Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Allah SWT mengutus para Nabi dan Rosul-Nya kepada umat manusia untuk
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia dunia dan
akhirat. Rosululloh lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang
benar. Hukum Syara' adalah khitab Syari'(seruan Allah SWT sebagai pembuat hukum)
baik yang sumbernya pasti (qath'i tsubut) seperti Al-Qur'an dan Hadist, maupun
ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits yang
bukan tergolong mutawatir.

Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para


mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok
ajaran Islam adalah Al- Qur'an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam
sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat Al-Hadist dan As-Sunnah sebagai
penjelas Al-Qur'an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Agar mengerti serta
memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran
Islam. Didalam makalah ini akan membahas mengenai Hadist / Sunnah secara
mendalam sebab pada saat ini untuk sebagian orang yang kurang paham mengenai
islam masih kebingungan tentang kedudukan hadis ataupun bagaimana fungsi hadis
sebenarnya.

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Pengetian, Fungsi ,
kedudukan dalam islam,perbedaan dan persamaan hadist dan sunnah serta urgensi
asbab alwurud dan metode dalam memahami hadist.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hadist dan Sunnah?


2. Bagaimana fungsi dan kedudukan Hadist dan Sunnah dalam islam?
3. Apa perbedaan dan persamaan Hadist dan Sunnah?
4. Bagaimana sejarah pengumpulan Hadist?
5. Bagaimana Urgensi Asbab Al-Wurud dalam memahami Hadist?
6. Bagaimana Metode memahami hadist?
7. Bagaimana kritik Sanat,Matan,dan Historis Hadist?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian Hadist dan Sunnah


2. Mengetahui fungsi dan kedudukan Hadist dan Sunnah dalam islam
3. Mengetahui perbedaan dan persamaan Hadist dan Sunnah
4. Mengetahui Sejarah pengumpulan hadist
5. MengetahuiUrgensi Asbab Al-Wurud dalam memahami Hadist
6. Mengetahui Metode memahami hadist
7. Mengetahui kritik Sanat,Matan,dan Historis Hadist

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A、Pengertian Al-Hadist dan As-Sunnah

 Al-Hadist

Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang
berarti pembicaraan. Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi
perbedaan antara pendapat antara ahli hadits dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada
yang memberikan pengertian hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan
pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas diantaranya sebagaimana
yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:

‫ﻣﺎ أﺿﯿﻒ إﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻗﻮل أو ﻓﻌﻞ أو ﺗﻘﺮﯾﺮ أو ﺻﻔﺔ‬
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan atau
persetujuan atau sifat”.

Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis sebagai berikut :

‫اﻗﻮاﻟﮫ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ واﻓﻌﺎﻟﮫ واﺣﻮﻟﮫ‬


“Segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan dan segala keadaanya.”

Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh


sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi
sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan
dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’).

Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:

‫اﻗﻮاﻟﮫ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ واﻓﻌﺎﻟﮫ وﺗﻘﺎرﯾﺮه ﻣﻤﺎ ﯾﺘﻌﻠﻖ ﺑﮫ ﺣﻜﻢ ﺑﻨﺎ‬
“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi SAW yang bersangkut
paut dengan hukum”.

Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:

‫اﻗﻮاﻟﮫ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ واﻓﻌﺎﻟﮫ وﺗﻘﺎرﯾﺮه ﻣﻤﺎ ﯾﺘﻌﻠﻖ ﺑﮫ ﺣﻜﻢ ﺑﻨﺎ‬

“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi SAW yang bersangkut
paut dengan hukum”.

 As-Sunnah

Secara etimologis, sunnah berarti perjalanan yang pernah ditempuh.Dalam


istilah Arab, sunnah berarti “preseden” yang kemudian ditiru orang lain, apakah
sezaman atau sesudahnya; tidak dipersoalkan apakah sunnah itu baik atau buruk.
Dalam bahasa Eropa sunnah diartikan dengan “tradition” atau “adat istiadat dalam

2
bahasa Indonesia.(3) Jamaknya adalah “Sunan”. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:

‫ﻣﻦ ﺳﻦ ﺳﺘﺔ ﺣﺴﻨﺔ ﻓﻠﮫ اﺟﺮھﺎ واﺟﺮﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻤﺎ اﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ وﻣﻦ ﺳﻦ ﺳﻨﺔ ﺳﯿﺌﺔ‬
‫ﻓﻌﻠﯿﺔ وزرھﺎ ووزر ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﮭﺎ اﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ‬
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala
sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakanya hingga hari kiamat. Dan
barang siapa yang mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk maka atasnya dosa
membuat orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat.” (H.R. Bukhari Muslim).

Pengertian Sunnah secara terminologi menjadi beragam di kalangan para


pengkaji syari ’ at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama
yang mengartikan sama de- ngan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan
ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits.
Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) pengertiannya sama dengan
pengertian hadis, ialah :

‫ﻛﻠﻤﺎأﺛﺮﻋﻨﺎﻟﻨﺒﯿﺼﻠﯿﺎﻟﻠﮭﻌﻠﯿﮭﻮﺳﻠﻤﻤﻨﻘﻮﻷوﻓﻌﻸوﺗﻘﺮﯾﺮأوﺻﻔﺔﺧﻠﻘﯿﺔ‬
‫أو ﺧﻠﻘﯿﺔ أو ﺳﯿﺮة ﺳﻮاء أﻛﺎن ذاﻟﻚ ﻗﺒﻞ اﻟﺒﻌﺜﺔ أم ﺑﻌﺪھﺎ‬
“Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu
sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya”.

Ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka memandang


diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang
paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Kapasitas beliau sebagai imam yang
memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasihat yang diberitakan oleh
Allah SAW serta sebagai teladan dan figur bagi kita. Hal ini didasarkan pada firman
Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :

‫ﻟَﻘْﺪَﻛَﻨﻞَ ُﻛْﻤِﻔَﺮُﺳﻮِﻻِﻟﻠﮭﱠﺎُْٔﺳَﻮٌةَﺣَﺴﻨٌَﺔ‬
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.
(Q.S. Al-Ahzab : 21)

Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini Sunnah menjadi dasar hukum Islam
(Tashri’iyyah) kedua setelah al-Qur’an. Hal ini dapat dipahami melalui beberapa
alasan sebagai berikut:

 Kedudukan Hadist dan Sunnah


Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadist dan sunnah merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam (baik berupa
perintah maupun larangannya) sarna halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur'an.
Hal ini karena hadis merupakan mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur'an, yang
karenanya siapa pun tidak akan bisa memahaminya tanpa dengan memahami dan
menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa al-Qur'an. Karena
al-Qur'an meru- pakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar
syariat. Dengan demikian, antara hadis/sunnah dengan al-Qur'an memiliki kaitan
sangat erat,Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber ajaran

3
Islam, dapat dilihat beberapa dalil nakli (al-Qur'an dan hadis) dan aklim (rasional),
seperti di bawah ini.

1. Dalil al-Qur'an

Banyak ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk


tetap teguh beriman kepada Allah dan Rasui-Nya. Iman kepada Rasul saw. sebagai
utusan Allah, merupakan suatu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu.
Dengan demikian, Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Hal
ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran: 17 dan al-Nisa': 136.

Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul saw., juga
menyerukan agar mereka mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan
yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh
kepada Rasul saw. ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah. Banyak ayat
al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah ini. Diantaranya firnan Allah berikut:

.َ‫ﻗُﻞْ أَطِﯿﻌُﻮا ﷲﱠَ وَاﻟﺮﱠﺳُﻮلَ ﻓَﺎِٕنْ ﺗَﻮَﻟﱠﻮْا ﻓَﺎِٕنﱠ ﷲﱠَ ﻻَ ﯾُﺤِﺐﱡ اﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﯾﻦ‬

Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

Selain ayat-ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis yang menjelaskan
soal ketaatan kepada Allah dan Rasul- Nya ini. seperti halnya pada surat al-Maidah:
92 dan al-Nur: 54 dan lainnya.

Dari beberapa ayat al-Qur'an tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa ketaatan
kepada Rasulullah adalah mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah. Begitu pula
halnya dengan ancaman atau peringatan bagi yang durhaka. Ancaman Allah sering
disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul-Nya.

2. Dalil Hadis Rasulullah

Selain berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an di atas, kedudukan hadis dan sunnah juga
dapat dilihat melalui hadis-hadis Rasul sendiri. Banyak hadis yang menggambarkan
hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan kepada perintahnya. Dalam salah satu
pesannya, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di
samping al- Qur'an. Rasullah bersabda:

َ‫ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﻓِﯿﻜُﻢْ أَﻣْﺮَﯾْﻦِ ﻟَﻦْ ﺗَﻀِﻠﱡﻮا ﻣَﺎ ﺗَﻤَﺴﱠﻜْﺘُﻢْ ﺑِﮭِﻤَﺎ ﻛِﺘَﺎب‬:َ‫ﻋَﻦْ ﻣَﺎﻟِﻚٍ أَﻧﱠﮫُ ﺑَﻠَﻐَﮫُ أَنﱠ رَﺳُﻮلَ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎل‬

.. ِ‫ﷲﱠِ وَﺳُﻨﱠﺔَ ﻧَﺒِﯿﱢﮫ‬

Dinarasikan dari Malik bahwa telah sampai kepadanya berita bahwa Rasulullah saw.
bersabda: 'Saya tinggalkan dua perkara yang kamu tidak akan tersesat apabila
berpegang pada keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan sunnah Nabi-Nya (hadis)
(HR. Malik ibn Anas).

Hadis di atas dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur'an dan sunnah Nabi merupakan
pedoman hidup yang dapat menuntun manusia menjalani kehidupan yang lurus dan

4
benar, bukan jalan yang salah dan sesat. Keduanya merupakan peninggalan Rasullah
yang diperuntukkan bagi umat Islam agar mempedomaninya."

3. Kesepakatan Ulama (Ijma')

Umat Islam, kecuali mereka para penyimpang dan pembuat kebohongan, telah sepakat
menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka
terhadap hadis sama seperti penerimaan mereka terhadap al- Qur'an, karena keduanya
sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.

Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala


ketentuan yang terkandung di dalam hadis berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah
masih hidup dan sepeninggalnya; masa al-Khulafa' al- Rasyidun, tabi în, tabi' al-tabi'in,
atba' tabi' al-tabi în serta masa- masa selanjutnya, dan tidak ada yang meningkarinya
sampai sekarang. Banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan
mengamalkan isi kandungannnya, akan tetapi mereka menghafal, membukukan, dan
menyebarluaskan dengan segala upaya kepada generasi-generasi selanjutnya.

Mengamalkan sunnah Rasulullah wajib menurut ijma' para sahabat. Tidak seorangpun
di antara mereka yang menolak tentang wajibnya taat kepada Rasulullah. Bahkan, umat
Islam telah bersepakat mengenai kewajiban mengikuti sunnah. Kewajiban mengikuti
sunnah ini dikuatkan dengan dalil-dalil al- Qur'an dan sunnah, sebagaimana telah
dijelaskan di atas.

4. Argumentasi Rasional

Kedudukan hadis dan sunnah dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan
teologis sekaligus. Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang
harus diyakini oleh setiap muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam
al-Qur'an agar manusia beriman dan mentaati Nabi. Menurut Muhammad Ajjaj
al-Khatib, bila seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, maka konsekuensi
logisnya menerima segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan
agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syariat-Nya kepada umat
manusia. Allah juga memerintahkan untuk beriman dan mentaati Nabi,

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis merupakan bagian wahyu, oleh
sebab itu layak dijadikan sebagai sumber hukum.

Berkaitan dengan penempatan sunah sebagai sumber kedua ajaran Islam, di bawah
kirab sudi al-Qur’an, as-Syatibi memeberikan argumentasi sebagaimana berikut ini:42
1. Al-Qur’an, ditinjau dari segi periwayatannya, bersifat qath’i al-wurud,
sedangkan sunah zhanni al-wurud—selain hadis mutawatir. Keyakinan kita terhadap
hadis hanya secara global, bukan rinci, sedangkan al-Qur’an, baik secara global
maupun detail, diterima secara meyakinkan.
2. Sunah atau hadis ada kalanya menerangkan sesuatu yang masih global dalam
al-Qur’an, kadangkala memberi komentar terahadap al-Qur’an, dan kadangkala
membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh al-Qur’an.Kalau sunah berfungsi
sebagai penjelas atau pemberi komentar terhadap al-

5
Qur’an, maka sudah tentu ia memiliki status di bawah al-Qur’an.
3. Di dalam hadis sendiri terdapat penegasan bahwa hadis atau sunah menduduki
posisi kedua setelah al-Qur’an. Diantaranya adalah riwayat Imam al-Bukhari dan
Muslim, yang memuat dialog nabi dengan Mu’adz bin Jabal pada saat dia
diangkat sebagai gubernur Yaman.

 Fungsi Hadist dan Sunnah


fungsi utama sunah adalah sebagai al-bayan atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Hal
demikian lebih dikarenakan kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
ummat manusia pada umumnya disampaikan dalam uslub yang mujmal (global atau
umum),51 sehingga manusia tidak mungkin bisa memahami dan menggali petunjuk
darinya kalau hanya mengandalkan al-Qur’an semata. Itulah sebabnya Allah SWT
memberikan otoritas (kewenangan) kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan
maksud yang terkandung dalam al-Qur’an dengan melalui sunnahnya.
Adapun fungsi sunah terhadap al-Qur’an selengkapnya telah disampaikan oleh
Muhammad Abu Zahu berikut ini:

1. Bayan al-Taqrir

Secara bahasa bayan al-taqrir juga disebut dengan bayan al-ta'kid dan bayan
al-itsbat yang berarti menetapkan atau menegaskan atau memperkuat hukum
yang terdapat di dalam Al-Qur'an. Atau mengungkapkan kembali apa-apa yang
terdapat dalam Al-Qur'an tanpa menambah atau menguranginya sehingga fungsi
hadis terkait dengan hal ini hanya sebagai memperkokoh isi kandungan yang
terdapat dalam Al-Qur'an.

Misalnya firman Allah Swt. tentang awal Ramadhan dalam QS. al-Baqarah ayat
185 sebagai berikut:

‫ﺷَﮭْﺮُ رَﻣَﻀَﺎنَ اﻟﱠﺬِي أُﻧْﺰِلَ ﻓِﯿﮫِ اﻟْﻘُﺮْآنُ ھُﺪًى ﻟِﻠﻨﱠﺎسِ وَﺑَﯿﱢﻨَﺖٍ ﻣِﻦَ اﻟْﮭُﺪَى‬

ُ‫وَاﻟْﻔُﺮْﻗَﺎنِ ﻓَﻤَﻦْ ﺷَﮭِﺪَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ اﻟﺸﱠﮭْﺮَ ﻓَﻠْﯿَﺼُﻤْﮫُ وَﻣَﻦْ ﻛَﺎنَ ﻣَﺮِﯾﻀًﺎ أَوْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪﱠةٌ ﻣِﻦْ أَﯾﱠﺎمٍ أُﺧَﺮَ ﯾُﺮِﯾﺪُ ﷲﱠُ ﺑِﻜُﻢ‬
‫اﻟْﯿُﺴْﺮَ وَﻻَ ﯾُﺮِﯾﺪُ ﺑِﻜُﻢُ اﻟْﻌُﺴْﺮَ وَﻟِﺘَﻜْﻤِﻠُﻮا اﻟْﻌِﺪﱠةَ وَﻟِﺘُﻜَﺒﱢﺮُوا ﷲَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ھَﺪْﻧَﻜُﻢْ وَﻟَﻌَﻠﱠﻜُﻢْ ﺗَﺸْﻜُﺮُونَ ﷲ‬

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)bulan Ramadhan, bulan yang di


dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185).

Ayat di atas ditegaskan oleh hadis Nabi Saw. sebagai berikut:

‫أَنﱠ اﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ ﷲﱠُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﻗَﺎلَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ رَﺳُﻮلَ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﯾَﻘُﻮلُ إِذَا رَأَﯾْﺘُﻤُﻮهُ ﻓَﺼُﻮﻣُﻮا وَإِذَا‬
ُ‫رَأَﯾْﺘُﻤُﻮهُ ﻓَﺎَٔﻓْﻄِﺮُوا ﻓَﺎِٕنْ ﻏُﻢﱠ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ ﻓَﺎﻗْﺪُرُوا ﻟَﮫ‬

6
Bahwa Ibnu' Umar berkata; Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Jika kamu
melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah.
Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari
disempurnakan) (HR. Bukhari).

2. Bayan al-Tafsir

Maksud dari bayan al-tafsir adalah hadis yang berfungsi sebagai penjelas atau
menafsirkan ayat-ayat yang bersifat mujmal, 'am dan mutlaq.

a. Menafsirkan dan merinci ayat mujmal (global).

Fungsi bayan al-tafsir ini juga disebut sebagai bayan al-tafshil, yaitu menjelaskan
dan merinci ayat-ayat yang mujmal atau ayat yang bersifat ringkas dan singkat,
sehingga maknanya kurang dapat dipahami kecuali setelah adanya penjelasan dan
perincian. Misalnya ayat tentang salat dalam QS. Al-Baqarah ayat 43 sebagai
berikut:

* َ‫وَأَﻗِﯿﻤُﻮا اﻟﺼﱠﻠﻮةَ وَأْﺗُﻮا اﻟﺰﱠﻛُﻮةَ وَارْﻛَﻌُﻮْا ﻣَﻊَ اﻟﺮﱠﻛِﻤِﯿﻦ‬

Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang


ruku'. (QS. Al-Baqarah ayat 43).

Ayat tentang salat di atas karena masih berifat mujmal atau global kemudian
dijelaskan atau diperinci oleh Nabi Saw. dengan cara mempraktikkan bagaimana
cara salat yang dimulai dari takbiratul ihram sampai pada salam. Sehingga Nabi
Saw. mengatakan dalam sabda beliau:

ُ‫ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ﺳُﻠَﯿْﻤَﺎنَ ﻣَﺎﻟِﻚِ ﺑْﻦِ اﻟْﺨَﻮَﯾْﺮِثِ ﻗَﺎلَ أَﺗَﯿْﻨَﺎ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ وَﻧَﺤْﻦُ ﺷَﺒَﺒَﺔٌ ﻣُﺘَﻘَﺎرِﺑُﻮنَ ﻓَﺎَٔﻗَﻤْﻨَﺎ ﻋِﻨْﺪَه‬
‫ﻋِﺸْﺮِﯾﻦَ ﻟَﯿْﻠَﺔً ﻓَﻈَﻦﱠ أَﻧَﺎ اﺷْﺘَﻘْﻨَﺎ أَھْﻠَﻨَﺎ وَﺳَﺎَٔﻟَﻨَﺎ ﻋَﻤﱠﻦْ ﺗَﺮَﻛْﻨَﺎ ﻓِﻲ أَھْﻠِﻨَﺎ ﻓَﺎَٔﺧْﺒَﺮْﻧَﺎهُ وَﻛَﺎنَ رَﻓِﯿﻘًﺎ رَﺣِﯿﻤًﺎ ﻓَﻘَﺎلَ ارْﺟِﻌُﻮا‬
‫إِﻟَﻰ أَھْﻠِﯿﻜُﻢْ ﻓَﻌَﻠﱢﻤُﻮھُﻢْ وَﻣُﺮُوھُﻢْ وَﺻَﻠﱡﻮا ﻛَﻤَﺎ رَأَﯾْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ أُﺻَﻠﱢﻲ وَإِذَا ﺣَﻀَﺮَتْ اﻟﺼﱠﻼَةَ ﻓَﻠْﯿُﻮَٔذِنْ ﻟَﻜُﻢْ أَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺛُﻢﱠ‬
ْ‫ﻟِﯿَﻮْٔﻣَﻜُﻢْ أَﻛْﺒَﺮُﻛُﻢ‬

Dari Abu Sulaiman Malik bin Al-Huwairits dia berkata; "Kami datang kepada
Nabi Saw. sedangkan waktu itu kami adalah pemuda yang sebaya. Kami tinggal
bersama beliau selama dua puluh malam. Beliau mengira kalau kami merindukan
keluarga kami, maka beliau bertanya tentang keluarga kami yang kami tinggalkan.
Kami pun memberitahukannya, beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan
sangat lembut. Beliau bersabda: "Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah
bersama mereka dan ajari mereka serta perintahkan mereka dan salatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku salat. Jika telah datang waktu salat, maka
hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan azan, dan yang paling tua
dari kalian hendaknya menjadi imam kalian. (HR. Bukhari).

b. Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum ('am) Fungsi hadis seperti ini
dikenal dengan istilah bayan al-takhsis yaitu penjelasan Nabi dengan cara
memberikan batasan atau mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum,
sehingga tidak berlaku bagian tertentu yang mendapat pengecualian. Misalnya
ayat-ayat tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam yang bersifat umum

7
yang terdapat pada QS. An-Nisa' ayat 11 sebagai berikut:

ْ‫ﯾُﻮْﺻِﯿﻜُﻢُ ﷲﱠُ ﻓِﻲ أَوْﻻَدِﻛُﻢ‬

Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. (QS. An-Nisa':11).

Ayat di atas bersifat umum terkait umat Islam disyariatkan untuk membagikan
warisan kepada ahli waris di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan
anak perempuan separuh bagian. Namun, syariat waris tidak berlaku bagi para
Nabi sebagaimana dijelaskan oleh hadis. Sehingga dapat dipahami bahwa
mewariskan harta peninggalan dianjurkan kepada umat Islam, namun tidak
berlaku bagi para Nabi.

Hadis yang menjelaskan hal tersebut adalah sebagai berikut:

َ‫أَنﱠ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ أُمﱠ اﻟْﻤُﻮْٔﻣِﻨِﯿﻦَ رَﺿِﻲَ ﷲﱠُ ﻋَﻨْﮭَﺎ أَﺧْﺒَﺮَﺗْﮫُ أَنﱠ ﻓَﺎطِﻤَﺔَ ﻋَﻠَﯿْﮭَﺎ اﻟﺴﱠﻼَمِ اﺑْﻨَﺔَ رَﺳُﻮلِ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬
ِ‫ﺳَﺎَٔﻟَﺖْ أَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮِ اﻟﺼﱢﺪﱢﯾﻖَ ﺑَﻌْﺪَ وَﻓَﺎةِ رَﺳُﻮلِ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ أَنْ ﯾَﻘْﺴِﻢَ ﻟَﮭَﺎ ﻣِﯿﺮَاﺛَﮭَﺎ ﻣِﻤﱠﺎ ﺗَﺮَكَ رَﺳُﻮلُ ﷲﱠ‬
َ‫ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣِﻤﱠﺎ أَﻓَﺎءَ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ ﻓَﻘَﺎلَ ﻟَﮭَﺎ أَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ إِنﱠ رَﺳُﻮل‬

ٌ‫ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎلَ ﻻَ ﻧُﻮرَثُ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﻨَﺎ ﺻَﺪَﻗَﺔ‬

“Bahwa Aisyah, Ummul Mu'minin mengabarkan kepadanya bahwa Fatimah,


putri Rasulullah Saw. meminta kepada Abu Bakar As-Shiddiq setelah wafatnya
Rasulullah Saw. agar membagi untuknya bagian harta warisan yang ditinggalkan
Rasulullah Saw. dari harta fa'i yang Allah Swt. karuniakan kepada Beliau. Abu
Bakar katakan; "Rasulullah Saw. telah bersabda: "Kami tidak mewariskan dan
apa saja yang kami tinggalkan semuanya sebagai sedekah". (HR. Bukhari).”

3. Bayan al-Ta'yin

Istilah ta'yin berarti berfungsi menentukan mana yang dimaksud di antara dua
atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh Al- Qur'an. Dalam Al-Qur'an
ada banyak ayat-ayat yang terkadang bisa memiliki beberapa kemungkinan
makna. Sehingga memungkinkan para penafsir untuk mengartikannya dalam
beberapa makna yang berbeda, contohnya lafaz quru' dalam ayat yang membahas
tentang masa 'iddah wanita yang dicerai.

. ٍ‫وَاﻟْﻤُﻄَﻠﱠﻘْﺖُ ﯾَﺘَﺮَﺑﱠﺼْﻦَ ﺑِﺎَٔﻧْﻔُﺴِﮭِﻦﱠ ﺛَﻠْﺜَﺔَ ﻗُﺮُوء‬

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
(QS. Al-Baqarah ayat 228).

Kata quru' di sini bisa dimaksudkan dengan haid dan bisa juga berarti suci.
Namun, quru' yang dimaksudkan ayat tersebut adalah masa haid sebagaimana
hadis Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:

‫ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﷲﱠِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ ﷲﱠُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ أَﻧﱠﮫُ طَﻠﱠﻖَ اﻣْﺮَأَﺗَﮫُ وَھِﻲَ ﺣَﺎﺋِﺾُ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﮭْﺪِ رَﺳُﻮلِ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْ ِﮫ‬
َ‫وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻓَﺴَﺎَٔلَ ﻋُﻤَﺮُ ﺑْﻦُ اﻟْﺨَﻄَﺎبِ رَﺳُﻮلَ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻋَﻦْ ذَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎلَ رَﺳُﻮلُ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬
‫ﻣُﺮْهُ ﻓَﻠْﯿُﺮَاﺟِﻌْﮭَﺎ ﺛُﻢﱠ ﻟِﯿُﻤْﺴِﻜُﮭَﺎ ﺣَﺘﱠﻰ ﺗَﻄْﮭُﺮَ ﺛُﻢﱠ ﺗَﺤِﯿﺾَ ﺛُﻢﱠ ﺗَﻄْﮭُﺮَ ﺛُﻢﱠ إِنْ ﺷَﺎءَ أَﻣْﺴَﻚَ ﺑَﻌْﺪُ وَإِنْ ﺷَﺎءَ طَﻠﱠﻖَ ﻗَﺒْﻞَ أَنْ ﯾَﻤَﺲﱠ‬

8
‫ﻓَﺘِﻠْﻚَ اﻟْﻌِﺪﱠةُ اﻟﱠﺘِﻲ أَﻣَﺮَ ﷲﱠُ أَنْ ﺗُﻄَﻠﱠﻖَ ﻟَﮭَﺎ اﻟﻨﺴﺎء‬

Dari Abdullah bin Umar, bahwa pada masa Rasulullah Saw. ia pernah
menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar bin al-Khatthab pun
menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"Perintahkanlah agar ia segera meruju'nya, lalu menahannya hingga ia suci dan
haid kembali kemudian suci. Maka pada saat itu, bila ia mau, ia boleh
menahannya, dan bila ingin, ia juga boleh menceraikannya. Itulah al-iddah yang
diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menalak istri. (HR. Bukhari).

Maka berdasarkan penjelasan hadis di atas dapatlah diketahui bahwa maksud kata
quru' dalam QS. al-Baqarah ayat 228 adalah masa haid bukan masa suci, karena
masa 'iddah wanita yang dijelaskan dalam hadis tersebut dihitung dari berapa kali
masa haid wanita itu datang.

4. Bayan al-Tasyri'

Hadis sebagai bayan al-tasyri' berarti sebagai dasar penetapan hukum yang belum
ada ketetapannya secara eksplisit di dalam Al-Qur'an. Hal ini tidak berarti bahwa
hukum dalam Al-Qur'an belum sempurna, melainkan Al-Qur'an telah
menunjukkan secara garis besar segala permasalahan keagamaan. Namun,
eksistensi hadis untuk menetapkan hukum yang lebih eksplisit sesuai dengan
perintah yang ada dalam QS. An-Nahl ayat 44 sebagai berikut:

* َ‫ق ﺑِﺎﻟْﺒَﯿﱢﻨَﺖِ وَاﻟﺰﱡﺑُﺮِ وَأَﻧْﺰَﻟْﻨَﺎ إِﻟَﯿْﻚَ اﻟﺬﱢﻛْﺮَ ﻟِﺘُﺒَﯿﱢﻦَ ﻟِﻠﻨﱠﺎسِ ﻣَﺎ ﻧُﺰِلَ إِﻟَﯿْﮭِﻢْ وَﻟَﻌَﻠﱠﮭُﻢْ ﯾَﺘَﻔَﻜﱠﺮُون‬

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu


Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl ayat
44). Salah satu contoh di antaranya tentang haramnya memadukan antara seorang
perempuan dengan bibinya. Sementara Al-Qur'an hanya menyatakan tentang
kebolehan berpoligami, yaitu;

‫وَإِنْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ أَﻻﱠ ﺗُﻘْﺴِﻄُﻮا ﻓِﻲ اﻟْﯿَﺘْﻨِﻰ ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮا ﻣَﺎ طَﺎبَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱢﺴَﺎءِ ﻣَﺜْﻨَﻰ وَﻗُﻠْﺚَ وَرُﺑَﻊَ ﻓَﺎِٕنْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ أَﻻﱠ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮْا‬
. ‫ﻓَﻮَاﺣِﺪَةً أَوْ ﻣَﺎ ﻣَﻠَﻜَﺖْ أَﯾْﻤَﺎﻧُﻜُﻢْ ذَﻟِﻚَ أَدْﻧَﻰ اﻻﱠ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا‬

Dari Abdullah bin Umar, bahwa pada masa Rasulullah Saw. ia pernah
menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar bin al-Khatthab pun
menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"Perintahkanlah agar ia segera meruju'nya, lalu menahannya hingga ia suci dan
haid kembali kemudian suci. Maka pada saat itu, bila ia mau, ia boleh
menahannya, dan bila ingin, ia juga boleh menceraikannya. Itulah al-iddah yang
diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menalak istri. (HR. Bukhari).

Maka berdasarkan penjelasan hadis di atas dapatlah diketahui bahwa maksud kata
quru' dalam QS. al-Baqarah ayat 228 adalah masa haid bukan masa suci, karena
masa 'iddah wanita yang dijelaskan dalam hadis tersebut dihitung dari berapa kali
masa haid wanita itu datang.

4. Bayan al-Tasyri'

9
Hadis sebagai bayan al-tasyri' berarti sebagai dasar penetapan hukum yang belum
ada ketetapannya secara eksplisit di dalam Al-Qur'an. Hal ini tidak berarti bahwa
hukum dalam Al-Qur'an belum sempurna, melainkan Al-Qur'an telah
menunjukkan secara garis besar segala permasalahan keagamaan. Namun,
eksistensi hadis untuk menetapkan hukum yang lebih eksplisit sesuai dengan
perintah yang ada dalam QS. An-Nahl ayat 44 sebagai berikut:

* َ‫ق ﺑِﺎﻟْﺒَﯿﱢﻨَﺖِ وَاﻟﺰﱡﺑُﺮِ وَأَﻧْﺰَﻟْﻨَﺎ إِﻟَﯿْﻚَ اﻟﺬﱢﻛْﺮَ ﻟِﺘُﺒَﯿﱢﻦَ ﻟِﻠﻨﱠﺎسِ ﻣَﺎ ﻧُﺰِلَ إِﻟَﯿْﮭِﻢْ وَﻟَﻌَﻠﱠﮭُﻢْ ﯾَﺘَﻔَﻜﱠﺮُون‬

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu


Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl ayat
44). Salah satu contoh di antaranya tentang haramnya memadukan antara seorang
perempuan dengan bibinya. Sementara Al-Qur'an hanya menyatakan tentang
kebolehan berpoligami, yaitu;

‫وَإِنْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ أَﻻﱠ ﺗُﻘْﺴِﻄُﻮا ﻓِﻲ اﻟْﯿَﺘْﻨِﻰ ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮا ﻣَﺎ طَﺎبَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱢﺴَﺎءِ ﻣَﺜْﻨَﻰ وَﻗُﻠْﺚَ وَرُﺑَﻊَ ﻓَﺎِٕنْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ أَﻻﱠ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮْا‬
. ‫ﻓَﻮَاﺣِﺪَةً أَوْ ﻣَﺎ ﻣَﻠَﻜَﺖْ أَﯾْﻤَﺎﻧُﻜُﻢْ ذَﻟِﻚَ أَدْﻧَﻰ اﻻﱠ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا‬

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS.
An-Nisa' ayat 3).

Pada ayat di atas, tidak terdapat larangan bagi seseorang menikahi seorang
perempuan bersama bibinya. Namun, dalam hal ini, hadis menjelaskan haramnya
berpoligami bagi seorang laki-laki terhadap seorang wanita dengan bibinya
sebagaimana hadis Abu Hurairah riwayat Bukhari berikut:

َ‫ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ھُﺮَﯾْﺮَةَ رَﺿِﻲَ ﷲﱠُ ﻋَﻨْﮫُ أَنﱠ رَﺳُﻮلَ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎلَ ﻻَ ﯾَﺠْﻤَﻊُ ﺑَﯿْﻦَ اﻟْﻤَﺮْأَةِ وَ ﻋَﻤﱠﺘِﮭَﺎ وَﻻَ ﺑَﯿْﻦ‬
‫اﻟْﻤَﺮْأَةِ وَﺧَﺎﻟَﺘِﮭَﺎ‬

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak boleh

seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan bibinya (saudari


bapaknya) dan seorang wanita dengan bibinya (saudari ibunya)." (HR. Bukhari).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis di atas

menetapkan hukum syariat yang melarang berpoligami dengan mengumpulkan


bibi dari wanita yang telah dinikahi. Atau seorang laki- laki dilarang untuk
mengumpulkan istrinya dengan saudara perempuan sang istri.

5. Bayan al-Nasakh

Kata "nasakh" berarti penghapusan atau pembatalan. Maksudnya adalah


mengganti suatu hukum atau menghapuskannya. Dalam hal ini, hadis dapat
berfungsi menjelaskan mana ayat yang me-nasakh (menghapus) dan mana

10
ayat-ayat yang di-nasakh (dihapus). Contoh misalnya QS. Al-Baqarah ayat 180
sebagai berikut:

َ‫ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ إِذَا ﺣَﻀَﺮَ أَﺣَﺪَﻛُﻢُ اﻟْﻤَﻮْتُ إِنْ ﺗَﺮَكَ ﺧَﯿْﺮًا اﻟْﻮَﺻِﯿﱠﺔُ ﻟِﻠْﻮَاﻟِﺪَﯾْﻦِ وَاﻻَْٔﻗْﺮَﺑِﯿﻦَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوْفِ ﺣَﻘًّﺎ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤُﺘﱠﻘِﯿﻦ‬

Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara


kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib
kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al-Baqarah ayat 180).

Ayat di atas menjelaskan tentang berlakunya wasiat bagi ahli waris. Namun,
selanjutnya datang hadis yang me-nasakh-kan hukum

tersebut, yaitu:

‫ﻋَﻦْ ﺷُﺮَﺣْﺒِﯿﻞَ ﺑْﻦِ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﺳَﻤِﻌْﺖُ أَﺑَﺎ أُﻣَﺎﻣَﺔَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ رَﺳُﻮلَ ﷲﱠِ ﺻَﻠﱠﻰ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﯾَﻘُﻮلُ إِنﱠ ﷲﱠَ ﻗَﺪْ أَﻋْﻄَﻰ ﻛُﻞﱠ‬
ٍ‫ذِي ﺣَﻖَ ﺣَﻘﱠﮫُ ﻓَﻼَ وَﺻِﯿﱠﺔَ ﻟِﻮَارِث‬

Dari Syurahbil bin Muslim, saya mendengar Abu Umamah berkata, saya
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah Swt. telah
memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi
pewaris. (HR. Abu Daud).

B. Persamaan dan perbedaan Al-Hadist dan As-Sunnah

Dari kedua istilah yaitu Hadits dan Sunnah menurut jumhur ulama Hadits
dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan
sunnah. Begitu pula halnya sunnah dapat disebut dengan hadits.

Melihat kepada definisi sunnah dan hadis yang dikemukakan oleh ahli Usul tersebut
ternyata bahwa hadist dan sunnah adalah satu juga maknanya, yang mana keduanya
sama-sama disandarkan kepada Rasulullah saw. yang berkaitan dengan hukum.

Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits dan Sunnah ada sedikit perbedaan
yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan
ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dan
sunnah dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat
ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Hadis adalah: segala yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad Saw, baik berupa perkataan (qauly), perbuatan
(fi’ly), maupun ketetapan (taqriry).
• Sunnah: segala yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkatan maupun perbuatan dan merupakan
kebiasaan yang dilakukan berulang kali.

Muhammad Ajaj al-Khatib menetapkan ada- nya perbedaan antara hadis dan
sunnah, hadis merupakan segala apa yang dinukilkan dari Nabi saw. semenjak beliau

11
diangkat menjadi Rasul, se dang sunnah berasal dari Nabi sejak sebelum dan sesudah
beliau menjadi Rasul, sehingga dari si- ni bisa dikatakan bahwa sunnah lebih umum
dari pada hadis. (Muhammad Ajaj al-Khatib, 1975 ь: 27).

C. Sejarah Pengumpulan Hadist

Secara individual, pencatatan hadits telah dilakukan oleh para sahabat sejak zaman
Rasul SAW. Namun, yang dimaksud dengan kodifikasi hadist atau tadwin hasdist
pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara,
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidangnya. Masa kodifikasi hadits
ini dapat terbagi menjadi beberapa periode

1. Permulaan Zaman Pembukuan Hadist (Abad ke II H.)


Kegiatan pembukuan hadist dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin
oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Motif utama kholifah Umar bin Abdul Aziz
berinisiatif membukukan hadist adalah:
a. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadist dari perbendaharaan
masyarakat, disebabkan hsdist belum didewankan dalam sebuah kitab Hadist.
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadist dari
hadist hadist maudhu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan
idiologi golongannya.
c. Alasan tidak terdewankannya hadist secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan
Khulafaur Rashidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan
Al-Qur’an, telah hilang disebabkan Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu
mushaf dan telah merata di seluruh pelosok.
d. Beliau khawatir hilangnya hadist hadist, dengan meninggalnya para ulama di
medan perang.25
Untuk mencapai maksud itu khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar Ibn
Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan hadist hadist yang ada pada Amrah
binti Abdurrahman al Ansari. Seorang ahli fiqh, murid ‘Aishah ra. dan hadist yang
ada pada al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash- Sidiq. Instruksi yang sama
juga ditujukan kepada Muhammad bin Shihab az Zuhri, seorang imam dan ulama
besar di Hijaz dan Syam. Beliau mengumpulkan hadist hadist dan kemudian
ditulisnya dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing
penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar.26

2. Periode Penyeleksian Dan Pentashihan Hadist (Abad ke III)


Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa keadaan kitab hadits pada abad ke II masih
bercampur aduk antara hadist dan fatwa-fatwa sahaabat dan tabi’in, antara hadist
shahih ,hasan dan dho’if. Maka di permulaan abad ke III para ahli hadist berusaha
membukukan Hadits Rasulullah semata-mata dan menyisihkannya dari fatwa
sahabat dan tabi’in. Kendatipun kitab- kitab hadist pada permulaan abad ke III ini
sudah menyisihkan fatwa-fatwa, namun masih mempunyai satu kelemahan, yakni
belum memisahkan antara yang sahih, hasan dan dho’if termasuk juga hadist mad’u
yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai
agama.
Para ulama hadist pada permulaan abad ke III menyusun kitabnya secara musnad,
diantaranya adalah Abdul Asad Ibn Musa al Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al
Khuza’iy, Ahmad Ibn Hambal, Ishaq Ibn Rohawaih dan Usman Ibn Abi Syaibah.30

12
3. Periode Menghafal Dan Men-Isnad-kan Hadist Pada Ulama Mutaqaddimin
(Abad ke IV).
Ulama-ulama hadist pada abad ke II dan ke III digelari ulama mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadist dengan semata- mata berpegang kepada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di pelosok
negara Arab, Parsi dan lain-lainnya. Sedangkan ulama-ulama hadist mulai abad ke
IV dan seterusnya digelari dengan ulama Muta’akhirin, yang dalam usahanya
menyusun kitab-kitab hadist hanya dengan menukil dari kitab-kitab yang telah
disusun oleh ulama Mutaqaddimin.

4. Periode Mengklasifikasikan Dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab


Hadist (Abad V dan Seterusnya)
Usaha ulama ahli hadist pada abad ke V dan seterusnya diantaranya adalah :
a. Mengklasifikasikan hadist dengan menghimpun hadist hadist yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadist .
b. Mensharahkan dan mengikhtisarkan kitab-kitab hadist yang telah disusun oleh
ulama yang mendahuluinya.
c. Menyusun kitab hadis Athraf, yaitu tehnik pembukuan hadis dengan
menyebutkan permulaan hadisnya saja, misalnya Athraf al-Kutub al-sittah yang
ditulis oleh al-Maqdisi.
d. Mentakhrij, yaitu mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis atau
buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya.
Misalnya Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar al-Sabil oleh Nashiruddin al-
Albani.
e. Zawa’id, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab-kitab
yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, seperti : Zawa’id Ibn Majah,
Zawa’id al-Sunan al- Kubra disusun oleh al-Bashri. (w. 840).
f. Jawami’ atau jami’, sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw.
Secara mutlaq, seperti al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ al-Shagir tulisan al-Suyuthi (w.
911 H)
g. Menciptakan kamus hadist (kitab Indeks Hadis) untuk mencari pentakhrij suatu
hadist atau untuk mengetahui dari kitab hadist apa suatu hadist didapatkan,

Selanjutnya, dengan adanya perkembangan tehnologi, maka para sarjana Muslim di


Inggris yang tergabung dalam Organisasi Islam Kingdom Islamic Mission (Misi Islam
di Inggris) telah mendirikan The Islamic Computing Centre (Pusat Komputer
Islam).Kini pendataan dan komputerisasi hadis telah dilaksanakan terhadap sembilan
kitab hadis standar (al-Kutub al-Tis’ah) dan kitab-kitab hadis lainnya.

D. Urgensi Ilmu Asbab Al-Wurud dalam Memahami Hadits

Hadist telah diakui oleh umat islam sebagai pedoman hidup yang utama setelah
Al-Qur'an. Hadits berfungsi sebagai petunjuk dan isyarat bagi Al-Qur'an yang bersifat
global, sebagai pengecuali terhadap isyarat al-Qur'an yang bersifat umum. Tidak
berhenti sampai disitu hadist juga berfungsi untuk menetapkan hukum yang belum
diatur dalam al-Qur'an. Sebagai umat islam memahami sebuah hadits tidaklah
semudah yang dibayangkan, harus diperlukan ilmu dan cara-cara tertentu sehingga
maksud dari hadist tersebut tetap benar dan tidak terjadi kesalahpahaman.

13
Secara etimologis, asbab al-wurud merupakan sususan idafah dari kata asbab dan
wurud. Kata asbab adalah bentuk jamak taksir dari kata "sabab" yang berarti segala
sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain. Sedangkan kata
"wurud" merupakan bentuk jamak dari kata isim masdar yang berarti datang atau tiba.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa asbab al-wurud merupakan sebab-sebab atau
latar belakang munculnya suatu hadis.

Asbab al-wurud memiliki peranan yang sangat penting dalam konteks memahami
suatu hadist. Karena biasanya hadist yang disampaikan oleh nabi bersifat kultural
maupun temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya
hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam
menangkap maksud suatu hadis. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbab
al-wurud akan cenderung bersfat rigid, literalis, skriptualis, bahkan kadang kurang
akomodatif terhadap perkembangan zaman.

Asbab al-wurud menjadi salah satu bukti bahwasanya aspek sosial berpengaruh dalam
munculnya suatu hadist. Dalam urgensi asbab al-wurud Khaled Abou El-Fadl, guru
besar Fiqh dan Ushul al-fiqh pada University of California at Los Angeles (UCLA)
menyinggungkan tentang pentingnya dialektika yang terjadi antara otoritas teks,
konteks, otoritas pengarang terhadap nabi sebagai objek dalam pembahasan. Beliau
juga menekankan pentingnya membedakan fungsi dan status sebuah hadis Nabi dalam
kaitannya dengan latar belakang hadirnya hadis tersebut. Pembedaan ini berdasarkan
pada nilai-nilai yang berkaitan dengan fungsi hadis sebagai salah satu sumber hukum
dalam islam.

Oleh karena itu pemahaman tentang ilmu asbab al-wurud perlu memperhatikan
beberapa komponen yang berkaitan dengan latar belakang hadist atau bagaimana
Nabi SAW bersabda dan bersikap. Adapun beberapa komponen tersebut ialah sebagai
berikut :
1. Al-bu'du al-mukhatibi ialah faktor yang muncul dari pribadi Nabi saw.
2. Al-bu'du al-mukhatabi ialah faktor yang berkaitan dengan kondisi orang yang
diajak berbicara.
3. Al-bu'du az-zammani ialah faktor yang berkaitan dengan waktu atau masa dimana
Nabi Muhammad menyampaikan sabdanya.
4. Al-bu'du al-makani ialah aspek yang berkaitan dengan tempat atau kondisi
geografis diaman Nabi menyampaikan hadis.
Imam as-Suyuthi menjelaskan, bahwa asbab al-wurud dapat dikategorikan menjadi
tiga macam, yang pertama mengetahui asbab al-wurud yang sebabnya dari ayat-ayat
al-Qur'an yang kurang jelas dan sulit dipahami . Kedua dari yang berupa hadis itu
sendiri. Ketiga dari keterangan yang berkaitan dengan para pendengar atau para
sahabat Nabi.

Dalam konteks pemahaman hadis, asbab al-wurud memiliki fungsi untuk menentukan

14
adanya takhsis hadis yang masih bersifat umum, membatasi pengertian hadis yang
masih mutlak, memperinci (tafsil) hadis yang masih bersifat global, menentukan ada
atau tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadis, menjelaskan 'ilat atau
sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum, dan menjelaskan maksud hadis yang masih
musykil (sulit dipahami). Tidak hanya itu, ilmu asbab al-wurud juga digunakan
sebagai alat bantu untuk memperoleh ketepatan makna sebuah hadis.

Maka salah satu instrumen pemahaman makna hadis yang sangat membantu
mengembangkan makna hadis dalam konteks kekinian adalah disiplin ilmu asbab
al-wurud. Dengan berbagai karakter dan dimensinya, asbab al-wurud pada akhirnya
diharapkan dapat diimplementasikan dalam rangka menggali dan mengembangkan
semangat syariah yang bersifat universal, yang secara implisit tertuang dalam teks
suatu hadis, sehingga nilai universal tersebut dapat diimplementasikan sesuai dengan
tuntutan ruang dan waktu yang berbeda.

E. Metode Memahami Hadis


Ada beberapa cara untuk memahami sebuah hadis agar tidak meleset dari apa yang
dimaksud dan dikehendaki oleh pesan sabda rasul antara lain adalah:
1. Pemahaman Tekstual
Pemahaman hadis dengan cara tektual artinya memah ami sebuah
hadis dengan apa adanya pada teks hadis (lafzhiyah). Pada dasarnya hadis dapat
dipahami secara tektual, namun apabila tidak dapat dipahami secara tektual, maka
bisa ditempuh dengan pemahaman kontektual. Kebanyakan hadis yang dibaca oleh
umat Islam adalah tektual seperti hadis:

‫ﺻﻠﻮا ﻛﻤﺎ رأﯾﺘﻤﻮٮﻦ اﺻﻠﻰ رواه ﻣﺴﻠﻢ‬


“Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat “
Hadis ini bisa dipahami dengan jelas melalui teks (lafazh) hadis itu sendiri.
Contoh lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
‫ﻓﯿﻤﺎ ﺳﻘﺖ اﻟﺴﻤﺎء واﻟﻌﯿﻮن اﻟﻌﺸﺮ وﻓﯿﻤﺎ ﺳﻘﻲ اﺑﻠﻨﻀﺢ ﻧﺼﻒ اﻟﻌﺸﺮ رواه اﻟﺒﺨﺎرى‬
“Hasil panen yang diairi oleh tadah hujan dan mata air kewajiban
mengeluarkan zakatnya sepersepuluh (10 %), dan pada tanaman yang disiram dengan
kincir air(alat), wajib zakatnya seperduapuluh (5%).”
Hadis ini bisa dipahami dengan melalui tektual (lafazh hadis), dan
hadis-hadis yang dipahami secara tektual seperti ini sangat banyak.
2. Pemahaman Dengan Cara Kontekstual
Apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami dengan tektual, maka harus
dipahami dengan kontektual yaitu dipahami dengan melihat aspekaspek di luar lafazh
(teks) hadis itu sendiri, bisa dipahami dengan yang ada kaitanya dengan asbab wurud
al hadis, secara geografis, sosio-kultural dan lainlain.
a. Pemahaman dengan cara asbab wurud al hadis
Perlu diketahui bahwa tidak semua hadis mempunyai latar belakang
historis, ada hadis yang diriwayatkan karena faktor-faktor tertentu, ada yang tidak

15
mempunyai faktor dan latar belakang tertentu, dia datang begitu saja, seperti Alquran
ada yang turun ibtida’an tanpa ada sebab, ada yang turun karena ada sebab kejadian,
pertanyaan atau peristiwa-peristiwa yang dialami oleh rasul dan para shabatnya,
demikian halnya dengan hadis
. Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar apakah hadis yang akan
dikaji itu mempunyai latar belakang asbab wurud atau tidak, karena mengetahui asbab
wurud hadis akan memudahkan pemahaman terhadap hadis, seperti asbab nuzul ayat
apabila diketahui maka akan memudahkan pemahaman terhadap ayat.2
Tela’ah historis melalui sebab wurud hadis sangat penting dilakukan karena
dengan mengetahuinya, maka akan diketahui makna hadis yang umum, khusus,
mutlak, muqayyad, sehingga diketahui makna hadis sesuai porsinya. Seperti hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
‫ﻗﺎل رﺳﻮل ھﻠﻼ ص م اذا ﺟﺎء اﺣﺪ ﻛﻢ اﺟﻠﻤﻌﺔ‬
‫ﻓﻠﯿﻐﺘﺴﻞ‬
“Rasulullah saw bersabda apabila kamu sekalian hendak dating (menunaikan
shalat) Jumat maka hendaklah dia mandi.”
Menurut Imam Daud al-Zhohiri hadis tersebut menunjukkan wajib bagi setiap
muslim yang hendak pergi shalat Jumat melakukan mandi sebelumnya.3 Hadis ini
mempunyai sebab wurud, yaitu ketika dua orang penduduk Irak datang kepada Ibnu
Abas dan bertanya tentang mandi pada waktu hendak melakukan Jumat. Ibnu Abbas
menjawab, bahwa orang yang mandi ketika hendak shalat Jumat adalah sangat baik
dan bersih. Diriwayatkan pada saat itu perekonomian para sahabat umumnya masih
dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar
dan jarang dicuci, sedangkan sebagian mereka banyak yang bekerja di kebun sebagian
mereka ada yang langsung pergi ke Masjid untuk menunaikan shalat Jumat, pada
suatu Jumat cuaca sangat panas sementara masjid sangat sempit ketika nabi
berkhutbah aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol dan belum mandi
tercium oleh rasulullah saw, sehingga suasana hening dalam masjid menjadi
terganggu oleh aroma yang tidak sedap itu, sehingga nabi mengatakan hadis tersebut,
maka bisa ditarik kesimpulan bahwa wajib mandi bagi orang-orang yang kotor saja.4
Ketika diambil pengertian secara zhohir (Tektual) “maka hendaklah ia mandi“. Maka
sebagian ulama menggunakan kaidah ushul fiqh bahwa kalimat ‫ ﻓﻠﯿﻐﺘﺴﻞ‬adalah fi’il
yang menunjukan suruhan, dalam kaidah ushul bisa mengandung arti wajib bisa
mengandung suruhan hanya sunnah atau anjuran
. b. Pemahaman dengan Geografis Geografis
dapat memberikan pemahaman terhadap hadis dimana hadis itu diucapkan
karena kalau dipahami secara tektual (lafzhiyah), malah tidak tepat untuk lokasi lain
seperti hadis riwayat Imam al Timirdzi
‫ ﻣﺎ ﺑﻨﻲ اﻣﻠﺸﺮق واﻣﻠﻐﺮب ﻗﺒﻠﺔ‬.
“Arah antara timur dan barat adalah kiblat”
Hadis ini disabdakan rasul ketika di kota Madinah sebelah utara Ka’bah
(Mekkah), maka makna tektual hadis ini sangat tepat sekali bagi penduduk Madinah,
akan tetapi tidak tepat dan tidak berlaku untuk kota dan negeri lain seperti Indonesia.
Oleh karena itu, pemahaman hadis ini harus melalui pendekatan kontektual yaitu

16
dengan melihat lokasi dimana hadis ini disabdakan.
c. Pemahaman dengan Illat al Kalam (Kausalitas Kalimat)
Nabi Saw dalam memberi perintah atau larangan terkadang menggunakan
ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak bisa dipahami secara konkrit oleh para
sahabat, sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman seperti hadis:
‫اﻟﯿﺼﻠﻨﻲ اﺣﺪﻛﻢ اﻟﻌﺼﺮ اال ٮﻒ ﺑٮﻦ ﻗﺮﯾﻈﺔ‬
‫رواه اﻟﺒﺨﺎرى‬
“Janganlah salah seorang kamu shalat ashar kecuali di bani quraizhoh”
Hadis ini dipahami oleh sebagian sahabat bahwa rasul melarang shalat ashar
kecuali di Bani Quraizhoh, walaupun sudah habis waktunya (sesuai dengan tektual).
Sahabat lain memahami bahwa yang dimaksud oleh larangan rasul dan menyuruhnya
shalat ashar di Bani Quraizhoh adalah agar supaya cepat-cepat menuju Bani
Quraizhoh dan bukan keharusan shalat ashar disana. Dengan demikian bagi mereka
yang jalanya lambat dan tidak sampai Bani Quraizhoh kecuali setelah matahari
terbenam, maka mereka harus shalat Ashar sebelum matahari terbenam, meskipun
belum sampai di Bani Quraizhoh, karena apabila shalat ashar di Bani Quraizhoh
sementara waktu Ashar telah habis maka berarti mereka meninggalkan shalat Ashar
pada waktunya dengan sengaja. Setelah dikabarkan kepada rasul tentang masalah
keduanya nabi membenarkan kedua-duanya.5
d. Pemahaman dengan Sosio-Kultural.
Pemahaman hadis secara kontektual bisa melalui sosio-kultural yaitu dengan
cara mengaitkan hadis dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu misalnya
hadis yang membolehkan meludah di masjid pada waktu shalat ke sebelah kiri atau ke
bawah telapak kaki kiri.
‫ﻋﻦ اﻧﺲ اﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل ھﻠﻼ ص م اذا ﻛﺎن اﺣﺪﻛﻢ ٮﻒ اﻟﺼﺎﻟﺔ ﻓﺎﻧﮫ ﯾﻨﺎﺟﻰ رﺑﮫ ﻓﺎل ﯾﺒﺰﻗﻦ ﺑﻨﻲ‬
‫ﯾﺪﯾﮫ وال ﻋﻦ ﻣﯿﯿﻨﮫ وﻟﻜﻦ ﻋﻦ ﻣﺸﺎﻟﮫ ﺣﺘﺖ ﻗﺪﻣﮫ رواه ﻣﺴﻠﻢ‬
“Dari Anas bin Malik Dia berkata Rasulullah saw bersabda: Apabila salah
seorang kamu dalam keadaan shalat sesungguhnya dia sedang bermunajat kepada
tuhannya, maka janganlah meludah diantara tanganya dan kesebalah kanannya, akan
tetapi kesebelah kiri dibawah telapak kakinya”. (H.R Muslim)

Untuk konteks waktu itu meludah di masjid merupakan persoalan biasa,


karena masjid ketika itu masih berlantai tanah dan padang pasir belum mengenal
lantai keramik atau marmer, sehingga ludah yang jatuh pada saat itu bisa diserap
langsung oleh tanah padang pasir, disamping udara kering dan panas, menyebabkan
bakteri-bakteri tidak tahan hidup, berbeda dengan masjid zaman sekarang yang
lantainya menggunakan keramik atau marmer, jika meludah dibenarkan justru akan
mengotori masjid dan akan membahayakan kesehatan serta menjauhnya jama’ah dari
masjid karena kotor.

F. Kritikan hadis
1. Teori Kritik Sanad
Pengertian kritik sanad hadis berdasarkan pada terminologi kritik yang

17
digunakan dalam ilmu hadis adalah kritik sanad adalah suatu penyeleksian yang
ditekankan dan dimaksudkan pada aspek sanadnya. Sehingga menghasilkan istilah
Sahih al-isnad dan Dha’if al-isnad1.Shihih al-isnad ialah seluruh jajaran perawi dalam
suatu hadis berkualitas sahih, di samping juga adanya kebersambungan sanad, serta
Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis Metode Kritik Sanad Dan Matan Hadits
terbebas dari kerancuan (syadz) dan cacat(‘illat).Sedangkan Dha’if al-isnad adalah
salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya berkualitas dha’if atau bisa jadi karena
tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya. Dengan demikian, bukan berarti bahwa
hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu layak disandingi sahih al-matan, atau
sebaliknya hadis yang telah dinilai dha’if al-isnad juga berarti dha’ifal-matan.
Kaidah keshahihan sanad hadis yang ditetapkan ulama tidaklah seragam.
Akan tetapi ada kaidahkaidah yang disepakati oleh ulama hadis dan masih terjadi
sampai sekarang. Berdasarkan kaidah tersebut, sebuah sanad hadis barulah dinyatakan
shahih apabila :
a. Sanad hadis bersambung (muttasil) dari awal sanad hingga ke Nabi
(marfu).
b. Seluruh perawi hadis bersifat adil, yakni:
i. Beragama Islam, 2) Mukallaf,3) Melaksanakan ketentuan
agama Islam,4) Menjaga maruah.
c. Seluruh perawi bersifat dabit, yakni: (1) terpelihara hafalannya jika
meriwayatkan hadis dari hafalannya, atau terpelihara catatannya jika ia
meriwayatkan dari kitabnya), dan (2) mampu meriwayatkan hadis ada
kesalahanHadits mempunyai sifat cadil dan dabit disebut sebagai
tsiqah.
d. Sanad hadis terhindar dari syudzudz, yaitu tidak terdapat kontradiksi
apapun dengan riwayat tsiqah atau riwayat yang lebih tsiqah darinya
atau riwayat yang lebih banyak jumlahnya. Sanad hadis yang terhindar
dari shadz disebut juga sanad mahfudz
e. Sanad hadis terhindar dari illah, yakni: (1) tidak terjadi kesalahan
penilaian tsiqah terhadap perawi yang sesungguhnya tidak tsiqah, dan
(2) tidak terjadi kesalahan penetapan sanad yang tersambung. Illah
baru dapat ditemukan dalam periwayatan tunggal seorang perawi
(hadits gharib) dan adanya pertentangan dengan perawi lain yang lebih
tinggi taraf kedabitan dan pengetahuannya. Illah secara umum terdapat
dalam sanad, tetapi tidak jarang pula terjadi di dalam matan hadis
. Sementara itu, Ali Mustafa Ya’kub dalam bukunya yang berjudul Kritik
Hadits menyatakan bahwa upaya untuk mendeteksi kedhabitan rawi dengan
Membandingkan Hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan Hadis lain atau dengan
Al-Qur’an, dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan Hadis, yaitu:
1) Membandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
Shahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
2) Membandingkan Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi
pada masa yang berlainan.
3) Membandingkan Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi

18
yang berasal dari seorang guru Hadis.
4) Membandingkan suatu Hadis yang sedang diajarkan oleh
seorang dengan Hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain.
5) Membandingkan antara Hadis-hadis yang tertulis dalam buku
dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan Hadis.
6) Membandingkan Hadis dengan ayat-ayat Al-quran.

. Metode kritik matan


1. Teori Kritik Matan
Dalam Ilmu Dirayah Hadis, kritik matan bisa dilakukan dengan dua cara;
Pertama, kritik terhadap redaksi matan hadis, dan kedua, kritik terhadap makna matan
hadis.Mengingat bahwa metode penyandaran Hadis yang dilakukan secara maknawi
lebih banyak dipakai dalam periwayatan Hadis, maka kritik matan menjadi sangat
penting. Metode ini sarat dengan subjektifitas perawi, karena mereka hanya
mengambil inti dari apa yang didengar atau dilihat dari Nabi saw., kemudian
menyampaikannya menurut kepekaan intelektual masing-masing. a. Kritik Matan Pra
Kodifikasi Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara umum
dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative). Dan atau rujuk
silang (cross reference). Diantaa tehniktehnkik perbandingan yang tercatat pernah
dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
1) Membandingkan matan hadits dengan ayat alQuran yang berkaitan. Teknik
ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat nabi.Umar bin Khattab misalnya, ia
pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh
fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima
uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut umar (matan) hadis tersebut, bila
dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur-an. Demikian juga Aisyah,
dalam beerapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis yang disampaikan
(diriwayatkan) oleh sahabat lainyya yang menurut pemahamannya tidak sejalan
dengan kadnungan ayat al-Quran. Sebagai contoh beliau mengkritik hadis yang
disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang menyatakan bahwa
orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut
Aisyah hal tersebut tidak sejalan dengan al-Quran.
2) Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan
hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan. Dalam teknik ini apabila ada perbedaan
antara versi tulisan dengan versi lisan biasanya lebih memilih versi tulisan daripada
versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam bukhari misalnya, beliau pernah
melakukan tekhnik ini pada saat menghdapi matan hadis tentang mengangkat tangan
ketika akan ruku dalam shalat yang diriwayatka oleh sufyan melalui ibnu masy’ud
setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang
diriwayatkan oleh yahya bin adam yang telah mengeceknya dari kitab Abdullah bin
Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang
mengundang perselisihan.
3) Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan

19
pada waktu yang berlainan Teknik perbandingan ini pernah digunakan oleh Aisyah
salah seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu Urwah bin
Zubair untuk menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu
dari dunia, kepada Abdullah bin Amr bin al-As yang tengah menunaikan ibadah haji.
Abdullah pun menyampaikan hadis yang ditanyak itu. Karena Aisyah merasa tidak
puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui Abdullah yang naik haji
lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya settahun yang lalu. Ternyata
lafal hadis yang disampaikan oleh Abdullah sama persisi dengan lafal yang
disampaikannya setahun yang lalu
4) Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari
satu guru. Teknik ini misalnya dipraktikkan oleh (yahya) Ibnu Ma’in salah seorang
ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan karya Hammad bin
Salamah seorang terkenal dari Basrah, dengan cara menemui dan mencermati tulisan
delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu
Ma’in menemukan kesalahankesalahan baik yang dilakukan oleh Hammad maupun
murid-muridnya
. 5) Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya
Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula saat
Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh Abd arRahman bin al-Mugirah bin
Hisyam bin alMugirah yang bersumber dari Aisyah dan Ummu Salamah yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW.ketika waktu fajar (salat subuh) beliau dalam
keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya dengan istri beliau). Kemudian
beliau mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadis tersebut, marwan
segera menyuruh Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah
pernah meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa apabila seseorang pada waktu
subuh dalam keadaan hadas besar karena pada malam harinya bersenggama dengan
istrinya, maka nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman
menemui Abu Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadis yang
diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah. Pada saat itu Abu Hurairah
menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari nabi, melainkan
dari al-Fadl bin Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih
mengetahui hadis tersebut.

b. Kritik Matan Pasca Kodifikasi


Seperti halnya kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi
pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja
teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara
rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman
sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
1) Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau
memiliki kedekatan susunan redaksi. Teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar
kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan
teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari
susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an

20
diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya
diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian,
perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan
matan-matan hadis dengan alQur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika
terjadi perbandingan matan-matan hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda,
sementara terdapat ayat alQur'an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya).
Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi
pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadis
melalui ayat al-Qur'an.
2) Membandingkan antara matan-matan hadis. Agar dapat melakukan kritik matan
hadis dengan teknik ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu
menghimpun Hadits matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadishadis (secara
lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan
istilah takhrij al-hadis, dalam tahap ini sangatlah diperlukan. Matan-matan hadis
hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan
redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena
dimungkinkan bahwa hadishadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama,
kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat
berikutnya secara makna. Namun, jika hadisnya hanya satu (teks atau naskah tunggal),
tetap bisa diajukan untuk dilakukan kritik matan/teks. Dari segi kualitas, idealnya
matan-matan hadis yang hendak diteliti, sanadnya pun telah diteliti dan dinyatakan
sahih. Dengan demikian kegiatan kritik matan merupakan kegiatan lanjutan dari
kegiatan kritik sanad. Di samping itu, dalam keadaan tertentu terkadang diperlukan
skema sanad dari semua hadis yang dihimpun (melakukan i’tibar as-sanad) untuk
mengetahui kemungkinan ada tidaknya persambugan dan pertemuan para periwayat
dalam sanad-sanad tersebut dan keterkaitannya dengan perbandingan susunan redaksi
matan di antara matan-matan yang akan dikritisi.

21
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadist dan sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Quran.


Hadist dan sunnah memiliki fungsi utama sebagai al-bayan atau penjelas terhadap
alquran.
Hadist dan sunnah memiliki persamaan yaitu disandarkan kepada Nabi SAW. Dari
persamaan hadist dan sunnah,mereka juga memiliki perbedaaan yaitu :

• Hadis adalah: segala yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad Saw, baik berupa perkataan (qauly), perbuatan
(fi’ly), maupun ketetapan (taqriry).
• Sunnah: segala yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkatan maupun perbuatan dan merupakan
kebiasaan yang dilakukan berulang kali.

Adapun Perbedaan hadist dan sunnah lainnya yaitu hadis merupakan segala apa yang
dinukilkan dari Nabi saw. semenjak beliau diangkat menjadi Rasul, sedang sunnah
berasal dari Nabi sejak sebelum dan sesudah beliau menjadi Rasul, sehingga dari si-
ni bisa dikatakan bahwa sunnah lebih umum dari pada hadis.

Pencatatan hadits telah dilakukan oleh para sahabat sejak zaman Rasul SAW. Namun,
yang dimaksud dengan kodifikasi hadist atau tadwin hasdist pada periode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan
beberapa personil yang ahli di bidangnya. Masa kodifikasi hadits ini dapat terbagi
menjadi 4 periode

1. Abad ke II Hijriah
2. Abad ke III Hijriyah
3. Abad ke IV Hijriyah
4. Abad ke V dan Seterusnya

B. Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membukadan menambah wawasa
n tentang agama islam. Semoga makalahkami dapat bermanfaat. Makalah ini jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu kami berharap kritik dan sarannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rofiah, Khusniati (2018). Studi ilmu hadist. Ponogoro : IAIN PO Press.


Badran Abi al-‘Ainain Badran, Bayan an-Nushush at-Tasyri’iyah (Iskandariah: at- Tab’ah
wa an-Nasyr wa Tanzi’, 1982), 5.
Dr. H. Malik, Arif Jamaluddin M. Ag., Prof. Dr. H. Idri, M.Ag., Drs. H. M. Nawawi, M. Ag.
Dr., H. Syamsuddin, M. Ag., Dr. H. Muhammad Hadi Sucipto, Lc. M.HI. ,Fikri Mahzumi,
M.Fil.I (2014) Studi Hadist Surabaya : UIN Sunan Ampel press

23

Anda mungkin juga menyukai