Anda di halaman 1dari 7

1.

Hadits Al Jadid = lawan dari Al Qadim


Secara etimologi kata hadis berarti ‫ = اﻟﺠﺪﯾﺪ‬al-jadid (yang baru, modern). Dikatakan yang
baru karena segala yang datang dari nabi dianggap baru; dikatakan modern karena untuk ukuran
masa itu hadis menjadi pengoreksi sosial kehidupan jahiliah yang kolot; karena itu agak keliru
mengartikan hadis sebagai tradisi atau tradisional sebagaimana yang banyak dipelopori oleh para
penulis barat, karena bertentangan dengan makna hadis yang sebenarnya yaitu baru atau modern.
Dalam pembahasan periodesasi sejarah ada era yang disebut ashr al-hadis, maksudnya periode
modern, bukan periode tradisional atau primitive.
Hadis berarti pula ‫ = ﺿﺪ اﻟﻘﺪﯾﻢ‬lawan dari al-qadim (sesuatu yang lama, terdahulu, sudah
ada sejak azali). Maksudnya adalah Alquran, ia telah ada sejak adanya Allah, dalam bentuk Ilmu
Allah. Kemudian diturunkan sekaligus ke lauh al-mahfuz, lalu diturunkan secara berangsur-
angsur kepada Nabi Muhammad saw. Adapun hadis baharu, karena baru dibuat setelah ada Nabi
Muhammad). Jadi, hadis sesuatu yang baru dibuat oleh Nabi, berbeda dengan Alquran yang jauh
sejak azali telah diciptakan oleh Allah Swt. Hadis berarti pula al-khabr (berita yang aktual),
sesuatu yang diperbincangkan dan ditransinformasikan kepada orang lain, sama maknanya
dengan hadis. dikatakan aktual karena segala sesuatu yang berasal dari nabi saat itu merupakan
berita menarik yang selalu dicari-cari oleh umat Islam. Aktual juga karena sumber berita berasal dari
Nabi sebagai utusan Allah sekaligus sebagai pemimpin Negara yang beritanya selalu
digandrungi masyarakat.
Secara khusus, kata hadis dari bahasa Arab, yakni kata ‫( ﺣﺪث‬huduts)karena sering
digunakan dalam periwayatan, yang dapat berarti al-kalam (pembicaraan), al-waq’u (kejadian),
ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawā (meriwayatkan) dan pula ‫ =ﺿﺪ اﻟﻘﺪﯾﻢ‬dhiddu al-qadīm
(lawan dari yang lama). Dalam tinjauan fiqh al-lughah (pemahaman kebahasaan), kata hadis hanya
terbatas sebagai suatu berita, pembicaraan dan sesuatu yang baru.
Selanjutnya hadis dalam batasan ulama adalah sebagai perkataan (qawl), perbuatan (af’al),
dan persetujuan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi saw. baik sebelum atau sesudah diutusnya
menjadi rasul.3 Sedangkan ulama ushul membatasi sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan
(taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw.yang berkaitan dengan segala hukum syara’. Dengan
demikian, ulama ushul tampaknya menitik beratkan obyek hukum dari hadis itu yakni berkaitan
dengan hukum syara’ tanpa melihat latar belakang dan keterikatan status kenabian Muhammad
saw. Sementara ulama hadis melihat pengertian terminologi hadis dalam peran Rasulullah saw.,
baik sebelum atau sesudah diutusnya.

2. Al Khabar
Dari segi etimologis, al-khabar berarti kabar, berita, atau informasi yang disampaikan
seseorang. Secara umum, sebuah informasi bisa mengandung kebenaran dan sebaliknya bisa
mengandung kebohongan.
Adapun dari segi terminologis, al-khabar adalah berita atau informasi yang berasal dari Nabi
Muhammad saw., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun hal-ihwalnya.
Selain berasal dari Nabi, sebuah informasi terkadang berasal dari para sahabat atau dari para tabi'īn.
Jika terjadi percakapan antara dua orang atau lebih maka mereka sedang muhadatsa yakni
bercakap memperbincangkan sesuatu. Kalau isi perbincangan tentang Nabi maka pasti aktual.
Dikatakan aktual karena segala sesuatu yang berasal dari Nabi saat itu merupakan berita menarik
yang selalu dicari-cari oleh umat Islam. Aktual juga karena sumber berita berasal dari Nabi
sebagai utusan Allah sekaligus sebagai kepala negara yang beritanya selalu digandrungi
masyarakat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-khabar adalah segala informasi yang diterima, baik
dari Nabi, sahabat, maupun dari tābi’īn. Pendapat ini menunjukkan bahwa makna al-khabar lebih
umum daripada al-hadīts, karena yang disebutkan terakhir hanya informasi yang berasal dari Nabi
saw.
3. Al Sunnah
Dari segi etimologis, al-sunnah berarti ‫( اﻟﺴﯿﺮة‬sirah), ‫( اﻟﻄﺮﯾﻘﺔ‬thariqah), yaitu kebiasaan
atau jalan yang baik atau jelek. Kata al-sunnah memiliki kemiripan makna dengan kata uswah, sabil
dan shirath, yang berarti jalan atau tradisi yang harus diikuti. Jika kata al-sunnah ini dilihat dari sudut
ilmu fikih, maka ia berarti mandūb (suatu perintah yang jika dikerjakan akan menghasilkan pahala,
tetapi tidak meng akibatkan dosa jika ditinggalkan). Sunnah sebagai tradisi ini yang kemudian
sebagai penulis Barat mengartikan hadis secara umum dengan istilah tradisi.
Adapun dari segi terminologis, al-sunnah adalah jalan yang telah ditunjukkan oleh Nabi
Muhammad saw., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, taqrīr (pengakuan), maupun hal-ihwal
yang disandarkan kepada beliau.8 Jalan yang telah ditunjukkan tersebut sudah menjadi tradisi bagi
umatnya, sejak awal perkembangan Islam hingga saat sekarang ini.
Dengan demikian, sunnah berkenaan dengan suatu pernyataan atau perbuatan bahkan
taqrir Nabi yang kandungan hadisnya menghendaki untuk diikuti atau dijadikan panutan sebagai
suatu kebiasaan yang bernilai ibadah bila dikerjakan. Inilah yang kemudian oleh ulama fiqh
mendefinisikan sunnah, sebagai suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan tidak berdosa. Dalam kedudukan sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah
Alquran, maka terkadang sunnah bersifat wajib sebagai kelengkapan suatu perintah. Misalnya
kewajiban melaksanakan shalat dalam Alquran, maka rincian atau tatacara pelaksanaan shalat
yang ada dalam Sunnah menjadi wajib, karena kewajiban shalat tidak lengkap kalau tidak
dilaksanakan sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Karena substansi sunnah mengandung unsur kewajiban atau anjuran untuk diikuti maka
semua sunnah sudah pasti hadis, tapi tidak semua hadis mengandung unsur sunnah. Untuk
membedakan antara hadis dan sunnah secara sederhana kalau bisa dibedakan antara Nabi lahir
pada hari senin sebagai hadis Nabi, sedangkan Nabi berpuasa dan hari senin dan kamis adalah
sunnah Nabi.
Pada umumnya ulama hadis, seperti al-Turmūziy dan Mushthafā al-Sibā’iy memberikan
pengertian yang sama antara al- hadis dengan al-sunnah, yaitu segala yang berkenaan dengan: (1)
perkataan, (2) perbuatan, (3) pengakuan, serta (4) sifat dan keadaan pribadi Nabi Muhammad
saw. Berbeda dengan mayoritas ulama hadis, al-Kamāl ibn Human mengatakan bahwa al-hadis
hanya tertuju kepada perkataan Nabi saw. , sedangkan al- sunnah sekaligus tertuju kepada perkataan
dan perbuatan Nabi Muhammad saw.
4. Al Atsar
Dari segi etimologis, al-atsar berarti sisa, bekas (jejak), atau peninggalan sesuatu.
Sedangkan dari segi terminologis, al-atsar adalah bekas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad
saw. baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun hal- ihwalnya. Al-atsar
(bekas) itu bisa juga sebagai peninggalan para sahabat atau para tābi'īn. Karena umat Islam
sesudah generasi sahabat tidak pernah lagi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. maka untuk
mengetahui keberadaan beliau dan ajaran yang disampaikan cukup diperoleh melalui bekas (jejak)
atau petilasan sejarah yang menceritakan hadis atau berita dari Nabi saw. Jejak itu nantinya boleh
jadi benar dan boleh jadi tidak benar.
Pada umumnya ulama Khurasan menamai informasi yang berasal dari para sahabat sebagai
al-atsar, sedangkan informasi yang berasal dari Nabi disebut dengan al-khabar. Al-Thahawiy
memakai istilah al-atsar untuk informasi yang berasal dari Nabi dan para sahabat, sedangkan al-
Zarkasyiy meng gunakan istilah al-atsar untuk informasi yang berasal dari para tābi’īn. Adapun al-
Thabariy memakai istilah al-atsar, khusus terhadap informasi yang berasal dari Nabi saw.
Mencermati perbedaan pendapat ulama dalam peng- gunaan istilah-istilah di atas, dapat
dipahami bahwa perbedaan tersebut sangat tergantung pada kecenderungan seorang ulama untuk
memakai istilah yang disukainya. Karenanya, penulis berpendapat bahwa perbedaan tersebut
tidaklah prinsipil, sebab tujuan akhirnya sama, yaitu untuk menunjukkan bahwa informasi yang
diterimanya itu berasal dari Nabi, sahabat, atau dari tābi’īn adalah hadis.
5. Bentuk-bentuk Hadits
Persoalan mendasar dalam memahami hadis adalah mengetahui kriteria dan klasifikasi
apa saja yang masuk dalam kategori hadis. Kesalahan dalam menempatkan unsur sesuatu akan
membawa dampak kesalahan penilaian dan kekeliruan dalam menyimpulkan suatu persoalan. Silang
pendapat para pakar hadis untuk menempatkan unsur-unsur kategori hadis dikarenakan sudut
pandang mereka berbeda sesuai pandangan mereka mengenai pengertian hadis.
Berdasarkan kategorisasi Muhammad Abdul Rauf, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi
Ismail, bahwa unsur-unsur hadis adalah:
a. Sifat-sifat atau keadaan Nabi saw. yang diriwayatkan oleh para sahabat, baik sesudah
atau sebelum kenabian.
b. Perbuatan atau akhlak Nabi saw. yang diriwayatkan oleh para sahabat.
c. Perbuatan para sahabat di hadapan Nabi yang dibiarkan dan tidak dicegah oleh Nabi
saw.
d. Timbulnya berbagai pendapat sahabat di hadapan Nabi saw. lalu beliau
mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui dan membenarkan salah satu
pendapat sahabatnya.
e. Sabda Nabi saw. yang diucapkan secara langsung oleh beliau.
f. Firman Allah swt selain Alquran yang disampaikan oleh Nabi saw. (hadis qudsi).
g. Surat-surat yang dikirim Nabi saw., baik yang dikirim kepada sahabat yang bertugas di
daerah maupun yang dikirim kepada pihak di luar Islam.
Klasifikasi yang diuraikan di atas, dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu
qawliy (perkataan/sabda), fi’liy (perbuatan), taqrīriy (persetujuan), dan ahwāli (keadaan) Nabi saw.
Pengelompokkan ini didasarkan pada asumsi bahwa pengertian hadis mengandung empat hal di
atas. Qawliy atau qawl, menyangkut sabda Nabi saw. sendiri, hadis qudsi, surat-surat atau naskah
administrasi masa kehidupannya. Fi’liy atau af’āl. menyangkut perbuatan dan tingkah laku Nabi
saw. Taqririy atau taqrīr Nabi saw. berupa mendiamkan dan mengoreksi perkataan atau perbuatan
sahabat. Sedangkan ahwāliy meliputi sifat khalqiy (keadaan pribadi) dan sifat khulqiy (akhlak)
Nabi saw.
6. Implikasi Hukum Hadits Sunnah
a. Perkataan
b. Perbuatan
c. Pengakuan
d. Sifat
e. Keadaan Nabi Muhammad saw
7. Sanad
Adapun pengertian sanad, secara bahasa adalah sesuatu yang tinggi atau tampak dari
bumi, atau sandaran. Sanad, sebagai sandaran, atau sesuatu yang dijadikan sandaran, karena
periwayat menyandarkan riwayatnya kepada yang periwayat lain yang memberi riwayat kepada.
Ulama hadis sepakat sanad awal dimulai dari periwayat yang terdekat dengan mukharrij saat
menyandarkan riwayatnya kepada guru atau periwayat yang memberinya.14 Sedangkan menurut
istilah sanad adalah ‫( طﺮﯾﻖ اﻟﻤﺘﻦ اﻻﺧﺒﺎر ﻋﻦ‬pemberitaan yang menyampaikan kepada matn).
Menurut al-Suyuthi sanad adalah, ‫( ﻣﺼﺪره ﺳﻠﺴﻠﺔ اﻟﻼول اﻟﺮواة اﻟﺬﯾﻦ ﻧﻘﻠﻮا اﻟﻤﺘﻦ ﻋﻦ‬silsilah para
periwayat yang menukilkan hadis dari sumber pertama). Jadi, hubungan dan keterkaitan antara
para periwayat dari mukharrij ke gurunya hingga ke guru terakhir itulah yang merupakan sanad
hadis.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat term-term seperti, al-isnad, al-musnid, dan
al-musnad. Kata-kata ini secara terminologi mempunyai arti yang cukup luas. Isnad berarti
menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksud di sini
adalah menyandarkan hadis kepada orang yang menyandarkannya. Kata al-musnad bisa berarti
hadis yang disandarkan. Juga bermakna kumpulan hadis yang disebutkan sanad-sanadnya secara
lengkap. Atau berarti himpunan hadis-hadis berdasarkan nama-nama para sahabat sebagai
periwayat pertama.
8. Matn
Matn menurut bahasa berarti ‫( ﻣﺎ إرﺗﻔﻊ ﻣﻦ اﻻرض‬adalah punggung jalan (muka jalan) atau
permukaan tanah yang keras/tinggi.). Sedangkan menurut istilah ‫( ﻣﺎ ﯾﻨﺘﮭﻰ إﻟﯿﮫ اﻟﺴﻨﺪ ﻣﻦ اﻟﻜﻼم‬suatu
kalimat tempat berakhirnya sanad). Atau dengan redaksi yang lain, ialah : ‫اﻟﺘﻰ ﺗﺘﻘﻮم ﺑﮭﺎ ﻣﻌﺎﻧﯿﮫ‬
‫( اﻟﻔﻆ اﻟﺤﺪﯾﺚ‬Lafal-lafal hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu). Ada juga yang
menyebut matn adalah ujung sanad (ghayah al-sanad). Jadi, matn adalah materi atau lafal hadis.
Jelasnya, yakni materi hadis Nabi saw. yang disebut sesudah sanad, atau umumnya disebut lafadz
atau isi hadis.
9. Rawi
Secara bahasa, kata rawi (periwayat) merupakan isim fa’il dari kata ‫ رواﯾﺔ ﯾﺮوي روي‬yang
berarti meriwayatkan atau menceritakan. Istilah para muhaddis, seperti pendapat M. Syuhudi Ismail
rawi adalah sebagai orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang
pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).
10. Perbedaan Sanak dan Rawi
Bedanya, dalam menyebut orang yang meriwayat dan memindahkan hadis kepada orang
lain atau menghimpun sebuah hadis disebut sebagai rawi, tentunya sahabat sebagai rawi pertama,
tabiin kedua dan seterusnya. Sanad yaitu mereka yang menerima riwayat itu, sanad pertama
dimulai dari rawi yang terdekat dengan mukharrij. Bila ingin meneliti kualitas para periwayatnya,
maka dipakai istilah penelitian sanad. Kongritnya untuk menghitung rawi pertama dimulai dari
sahabat Nabi sebagai periwayat terdekat yang telah menerima hadis itu dari Nabi saw., dan untuk
menghitung sanad pertama dimulai dari periwayat pertama (guru) yang terdekat dengan mukharrij.
Tiga unsur pokok yang membentuk sebuah sistem periwayatan hadis sangat penting.
Tanpa adanya salah faktor dari tiga komponen tersebut, kedudukan hadis perlu dipertanyakan
keberadaannya. Akan tetapi terkadang ada hadis yang tidak menyebutkan matnnya secara
langsung atau lengkap seperti menggunakan lafaz ‫ ھﻜﺬا‬atau ‫ ﻣﺜﻠﮫ‬adalah simbol matn yang
menunjukan bahwa matn hadis tersebut sama dengan sebelumnya. Dalam kajian kitab-
kitab hadis sering kita temukan ada hadis yang disebutkan secara utuh ketiga unsur tersebut dan
ada juga yang hanya mukharij dan matn hadisnya saja.
11. Mukharrij
Mukharrij dalah ulama yang menghimpun hadis dalam sebuah kitab hadis. Mukharrij
dari kata al-takhrīj dalam bahasa Arab adalah takhrīj (‫ )ﺗﺨﺮﯾﺞ‬berasal dari akar kata kharraja
(‫ )ﺧﺮج‬yang berarti mengeluarkan, tampak atau jelas.21 Takhrij yaitu kegiatan menghimpun atau
mengemukakan hadis dalam sebuah kitab hadis dengan me-nyebutkan para periwayatnya dalam
sanad dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. Para mukharrij hadis, misalnya Imam
al-Bukhariy dan Imam Muslim dengan kitab Shahih-nya, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’iy,
Ibn Majah, dan masih banyak lagi.
12. Dalil Al Qur’an tentang Hadis sebagai Hukum Islam Kedua
  
   
     
     
    
     

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS
Annisa : 59)
13. fungsi Hadis dalam Al Qur’an
 Bayan At Taqrir adalah menetapkan juga memperkuat dari apa yang sudah diterangkan
dalam Al-Quran. Hadist ini berfungsi untuk membuat kandungan Al-Quran semakin
kokoh dengan adanya penjelasan hadist tersebut.
 Bayan At Tafsir memiliki arti sebagai fugsi perincian dan penafsiran Al-Quran. Mungkin
di Al-Quran masih bersifat umum, sedangkan dalam hadist diperinci dan didetailkan serta
mentekniskan apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran.
 Bayan At Tasyri memiliki maksud untuk mewudukan hukum atau aturan yang tidak
didapat dalam Al-Quran secara eksplist. Hal ini berfungsi untuk menunjukkan suatu
kepastian hukum dengan berbagai persoalan yang ada di kehidupan namun tidak
dijelaskan Al-Quran.
 Bayan Nasakh memiliki maksud untuk menghapus ketentuan yang ada dengan ketentuan
yang lain karena datangnya suatu permasalahan yang baru. Namun tentunya bukan
menghapus isi dan substansi dari Al-Quran hanya saja masalah teknisnya yang berbeda.
14. Inkra Sunnah
Kata “Inkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata “Ingkar”
mempunyai beberapa arti di antaranya: “Tidak mengakui dan tidak meneri,a baik di lisan dan di
hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al-irfan, dan menolak apa yang tidak
tergambarkan dalam hati).
Menurut istilah ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yang sifatnya masih sangat
sederhana pembatasannya di antaranya sebagai berikut:
a. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al Quran.
b. Suatau paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar
hukum Islam dari sunnah shahih baik sunnah praktis atau secara formal d
kodifikasikan para ulama, baik secara totalitas muttawatir maupun ahad atau sebagian
saja, tanpa ada alasaan yang dapat diterima.
Paham Ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah muttawatir dan
ahad atau menolak yang ahad saja dan atau sebagian saja. Demikian juga penolakan sunnah tidak
di dasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat diterima oleh akal yang sehat, seperti
seorang muktahid yang menemukan dalil yang lebih kuat dar pada hadis yang ia dapatkan, atau
hadis itu tidak sampaikepadanya, atau karena kedhaifannya, atau karena ada tujuan syar’i yang
lain, maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian
maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini
mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Penyebutan Ingkar as-sunnah tidak semata-mata berarti penolakan total terhadap sunnah.
Penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk dalam kategori ingkar as-sunnah, termasuk di
dalamnya penolakan yang berawal dari sebuah konsep berpikir yang janggal atau metodologi
khusus yang diciptakan sendiri oleh segolongan orang baik masa lalu maupun sekarang
sedangkan konsep tersebut tidak dikenal dan diakui oleh ulama hadis dan fiqh.
15. Hadits Qudsi
Hadits Qudsi (Arab: ‫اﻟﺤﺪﯾﺚ اﻟﻘﺪﺳي‬, translit. al-ḥadīṡ al-qudsī Harkan kepada Tuhannya.
Secara sederhana dikatakan hadits qudsi adalah perkataan Nabi Muhammad, tentang wahyuAllah
yang diteriadits Qudsiy) salah satu jenis hadits di mana perkataan Nabi Muhammad disandarkan
kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad meriwayatkan perkataan Allah.
16. Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al Qur’an
a. Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
sedangkan hadits qudsi tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah namun
lafazhnya berasal dari nabi.
b. Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak
demikian.
c. Syarat validitas al-Qur`an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan hadîts
qudsi tidak demikian.
d. Al Qur'an adalah wahyu Tuhan yang diterima Nabi Muhammad lewat perantaraan
Malaikat Jibril. Sehingga Jibril membacakan wahyu dengan permulaan kata quldan
Jibril membahasakan Tuhan dengan sebutan nama-Nya, Allah (dan Asmaul Husna
lainnya)
17. Hadits Marfu’
AlMarfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang
memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan),
atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas
ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu
shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi,
yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan
marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
18. Hadits Mauquf
Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi
menghentikan sebuah hadis pada sahabat. Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa
segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik
perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut
dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada
Rasulullah saw.
19. Hadits Maqthu’
Menurut bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata ‫ع‬ ُ ‫اط ٌع َو َم ْق‬
ٌ ‫ط ْو‬ ْ َ‫ط َع يُ َق ِّط ُع ق‬
ِّ َ‫طعًا ق‬ َّ َ‫ق‬yang berarti
terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini
dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.
Hadis maqthu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau orang
setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik bersambung sanadnya maupun
terputus.
20. Hadits Mutawatir dan Ahad
Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fail dari kata al-tawatur, yang berarti at-
tatabuk, yaitu berturut-turut. Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis
mutawatir adalah hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi
yang banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.
Contoh Hadis Mutawatir ‘Amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat
shalat, shalat jenazah, shalat Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat dan segala
rupa amal yang menjadi kesepakatan dan ijma’.
Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti kebenarannya dan
menghasilkan ilmu yang durudy (pasti). Oleh karenanya, adalah wajib bagi umat Islam untuk
menerima dan mengamalkannya. Dan karenanya pula, orang yang menolak hadis mutawatir
dihukumkan kafir adalah maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya
tak diperlukan lagi.
Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Menurut istilah ilmu hadis. Sedangkan pendapat hadis lain, kata ahad bentuk plural (jamak) dari
ahad (‫ )اﺤﺎﺪﺠﻤﻊﺃﺤﺪ‬dengan makna wahid : satu, tunggal atau esa. Hadis atau khabar wahid berarti
hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dengan dipanjangkan bacaan a-haad mempunyai
makna satuan. Nilai angka satuan tidak mesti satu, tetapi dari satu sampai sembilan. Dalam
bahasa arab khabar ahad (predikat dalam susunan) memasukan bentuk dua (tatsniah) dan bentuk
banyak (jamak), karena pengertiannya adalah khabar yang tidak berupa jumlah (kalimat
sempurna) dan tidak serupa dengannya.
21. Hadits Shaih dan Syaratnya
Kata sahih berasal dari bahsa Arab as-shahih, berbentuk pluralnya ashihha dan berakar
kata pada shahha. Dari segi bahasa, kata ini memiliki beberapa arti, di antaranya: (1) selamat
dari penyakit, (2) bebas dari aib/cacat.
Dari segi istilah, para ulama berpendapat bahwa hadis sahih adalah: “hadis yang
sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi Muhammad), diriwayatkan oleh (periwayat)
yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz)
dan cacat (illat).
Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat-syarat Hadis Sahih ada lima macam. Yakni:
a. Sanad Hadis harus bersambung (ittishalul isnad).
Maksudnya, sanad hadis itu sejak dari mukharrijnya sampai kepada nabi tidak ada yang
terputus. Arti sambung adalah setiap perawi mendengar hadis tersebut dari orang sebelumnya
dengan nyata, sedang sebelumnya mendengar dari orang sebelumnya lagi, dan begitulah
seterusnya sampai akhir sanad.
b. Para perawi yang meriwayatkan hadis itu, haruslah orang yang bersifat adil
(kepercayaan).
c. Para perawi yang meriwayatkan hadis itu, haruslah bersifat dhabith.
Arti dhabith di sini ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami
dan hafal dengan baik apa yang diriwayakannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu
kapan saja dikehendaki.
Gabungan dari sifat adil dan dhabith, biasa disebut dengan istilah tsiqah atau tsabat. Jadi,
orang yang tsiqah pasti adil dan dhabith, tetapi orang yang adil saja tau dhabith saja, belum
termasuk orang yang tsiqah.
d. Sanad dan matan hadis terhindar dari syadz.
Artinya perawi yang tsiqah tersebut tidak menyalahi perawi yang lebih unggul darinya.
Matan hadis dinyatakan mengandung syadz jika periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut
sebenarnya terpecaya, tetapi ia menyalahi periwayat-periwayat lain yang lebih tinggi.
e. Sanad dan matan hadis itu terhindar dari illat.
Illat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam
penerimaannya, kendati secara lahiriah hadis tersebar dari illat. Lebih jelasnya adalah bahwa
hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya. Yami hadis itu terbebas dari sifat-
sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukan adanya
cacat tersebut.
22. Hadits Hasan
Hadits Hasan (Arab: ‫ الحديث الحسن‬Al-Hadîts al-Ḥasan) adalah tingkatan hadits yang ada di
bawah hadits Shahih. Menurut Imam Tirmidzi, hadits Hasan adalah hadits yang tidak berisi
informasi yang bohong, tidak bertentangan dengan hadits lain dan Al-Qur'an dan informasinya
kabur, serta memiliki lebih dari satu Sanad
23. Hadits Dhaif
Hadis lemah atau Hadits Dha'if (Arab: ‫ )ﺣﺪﯾﺚ ﺿﻌﯿف‬adalah kategori hadis yang tertolak
dan tidak dapat dinyatakan kebenarannya berasal dari perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad
saw.
Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat
sebagai hadis shahih maupun hasan) maka disebut hadits dho'if dan hadis (seperti) ini banyak
sekali ragamnya. Menurut iman Al-Baiquni.
24. Periwayatan Hadits
Periwayatan hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis
itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang diterimanya kepada
orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para
periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam
periwayatan hadis Nabi, yaitu; (1) orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian
dikenal dengan rawi (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (marwi), (3) susunan rangkaian pera
periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal
dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian
hadits.
25. Syarat Periwayatan dan Penerimaan Hadits
Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan
hadits kepada orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah
barang tentu menurut pertanggung jawaban yang sangat berat, sebab sah atau tidaknya suatu
hadits juga tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan
ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits seperti yang disebutkan berikut
ini:
a. Islam
b. Baliqh
c. Adil
d. Dhabith
Para ulama hadits menggolongkan cara menerima suatu periwayatan hadits menjadi
delapan macam:
a. Al Sama’
b. Al-Qira’ah ‘ala al-syaikh atau ‘aradh al-qira’ah
c. Al Munawalah
d. Al Ijazah
e. Al Mukatabah
f. Al I’lam
g. Al Wasiyah
h. Al Wijadah
26. Metode Periwayatan dan Penerimaan Hadits
Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa metode periwayatan hadis Nabi itu ialah:

 As-sama’

 Qira’ah

 Ijazah

 Munawalah

 Mukatabah

 I’lam

 Wasiyah, dan

 Wijadah

Anda mungkin juga menyukai