Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
a.

Latar Belakang



:



Aku tinggalkan bagi kamu dua perkara yang mana kamu tidak akan sesat
selagimana kamu berpegang teguh kepadanya : Kitab Allah dan Sunnah
RasulNya. (Hadis riwayat Imam Malik & Tirmizi).
Hadist merupakan dasar ajaran umat Islam setelah al quran. Meskipun
demikian, Hadist tidak dapat dipisahkan dengan Al Quran, karena hadist
secara fungsioanal merupakan ekspansi terhadap kandungan isi Al
Quran. Sesuai dengan ayat Allah dalam surat an nahl ayat 44 :








Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.
Walaupun hadist merupakan dasar umat Islam, tetapi sebagian umat
Islam ada yang belum mengerti apa itu makna hadist. Kadangkala,
mereka mengartikan hadist sama dengan sunnah, khobar, atau atsar. Hal
ini dikarenakan mereka hanya mempelajari secara dzohirnya saja, tidak
mendalami dengan baik pengertian dari hadist itu sendiri. Sehingga
mereka menganggap sunnah, khobar atau atsar sama dengan hadist.

b.

Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hadist, sunnah, khabar, Atsar, dan hadist qudsi?


2. Apa perbandingan hadist nabawi, hadist qudsi dan al qur'an?
3. Apa saja tuduhan salah terhadap hadits?
4. Apa kedudukan hadits dalam syariat Islam?
c.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian hadist, sunnah, khabar, atsar dan hadist qudsi
2. Mengetahui dan memahami perbedaan hadist nabawi, hadist qudsi dan al
quran
3. Dapat mengetahui beberapa tuduhan salah terhadap hadits
4. Dapat menjelaskan kedudukan hadits dalam syariat Islam
BAB I

PEMBAHASAN
A.

Pengertian Hadist, Sunnah, Khobar, Atsar dan Hadist Qudsi


Dalam pembahasan ini, ada beberapa pendapat yang membedakan atau
menyamakan salah satu istilah dengan istilah lainnya yang akan dibahas.
Contohnya pengertian hadist dengan sunnah, ada beberapa pendapat
yang menyamakan dan juga ada yang membedakan. Untuk lebih jelasnya,
di sini akan dijelaskan pengertian Hadist, Sunnah, Khabar, Atsar, dan
hadist qudsi.

a. Pengertian Hadist
Sebelum membahas makna hadist secara terminologi, kali ini akan
dibahas terlebih dahulu pengertian hadist secara etimologi. Hadist berasal
dari bahasa arab yakni al haadist, bentuk jamak dari al ahaadist, al
hidsaan dan al hudsaan.[1]
Bentuk jamak al ahaadist disebut sebagai simai yaitu dalam terminology
disebut sesuatu yang didengar dari pembicaraan (kalam) bahasa arab
yang kemudian kata tersebut digunakan sebagaimana adanya dalam
sehari-hari. Sedangkan bentuk kedua lainnya disebut qiyasi, yaitu sesuatu
yang diqiyaskan dengan wazan tertentu. Dengan demikian, kata al
hidsaan dan al hudsaan itu diqiyaskan mengikuti wazan filan dan fulan
yang dipakai sebagai standar baku dikalangan ahli bahasa. Di antara
ketiga jamak tersebut, kata al ahadist lebih banyak dipakai untuk
menyebut hadist-hadist Rasulullah, seperti ahadist Rasul, dan jarang
sekali dipakai kata hudsaan ar rasul ataupun hidsaan ar rasul.
Secara etimologi, hadist juga bias bermakana al jadiid (baru), lawan dari
al qadiim (terdahulu). Melihat dari makna al jadiid ini berorientasi kepada
kalam nabi Muhammad SAW, dan sebaliknya al qadiim lebih berorientasi
terhadap firman-firman Allah SWT.
Selain di atas, hadist dalam makna etimologi bermakna Al khabaar
(berita). Hal ini disandarkan dari ungkapan dalam pemberitaan hadist
yang

diungkapakan

oleh

para

perawi

yang

menyampaikan

periwayatannya. Jika bersambung sanadnya selalu menggunakan kata al


hudtsaan= memberikan kepada kami atau mengkhabarkan kepada kami.
Sedangkan makna hadist secara terminologi, para ahli hadist banyak yang
berbeda dalam memberikan redaksi tentang pengertian hadist, meskipun
demikian maknanya tetap sama.
Ulama Mahmud Ath Thanan (Guru besar hadist di fakultas Syariah dan
Dirasa Islamia di Universitas Kuwait) mendefinisikan :
Sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan
atau perbuatan atau persetujuan.[2]
Dalam beberapa buku, para ulama berbeda dalam mengungkapkan
datangnya Hadist tersebut, diantaranya ada yang seperti di atas Sesuatu
yang datang ada juga yang menggunakan beberapa redaksi seperti
Sesuatu

yang

disandarkan,

atau

Sesuatu

yang

disandarkan

kepada atauSesuatu yang dibangsakan kepada. Atau

Sesuatu

yang diriwayatkan dari.


Redaksi di atas berbeda, tapi maknanya tetap sama, yakni sesuatu yang
datang atau bersumberkan dari nabi atau disandarkan kepada nabi.
b.

Pengertian Sunnah
Sunnah secara etimologi berasal dari bahasa Arab sanna, yasunna,
sunnatan, yang berarti perilaku yang mentradisi, norma-norma, undangundang.[3] Secara etimologi, istilah sunnah memiliki arti yang berabeka
ragam. Di antaranya = Suatu perjalanan yang diikuti, baik
dinilai perjaanan baik atau perjalanan buruk. Misalnya sabda Nabi SAW :

Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah) kebaikan, kemudia


diikuti orang maka baginya pahalanya dan samdengan pahala orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Makna lain dari sunnah adalah = tradisi yang kontinu,
misalnya firman Allah SWT dalam surat ala Fath : 23

Sebagai suatu "Sunnatullah" (peraturan Allah) yang telah berlaku


semenjak dahulu lagi; dan engkau tidak akan mendapati perubahan bagi
Sunnatullah itu.
Sedangkan Sunnah menurut istilah, para ulama ada perbedaan pendapat
dalam mendefinisikan. Di antaranya adalah :
1.

Menurut ulama Hadist (Muhaddistin).


Sunnah adalah sinonim dari hadist. Di antara ulama mendefinisikan
sunnah sebagai berikut,

segala perkataan Nabi Muhammad SAW,

perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.


2.

Menurut ulama Ushul Fiqh (Ushuuliiyuun)


Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
SAW baik yang bukan alquran baik berupa segala perkataan, perbuatan,
dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hokum syara.
Sunnah menurut ulama Ushul fiqh hanya perbuatan yang dapat dijadikan
hokum dasar hokum Islam. Karena jika suatu perbuatan Nabi Muhammad
SAW dijadikan dasar hokum seperti makan, minum, meludah, dan lainlain, maka pekerjaan sehari-hari iu tidak bias dinamakan sunnah.

3.

Menurut Ulama Fiqh (Fuqahaa)


Dalam mendefinisiakn istilah sunnah, ulama fiqh berpendapat bahwa
sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW
baik berupa ucapan maupun pekerjaan, tetapi tidak wajib untuk
dikerjakan. Dengan kata lain, Ulama Fiqh mengartikan sunnah sebagai
salah satu dari lima hokum Islam, yakni wajib, sunnah, haram, makruh
dan mubah. Jadi dengan kata lain pula, Ulama Fiqh mengartikan sunnah
adalah suatu pekerjaan yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.

c.

Pengertian Khabar
Secara etimologi, khabar diartikan = berita. Dan dari segi istilah di
antar para ulama mendefinisikan sebagai :
Sesuatu yang datang dari nabi Muhammad SAW dan dari yang lain seperti
para sahabat, tabiin dan pengikut tabiin atau orang-orang setelahnya.

Dibandingkan dengan hadist, para ulama ahli hadist memandang khabr


lebih umum dibandingkan hadist. Karena sesuai definisi yang diberikan di
antara para ulama di atas, bahwa khabar tidak hanya disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW melainkan selain nabi juga, yakni para sahabat,
tabiin dan pengikut tabiin.
d.

Pengertian atsar
Secara etimologi atsar di artikan peninggalan atau bekas
sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi (hadis). Atau bisa
diartikan sebagai

( yang dipindahkan dari nabi), seperti:

artinya : doa yang disumberkan dari nabi.


Sedangkan secara istilah bisa juga disebut sebagai:

Segala sesuatu yang diriwayatkan dari para sahabat, dan boleh juga
disandarkan pada Nabi.[4]


Bahwasanya hadis bukan hanya untuk sesuatu yang marfu, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu
yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada para sahabat, dan yang
maqtu, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada tabiin.
Seseatu yang disandarkan kepada para sahabat disebut berita mawquf.
Sedangkan yang datang dari para tabiin disebut berita maqhtu.
e.

Pengertian Hadist Qudsi


Hadist qudsi disebut juga hadist Illahi atau hadist Rabbani. Melihat asal
usul katanya qudsi (suci), Illahi (Tuhan), dan Rabbani ( ketuhanan) karena
ia bersumber dari Allah SWT yang maha suci dan dinamakan hadist
karena nabi yang memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah
SWT.
Definisi hadis qudsi ialah :

Segala perkataan yang disandarkan Rasul SAW kepada Allah SWT.

Definisi ini menjelaskan, bahwa nabi hanya menceritakan berita yang


disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan tidak ada
perbuatan dan persetujuan sebagaimana hadist nabi biasa.
B.

Perbandingan Hadist Nabawi, Hadist Qudsy, dan Al Quran


Hadist

dapat

dilihat

dari

sandarannya

yang

ada

dua;

Pertama,

disandarkan pada nabi sendiri disebut Hadist Nabawi, kedua, disandarkan


kepada Tuhan yang disebut Hadist Qudsi[5].
Untuk lebih jelasnya, hadist nabawi merupakan sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan, atau
persetujuan yang periwayatannya juga melalui beliau. Sedangkan hadist
qudsi, kalam-nya dinisbatkan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW
menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
Bila di dalam hadist terdapat kata-kata :
Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhannya....
Atau
Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT berfirman.
Bisa dipastikan bahwa hadist tersebut merupakan hadist qudsi.
Istilah al quran menurut para ulama banyak yang memberikan redaksi
yang berbeda tentang definisi al quran, tetapi definisi yang paling
lengkap

seperti

yang

dikatakan

Dr.

Subhi

Shalih

dalam

bukunya

Mabaahits Ulum Al Quran sebagai berikut :


Kalam

Allah

yang

mengandung

mujizat,

diturunkan

kepada

Nabi

Muhammad SAW tertulis pada muhsaf, diriwayatkan secara mutawattir


dan yang dinilai ibadah dengan membacanya.[6]
Dari definisi Al quran di atas, dapat kita jelaskan secara sederhana bahwa
:

1. Al quran adalah firman Allah SWT, bukan sabda Nabi, manusia atau juga
malaikan dan lain sebagainya.
2. Al quran mengandung mujizat seluruh kandungannya sekalipun sekecil
huruf dan titinyapun dapat mengalahkan lawan-lawannya.
3. Al quran diturunkan secara mutawatir sehingga kepastiannya itu mutlak.
Sedangkan hadist qudsi kebanyakan adalah khabar ahad sehingga
kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya hadist qudsi itu
shahih, hasan, terkadang pula dhaif.
4. Membaca al quran adalah ibadah sedangkan membaca hadist qudsi tidak
.
C.

Beberapa Tuduhan Salah Terhadap Hadits

Salah satu gugatan yang dilontarkan oleh kalangan orientalis ketika


menggugat otentisitas hadits adalah pernyataan tentang ketiadaan data
historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat
memastikan otentisitas hadits. Hal ini (menurut mereka) disebabkan tidak
adanya kitab-kitab atau catatan-catatan hadits dari para sahabat RA. Dan
menurut mereka hadits-hadits yang ada baru dicatat pada abad kedua
dan ketiga hijriah. Secara implisit mereka hendak mengatakan bahwa
hadits yang ada sekarang tidak asli dari Muhammad Saw, dan tidak lebih
hanyalah buatan para ulama dan generasi setelah Rasul Saw dan para
Sahabat RA. Benarkah demikian?
Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat.
Dr.Syamsuddin Arif mengatakan, gugatan orientalis terhadap hadits
bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian
Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa
Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status
hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup
dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah
tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan
anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).

Secara umum kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis memang


memiliki kecenderungan dan motif yang berbeda. Ada yang berniat
mencari kebenaran dan tidak sedikit juga yang mencari kelemahan
Islam. Jika sebagian orientalis yang sungguh-sungguh mencari kebenaran
dari Islam melakukan kajian dengan ilmiah dan obyektif, maka sebagian
yang lain yang berniat mencari kelemahan Islam justru melakukan kajian
secara tidak obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga. Kemudian hasil
kajian tersebut digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya dengan
menggugat otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah
rekayasa para ulama abad kedua hijriah.
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah
satunya adalah Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses
kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru
berwujud pada masa setelah al-Syabi (w. 110 H). hal ini berarti haditshadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang
setelah al-Syabi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal
pada masa pengangkatan para qadhi. Maka kesimpulan yang didapat dari
hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para
qadhi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih
tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum
mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabiin, para Sahabat, dan
berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut
Schacht.
Hasil kajian Schacht tersebut sebenarnya telah dibantah oleh Muhammad
Musthafa Azami, seorang ulama dari India. MM Azami telah mengkritik
kesalahan dan kecerobohan yang dilakukan oleh Schacht. Menurutnya,
metode yang dipakai oleh Scathc dengan meneliti sanad hadits dari kitabkitab fiqh jelas keliru. Seharusnya Schacht merujuknya dari sumber utama
yaitu kitab-kitab hadits sehingga tidak akan menghasilkan kesimpulan
yang keliru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh MM Azami,
sebenarnya pemakaian sanad , jauh-jauh hari telah dilakukan oleh

masyarakat Arab secara umum. Artinya tradisi tersebut telah ada dan
dilakukan oleh para Sahabat untuk meriwayatkan hadits.
Tampaknya hasil kajian Schacht mulai menunjukkan kelemahan dengan
banyaknya bantahan dari pakar Islam. Adalah Dr. Ugi Suharto dengan
analisanya telah menguatkan bantahan M.M. Azami terhadap Schacht.
Beliau mengatakan bahwa tradisi periwayatan hadits dengan isnad telah
dimulai sejak para Sahabat menerima hadits dari Rasul Saw. Salah satu
contoh yang dikemukakan oleh Dr. Ugi Suharto adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya bahwa Rasul Saw telah
bersabda: Hendaklah orang yang muda memberi salam kepada yang
tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang
banyak. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ahmad ibn Hanbal
dari Abd al-Razzaq dari Mamar dari Hammam ibn Munabbih dari Abu
Hurairah r.a.
Dalam rangkaian sanad tersebut yang menarik adalah bahwa semua rawi
tersebut adalah ahli hadits dan memiliki kitab-kitab hadits. Sebagaimana
diketahui bahwa Abu Dawud (w. 275 H/888 M) adalah murid dari Imam
Ahmad (w. 241 H/855 M) dan meriwayatkan hadits darinya. Hadits di atas
terdapat dalam Sunan Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, bagian Bab Man
Awla bi al-Salam. Hal demikian sudah tentu Abu Dawud selama belajar
kepada Imam Ahmad sempat menyimak Musnad milik Imam Ahmad.
Ternyata ketika membuka Musnad Imam Ahmad hadits tersebut
ditemukan di sana. Hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa Musnad
Imam Ahmad turut berperan menjadi rujukan Imam Abu Dawud.
Usaha kalangan orientalis yang menyerang agama ini akan terus
menemui kebuntuan. Hal ini karena para ulama dan para fuqoha serta
orang-orang yang ikhlas tidak akan pernah berhenti menyingkap
kebohongan-kebohongan mereka dengan menampakkan kebenaran Islam.
Serta mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman kaum
muslimin, menyingkirkan racun pemikiran (sekulerisme, liberalisme,

pluralisme, serta seluruh derivasinya) hingga umat ini bisa membedakan


antara yang bathil dan yang haq.
Walhasil, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan agama ini selain
mengembalikan pemikiran kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya dan memahami keduanya sebagaimana pemahaman
para Sahabat RA dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
D. Kedudukan Hadits Dalam Syariat Islam
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah
satu sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah AlQur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa
perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti
Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an,

yang

karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan


memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan
Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian,
antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk
mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan
dengan sendiri1
Al-Quran itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi
asas

perundang-undangan

setelah

dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Al-Quran

sebagaimana

yang

bahwa Hadits adalah sumber

hukum syara setelah Al-Quran

Al-Quran dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan


merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun
1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan
penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Quran mengatan bahwa : Pokok1

pokok

ajaran Al-Quran begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga

tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya,
tetapi murni dalam teksnya
Menurut Ahmad hanafi Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum
sesudah Al-Quranmerupakan hukum yang berdiri sendiri.

Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan


kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan
petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut
untuk

dapat

dilaksanakan

dalam

kehidupan

manusia.

Karena

itu,

keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di


antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber
hukum dalam Islam adalah firman Allah dalam Al-Quran surah An- Nisa:
80


(80)



Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah
mentaati Alloh2[7]
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam
penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang
berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7











Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, makatinggalkanlah.
Dalam Q.S An Nisa 59, Allah berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya)
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
cukup hanya berpedoman pada Al-Quran dalam melaksanakan ajaran
Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.

BAB III
PENUTUP
Dari

pembahasan makalah di

atas

penulis

memberikan

beberapa

kesimpulan, antara lain:


1.Hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah,
yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari
2.

Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya.


Sunnah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal
dari Nabi-selain al Quran- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun

3.

taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syari.


Khabar menurut pengertiannya, sifatnya lebih umum dibandingkan

4.

dengan hadist dan sunnah.


Atsar menurut pengertian, sifatnya lebih umum dibandingkan dengan

5.

hadist, sunnah dan khabar.


Hadist Qudsi menurut pengertian adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada
Allah SWT, sedangkan Rasul SAW menceritakan dan meriwayatkan dari

6.

Allah SWT
Hadist nabawi merupakan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Rasulullah dan diriwayatkan dari beliau. Adapun hadist qudsi dinisbatkan
kepada Allah yang berupa kalam, sedangkan Rasul SAW menceritakan dan
meriwayatkan dari Allah SWT. Sedangkan al quran merupakan mukjizat
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad secara mutawattir dan
yang membacanya merupakan ibadah berbeda dengan hadis nabawi atau
hadist qudsi yang membacanya bukan termasuk bentuk ibadah.

Daftar Pustaka
Ichwan, Mohammad Nor, 2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang; RaSAIL Media
Grup.
Khon, Abdul Majid, 2009. Ulumul Hadis. Jakarta; KDT
Solahuddin, M. Agus, 2008. Ulumul Hadis. Bandung; Pustaka Setia
Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL Hidayatullah Surabaya 2007.
http//:www.perbedaan-antara-sunnah-dengan-hadits.html

[1] Mochammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis. Hal. 3


[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Quran. Hal. 2
[3] Mochammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis. Hal. 5
[4] Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL Hidayatullah Surabaya 2007,
hal 11
[5] Abdul Maid Khon, Ulumul Quran, hal. 11
[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Hal. 14

Anda mungkin juga menyukai