Anda di halaman 1dari 30

NAMA : NAPIKA PRISMA DURI

KELAS : A3 PJJ PAI

NIM : 2281130104

MATKUL : STUDI HADIST

TUGAS : UJIAN TENGAH SEMETER

MATERI 1
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR
A. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar
1. Pengertian Hadits
Hadits menurut ahli ushul adalah segala sesuatu yang bersumber dar Nabi
Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan
hukum atau ketentuan-ketentuan Allah SWT yang disyariatkan kepada manusia.
2. Pengertian Sunnah
Secara etimologi Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah
dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun tercela.
Jika disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka sunnah berarti segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapannya. Sebagian besar ulama tidak terlalu membedakan istilah hadits dan sunnah.
3. Pengertian Khabar
Pengertian khabar menurut etimologi adalah berita yang disampaikan dari
seseorang atau an-naba yang berarti berita. Jamaknya adalah akhbar. Orang yang
menyampaikan khabar disebut khabir.
Menurut Istilah ada 3 pendapat:
a) Bahwa khabar dan hadits adalah muradif artinya semakna.
b) Khabar dan hadits berbeda, khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat dan tabi’in, sedangkan hadits segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW.
c) Khabar lebih umum dari hadits, khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW dan kepada selainnya, yaitu sahabat dan tabi’in, sedangkan hadits
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.
4. Pengertian Atsar
Atsar secara bahasa yang berarti sisa dari sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah,
atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in. Adakalanya atsar
juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Keempat terminologi ini, baik hadits, sunnah, khabar maupun atsar, jika disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, maka tidak akan begitu terlihat perbedaannya. Oleh karena
itu, sebagian ulama menyatakan, jika keempatnya disandarkan kepada beliau, maka keempat
istilah ini sama saja dari sisi sandarannya, yang membedakan hanya cara Nabi Muhammad
SAW menyampaikannya, baik secara lisan, perbuatan, ketetapan maupun persetujuannya.
B. Ilmu Hadits
1. Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu Hadits menurut ulama mutaqoddimin adalah ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Nabi Muhammad
SAW dari segala hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan dan dari bersambung
tidaknya sanad dan sebagainya.
Pada perkembangan selanjutnya oleh ulama muta’akhirin ilmu hadits dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu Ilmu Hadits Riwayah, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari
hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqorir, tabiat maupun tingkah lakunya. Yang kedua adalah Ilmu Hadits Dirayah, yaitu
undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara
menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain.
2. Cabang Ilmu Hadits
a) Rijal al Hadits, adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya
sebagai perawi hadits.
b) Ajarh wa al Ta’dil, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi,
seperti pada keadilan dan kedhabitannya.
c) Tarikh al Ruwah, adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan
dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.
d) I’lal al Hadits, adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang
dapat mencatatkan kesahihan hadits.
e) An-Nasikh wa al Mansyukh, adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang
berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan yang pada akhirnya
terjadilah saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut
mansyukh dan yang datang kemudian dinamakan nasyikh.
f) Asbab wurud al Hadits, adalah suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang
sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu menuturkan itu, seperti sabda
SAW tentang kesucian air laut dan apa yang ada di dalamnya.
g) Gharib al Hadits adalah ungkapan dari lafaz-lafaz yang sulit dan rumit untuk dipahami
yang terdapat dalam matan hadits karena lafaz tersebut jarang digunakan.
h) At-Tashif wa at Tahrif, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang
hadits-hadits yang sudah diubah atau syakalnya (muahahaf ) dan bentuk (muharraf ).
i) Mukhtalif al Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya
saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau
dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit
dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya.
3. Macam-Macam Hadits
a) Hadits Qauli
Hadits Qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa
perkataan atau ucapan yang memuat ‘syara’ peristiwa dan keadaan baik yang berkaitan
dengan aqidah, syariah, akhlak maupun lainnya.
b) Hadits Fi’li
Hadits Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa
perbuatannya yang sampai kepada kita
c) Hadits Taqriri
Hadits Taqriri adalah hadits yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa
yang datang dari sahabat.
d) Hadits Hammi
Hadits Hammi adalah hadits yang berupa hasrat atau keinginan Nabi
Muhammad SAW yang belum sempat terealisasikan.
e) Hadits Ahwali
Hadits Ahwali adalah hadits yang berupa hal-ihwal Nabi SAW yang
menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.
4. Unsur-Unsur Hadits
a) Sanad
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau segala sesuatu yang kita
jadikan sandaran. Menurut istilah, sanad adalah silsilah orang-orang (yang
meriwayatkan hadits) yang menyampaikannya kepada matan hadits.
b) Matan
Kata Matan menurut bahasa berarti tanah yang meninggi sedangkan menurut
istilah adalah lafaz-lafaz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu
sebagai isi dari hadits.

c) Rawi
Yaitu orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu
kitab tadwin disebut dengan perawi. Dengan demikian maka perawi dapat disebut
muddawin.
5. Fungsi Hadits
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an.
3. Menetapkan sesuatu hukum yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an.
MATERI 2
KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM DAN FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR'AN
A. Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang utama. Sebagai sumber hukum Islam,
al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’an merupakan sumber utama
dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya.
Al-Qur’an sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di
dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam
Kitab Suci al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang
masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.

2. Hadist
Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki peranan yang
penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan ayat-ayat al-Qur’an, karena
al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya
dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan
diamalkan. Hadits juga berfungsi antara lain menjadi penjelas terhadap ayat-ayat al-
Qur’an yang belum jelas atau menjadi penentu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.
B. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut
jumhur Ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Hal tersebut terutama
ditinjau dari segi wurud atau tsubut-nya Al-Qur’an adalah bersifat qath'i. Sedangkan hadits,
kecuali yang berstatus mutawatir, sifatnya adalah zhanni al-umrud. Oleh karenanya, yang
bersifat qath'i (pasti) didahulukan daripada yang zhanni (relatif).
Al-Qur’an menjelaskan bahwa hadits memiliki legalitas khusus yang diberikan oleh
Allah SWT dalam beberapa ayat, di antaranya adalah Qs. an-Najm ayat 3-4, Qs. An-Nahl ayat
44, Qs. al-Hasyr ayat 7, Qs. an-Nisa ayat 80, dan lain-lain.
C. Fungsi Hadits Terhadap Al-qur’an
Dr. Muthafa As Siba’iy menjelaskan, bahwa fungsi hadits terhadap al Qur’an, ada 3
(tiga) macam, yakni:
1) Memperkuat hukum yang terkandung dalam al Qur’an, baik yang global maupun
yang detail.
2) Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al Qur’an yakni mentaqyidkan
yang mutlak quran, mentafsilkan yang mujmal dan mentakhsishkan yang ‘am
3) Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al Qur’an.
Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap al-
Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1. Bayan at-Taqrir
Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat, yang
dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan
di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-
Qur’an. Sehingga dalam hal ini, hadist hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan
dalam al- Qur’an.
2. Bayan At-Tafsir
Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian
dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap al Qur’an yang masih bersifat umum.
3. Bayan at Tasyri’
Bayan at tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang dapat
tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
Dalam hal ini seolah-olah Nabi Muhammad menetapkan hukum sendiri. Namun
sebenarnya bila diperhatikan apa yang ditetapkan oleh beliau hakikatnya adalah penjelasan
apa yang ditetapkan atau disinggung dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang
disebutkan Allah secara terbatas.
4. Bayan al Nasakh
Kata an-Nasakh dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-ibthal
(membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at- taqyir
(mengubah). Menurut Abu Hanifah bayan tabdil (nasakh) adalah mengganti sesuatu
hukum atau me-nasakh-kannya. Sedangkan Imam Syafii memberi definisi bayan nasakh
ialah menentukan mana yang di-nasakh-kan dan mana yang keliatan yang di-mansukh dari
ayat- ayat al-Qur’an yang terlihat berlawanan. Ulama berselisih paham terhadap fungsi
hadits sebagai Bayan al Nasakh, sebagian berpendapat perbedaan antara teks al-Qur’an
dan hadits bukan berarti hadits berfungsi sebagi nasikh dari teks al-Qur’an yang dimaksud.
MATERI 3
SEJARAH HADITS SEBELUM DIBUKUKAN
A. Periode Nubuwah
Masa ini merupakan periode awal hadits, Hadits tidak terlepas dari kehidupan
Rasulullah Saw. Sendiri, karena Hadits sendiri merupakan semua ahlaq dan riwayat
Rasulullah, pada periode ini dimulai ketika pertama rasulullah menerima wahyu, jadi
periodesasi ini berjalan sepajang dakwah Rasulullah selama 23 tahun. Bertepatan 610M
kurun waktu tersebut dibagi saat dakwah secara sembunyi sembunyi di mekkah selama 10
tahun, dan 13 tahun saat dakwah periode hijrah ke Yatsrib (Madinah). Inilah masa awal
Hadist mulai bertumbuh.
Pada masa ini kondisi masyarakat arab kurang begitu mengenal bahasa tulisan,
kebanyakan belum memiliki kemampuan membaca dan menulis. Keadaan masyarakat arab
yang tidak memiliki keahlian tersebut dikenal sebagai bangsa yang ummi. Masalah inilah
yang menyebabkan ilmu kurang bisa menembus ke-jahiliyah-an mereka secara rasio. Pada
masa tersebut terhitung dengan jari hanya sepuluh orang saja dari bangsa Quraisy yang bisa
membaca dan menulis.
1) Metode Penyampaian
Pada masa dakwah fase pertama dengan sembunyi-sembunyi (sirri) selama tiga
tahun, beliau menjadikan rumah Al-Arqom bin Abil Arqom sebagai tempat pertama
mengumpulkan halaqah-nya bagi para sahabat utama dalam menyampaikan konsep akidah
sebagai fondasi dasar keislaman. Hadits disampaikan secara lemah lembut dan hati ke hati,
sehingga hidayah kebenaran terpancar pada wajah para sahabat generasi pertama. Dalam
tarikh Islam, mereka dikenal dengan sebutan assabiqunal awwalun.
Di Madinah, Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai sebagai activity centre,
sarana ibadah, tempat mengajar para sahabat dan wahana menyampaikan ilmu serta
menyampaikan fatwa agama dan kenegaraan, pada kesempatan di majelis ilmu tersebut
Rasullullah menyampaikan hadits-haditsnya secara klasikal di depan para sahabat.
Rasulullah juga mengkhususkan waktunya untuk majelis kaum wanita, beliau mengajar
dan memberi fatwa kepada para sahabiyah. Selain dengan metode klasikal, hadits juga
disampaikan melakui pembicaraan berupa tanya jawab sehari-hari, modelling atau perilaku
nabi yang dilihat sahabat dan orang terdekat dan bentuk penyampaian lainnya (taqriri).
2) Sikap dan Penerimaan Sahabat
Ada perbedaan para sahabat dalam penguasaan dan perolehan Hadist, diataranya :
a. Perbedaan soal kesempatan para sahabat bersama Rasulullah, contohnya antara Aisyah
RA yang memiliki kesempatan lebih leluasa untuk bertemu Rasulullah dengan sahabat
yang lain, beliau meriwayatkan banyak sekali Hadits.
b. Perbedaan dalam hal kesanggupan para sahabat untuk tetap bersama Rasulullah.
Contoh sahabat yang selalu berusaha bersama beliau adalah Abu Huarairah.
c. Perbedaan para sahabat dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya pada
sahabat lain.
d. Perbedaan waktu dan tempat tinggal dengan majelis Rasulullah SAW.
e. Perbedaan kemampuan para sahabat dalam menulis Hadits.
3) Penulisan Hadits di Masa Nubuwah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam upaya menulis hadits di
masa kenabian. Ada sahabat yang menulis hadits, ada juga yang tidak menulis hadits. Hal
ini dikarenakan sempat ada larangan dari Nabi Muhammad SAW untuk menulis hadits.
Tetapi ada juga sahabat yang diperbolehkan menulis hadits. Perbedaan perintah dan
larangan ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah waktu penulisan, media
untuk menulis, dan orang yang menulis.
B. Periode Khulafa’ ar-Rasyidin
1) Abu Bakar al-Shiddiq
Abu Bakar merupakan sahabat yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Contohnya adalah ketika beliau ingin
memutuskan hak waris nenek dari cucu nya yang meninggal, sahabat yang
menyampaikan hadits nabi terkait hak waris nenek sampai harus mendatangkan saksi
dan disumpah. Kasus ini menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera
menerima riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian,
Abu Bakar meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits di kalangan umat Islam pada
masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas, umat Islam dihadapkan pada berbagai
ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai
ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu
tidak sedikit sahabat Nabi, khususnya yang hafal al-Qur’an, telah gugur di berbagai
peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan
penghimpunan al-Qur’an (jam’u al-Qur’an).

2) Umar bin al-Khatthab


Seperti halnya dengan Abu Bakar Ash Shidiq, Umar dikenal sangat hati-hati
dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang
disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari
Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzar menyatakan telah
mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut.
Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu
telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan
hadits ini. Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu
Musa al-As’ariy, al- Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu menunjukkan
kehati-hatian Umar dalam periwayatan hadits.
Kebijakan Umar bin al-Khattab melarang para sahabat memperbanyak
periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa beliau sama sekali melarang para
shahabat meriwayatkan hadits. Larangan ini tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan
itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan
hadits dan perhatian terhadap al-Qur’an tidak tergangu.

3) Usman bin Affan


Pada zaman Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits
tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada
zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada
umat Islam
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwayatan
hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi Usman tidak setegas pribadi Umar, juga
karena wilayah Islam telah makin luas. Selain itu, beliau juga lebih fokus pada proses
pembukuan al-Qur’an dibanding hadits.

4) Ali bin Abi Thalib


Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para khalifah
pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah bersedia menerima
riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah,
bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari Nabi SAW. Hanyalah terhadap
yang benar-benar telah dipercayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi
sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan
riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
Kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah Ali bin
Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada
zaman Ali telah berbeda dengan situasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali,
pertentang politik di kalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara
kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini membawa
dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan politik telah
mendorong terjadinya pemalsuan hadits.
C. Periode Tabi’in
1) Pusat-Pusat Pembelajaran dan Penulisan Hadits
Pada masa ini al-Qur’an telah dibukukan dalam bentuk mushaf, jadi kekhawatiran
tercampurnya dengan al-Quran bisa teratasi. Para tabi’in mengumpulkan catatan dan
hafalan dari para sahabat di samping itu juga melihat dalam bentuk amal ibadah para
sahabat, hal ini menjadi kegiatan yang saling berkomplementer, namun kondisi para
sahabat yang sudah tersebar dan politik yang tidak menentu dan seringnya terjadi
pemalsuan hadits membuat para tabi’in lebih ekstra hati-hati dalam mencari dan
meriwayatkan Hadits.
Adapun pusat pusat kota yang menjadi tempat berkumpul dan mengajarkan
Hadits antara lain:
a) Kota Mekkah, dibina oleh Mu’adz bin Jabal, Atab bin Said, Harits bin Hisyam,
Utsman bin Thalhah, dan Salim bin Abdullah bin Umar.
b) Kuffah, dibina oleh Said bin Abi Waqash, Abdullah bin Mash’ud, dari kalangan
tabiin antara lain Arrabi’ bin Qaim, Kamal bin Zaid , an Nikhai bin abi Rabbah,
Thawus bin Kaiman, dan Irimah maula bin Abbas.
c) Syam, dibina oleh Abu Ubaidah bin Jarh, Bilal bin Rabbah, Ubadah bin Tsamit, Abu
Darda, Saad bin Ubadah dan Khalid bin walid. Kalangan tabiin antara lain : Salim
bin Abdillah Al Muharibi, Abu Idris Al khaulani, Abu sulaiaman Addarani dan Umar
bin Hana’i.
d) Mesir, dibina Amr bin ‘Ash, Uqbah bin Amir, Kharizah bin Hudazafah, Abdullah bin
Al harits. Dari kalangan para tabiin : Amr bin Al Harits, Khair bin An Nuaimi al
Hadrami, yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Abi Jafar dan Abdullah bin Sulaiman At
Thawil.
e) Yaman, dibina oleh Mu’adz bin Jabbal dan Abu Musa al Asy’ari. Para Tabiin anatara
lain : Hammam bin Munabih, Wahab bin Munabih, Thawus, dan Ma’mar bin Rasyid.
Sedangkan sahabat yang ada
f) Khurasan, dibina oleh Buraidah bin Husain Al Aslami, Al Hakam bin Amir al Gifari,
Abdullah bin Qasim al Abbas. Kalangan Tabiin diantaranya Muhammad bin Ziyad,
Muhammad bin Tsabit al Anshari dan Yahya bin Shabih al Mugri.
Sebagaimana para sahabat, di kalangan tabi’in pun melakukan hal yang sama, yakni
menulis dan menghapal hadits, tentang penghapal hadits antara lain : Ibn Abi Laila, Abu
Aliyah, Ibn Syihab Az Zuhri, dan Urwah Az Zubair, mereka menekankan pentingnya
menghafal Hadits secara terus menerus.
MATERI 4
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
(penjelasan sama seperti di materi 3)
B. Hadits Pada Masa Khulafa ar Rasyidin
(penjelasan sama seperti di materi 3)
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
(Sebagian penjelasan sama seperti di materi 3)
Pada masa ini hadits sudah memasuki awal fase pembukuan, perkembangan
pembukuan hadis pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
1) Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqih dan kualitas haditsnya ada yang shahih,
hasan, dan dha‟if.
2) Jami‟, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah, yakni
akidah, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-
sifat akhlak (syama‟il), fitnah dan sejarah (manaqib).
3) Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat
beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa‟i, Sunan Ibnu Madjah, dan
Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang sahih, hasan, dan dha’if, tetapi tidak
terlalu dha’if seperti hadits munkar.
D. Masa Kodifikasi Hadis
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan
dan pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW secara resmi berdasar perintah khalifah dengan
melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Tujuannya untuk menjaga hadis Nabi
Muhammad SAW dari kepunahan dan kehilangan baik karena banyaknya periwayat
penghafal hadis yang meninggal maupun karena adanya hadis palsu yang dapat
mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis atas perintah
Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat. Para ulama hadis
sepakat mengatakan bahwa kodifikasi hadis mulai dilakukan oleh Khalifah Umar bin „Abd
„Aziz yang memerintahkan pada tahun 99-101 H.
1. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah
a) Tokoh-tokoh
Malik bin Annas, Yahya Ibn Said al-Qaththan, Waki‟ Ibn al-Jarrah, Sufyan ats-Tsaury,
Ibnu Uyainah, Syu’bah Ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman Ibn Mahdy, Al-Auza‟y, Al-Laits,
Abu Hanifah, Asy-Syafi‟y. .
b) Kitab-kitab hadis yang terkenal dalam abad ke-2 hijriyah
1) Al-Muwaththa‟, susunan Imam Malik (95-179 H).
2) Al-Maghazi wa as-Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
3) Al-Jami‟, susunan Abd ar-Razzaq ash-Shan‟any (211 H).
4) Al-Mushannaf, susunan Syu‟bah Ibn Hajjaj (160 H).
5) Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn Uyainah (198 H).
6) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa‟ad (175 H).
7) Al-Mushannaf, susunan Al-Auza‟y (150 H).
8) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H).
9) Al-Maghazi an-Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid al-Aslamy (130-207
H).
10) Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11) Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali
12) Al-Musnad, susunan Imam Asy-Syafi‟y (204 H).
13) Mukhtalif al-Hadis, susunan Imam As-Syafi‟y.
c) Kedudukan dan keadaan kitab-kitab hadis abad ke-2 hijriyah
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian besar para ulama
secara umum adalah Al-Muwaththa‟ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan
Mukhtalif al-Hadis (susunan Imam Asy-Syafi‟y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau
Al-Maghazi wa as- Siyar (susunan Ibnu Ishaq).
2. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriyah
Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadis (Masa
Keemasan). Ulama hadits yang muncul pada abad ini digelari Muqaddimin, yang
mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok
dan penjuru Negara Arab, Persia, dan lain-lain.
a) Tokoh-tokoh
Di antara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada masa ini ialah Ali Ibn al-
Madiny, Abu Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhammad Ibn
Sa‟ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhary, Muslim, An-Nasa‟y, Abu Daud,
Ibnu Madjah, Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury.
b) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah, di antaranya:
1) Al-Musnad, susunan Musa Ibn Abdillah al-Abasy
2) Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad.
3) Al-Musnad, susunan Abu Daud ath-Thayalisy
4) Al-Musnad, susunan Nu‟aim Ibn Hammad. ]
5) Al-Musnad, susunan Abu Ya‟la al-Maushily.
6) Al-Musnad, susunan Al-Humaidy.
7) Al-Musnad, susunan Ali al-Madiny.
8) Al-Musnad, susunan Abed Ibn Humaid.
9) Al-Musnad al-Mu‟allal, susunan Al-Bazzar.
10) Al-Musnad, susunan Baqy Ibn Makhlad (201-296 H), dan lain-lain.

Pada masa ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut Kutub alSittah,
yaitu:
1) Al-Jami‟al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H).
2) l-Jami‟ al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H).
3) Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-261 H).
4) Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H).
5) Al-Sunan karya al-Nasa‟ie (215-302 H).
6) Al-Sunan karya Ibn Madjah (207-273 H).
3. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H
a. Tokoh-Tokoh
Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini adalah Sulaiman bin
Ahmad al-Thabari, Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu
Awanah Ya’kub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr
Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi, Majuddin al-Harrani, Al-Syaukani, Al-Munziri,
Al-Shiddiqi, Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi.
b. Kitab-kitab yang tersusun dalam abad IV-VII H
1) Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits
tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya.
2) Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan
cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad
sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut.
3) Kitab Athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi
sanadnya ditulis lengkap.
4) Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-
syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah satu dari keduanya.
5) Kitab Jami‟ ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam
kitabkitab yang telah ada.
4. Kodifikasi Hadis Abad ketujuh Hijriyah sampai Sekarang
Masa ini adalah masa persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan („Ahd al-
syarh wa al-jamu‟ wa al-takhrij wa al-bahts). Ulama pada masa ini mulai mensistemisasi
hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan
cara membagi hadits menurut kualitasnya.
a. Tokoh-Tokoh hadis dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
Di antara ulama hadis yang terkenal dalam masa ini ialah Az-Zahaby (748 H), Ibnu
Sayyid an-Nas (734 H), Ibnu Daqiq al-Ied, Mughlathai (862 H), Al-Asqalany (852 H),
Ad-Dimyaty (705 H), Al-Ainy (855 H), As-Sayuthy (911 H), Az-Zarkasy (794 H),
Ibnu Katsir (744 H), Az-Zaila‟y (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804
H), Al- Bulqiny (805 H), Al-Iraqy (806 H), Al-Haitsamy (807 H), Abu Zur‟ah (806
H), dan lain-lain.
b. Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-7, di antaranya Ath-Targhib, Al-Jami’
baina ash-Shahihain, Muntaqa Al-Akhbar fi al-Ahkam, dan Al-Mukhtarah, Riyadh
ash-
Shalihin, Al-Arbain
c. Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-8 Hijriyah, di antaranya Jami‟ al-Masanid
was-Sunan al-Hadis ila Aqwami Sanan, dan Al-Ilmam fi Ahadis al-Ahkam.
d. Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-10 Hijriyah, di antaranya Ith-haf al-Khiyar bi
Zawa’id al-Masanid al-‘Asyrah, Bulugh Al-Maram, dan Majma’ az-Zawa’id wa
Mamba’ al-Fawa’id.
MATERI 5
ILMU HADITS DAN CABANG-CABANGNYA
A. Pengertian Ulumul Hadits
‘Ulumul Hadits ialah suatu ilmu yang berkaitan dengan hadits, baik dari segi
periwayatan, penerimaan dan macam – macamnya. Dalam hubungan ini perlu adanya
ketelitian dalam mempelajari ilmu hadits ini.
B. Ilmu hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dari padanya diketahui hakikat riwayat, syarat-
syarat dan macam-macam yang diriwayatkan dan segala yang berpautan dengan itu. Ilmu
hadits dirayah biasanya juga disebut sebagai ilmu musthalah al hadits, ilmu usul al-hadits,
ulum al-hadits, dan qowa’id al-tahdits. Al-Tirmizi mendefinisikan ilmu ini dengan undang-
undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan
meriwayatkan, sifat-sifat perawi, dan lain-lain.
C. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas tentang pemindahan segala
sesuatu yang disandarkan pada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan
(taqrir) maupun sifat-sifat kepribadian dan perilaku dengan pengutipan atau pemindahan
yang teliti dan cermat. Sedangkan menurut ibn al-Akfani sebagaimana dikutip oleh asy-
Syuyuti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah ilmu
pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi SAW baik periwayatannya,
pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafaz-lafaznya. Obyek ilmu hadits
riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan
memindahkan atau mendewankan.
D. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1) Ilmu Rijal al-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in,
maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu rijal al-
hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat
mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka
berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka
menyampaikan Hadits.
2) Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil adalah Ilmu yang menerangkan tentang hal-hal cacat
yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang pen-ta`dilan-nya (memandang adil
para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat
kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadits seperti, pelupa,
pembohong, dan sebagainya.
3) Ilmu Tarikh ar Ruwah
Yaitu Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan dengan usaha
periwayatan mereka terhadap hadits. Ilmu ini merupakan senjata yang ampuh untuk
mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan
para perawi.
4) Ilmu ‘ilal al hadits
Yaitu ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat
mencacatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan muttashil terhadap hadits yang
munqathiq, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukkan hadits ke
dalam hadits lain, dan hal-hal yang seperti itu.
4) Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits yang bertentangan dan tidak mungkin
diambil jalan tengah. Hukum hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits
yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul
belakangan dinamakan nasikh.
5) Ilmu Asbab Wurud al-Hadits.
Asbab Wurud al-Hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan
tentang sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
6) Ilmu Gharib al-hadits
Yaitu ilmu yang membahas dan menjelaskan hadits Rasulullah saw yang sukar
diketahui dan dipahami orang banyak karena telah berbaur dengan bahasa arab pasar
(umum). Ilmu ini bisa juga diartikan sebagai ilmu yang menerangkan mkna kalimat
yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang
terpakai oleh umum.
7) Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
menerangkan tentang hadits yang sudah diubah titik atau syakal-nya.
8) Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling
bertentangan atau berlawanan, kemudian bertentangan dihilangkan dan dikompromikan
antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami
kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.

MATERI 6
ILMU RIJAL AL-HADITS DAN URGENSINYA
DALAM STUDI HADITS
A. Pengertian Rijal al-Hadits
Ilmu Rijal al-Hadits ini didefenisikan sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan
para periwayat hadits baik dari kalangan sahabat, maupun generasi berikutnya. Maksudnya
ialah ilmu yang mengkaji seluk beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi
sahabat, tabi’in maupun tabi’i at tabi’in.
Adapun para perawi yang menjadi objek kajian Ilmu Rijal al Hadits adalah :
1) Para sahabat sebagai penerima pertama: Thabaqah al-Awwal (generasi pertama) atau
sanad terakhir karena menjadi penerima langsung dari sumber asalnya, yaitu Nabi SAW.
2) Para tabi’in sebagai Thabaqat al-Tsani (generasi kedua)
3) Para muhadhramin yaitu orang orang yang mengalami hidup pada masa j ahiliyah dan
masa Nabi dalam kondisi Islam, tetapi tidak sempat menemui nabi dan mendengarkan
Hadits darinya.
4) Para mawaliy yaitu para perawi Hadits dan ulama yang pada awalnya berstatus budak.
B. Syarat-Syarat Rijal al-Hadits
Seseorang yang menyampaikan Hadits bisa dipercaya dan dibenarkan
periwayatannya benar-benar dari Nabi SAW ketika sanadnya bersambung (ittishal as sanad),
artinya dalam Hadits tersebut terdapat rangkaian sanad Hadits yang saling bertemu antara
murid dan guru mulai dari awal sanad (sahabat, jika haditsnya marfu'), sampai pada
periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadits seperti Imam Bukhari. Rijal al-
Hadits yang bisa diterima riwayatnya (rijal yang tsiqah) harus meliputi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Memiliki Sifat Adil
Adil artinya adalah orang yang adil, dalam konteks ini adalah orang yang
memenuhi syarat-syarat, yaitu muslim, baligh atau mumayyiz, berakal sehat, tidak fasik,
menjaga muru'ah. Sebaliknya yang tidak memenuhi syarat sifat adil, yaitu al-Kidzb
(berbohong), al-Muttahamu bi al-Kidzb (dianggap bohong), al-Fisq (fasik), a1-Bid'ah
(pernah melakukan perbuatan bid'ah), a1-Jahalah (bodoh).
2. Bersifat Dhabith
Dhabith dalam kamus bahas Arab diartikan dengan kuat/tepat. Disyaratkan bagi
seorang Rijal al-Hadits Dhabth fi al-Kitabah dan Dhabth fi al-Hifzh. Dhabth fi al-
Kitabah artinya kuat dalam menjaga tulisannya, maksudnya adalah perawi harus
memiliki kekuatan dalam menjaga tulisannya dan sekiranya tulisan hadits yang
dimilikinya dibutuhkan dia bisa menunjukkannya dengan cepat dan akurat.
Yang menyebabkan seorang perawi tidak dhabith, yaitu Fahsy al-Ghalath (pernah
membuat kesalahan fatal), Su'ul Hifzh (hafalannya jelek), Al-Ghaflah (pelupa/pikun),
Mukhalafah as-Tsiqat (bertentangan dengan yang lebih tsiqah/kuat).
3. Menjaga Muru’ah
Muru'ah adalah menjaga harga diri dengan cara berakhlak yang mulia dan menjauhi
akhlak tercela. Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan manusia. Islam memandang
pentingnya menjaga kehormatan diri maupun kehormatan orang lain. Istilah ini kemudian
sering disamakan maknanya dengan kata “marwah” di dalam Bahasa Indonesia.
C. Gelar-gelar untuk Rijal al-Hadits
1. Al-Musnid, yaitu orang-orang yang meriwayatkan Hadits dengan sanadnya.
2. Thalib al-Hadits, yaitu orang yang sedang menuntut Hadits.
3. Al-Hafizh, yaitu orang yang menghafal dan menjaga otentisitas hadits.
4. Al-Muhaddits, ahli ilmu hadits
5. Al-Hujjah, yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits,
baik matan, sanad, maupun perihal si periwayat tentang keadilannya, kecacatannya, dan
biografinya (riwayat hidupnya).
D. Thabaqah Rijal al-Hadits
Thabaqah menurut bahasa ialah suatu kaum yang memiliki kesamaan dalam suatu
sifat. Sedangkan menurut terminologi thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam satu
masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan hadits dari para
guru.
Dengan demikian, seluruh sahabat adalah thabaqah pertama, thabaqah kedua
tabi'in, thabaqah ketiga atba' tabi'in dan seterusnya. Dan perlu diperhatikan bahwa tidak
semua thabaqah kedua mesti tabi'in, karena bisa juga thabaqah kedua masih sahabat, selain
itu jumlah thabaqah pun belum tentu 4 (empat) thabaqah bahkan ada yang 11 (sebelas)
thabaqah.
E. Urgensi Ilmu Rijal al-Hadits dalam Studi Hadits
Ilmu Rijal al-Hadits ini lahir bersamaan dengan periwayatan hadits dalam Islam dan
mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan persoalan di sekitar sanad. Kebutuhan
terhadap ilmu ini lebih terasa setelah merebaknya hadits-hadits palsu. Dari sini para ulama
merasa memiliki kepentingan besar untuk menelusuri jati diri pembawa para hadits dan guru-
guru yang menyampaikan Hadits kepadanya.
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau tidaknya
sanad suatu hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi
berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya
pengakuan saja, semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini.
Ilmu ini juga membahas periwayatan yang tsiqah (terpercaya) dan dha’if (lemah)
serta asal usul tentang periwayatan hadits. Ilmu ini menjadi penting dalam ilmu hadits karena
bersangkutan dengan sanad dan matan hadits, sedang orang-orang yang terhubung dengan
matan rantai sanad adalah para periwayat hadits dan mereka itu adalah objek dari ilmu Rijal
al Hadits.
Ilmu Rijal al-Hadits tidak hanya membahas keadaan periwayat dari sisi biografi
lahiriyah saja, tetapi kualitas mereka. Kualitas periwayat yang diceritakan meliputi intelektual
(dhabit) dan moralitas (muru’ah). Kedua sifat ini harus ada pada diri periwayat.
Banyak hal yang menyebabkan sejarah para periwayat Hadits menjadi objek kajian
dalam Ilmu Rijal al Hadits, diantaranya adalah karena tidak seluruh hadits tertulis pada
zaman
Nabi SAW, munculnya pemalsuan hadits dan proses penghimpunan hadits (tadwin) yang
membutuhkan ketelitian tinggi.
Adapun manfaat mempelajari Ilmu Rijal al Hadits, yaitu:
1. Sebagai alat untuk mengetahui apakah Hadits ini dapat diterima atau ditolak;
2. Memberikan pengetahuan tentang Hadits yang lebih dahulu datang dan Hadits
yang akan datang kemudian;
3. Memberikan pengetahuan tentang tersambung atau terputusnya sanad;
4. Menyingkap data-data periwayat hadits;
5. Dapat mengetahui sikap dan pandangan para ahli Hadits yang menjadi kritikus
terhadap perawi yang menjadi sanad hadits dan sikap mereka dalam menjaga
otensitas Hadits;
6. Memberikan pengetahuan tentang kualitas dan otensitas Hadits.

Anda mungkin juga menyukai