasifikasian hadis dari berbagai aspek.

Dalam makalah yang sangat sederhana ini Penulis akan memaparkan sedikit tentang
salah satu bahagian dari pengetahuan hadis yakni :“Klasifikasi Hadis ditinjau dari berbagai
Aspek”.Dalam hal ini penulis hanya membahas masalah klasifikasi hadis ditinjau dari segi
bentuk asalnya ,sifatnya,periwayatannya dan kualitas serta penyandarannya.

B. PEMBAHASAN.
1. Hadis dari segi bentuk asalnya.

Hadis ditinjau dari segi bentuk asalnya ada tiga yaitu : hadits yang berupa
perkataan(qauliyyah),berupa perbuatan(fi’liyyah) dan berupa ketetapan
(taqririyyah)[2]

a. Hadits qauliyyah (perkataan).

Yang dimaksud dengan Hadis Qauli adalah segala yang disandarkan


kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang
memuat berbagai maksud syara’,peristiwa dan keadaan ,baik yang berkaitan
dengan akidah,syari’ah,akhlak,maupun yang lainnya[3].

Adapun syarat perkataan Rasulullah SAW. dikatakan sebagai


hadis harus memiliki beberapa syarat,yaitu :

1. Perkataan atau ucapan itu disampaikan dihadapan sahabat untuk


didengar dan dipelihara melalui hafalan atau catatan pribadi.

2. Perkataan atau ucpan tersebut sengaja diucapkan dihadapan umat dalam


rangka memberikan pengajaran kepada mereka.

3. Perkataan atau ucapan tersebut mengandun makna syar’i yang menjadi


pedoman bagi umatnya.[4]

Contoh hadits Qauliyyah (perkataan) adalah

‫قال رسوهلل صلى هللا عليه وسلم‬: ‫وعن ابي جحيفة وهب بن عبد هللا رضي هللا عنه قال‬
)‫ال اكل متكىء (رواه البخارى‬

“Dan dari Abu Juhaifah Wahab bin Abdillah Radiyallahu ‘Anhu,ia


berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”aku tidak makan sambil
bersandar’.”(HR.Al-Bukhari)[5].

b. Hadis fi’liyyah (perbuatan)

Yang dimaksud dengan hadits Fi’li adalah segala yang disandarkan


kepada Rasulullah SAW berupa perbuatan yang sampai kepada kita[6].Seperti
hadis tentang shalat,puasa,haji dan sebagainya.

Adapun syarat perbuatan Rasulullah SAW. dikatakan sebagai


hadis harus memiliki beberapa syarat,yaitu :
1. Perbuatan itu sengaja diperagakan Nabi di hadapan sahabat
untuk member contoh dalam pelaksanaan ibadah dan
muamalat.

2. Perbuatan itu mengandung ajaran syar’i yang akan diikuti oleh


sahabat dan umat secara umum.

3. Perbuatan itu diriwayatkan oleh shabat dalam


bentuk qaliy kepada sahabat lain atau tabi’in.[7]

Contoh hadis Fi’li adalah :

‫كان اذا‬: ‫ ان النبي صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن عبدهلل بن ما لك بن بحينة رضي هللا عنه‬
(‫(رواه بخاري‬.‫صلى فرج بين يديه حتى يبدو بياض ابطيه‬

Diriwayatkan dari Abdullah bin Malik bin Buhainah r.a. bahwa ketika Nabi
SAW.bersujud dalam shalat beliau merenggangkan kedua
tangganya sehingga ketiaknya yang putih tampak.(Hadis diriwayatkan oleh
Al-Bukhari,nomor hadits :390).[8]

c. Hadis taqririyyah (ketetapan).

Yang dimaksud dengan hadits Taqriri adalah segala Hadis yang


berupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang dari sahabatnya.Nabi
SAW. membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat ,setelah
memenuhi beberapa syarat ,baik mengenai pelakunya maupun perbuatanya[9].

Adapun syarat ketetapan Rasulullah SAW. dkatakan sebagai


hadis harus memiliki beberapa yarat,yaitu :

1. Perkataan atau perbuatan sebagian sahabt itu ditanggapi Nabi


dengan diamnya,tidak mengatakan “ya” atau “tidak”,”benar” atau
“salah”.

2. Perbuatan sahabt tersebut disikapi oleh Rasulullah denga


menyatakan keblehan atau kehalalan,akan tetapi Beliau tidak
melarang atau menyuruhnya.

3. Nabi menyetujui perbuatan sahabat dengan menerangkan


kebalikannya serta menguatkan kedudukannya.[10]
2. Periwayatan Hadis Dengan Lafaz dan Makna

Periwayatan Hadis Dengan Lafaz


Utang Ranuwijaya mengatakan periwayatan hadis dengan lafzah adalah
periwayatan hadis yang redaksi atau atau matannya persis sama seperti yang
diwurudkan oleh Rasulullah Saw... Menurut defenisi ini berarti apa yang
diriwayatkan oleh para perawi harus sama dengan apa yang disebutkan oleh Nabi
Saw.., tanpa ada penambahan atau pengurangan walaupun satu huruf.
Selanjutnya periwayatan secara lafaz ini, sangat disukai para sahabat,
seperti yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh
sahabat Nabi Saw. menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan
ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri, yang salah
satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi Saw. bagi orang yang berdusta atas
dirinya (membuat hadis palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam dengan siksaan
yang pedih di neraka. Oleh karena itu, pentingnya periwayatan dengan lafaz ini,
maka Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang pernah mendengar
hadis dari Rasulullah Saw., kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia
dengar, orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan peringatan kepada perawi
hadis untuk meriwayatkan hadis Nabi sesuai dengan yang didengar yakni
periwayatan secara lafaz, sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka
Periwayatan Hadis dengan Makna
Periwayatan hadis dengan makna atau dikenal dengan periwayatan
ma’nawi artinya adalah periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama
dengan yang didengar perawi dari Rasulullah Saw., namun isi atau maknanya
sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. tanpa ada perubahan
sedikitpun. Dari defenisi di atas tersebut dapat dipahami bahwa periwayatan
dengan makna adalah periwayatan dengan lafaz, dalam hal ini yang dipelihara
adalah makna hadis bukan lafaznya.
Diantara para sahabat yang membolehkan periwayatan dengan makna ini
adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda’, dan
Abu Hurairah. Kemudian dari kalangan tabi’in: Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, Amr
bin Dinar, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, dan Ikrimah. Ibnu Sirin seperti yang
dikutip Utang Ranuwijaya, telah berkata: Aku mendengar hadis dari sepuluh orang
dalam makna yang sama, akan tetapi dengan redaksi lafaz yang berbeda. Pendapat
ini mengindikasikan bahwa jenis hadis yang diriwayatkan dengan cara inilah yang
banyak jumlahnya.
Pendapat Jumhur ulama, termasuk Imam Mazhab yang empat yakni
bolehnya meriwayatkan hadis dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam
ilmu hadis dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal hadis manakala
bercampur aduk, sebab hadis yang dapat diriwayatkan dengan maknanya saja harus
memenuhi dua kriteria, yaitu lafal hadis bukan bacaan ibadah dan hadis tersebut
tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata yang sarat makna) yang diucapkan
Nabi Saw..

3. Hadis ditinjau dari segi dari segi jumlah periwayat.

Dalam meriwayatkan suatu hadis Nabi SAW.jumlah periwayat tidaklah


sama antara masing-masing hadis.Hal ini disebabkan karena Rasulullah
SAW.tidak selalu berkumpul dengan sahabat yang sama.Adakalanya satu saat
Nabi SAW.bertemu dengan sejumlah sahabat dan pada waktu yang lain
Rasulullah SAW. Bertemu dengan dengan sejumlah sahabat yang berbeda.

Ulama bebeda pendapat tentang pembagian hadis diinjau dari segi


kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini.Diantara mereka ada
yang menelompokkannya menjadi tiga bagian yakni hadits mutawatir,masyhur
dan ahad.Dan ada juga yang membaginya hanya dua ,yakni Hadis Mutawatir dan
Ahad.[15]

A. Hadits Mutawatir.

Kata mutawatir,secara bahasa,merupakan isim fa’il dari kata al-


tawatur yang bermakna al-tatabu’(berturut-turut) atau ‫يتلو بعضه بعضا من غير‬
‫تغللمجىء الشيء‬

Datangnya sesuatu secara berturut turut dan bergantian tanpa ada yang
menyela.[16]
Sedangkan menurut istilah ,hadits Mutawatir adalah kabar atau
berita tentang sebuah perkara yang konkrit (dapat terlihat dan
terdengar).Kabar itu besumber dari sekumpulan orang yang terpecaya yang
junlahnya banyak yang mustahil secara adat maupun akal mereka berkumpul
untuk sebuah kabar dusta.Tentang perkara yang dapat diterima oleh panca
indra ,atau dari sekumpulan orang yang seperti mereka,sehingga pada
akhirnya sampai kepada kesaksian atau pendengaran kabar tersebut ,maka
disini kabar tersebut berhulu kepada Rasulullh SAW. Baik kabar yang
didengar atau yang disaksikan atau tentang perbuatan dan pernyataan
dari beliau Rasulullah SAW.[17]

Syarat-syarat hadis Mutawatir adalah sebagai berikut :

1. Periwayatan harus didasarkan pancaindra ,baik berupa penglihatan


atau pendengaran rawi sendiri.

2. Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak


memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pendustaan.Mengenai
jumlah,beberapa yang dimungkinkan demikian itu.Ada yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan jumlah yang tidak mungkin melakukan
pendustaan itu adalah tidak dibatasi oleh bilangan,melainkan dibatasi
dengan jumlah yang rasional yang tidak memungkinkan melakukan untuk
melakukan pendustaan.Namun demikian ,ada beberapa ulama yang
memberikan batasan khusus ,diantaranya :

a. Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang perawi hadis


pada masing-masing thabakat.Jumlah ini didasarkan pada ketentuan
jumlah saksi zina yang diperlukan hakim untuk menvonis terdakwa.

b. Asy-Syafi’i menentukan lima orang pada masing-masing


thabakat.Dasar argumentasinya jumlah Rasul yang ulul azmi yang
disinyalir 5 orang.

c. Ada juga yang menyebutkan 20 orang perawi pada masing-


masing thabakat.Pendapat ini didasarkan pada firman Allah surat Al-
Anfal ayat 65.dimana Allah memberikan sugesti kepada orang mukmin
yang tahan uji sebanyak 20 orang.

d. Ada juga ulama menyatakan jumlah rawi pada tiap-tiap thabakat 40


orang. Jumlah ini diqiyaskan pada firman Allah dalam surat Al-Anfal :
67.
e. Sebagian ada juga yang menyatakan 70 orang.Jumlah ini diqiyaskan
kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf :155

3. Adanya keseimbangan jumlah perawi hadis dari mulai thabakat pertama


sampai kepada thabakat yang terakhir.[18]

Dilihat dari cara periwayatannya hadis Mutawatir dapat dibagi menjadi dua
bagian ,yakni: mutawtir bi al lafdhi dan hadits mutawatir bil al-maknawi.[19]

a. Hadis Mutawatir bi al-lafdhi.

Hadis Mutawatir bi al-lafdhi adalah hadis yang apabila dilihat dari


susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu
periwayatan dengan periwayatan yang lainnya.Artinya seluruh perawi
hadis mengunakan satu redaksi atau menggunakan ungkapan yang sama
dalam menyampaikan haditsnya itu.Hadis dalam kategori ini memang
sangat langka dan dapat dihitung jumlahnya.[20]

Contoh hadis mutawatir bil al-lafdhi adalah :

‫من كذب علي متعمدا فليتبؤ مقعمده من النار‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا وسلم‬

Artinya : Rasulullah SAW.bersabda ,”barang siapa yang sengaja berdusta


atas namaku,maka hendaklah dia bersedia menduduki tempat duduk di
neraka.

Silsilah /urutan rawi hadis di atas adalah sebagai berikut :

1. Ali bin Rabi’ah- Muhammad bin Ubaid- Abdullah bun Nashir-


Muhammad bin Abdullah-Muslim.

2. Anas bin Malik- Abdul Aziz – Ismail- Zuhair bin Harb- Muhammad
bin Ubaid – Muslim.

3. Abu Hurairah – Abu Shalih-Abu Husain - Abu Awanah – Musa-


Muslim.

4. Abu Hurairah – Abu Shalih-Abu Husain - Abu Awanah – Muhammad


bin Ubaid – Muslim.

5. Abu Hurairah – Abu Shalih-Abu Husain - Abu Awanah – Musa -


Bukhari
6. Abdullah bin Zubair – Amit Bin Abdillah bin Zubair –abdul Haris –Abu
Muammar –Bukhari.

7. Abdullah bin Zubair – Amit Bin Abdillah bin Zubair-Jami’ bin Sadam
–Syubah – Abdul Walid.

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar ,hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh


40 orang sahabat,kemudian Imam Nawawi dalam kitab minhajul
Muhaddisin menyatakan hadits ini diterima oleh 200 orang sahabat.

Al-iIraqi menyatakan bahwa lafaz hadis ini diriwayatka oleh lebih dari 70
orang sahabat.Tetapi yang semakna dengan hadis ini telah diriwayatkan
oleh 200 orang sahabat,sebagaimana yang telah dijelaskan oleh An-
Nawawi.[21]

b. Hadis Mutawatir bil al- maknawi.

Hadis Mutawatir bil al- maknawi adalah hadits yang mutawatir maknaya
saja bukan lafalnya.Hadits mutawatir kategori ini disepakati penukilannya
secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda.[22]

Contoh hadis mutawati al-maknawi adalah

‫ما رفع صلى هللا عليه وسلم يديه حتى رؤى بياض ابطيه في شيىء من دعاءه اال في‬
)‫االستسقاء (متفق عليه‬

Artinya :

“Rasulullah SAW.tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-


do’anya selain dalam do’a sholat istisqo’ dan beliau mengangkat
tangganya ,hingga Nampak putih-putih kedua ketiaknya.(HR.Bukhari
Muslim).

Hadis yang semakna dengan hadits tersebut di atas ada banyak,tidak


kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda.antara lain hadis-
hadits yang ditarjihkan oleh Imam Ahmad,Al-Hakim Dan Abu
Daud ,yang berbunyi :

‫كان يرفع يديه حذ ومنكبيهز‬

Artinya : “Rasulullah SAW.mengangkat tangan sejajar dengan kedua


pundak beliau.”[23]
B. Hadis Masyhur.

Secara bahasa,kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara


seperti ‫( شهرت االمر‬aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti aku
mengumumkan sesuatu yang terkenal,yang dikenal atau yang populer
dikalangan manusia,sehingga hadits masyhur berarti hadits yang
terkenal ,dikenal atu yang popular dikalangan manusia.Menurut terminologi
ulama hadis ,hadis masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga
periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai pada
tingkat mutawatir. Ulama ushul,sebagaimana yang dikutib oleh Muhammad
‘Ajjal al-Khatib,membatasi jumlah yang memenuhi batasan minimal
untuk disebut masyhur pada generasi sahabat meskipun pada generasi
berikutnya diriwayatkan secara mutawatir.Mereka mendefinisikan hadis
masyhur sebagai berikut :

“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dikalangan sahabat yang


tidak mencapai batas mutawatir kemudian sesudah sahabat dan orang-orang
sesudah mereka diriwayatkan secara mutawatir.[24]

Definisi ulama ushul ini menunjukkan bahwa perbedaan


hadis mutawatir dengan hadits masyhur hanyalah pada sanad tingkatan
sahabat saja yang tidak mencapai batasan mutawatir.Sedangkan sanad
sesudahnya sama dengan mutawatir.

C. Hadits Ahad.

Al-ahad jama’ dari ahad,menurut bahasa berarti al-wahid atau


satu.Hadis ahad secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkanoleh satu orang
saja.Adapun menurut terminology ulama hadis,hadis ahadadalah “hadis yang
tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadis mutawatir”.

Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,hadis ahad adalah


hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada
sumbernya (Nabi)tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan
tidak sampai kepada qath’i atau yakin.

Dua definisi di atas menunjukkan dua hal :(1) dari segi kuantitas
hadis ahad berada di bawah hadis mutawatir;(2) dari segi isinya
hadis ahad berstatus zhanni bukan qath’i.kedua hal inilah yang membedakan
hadis dari segi kuantitasnya menjadi tiga ; mutawatir
masyhur,dan ahad,definisi hadis ahad adalah :”Hadis yang diriwayatkan oleh
satu orang atau dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi
persyaratan hadis masyhur atau mutawatir.[25]

Jumhur ulama Islam menerima hadis-hadis ahad dari orang yang


kepercayaan dan adil serta berhujjah dengan dia dalam urusan-urusan
amal,tidak dalam urusan I’tiqad.urusan I’tiqad wajib ditegaskan oleh dalil-
dalil yang yakin yang tidak ada keraguan padanya. Sedangkan Imam
Ahmad,sebagaimana berpegang kepada hadis ahad dalam urusan amal,juga
beliau berpegang kepadanya ,dalam urusan i’tiqad.[26]

4. Hadis dari segi kualitas.

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada


tiga hal,yaitu jumla rawi ,keadaan (kualitas)rawi,dan keadaan matan.Ketiga
hal tersebut menentukan tinggi-rendahnya suatu hadis.Bila dua hadis
menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama ,maka hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang;dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
[27]

Hadis dari segi kualitasnnya terdiri dari yang diterima (yakni


yang shahih) dan yang ditolak(yakni yang dha’if),Itulah pembagian hadis
secara garis besar.Tetapi para ahli membagi hadits pada tiga
bagian :hadis shahih,hadis hasan dan hadis dhai’if.[28]

a. Hadis Shahih.

Kata shahih secara bahasa berarti sehat,yang menyehatkan(


‫)والمصحة‬,yang benar,tepat(‫)والصح‬yang selamat (‫)السليم‬, yang
sempurna,lengkap (‫)التا م‬,yang nyata (‫ )الحقيقي‬yang sah,yang legal (‫)الصحيح‬.[2
9]

Ibn al-Ahalah dalam kitabnya ‘Ulum al-Hadit yang dikenal juga


dengan Mukadimah Ibnu al_shalih,mendefinisikan
hadis shahih dengan :” ada syadz (kejanggalan) dan tidak
mengandung ‘Ilat (cacat)”.[30]

Dari definisi di atas disepakati oleh para ulama ahli hadis dan dapat
dinyatakan bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :
1. Sanadnya bersambung.

2. Perawinya ‘adil.

3. Perawinya dhabit.

4. Tiadak Syadz (janggal).

5. Tidak berilat ( Gair Mu’allal).[31]

b. Hadis Hasan.

Hadis hasan adalah hadits musnad (sanadnya bersambung


kepada Nabi),diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil misalnya tidak
tertuduh pendusta),tidak mengandung syadz atau ‘illat,tetapi diantara
periwayatnya dalam sanad ada yang kurang dhabit.[32]

Dengan definisi di atas ,kita dapat membandingkan


hadis shahih dan hadits hasan ,kemudian kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa kita menemukan titik keserupaan antara kedua jenis
hadits ini.Keduanya harus memenuhi seluruh criteria ebuah hadis kecuali
berkaitan dengan kekuatan hafalan (dhabitnya) seorang periwarat.Hadis
yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang sempurna daya
hafalnya,yakni kuat hafalannya ,sedangkan pada hadits hasan ada
periwayatnya yang rendah tingkat daya hafalnya.

c. Hadis Da’if.

Kata shahih secara bahasa berarti yang lemah lawan dari ,yang
sakit (‫)المريض‬.[33]Maka secara bahasa hadis dha’if berarti hadis ang
lemah,sakit,dn tidak kuat.

Secara etimologis para ulama mendefinisikannya dengan redaksi


yang beragam,meskipun maksud dan kandungnya sama.Al-Nawawi dan
Al-Qasimi medefinisikan hadits dha’if adalah :”Hadis yang di dalamnnya
tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits
hasan”.Muhammad ‘Ajjal al-Khathib menyatakan bahwa definisi
hadis dha’if adalah :”Segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-
sifat maqbul”.[34]

Diantara kriteria hadis dha’if adalah :(1) sanadnya terputus;(2)


periwayatnnya tidak ‘adil;(3) periwayatnya tidak dhabit;(4)
mengandung syadz;(5) mengandung ‘illat.[35]
Sesuatu hadis itu dianggap dha’if, lemah atau tercela,apabila
diantara orang-orang yang menceritakannya itu ada rawi yang bersifat:

1. Dituduh berbohong.

2. Dituduh suka keliru.

3. Dituduh suka salah.

4. Pembohong.

5. Suka melanggar hokum gama.

6. Tak dapat dipercaya.

7. Banyak salah dalam meriwayatkan.

8. Tidak kuat hafalan.

9. Bukan orang Islam.

10. Belum baligh waktu menyampaikan hadits.

11. Berubah akal.

12. Tidak dikenal dirinya.

13. Tidak dikenal sifatnya.

14. Suka lupa.

15. Suka menyamar dalam meriwayatkan.

16. Suka ragu-ragu.[36]

Contoh hadis dha’if adalah:

.‫من نام بعد العصر فاختلس عقله فاليلومن اال نفسه‬

Ini adalah hadits dha’if yangdiriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari


sanad Khalid bin al-Qasim dari al-Laits bin Sa’ad dari Aqil.

Ibnu Jauzi mengatakan dalam kitabnya Hadis-


hadis Maudhu’at bahwa itu bukan hadits shahih .Khalid adalah
penipu atau pendusta.Ia mengambil hadis dari Ibnu Luhai’ah yang
menisbatkannya pada Laits.Sedangkan Ibnu Luhai’ah hafalannya
sangat lemah.[37]

5. Hadis dari segi Penyandarannya.

Dilihat dari segi penyandaranya hadis dapat dibagi kepada tiga


macam;hadis marfu’,hadis mauquf dan hadits maqthu’.

a. Hadist Marfu’.

Hadis marfu’menurut istilah :”Apa saja yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad SAW.baik berupa perkataan ,perbuatan,ketetapan atau sifat
beliau”.[38]Hadis marfu’ ada yang shahih, hasan atau dhaif.

b. Hadis Mauquf.

Hadits mauquf adalah hadts yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau hadis
yang diriwayatkan dari pada sahabat baik berupa perkataan .perbuatan atau
persetujuannya”.[39]Dilihat dari segi bahasa kata mauquf berasal dari kata –
‫ يقفوقف‬artinya berhenti atau mewakafkan.[40]Maksudnya hadits jenis ini
dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada
Rasuullah SAW.

c. Hadits maqthu’.

Kata maqthu’ berasal dari kata‫قطع‬- ‫ يقطع‬artinya adalah memotong lawan


dari washala(menghubungkan).[41]Menurut istilah hadis maqthu’ adalah
hadist yang diriwayatkan dari thabi’in dan disandarkan kepadanya,baik
perkataan maupun perbuatan.Dengan kata lain ,bahwa hadis maqthu’ adalah
perkataan atau perbuatan para thabi’in.

sebagaimana hadits mauquf ,hadis maqthu’ dilihat dari segi sandarannya


adalah hadits lemah,yang karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.Diantara
ulama ada yang menyebut hadits mauquf dan hadits muqthu’ dengan al-Atsar
dan al-Khabar.[42]
C. KESIMPULAN.

1. Hadis dari segi bentuk asalnya ada tiga, yaitu :

a. Hadit qauliyyah (perkataan).

b. Hadit fi’liyyah (perbuatan).

c. Hadit taqririyyah (ketetapan).

2. Hadits ditinjau dari segi sifat asalnya ada dua,yaitu:

a. Hadis Qudsy.

b. Hadis Nabawi.

3. Hadis ditinjau dari segi dari segi jumlah periwayat ada tiga ,yaitu :
a. Hadis Mutawatir.

b. Hadis Masyhur.

c. Hadis Ahad.

4. Hadis dari segi kualitas ada tiga,yitu:

a. Hadts Shohih.

b. Hadis Hasan.

c. Hadis Dha’if.

5. Hadis dari segi Penyandarannya ada tiga ,yaitu :

a. Hadis Marfu’.

b. Hadis Mauquf.

c. Hadis maqthu’.

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Hassan,Soal-Tanya-Jawab Masalah Agama,(Bandung:cv.Diponogoro,1985)

2. A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,(Yokyakarta : Interpena,2011)

3. A.W.Muanwwir,Kamus Al-Muanawwir Arab-Indonesia terlengkap,


(yokyakarta:Pustaka Progresif,1994)

4. Abduh Zulfikar Akaha,165 Kebiasaan Nabi SAW,(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,


2002)

5. Cecep Sumarna,Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung : Pustaka Bani Quraisyi)

6. Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010)
7. Imam Az-Zabidi,Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari,(Jakarta:Pustaka mani,2002)

8. M.Ali Usman ,Hadits Qudsi ,(Bandung:Cv Penerbit Diponegoro,2007)

9. M.Hasbi Ash-Shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan


Bintang,1993)

10. Muhammad Ahmad,Ma,Ulumul Hadits,(Jakarta:Pustaka Setia,1998)

11. Muhammad Nashiruddin Al-Bani,Silsilah hadits dah’if dan maudhu,(terjemahan), ,


(Jakarta:Gema Insani,1995)

12. Muhammad Nasyiruddin Al-Albani, Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil ‘akaidu wal
Ahkami,terjemahan,(Jakarta:Pustaka Azzam)

13. Munzier Suparca,,,Ilmu Hadis,(Jakarta:Pt.Raja Grafindo Persada,1993)

14. Nuruddin at,Ulum Hadits ,(Bandung :Pt.Remaja Rosdakarya,1997)

15. Subhi As-Shalih,Membahas ilmu-ilmu hadis,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1997)

16. Zakariya ‘Umairat,Shahih Hadits Qudsi dan Syarahnya,(Jakarta:Pustaka


Imam Asy-Syafi’I ,2010)

Anda mungkin juga menyukai