Anda di halaman 1dari 14

MATERI KOMPRE MATA KULIAH HADITS

A. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar


1. Secara etimologi hadits artinya sesuatu yang baru. Sedangkan pengertian menurut
istilahnya antara lain:
a. Menurut ahli hadits, hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan hal ihwalnya nabi
Muhammad Saw yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan
kebiasaan-kebiasaannya setelah diangkat menjadi Rasul (setelah kenabian).
b. Menurut ulama ushul, hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir
Rasulullah Saw yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya setelah
kenabian.
2. Sunnah secara etimologis artinya perjalanan, yang baik maupun yang buruk.
Sedangkan secara istilah, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun hal ikhwal nabi (segala
sifat dan keadaan pribadi nabi) baik setelah diangkat menjadi Rasul maupun
sebelumnya. Yang dimaksud dengan sabda adalah hadits-hadits yang beliau sabdakan
yang berkenaan dengan tujuan dalam berbagai kesempatan (contohnya innamal a’malu
binniyaat). Yang dimaksud dengan perbuatan adalah seluruh perbuatan beliau yang
dipindahkan kepada kita oleh para sahabat (contoh sollu kamaa roa’itumuni ushalli).
Yang dimaksud dengan taqrir adalah segala sesuatu yang muncul dari kalangan sahabat
yang diakui keberadaannya oleh nabi baik dengan ucapan, perbuatan maupun dengan
cara diam tanpa pengingkaran, persetujuan atau keikutsertaan beliau menganggapnya
baik bahkan menguatkannya. Taqrir di antaranya: pengakuan beliau terhadap ijtihad
sahabat berkenaan dengan shalat asar sewaktu perang melawan Bani Quraidhah.
3. Jadi, sunnah adalah model kehidupan nabi sedangkan hadits adalah periwayatan
atau pergkabaran atau pemberitaan mengenai model kehidupan nabi. Sunnah adalah
apa yang menjadi isi dari suatu hadis atau dalam bahasanya disebut dengan matan hadits,
sedangkan hadits adalah rangkaian redaksi atau pemberitaan dari sunnah itu sendiri
mulai dari bagian sanad, matan, sampai pada rawinya.
4. Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits yaitu segala berita yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah adalah ada
yang mengatakan sama dengan hadits yaitu segala sesuatu yang berasal dari nabi dan
ada pula yang mengatakan bahwa khabar itu apa yang dating dari selain Nabi Saw.
Oleh karena itu yang sibuk dengan sunnah disebut muhaddits dan yang sibuk dengan
sejarah dan selanjutnya disebut akhbariy. Setiap hadits sudah pasti khabar, namun
setiap khabar belum tentu hadits.
5. Atsar secara bahasa sama dengan khabar, hadits dan sunnah. Sedangkan secara istilah
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, tabiin, dan boleh juga
disandarkan kepada perkataan Nabi. Para fuqaha memakai istilah atsar untuk
perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabiin dan lain-lain.
6. Suatu hadis terdiri dari beberapa bagian yaitu sanad, matan dan rawi. Sanad secara
etimologis berarti bagian bumi yang menonjol, sedangkan secara istilah adalah
rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Matan secara
bahasa adalah segala sesuatu yang keras bagian atasnya, sedangkan secara istilah adalah
redaksi hadits yang menjadi pendukung pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali
karena itulah yang tampak dan yang menjadi sasaran utama hadits yang diambil dari
pengertian etimologisnya.
B. Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama
1. Kedudukan Hadits dalam ajaran agama adalah sumber hukum kedua setelah Al-
Qur’an dalam Islam. Hadits merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Al-Qur’an.
Hadits merupakan mubayyin (pelengkap) bagi Al-Qur’an yang karenanya siapapun
tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa memahami dan menguasai hadits dan
begitupun sebaliknya, jika kita menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an maka akan
kehilangan arah karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya
berisi garis-garis besar ajaran Islam.
Secara global, sunnah sejalan dengan Al-Qur’an yaitu menjelaskan yang mubham
(ketidakjelasan), merinci yang mujmal (perkataan dan perbuatan yang tidak jelas
petunjukknya), membatasi yang mutlak (yang dapat dipahami dengan sendirinya),
mengkhususkan yang umum, dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya.
Dengan demikian sunnah adalah tuntunan praktis dari apa yang dibawa oleh Al-
Qur’an dan ia berdampingan dengan Al-Qur’an. Hadits sebagai sumber ajaran agama
ada tiga yaitu:
a. Yang sejalan dengan Al-Qur’an di mana ia menegaskan dan mengukuhkan apa yang
ada di dalamnya seperti hadits-hadits yang berisi perintah shalat, zakat, keharaman
riba dan lain sebagainya.
b. Yang menjelaskan apa yang mujmal (perkataan dan perbuatan yang tidak jelas
petunjukknya) dalam Al-Qur’an di mana akan menjelaskan apa yang menjadi
maksudnya seperti penjelasan tentang tata cara shalat, jumlah rakaat dan rukun-
rukunnya dan lain sebagainya.
c. Yang merupakan ketentuan mandiri, di mana tidak memiliki penjelasan eksplisit
(makna yang diuraikan secara gambalng) dari Al-Qur’an seperti larangan memakan
hewan-hewan peliharaan.
Berikut beberapa dalil yang menunjukkan bahwa hadits/sunnah merupakan satu di
antara sumber syari’at:
a. Iman, di mana salah satu konsekuensi beriman kepada risalah adalah menerima
segala sesuatu yang datang dari Rasul dalam urusan agama. Q.S Al-An’am ayat 124:

Artinya: “Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami
tidak akan beriman sehingga diberikan kepada Kami yang serupa dengan apa
yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di
mana Dia menempatkan tugas kerasulan. orang-orang yang berdosa, nanti akan
ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu
membuat tipu daya.
b. Al-Qur’an, di mana di dalamnya terdapat banyak ayat yang menjelaskan kewajiban
taat kepada Rasul di antaranya Q.S Al-Maidah ayat 92:

Artinya: “dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya)
dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
c. Dalil-dalil kehujjahan sunnah dari hadits nabi dan ijma’.
2. Posisi atau Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an antara lain:
a. Bayan at-taqrir atau bayan al-ta’kid, yaitu menetapkan atau memperkuat apa yang
diterangkan dalam Al-Qur’an. Contohnya:

b. Bayan at-tafsir, yaitu penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan


perincian atau penjelasan lebih lanjut seperti merinci ayat yang mujmal (ayat yang
tidak jelas maknanya dan memerlukan penjelasan lagi agar bisa dipahami),
mentaqyid (mengecualikan) ayat mutlak (untuk keseluruhan secara utuh), dan
mentakhsis (mengukhususkan) ayat yang ‘am (umum). Contohnya:
c. Bayan at-tasyri’, adalah mewujudkan, mengadakan atau menetapkan hukum atau
aturan syara’ yang tidak didapati nashnya di dalam Al-Qur’an. Contohnya adalah
hadits tentang zakat fitrah berikut ini:

d. Bayan nasakh, artinya membatalkan, menghilangkan, memindahkan dan mengubah.


Maksudnya yaitu adanya dalil syara’ yang mendatangkan kemudian. Jadi dalil yang
datang kemudian itu dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Contohnya:

C. Sejarah Hadits Prakodifikasi (Rasul, Sahabat, dan Tabi’in)


1. Periode Rasulullah Saw terbagi dalam dua masa yaitu:
a. Masa penyebaran hadits, dilakukan nabi melalui pergaulan sehari-hari. Hadits
pada masa ini diterima oleh para sahabat secara langsung maupun tidak langsung dari
Rasulullah. Penerimaan secara langsung misalnya sewaktu nabi memberikan
ceramah, pengajian, khutbah dan penjelasan terhadap pertanyaan sahabat.
Secara tidak langsung misalnya mendengar dari sahabat lain atau dari utusan-utusan
yang datang kepada nabi. Cara sahabat memperoleh sunnah dari rasululah yaitu
melalui menghadiri majlis-majlis nabi, peristiwa yang terjadi pada diri nabi, peristiwa
yang terjadi pada kaum muslimin, dan berbagai peristiwa dan kejadian yang
disaksikan oleh sahabat tentang bagaimana rasul melaksanakannya. Pada masa ini
sunnah rasul juga dihafal oleh para sahabat, berdampingan dengan hafalan mereka
terhadap Al-Qur’an. Faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits masa ini
adalah:
1.) Rasulullah rajin menyampaikan dakwahnya.
2.) Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang
di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran Islam dan
secara otomatis tersebar dari orang ke orang.
3.) Peranan istri rasul yang sangat besar dalam penyiaran Islam termasuk hadits.
b. Penulisan hadits dan pelarangannya, masa Rasulullah hadits tersebar hanya dari
mulut ke mulut karena memang rasul melarang sahabat menulis hadits saat itu
karena beliau khawatir akan tercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an, takut
berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah, khawatir
nantinya orang-orang awam akan berpedoman pada hadits saja.
2. Periode sahabat (khulafaur-rasyidin)
a. Masa Abu Bakar dan Umar, saat itu banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di
luar Mekkah yang akan mempermudah penyebaran hadits namun juga
membahayakan bagi otentitas hadits tersebut. Oleh sebab itu, Abu Bakar
menerangkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits begitu juga dengan
Umar. Masa ini disebut masa pembatasan hadits yang dimaksudkan agar tidak banyak
dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai
urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Kedua khalifah itu
sangat selektif mengenai periwayatan hadits di mana segala periwayatan yang
mengatasnamakan rasulullah harus dengan mendatangkan saksi.
b. Masa Ustman dan Ali, secara umumnya sama dengan sebelumnya namun langkah
yang diterapkan tidak setegas langkah kedua khalifah sebelumnya dan periwayatan
pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada masa pemerintahan sebelumnya,
sehingga masa ini disebut masa keleluasaan periwayatan hadits yang disebabkan oleh
karakter utsman yang lebih lunak, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga
menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
Adapun masa Ali adalah masa krisis dan fitnah dalam masyarakat, terjadinya
peperangan antara beberapa kelompok kepentingan politik dan secara tidak langsung
hal ini membawa dampak negatif pada periwayatan hadits. Kepentingan politik telah
mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits sehingga tidak seluruh
periwayatan hadits dapat dipercaya riwayatnya.
Dalam perkembangannya periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat
berciri pada 2 tipologi yaitu meriwayatkan dengan lafaz hadits asli yang diterima dari
rasulullah dan meriwayatkan hanya maknanya saja karena sulit menghafal redaksi
haditsnya. Pada masa pembatasan riwayat para sahabat hanya meriwayatkan hadits
jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Sedangkan pada masa pembanyakan
periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits namun
tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan mereka melakukan
perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits.
3. Hadits periode tabi’in
Setelah masa khulafaur rasyidin timbullah usaha yang lebih sungguh untuk
mencari dan meriwayatkan hadits bahkan tata cara periwayatan hadits pun sudah
dilakukan sebagai upaya untuk menyelematkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan.
Namun karena luasnya wilayah Islam dan berbagai kepentingan kelompok yang telah
terpecah-pecah, pemalsuan hadits tetap terjadi dan mencapai puncaknya pada masa
kepemimpinan Daulah Umayyah.
Hadits yang diterima pada masa ini oleh tabiin adalah dalam bentuk catatan-
catatan atau tulisan-tulisan da nada yang harus dihafal, di samping dalam bentuk yang
sudah terpolakan dari yang mereka saksikan dan mereka ikuti dari para sahabat. Para
sahabat maupun tabiin menjaga hadits dengan cara sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits dan cermat dalam menerima riwayat yang datang dengan jalan harus
ada saksi ataupun bersumpah dengan sungguh-sungguh.
4. Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut
dengan al-muktsirun fi al-hadits di antaranya: Abu Hurairah (5374/5364 hadits),
Abdullah ibn Umar (2630 hadits), Anas bin Malik (2276/2236 hadits), Aisyah (2210
hadits), Abdullah bin Abbas 1660 hadits), Jabir ibn Abdillah (1540 hadits), Abu Sa’id al-
Khudry (1170 hadits).
Adapun masa tabiin antara lain: Madinah (Abu bakar ibn Abdu rahman, Salim ibn
Abdullah, Sulaiman ibn Yassar), Mekkah (Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu
Zubayr), Kufah (Ibrahim an-Nakha’I dan Alqamah), Bashrah (Muhammad ibn Sirin, dan
Qatadah), Syam (Umar bin Abdul Aziz yang merupakan khalifah yang mempelopori
kodifikasi hadits), Mesir (Yazid bin Habib), dan Yaman (Thaus ibn Kaisan al-Yamani).
D. Kodifikasi Hadits
1. Kodifikasi hadits adalah pembukuan hadits secara resmi yang diabadikan dalam
bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin kepala negara dengan melibatkan
orang-orang yang mempunyai keahlian di bidangnya. Usaha kodifikasi hadits mulai
direalisasikan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah
kedelapan bani umayyah) melalui intruksi dari walikota Madinah Abu Bakar bin
Muhammad. Atas instuksi tersebut Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadits-hadits nabi
baik yang ada pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Selain
itu Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat perintah untuk hal tersebut ke seluruh
wilayah kekuasannya. Pada awal abad 2 Hijriah (awal penyusunan karya-karya hadits)
penghimpunan dan penulisan hadits beralih kepada penyusunan hadits ke dalam bab-bab
dan mengumpulkan satu bab dengan yang lainnya dalam satu mushannaf atau jami
kemudian setelah itu muncullah musnad-musnad dan kitab-kitab shahih.
2. Perbedaan antara kodifikasi hadits secara resmi dan penulisan hadits yaitu:
a. Kodifikasi hadits dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh
masyarakat, sedang penulisan hadits dilakukan perorangan.
b. Kegiatan kodifikasi tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan
mendokumentasikannya.
c. Tadwin hadits dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang
dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadits dilakukan oleh orang-
orang tertentu.
3. Faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk mengkodifikasi hadits adalah:
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan hadits akan hilang dan lenyap
dari peredaran masyarakat.
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-
hadits maudhu’ yang membuat orang tetap mempertahankan idiologi golongannya.
c. Alasan tidak terdewankannya hadits secara resmi pada masa Rasulullah dan sahabat
sudah berakhir karena Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushaf.
d. Adanya peperangan baik dengan kafir maupun perang saudara antara sesame muslim
yang beda kelompok dan kepentingan.
4. Sistem pembukuan hadits pada masa ini antara lain: Menghimpun secara musnad
(menghimpun semua hadits dari sahabat tanpa memperhatikan masalah atau isinya),
pengumpulan hadits secara bab-bab tertentu, penulisan hadits shahih atau jenis lainnya.
Kitab hadits antara lain:
a. Al-Mushannaf, yaitu catatan hadits, fiqih, aqidah dll.
b. Al-mushnad, yaitu penyusunan hadits didasarkan atas nama sahabat di mana satu
nama dikumpulkan haditsnya menjadi satu.
c. Kitab shahih dan al-jami’.
d. Kitab sunan yang didalamnya tidak hanya hadits shahih melainkan ada juga dhaif.
e. Kitab al-mustadrak, yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits shahih yang
tidak diriwayatkan dalam kitab shahih yang lain.
f. Kitab al-mustakhraj, kitab yang mengambil hadits dari kitab ulama hadits misalnya
bukhari lalu menyebut satu persatu dengan sanadnya sendiri.
5. Tahammul adalah kegiatan menerima dan mendengar hadits yaitu mengambil hadits dari
seorang guru dengan cara-cara tertentu. Ada’ adalah kegiatan meriwayatkan dan
menyampaikan hadits. Mayoritas ulama memperbolehkan kegiatan mendengar hadits
yang dilakukan oleh anak kecil dengan ketentuan umurnya minimal lima tahun, telah
mampu membedakan antara sapi dengan himar, telah memahami pembicaraan dan
mampu memberikan jawaban.
6. Syarat bagi ada’ atau yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah adalah: Islam, baligh (usia
dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan memahami hukum-hukum
syariat), sifat adil (sifat yang mendorong untuk selalu bertakwa dan memelihara diri),
dhabt (kuatnya ingatan atau kemampuan seorang perawi menerima hadits sebagaimana
yang disampaikan kepadanya dan kemampuan perawi hadits menyampaikan hadits
sebagaimana yang ia terima kapan saja).
7. Ada beberapa metode atau cara dalam melakukan tahammul hadits yaitu:
a. As-Sima’ (mendengar) yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan maupun
dari kitabnya sedangkan hadirin mendengarnya.
b. Al-Qira’ah ala Syaikh (membaca di hadapan guru) yaitu seseorang membaca hadits
di hadapan guru baik dari hafalan maupun kitabnya yang telah diteliti sedangkan
guru memperhatikan dan menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab
asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti.
c. Al-Ijazah (sertifikasi atau rekomendasi) yaitu kewenangan seorang guru untuk
meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau
beberapa orang yang telah ditentukan pula tanpa membacakan semua hadits yang
diijazahkannya.
d. Al-munawalah yaitu seorang guru memberikan sebuah atau beberapa hadits atau
sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya.
e. Al-Mukatabah yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta
orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada
dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya
kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.
f. I’lam asy-syeikh yaitu seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits
tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat miliknya dan telah
didengar atau diambilnya dari seseorang.
g. Al-Wasiyah yaitu seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum
meninggal agar kitab riwayatnya diberikan kepada seorang murid untuk
meriwayatkan darinya.
h. Al-Wijadah (penemuan) yaitu seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang
semasanya dan telah mengenal baik tulisannya itu baik ia pernah bertemu atau tidak,
ataupun tulisan orang yang bukan semasanya tapi ia yakin bahwa tulisan itu adalah
penisbatannya benar-benar kepada orang yang bersangkutan dan bisa dipercaya.
Sighat-sighat ada’ diantaranya: Sami’tu, qara’tu ala fulan, qara’tu ala fulan wa ana
asma’u, haddatsana, akhbarana, akhbarana fulan ijazah, akhbarana munawalah dll.
i. Mayoritas ulama berpendapat boleh seorang muhaddits meriwayatkan dengan makna
tidak dengan lafadz bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk beluknya
dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa
merubah makna dan kata yang tidak merubahnya.
j. Ilmu rijal al hadits terbagi dua yaitu ilmu tarikh ar-ruwat dan ilmu al-jarh wa at-
ta’dil. Ilmu tarikh al-riwat adalah ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadits
dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadits tersebut. Jadi
ia mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran perawi,
wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya, perjalanan ilmiah mereka dan lain
sebagainya. Al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal para perawi
dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka.
E. Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitasnya
1. Orang yang pertama kali memperkenalkan pembagian hadits kepada shahih hasan dan
dhaif adalah Imam Abu Isa al-Tirmidziy. Dari segi kualitasnya, hadits terbagi dalam
beberapa jenis yaitu:
a. Hadits shahih (sehat, sempurna) yaitu hadits yang muttashil (bersambung)
sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil dan dhabit (orang yang kuat
hafalannya) tanpa syaz (berbeda pendapat) dan ‘illat (ada dan tidaknya suatu hukum).
Syaratnya: muttashil atau bersambung sanadnya (perawi yang bersangkutan pernah
bertemu meski hanya sekali atau pernah hidup bersama), perawinya adil dan dhabit,
yang diriwayatkan tidak syaz (penyimpangan oleh perawi tsiqat dari orang yang
lebih kuat darinya), dan yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat
b. Hadits hasan adalah hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syaz
dan illat (hadits yang memenuhi syarat hadits shahih namun semua atau sebagian
perawinya lebih rendah kedhabitannya daripada perawi hadits shahih). Hadits hasan
dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana hadits shahih.
c. Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima (hadits
yang tidak memenuhi syarat shahih maupun hasan). Hadits dhaif tidak bisa dijadikan
hujjah dan tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fada’il maupun ahkam.
2. Hadits shahih terbagi dua yaitu: Shahih li dzatihi adalah hadits shahih yang
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Shahih li ghairihi adalah hadits
shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, misalnya
perawinya adil tapi kedhabitannya rendah. Imam bukhari (al-jami’ as-shahih), imam
muslim (shahih muslim), muttafaq ‘alaih (hadits yang ditakhrij bersama oleh imam
bukhari dan muslim)
3. Hadits hasan ada dua jenis yaitu hasan li dzatihi adalah hasan yang memenuhi syarat
hasan secara sempurna. Hasan li ghairihi adalah hadits yang di dalamnya terdapat perawi
mastur yang belum tegas kualitasnya tetapi bukanlah perawi yang pelupa.
4. Hadits dhaif terbagi dalam beberapa jenis yaitu:
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi, antara lain:
1.) Hadits mursal (hadits yang terlepas) yaitu hadits yang gugur rawinya di akhir
sanad.
2.) Hadits munqathi’ (terputus) yaitu hadits yang gugur satu atau dua orang rawi
tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya.
3.) Hadits mu’dal (sulit dipahami) yaitu hadits yang gugur dua orang rawinya secara
beriringan dalam sanad.
4.) Hadits muallaq (tergantung) yaitu hadits yang gugur satu atau lebih rawi di awal
sanad atau semua rawinya tidak disebutkan (gugur).
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi, antara lain:
1.) Hadits maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yaitu hadits yang bukan dari rasulullah
namun disandarkan kepadanya.
2.) Hadits matruk (ditinggalkan atau dibuang) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang pernah tertuduh bedusta atau pernah melakukan maksiat, lalai
atau banyak wahamnya.
3.) Hadits munkar ( diingkari atau tidak dikenal) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lemah dan menyalah perawi yang kuat.
4.) Hadits mu’allal ( terkena illat) yaitu hadits yang mengandung sebab-sebab
tersembunyi.
5.) Hadits mudraj yaitu hadits yang dimasuki sisipan yang sebenarnya bukan bagian
dari hadits tersebut.
6.) Hadits maqlub (diputarbalikkan) yaitu hadits yang terjadi pemutarbalikkan pada
matannya atau pada nama rawi dalam sanad atau penukaran rawi pada sanad
untuk matan yang lain.
7.) Hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya,
namun hadits itu berlainan dengan hadits-hadits lain yang juga diriwayatkan
oleh rawi terpercaya.
F. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
1. Hadits dari segi kuantitas dibagi dalam beberapa jenis yaitu:
a. Hadits mutawatir, secara bahasa artinya sesuatu yang datang beriringan tanpa
diselangi antara satu sama lain. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dan sejumlah rawi
yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanadnya, sanadnya mereka adalah
panca indera. Syaratnya antara lain: hadits yan diriwayatkan mengenai sesuatu yang
berasal dari Rasulullah yang bisa diungkap oleh panca indera seperti sikap dan
perbuatan beliau yang bisa dilihat dan sabda beliau yang bisa didengar, perawinya
mencapai jumlah yang menurut kebiasaan mustahil mereka berdusta minimal
10,20,40,70, jumlah perawi pada setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah
minimal.
b. Hadits ahad, secara bahasa artinya satu-satunya. Secara istilah adalah hadits yang
para perawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir (hadits yang tidak
memenuhi syarat mutawatir).
5. Macam-macam hadits mutawatir antara lain: Mutawatir lafzi adalah adanya kesamaan
beberapa riwayat dalam penggunaan lafaz, susunan redaksi yang sedikit berbeda, tapi
makna tetap sama. Mutawatir maknawi adalah adanya kesamaan beberapa riwayat dalam
penggunaan makna, kesamaan makna secara umum walaupun redaksinya berbeda.
Mutawatir amali adalah hadits menyangkut perbuatan Rasulullah yang disaksikan dan
ditiru tanpa perbedaan oleh generasi seterusnya.
6. Macam-macam hadits ahad antara lain: Ahad masyhur (mustafid) adalah hadits yang
diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.
Hadits ahad aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu
tingkatan rawinya. Hadits ahad gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh 1 rawi atau
hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya (gharib mutlak itu penyendirian sanad dan gharib nisbi itu
penyendirian dalam sifat, tempat tinggal
7. Macam-macam hadits masyhur antara lain: Masyhur di kalangan para muhadditsin dan
lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum), masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu
tertentu (misalnya hanya di kalangan ilmu hadits saja, fiqih saja), dan masyhur di
kalangan orang-orang umum saja.

Anda mungkin juga menyukai