Anda di halaman 1dari 13

Hadits dan Sunnah

A.Pengertian Hadis

Pengertian Hadis Secara Etimologis

Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang
berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti ‫ث الحعيهدد دفىِ يأدليسحلدم‬
‫( ححدديي ث‬orang
yang baru masuk/ memeluk islam).

Pengertian sunnah menurut istilah (terminologi)

a. Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:

‫احيقحواثل النبي ص م وافعالهث حواحيححوا لثهث‬

Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”

b. Pengertian hadis menurut para ulama ushul, sementara para ulama ushul memberikan pengertian
hadis adalah:

‫ت الح يحكْا حثم و تثقح ر درثرهُا ح‬


‫أحيقحوا لثهث واحيفحعا لثهث وتحيق درييحراتثهث التىِ تحيثبث ث‬

Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan
ketetapannya”.

B. Pengertian Sunnah

Pengertian sunnah menurut bahasa (etimologis)

Menurut bahasa sunnah berarti:

‫ت او حميذثميو حمةة‬
‫حالطردر ييقحةث حميحثمييوحدةة حكا نح ي‬

Artinya: “Jalan yang terpuji atau yang tercela.”

Pengertian sunnah menurut istilah (terminologi)

a. Pengertian sunnah menurut ahli hadis adalah:


‫ٍسواء كان قبل البديعثحدة أو بعدهُا‬،‫ما اثدحر عدن النبىِ ص م دمن قولل أو فعل أو تقرير أو صفة أو حخيلقدييلة أودسيححرلة‬

Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi
pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”.

Pengertian sunnah menurut ahli ushul mengatakan:

Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Yang berhubungan dengan hukum
syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Beliau.

Pengertian sunnah menurut ahli fikih sebagai berikut:

Artinya: “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardukan dan diwajibkan dan
termasuk hukum (taklifi) yang lima.”

Macam macam hadis

Dilihat dari segi bentuk:

Qauliyah, yaitu hadis yang berupa/ berbentuk ucapan/ perkataan nabi.

Fi’liyah, yaitu hadis yang berbentuk

Taqririyah, yaitu hadis yang berbentuk/ berupa keputusan (hadis yang berupa perbuatan sahabat yang di
saksikan atau di dengar oleh nabi saw. tidak mendengar atau menyalahkannya)

Dilihat dari segi jumlah orangnya yang menyampaikan atau meriwayatkannya:

Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak terhtung jumlahnya yang karena
banyaknya ini, menurut akal, tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.

Masyur, yaitu hadis yang perawi lapis pertamanya beberapa orang sahabat atau lapis keduanya beberapa
tabi’in, setelah itu tersebar luas dinukilkan orang banyak yang tak dapat di sangka mereka bersepakat
untuk dusta.

Ahad, yaitu hadis yang di riwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab
sebab yang menjadikannya ke tingkat masyur

Dilihat dari segi kualitasnya hadis:


Shahih ialah hadis yang di riwayatkan oleh perawi yang adil, hapalannya sempurna (dhabith), sanadnya
bersambung, tidak terdapat padanya keganjilan (syadz), dan tidak cacat (‘illah)

Hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi adil, hapalannya kurang sempurna , sasadnya
bersambung , tidak terdapat padanya keganjilan (syadz) dan tidak terdapat cacat (‘illah)

Dha’if ialah hadis yang kehilangan salah satu dari syarat syarat hadis shabib atau hadis hasan

Maudhu’ ialah hadis palsu yaitu hadis yang dibuat buat oleh seseorang dan di katakan sebagai sabda
atau perbuatan nabi saw.

Dilihat dari segi di terima atau di tolaknya:

Hadis maqbul ialah hadis yang yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau alas an dalam agama. Yang
termasuk hadis ini adalah hadis shahih dan hasan. Adapun hadis dha’if, ulama berbeda pendapat, ada
yang menerima dengan catatan hadis tersebut sebagai motivasi dalam beramal, bukan sebagai hokum.
Akan tetapi ada yang menolak secara keseluruhan.

Hadis mardud, yaitu hadis yang di tolak dan tidak boleh dijadikan alas an dalam agama. Hadis ini adalah
hadis maudhu,

Dilihat dari segi siapa yang berperan dalam berbuat atau bersabda dalam hadis:

Marfu’ yaitu disadarkan kepada nabi saw.

Mauquf, yaitu disadarkan kepada sahabat

Maqthu, yaitu disadarkan kepada tabi’in

MEMAHAMI UNSUR-UNSUR HADITS

PENGERTIAN SANAD, MATAN, RAWI, MUKHARIJ HADITS

Sanad hadits

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati mutamad
(sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian
karena, karena hadits itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah: ”silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadits”.

Silsilah orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits
tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan
lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku
pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.

Matan Hadits

Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-aradhi(tanah yang
meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama
yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya,
disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa
apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.

Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-lafazh hadits yang
didalamnya megandung makna makna tertentu”.

Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau
lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

Penelitian Sanad dan Matan Hadits

Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok hadits)sangat diperlukan, bukan
karena hadits itu diragukan otentisitasnya. Penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang
masuk kedalam hadits baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan dalil-dalil
naqli lainya atau tidak sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua unsur hadits diatas, hadits-hadits
masa rasul SAW dapat terhindar dari segala yang megotorinya.

Faktor yang paling utama perlunya dilakuakan penelitian ini, ada dua hal yaitu: pertama, karena
beredarnya hadits palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat; kedua hadits-hadits tidak ditulis secara
resmi pada masa rasul SAW (berbeda dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul
(tersebar di tangan pribadi sahabat) dan tidak meyeluruh.

Rawi Hadits

Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits. Yang dimaksud
dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits.

Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits
pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-
tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi yabaqah berikutnya. Akan tetapi yang membedakan kedua
istilah diatas ialah, jika dilihat dari dalam dua hal yaitu:

Pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits kemudian megumpulkanya
dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi dapat disebutkan dengan
mudawwin, kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain,
tanpa membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat disebutkan bahwa setiap sanad
adalah perawi pada setiap tabaqagnya, tetapi tdak setiap perawi disebut sanad hadits karena ada perawi
yang langsung membekukanya.

Kedua: dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan peyebutan silsilah
susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang lasung meyampaikan
hadits tersebut kepada penerimanya. Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para
sahabat Rasul SAW. Dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya.
Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir.

Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, matandan rawi di atas yang lebih lanjut pada hadits di
bawah ini.

Abubakar bin Abi Syaibah dan Abukarib telah menceritakan (hadits) kepada kami yang diterimanya dari
al-A’masy dari umara bin umair. Dari Abd ar-rahman bin yazi, dari Abdullah bin mas’ud katanya:
”Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami: wahai sekalian pemuda barang siapa yang sudah mampu
untuk melakukan pernikaha, maka menikahlah, karena dengan menikah itu(lebih dapat) menjaga
kehormatan. Akan tetapi barang siapa yang belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa.
Karena dengan berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual” [H.Ral-Bukhari dan Muslim].

Di sini dapat kita jelaskan bahwa:

Dari nama Abu Bakar bin abi syaibah sampai dengan Abdullah bin mas’ud merupakan silsilah atau
rangkaian /susunan orang-orang yang meyampaikan hadits. Itu semua adalah sanad hadits tersebut,
yang juga sebagai jalan matan.

Dan mulai kata “wahai sekalian pemuda sampai degan berpuasa dapat menahan hasrat seksual” adalah
matan, materi atau lafaz hadits tersebut yang mengandung makna.

Takhrij Hadits

Pegertian menurut bahasa, Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang secara bahasa mempunyai
bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath-tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal
yang bertentangan dalam satu persoalan”.

Pegertian secara terminologi, Menurut Mahmud ath-tahhan pegertian takhrij adalah, “Petunjuk tentang
tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan meyebutkan sanadnya,
kemudian di jelaskan martabat atau kedudukanya manakala di perlukan.”

Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal:

Pertama, berusaha menemukan para penulis hadits itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya.

Kedua, memberikan penilaian kulitas hadits apakah hadits tersebut itu shahih atau tidak.

Ilmu thakrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, sebab di dalamnya
dibicarakan tentang berbagai kaidah untuk megetahui darimana sumber hadits itu berasal, selain itu
didalamnya ditemukan bayak kegunaan dan hasil yang diperoleh khusunya dalam menentukan kualitas
sanad hadits.

Gelar keahlian bagi imam hadits

Mengingat jasa dan usaha para ulama hadits yang sangat besar dalam upaya pembinaan dan
pengembangan hadits, kepada mereka diberikan laqab atau gelar-gelar tertentu, baik itu mereka yang
ada pada thabaqah pertama, kedua, ketika, dan seterusnya. Gelar itu antara lain ialah:

Al-muhaddits, merupakan gelar untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riayah maupun
di rayah, mampu membedakan hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan
hallain yang berkaitan dengan ilmu hadits.

Amir al-mu’minin fi al-hadits, merupakan gelar bagi ulama ahli hadits termasyhur pada masanya, yang
memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau
sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn
ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal, al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-
asqalani.

Al-hakim, merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan
sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti ini, ialah Ibnu Dinar, Al-
laits, dan Asy-syafi’i.

Al-Hujjah, merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan
sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibn Amir.

Al- Hafizh merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat
gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik matan maupun
sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga mengetahui hadits sahih dan ilmu
haditsnya. Menurut Al-Mizzi, gelar al-hafizh ialah untuk ulama yang kadar lupanya sedikit daripada yang
ingatannya.
Selain gelar Al-Hafizh, ada juga gelar Hafizh Hujjah, dua gelar disatukan. Gelar ganda ini diberikan untuk
ulama yang menguasai hadits lebih dari 100.000 sampai dengan 300.000 hadits.

Istilah-istilh kumpulan periwayat

Hadits-hadits yang diriwayatkan dan dihimpun oleh para mudawwin satu dengan yang lainya tidak
sama , sehingga bisa jadi sesuatu hadits diriwayatkan oleh satu,dua,atau tiga perawi, bisa jadi pula hadits
lainya hanya diriwayatkan oleh satu perawi.berkaitan dengan ini, maka muncul istilah-istilah atau
sebutan-sebutan dalam periwayatan hadits antara lain:

akhrajahu syaikhani: hadits tersebaut diriwayatkan oleh kedua perawi hadits (al-bukhari dan muslim)

akhrajahu shalasah: hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi hadits(abu daud,at-turmidzi, dan an
nasa’i)

akhrajahu arba’atun: hadits tersebut diriwayatkan oleh empat perawi (abu daud,at-turmidzi,an-nasa’i,
dan ibn-majah)

akhrajahu khamsatun: hadits tersebut diriwayatkan oleh (abu daud, at-turmidzi, an-nasa’i,ibn majah, dan
ahmad)

akhrajahu sit’tatun: hadits tersebut diriwayatkan oleh(al-bukhari,muslim,abu daud, at turmidzi, an


nasa’i, dan ibnu majah)

akhrajahu sab’atun: hadits tersebut diriwayakan oleh(al-bukhari, muslim, abu-daud, at-turmidzi, an-
nasai, ibn majah, ahmad)

akhrajahu jama’atan: hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadits


Kesimpulan

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad
SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum
dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

http://lutfiazizah.blog.institutpendidikan.ac.id/2018/06/26/hadits-dan-sunnah/

Wa alaikumus salam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ungkapan hadis qudsi terdiri dari dua kata, hadis dan qudsi.

Hadis [arab: ‫]الحديث‬: segala yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa
ucapan, perbuatan, persetujuan, atau karakter beliau.

Qudsi [arab: ‫ ]القدسي‬secara bahasa diambil dari kata qudus, yang artinya suci. Disebut hadis qudsi, karena
perkataan ini dinisbahkan kepada Allah, al-Quddus, Dzat Yang Maha Suci.

Hadis Qudsi secara Istilah

Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis qudsi

Al-Jurjani mengatakan,

‫الحديث القدسي هُو من حيث المعنىِ من عند ا تعالىِ ومن حيث اللفظ من رسول ا صلىِ ا عليه وسلم فهو ما أخبر ا تعالىِ به نبيه‬
‫بإلهام أو بالمنام فأخبر عليه السلم عن ذلك المعنىِ بعبارة نفسه فالقرآن مفضل عليه لن لفظه منزل أيضا‬
Hadis qudsi adalah hadis yang secara makna datang dari Allah, sementara redaksinya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga hadis Qudsi adalah berita dari Allah kepada Nabi-Nya melalui
ilham atau mimpi, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu dengan
ungkapan beliau sendiri. Untuk itu, al-Quran lebih utama dibanding hadis qudsi, karena Allah juga
menurunkan redaksinya. (at-Ta’rifat, hlm. 133)

Sementara al-Munawi memberikan pengertian,

‫الحديث القدسي إخبار ا تعالىِ نبيه عليه الصلة والسلم معناه بإلهام أو بالمنام فأخبر النبي صلىِ ا عليه وسلم عن ذلك المعنىِ بعبارة نفسه‬

Hadis qudsi adalah berita yang Allah sampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
makna dalam bentuk ilham atau mimpi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
berita ‘makna’ itu dengan redaksi beliau. (Faidhul Qodir, 4/468).

Demikian pendapat mayoritas ulama mengenai hadis qudsi, yang jika kita simpulkan bahwa hadis qudsi
adalah hadis yang maknanyadiriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, sementara
redaksinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan inilah yang membedakan antara hadis qudsi dengan al-Quran. Dimana al-Quran adalah kalam Allah,
yang redaksi berikut maknanya dari Allah ta’ala.

Kemudian, ada ulama yang menyampaikan pendapat berbeda dalam mendefinisikan hadis qudsi.
Diantaranya az-Zarqani. Menurut az-Zarqani, hadis qudsi redaksi dan maknanya keduanya dari Allah.
Sementara hadis nabawi (hadis biasa), maknanya berdasarkan wahyu dalam kasus di luar ijtihad Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara redaksi hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Az-Zarqani mengatakan,

‫الحديث القدسي ثأوحيت ألفاظه من ا علىِ المشهور والحديث النبوي أوحيت معانيه في غير ما اجتهد فيه الرسول واللفاظ من الرسول‬
Hadis qudsi redaksinya diwahyukan dari Allah – menurut pendapat yang masyhur – sedangkan hadis
nabawi, makna diwahyukan dari Allah untuk selain kasus ijtihad Rasulullah, sementara redaksinya dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Manahil al-Urfan, 1/37)

Berdasarkan keterangan az-Zarqani, baik al-Quran maupun hadis qudsi, keduanya adalah firman Allah.
Yang membedakannya adalah dalam masalah statusnya. Hadis qudsi tidak memiliki keistimewaan khusus
sebagaimana al-Quran. (simak: Manahil al-Urfan, 1/37)

Beda Hadis Qudsi dengan al-Quran

Terlepas dari perbedaan ulama dalam mendefinisikan hadis qudsi, ada beberapa poin penting yang
membedakan antara hadis qudsi dengan al-Quran, diantaranya,

Al-Quran: turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh Jibril sebagai wahyu

Hadis Qudsi: tidak harus melalui Jibril. Artinya, bisa melalui Jibril dan bisa tidak melalui Jibril, misalnya
dalam bentuk ilham atau mimpi.

Al-Quran: sifatnya qath’i tsubut (pasti keabsahannya), karena semuanya diriwayatkan kaum muslimin
turun-temurun secara mutawatir.Karena itu, tidak ada istilah ayat al-Quran yang diragukan keabsahannya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadis Qudsi: tidak ada jaminan keabsahannya. Karena itu, ada Hadis Qudsi yang shahih, ada yang dhaif,
dan bahkan ada yang palsu.

Al-Quran: membacanya bernilai pahala setiap huruf. Orang yang membaca satu huruf al-Quran
mendapat 10 pahala.

Hadis Qudsi: semata membaca tidak bernilai pahala. Kecuali jika diniati untuk mempelajari, sehinga
bernilai ibadah pada kegiatan mempelajarinya.
Al-Quran: teks dan maknanya merupakan mukjizat. Karena itu, tidak ada satupun makhluk yang bisa
membuat 1 surat yang semisal al-Quran.

Hadis Qudsi: teks dan maknanya bukan mukjizat. Sehingga bisa saja seseorang membuat hadis qudsi
palsu.

Al-Quran: bersifat sakral, sehingga orang yang mengingkari satu huruf saja statusnya kafir.

Hadis Qudsi: tidak sakral, sehingga mengikuti kajian hadis pada umumnya. Karena itu, bisa saja orang
tidak menerima hadis qudsi, mengingat status perawinya yang tidak bisa diterima.

Al-Quran: tidak boleh disampaikan berdasarkan maknanya tanpa teks aslinya persis seperti yang Allah
firmankan. Tidak boleh ada tambahan atau pengurangan satu hurufpun.

Hadis Qudsi: boleh disampaikan secara makna.

Al-Quran: menjadi mukjizat yang Allah gunakan untuk menantang manusia, terutama masyarakat arab.

Hadis Qudsi: tidak digunakan sebagai tantangan kepada makhluk Allah lainnya.

Istilah Lain Hadis Qudsi

Beberapa ulama menyebut Hadis Qudsi dengan selain istilah yang umumnya dikenal masyarakat. Ada
yang menyebutnya Hadis Ilahiatau Hadis Rabbani. Semacam ini hanya istilah, yang hakekatnya sama,
yaitu hadis yang dinisbahkan kepada Allah.

Diantara ulama yang menggunakan istilah hadis ilahi adalah Syaikhul Islam sebagaimana beberapa
keterangan beliau di Majmu’ Fatawa dan Minhaj as-Sunnah. Demikian pula al-Hafidz Ibnu Hajar.
Dalam salah satu pernyataannya, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

‫ وهُي تحتمل أن يكْون المصطفىِ صلىِ ا عليه وسلم أخذهُا عن ا تعالىِ بل واسطة أو بواسطة‬:‫الحاديث اللهية‬

Hadis Ilahi ada kemungkinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dari Allah tanpa perantara
atau melalui perantara. (Faidhul Qodir, 4/468).

Sementara ulama yang menggunakan istilah hadis Rabbani diantaranya adalah Jalaluddin al-Mahalli,
salah satu penulis tafsir Jalalain. Dalam salah satu pernyataannya,

‫ أححنا دعينحد ح‬:‫صدحيححييدن‬


‫ظنن حعيبددي دبي‬ ‫ايلحححاددي ح‬
‫ث الررربانديرةح حكححددي د‬
‫ث ال ر‬

Hadis Rabbani itu seperti hadis yang disebutkan dalam dua kitab shahih: “Saya sesuai prasangka hamba-
Ku kepada-Ku. (Hasyiyah al-Atthar ’ala Syarh al-Mahalli).

Allahu a’lam.

Read more https://konsultasisyariah.com/22149-apa-itu-hadis-qudsi.html

Anda mungkin juga menyukai