Anda di halaman 1dari 73

Hadis dan Istilah Terkait

A. Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar

a. Pengertian hadis

Secara bahasa hadis berarti al-jadid (yang baru), al-Khabar (berita), al-qarib (dekat). Sedangkan
secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa
sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.

b. Pengertian sunnah

Secara bahasa sunnah berarti jalan yang dilalui, baik yang terpuji atau tercela. Sedangkan secara
istilah diartikan sebagai segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, pengajaran sifat, keakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi jadi rasul atau
sesudahnya.

c. Pengertian Khabar

Secara bahasa berarti berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan
menurut istilahyaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau dari yang
selain Nabi SAW.

d. Pengertian atsar

Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut banyak ulama, atsar
mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian ulama
lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan dengan khabar.

B. Bentuk-bentuk Hadis

a. Hadis qauli

yaitu segala bentuk perkataan yang disandarkan kepada nabi.

b. Hadis fi’li

Yaitu segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi


c. Hadis taqriri

Yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para
sahabatnya.

d. Hadis hammi

Yaitu hadis yang berupa keinginan Nabi SAW yang belum terealisasi, seperti halnya hasrat
berpuasa 9 ‘Asyura.

e. Hadis ahwali

Yaitu hadis yang berupa hal ikhwal Nabi SAW, seperti keadaan fisik Nabi SAW dan sebagainya.

C. Hadis Qudsi

Secara bahasa hadis qudsi berarti hadis yang suci. Sedangkan secara istilah disrtikan sebagai
segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi,
kemudian Nabi SAW menyampaikan berita itu dengan ungkapan-ungkapan sendiri.

Hadis qudsi dan hadis nabawi sama-sama bersumber dari Allah SWT. Namun perbedaannya
hanya dari segi penisbatan, yaitu hadis nabawi dinisbatkan kepada Rasul, adapun hadis qudsi
dinisbatkan kepada Allah.

Antara Al-quran dan Hadis Qudsi terdapat beberapa perbedaan, diantaranya:

a. Al-quran berfungsi sebagai mu’jizat dan digunakan untuk menantang. Sedangkan hadis
qudsi tidak digunakan untuk menantang dan tidak pula untik mu’jizat.

b. Seluruh isi Al-quran kepastiannya sudah mutlak. Sedangkan hadis qudsi kebanyakan
khabar ahad sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan.

c. Lafazh atau redaksi Al-Qur’an berasal dari Allah ta’ala, berbeda dengan hadits Qudsi yang
redaksinya berasal dari pihak Nabi SAW

d. Mushhaf Al-Qur’an hanya boleh disentuh oleh orang yang tidak berhadats, berbeda dengan
kitab kumpulan hadits Qudsi yang boleh disentuh sewaktu-waktu sekalipun dalam keadaan
berhadats.

e. Turunnya wahyu AL-Qur’an selalu disertai dengan keberadaan Jibril as yang menjadi
mediator Nabi SAW dengan Allah SWT, berbeda dengan hadits Qudsi.
f. Ibadah shalat tidak sah tanpa diiringi dengan bacaan Al-Qur’an, berbeda dengan hadits
Qudsi.

2. UNSUR-UNSUR HADIS

A. Sanad, Matan, Rawi, Mukharrij

a. Sanad, Isnad, musnad, musnid

Sanad yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadis atau silsilah orang-orang yang
menghubunkan kepada matan hadis.

Isnad yaitu orang yang menyampaikan atau menerangkan ( dari atas ke bawah )

Musnad yaitu orang yang menjelaskan semua periwayatan dan menulis dalam kitab.

Musnid yaitu orang yang menyampaikan info ( dari bawah ke atas ).

b. Matan

Matan yaitu perkataan yang disebut pada akhir sanad (isi dari hadis).

c. Rawi

Rawi yaitu orang yang meriwayatkan hadis atau memberikan hadis.

d. Mukharrij

Mukharrij yaitu orang yang terakhir dan sampai menuliskan dalam satu kitab.

B. Gelar Keahlian Imam Hadis

· Amirul mu’minin

· Al-hakim

· Al-hujjah

· Al-muhaddisin

· Al-musnid
3. KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM

A. Dalil / Dasar Kewajiban Mengikuti Sunnah

· Dalil Al-quran, firman Allah:

Artinya"Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras
hukumannya". (QS. Al Hasyr [59]: 7)

· Dalil Hadis Nabi SAW :

Artinya”aku tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalianberpegang kepada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Al-Hakim dari abu
Hurairah)

· Ijma’

B. Fungsi Sunnah Terhadap Al-qur’an

· Bayan at-tafsir

· Bayan at-taqrir

· Bayan an-nasakh

4. HADIS PRA-KODIFIKASI

a. Hadis Pada periode Rasul

Periode ini disebut juga dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Pada
masa Rasulullah, kepandaian baca tulis dikalangan sahabat sudah bermunculan,hanya saja
terbatas sekali. Karena itu nabi menerangkan untuk menghafal, memahami, memelihara, dan
memantapkan hadis dala amalan sehari-hari, serta mentabliqkannya kepada orang lain.

Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa ini, bukan berarti tidak ada sahabat yang
menulis hadis. Dalam sejarah terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, misalnya
Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, Alin bin Abi Thalib, Anas bin Malik.

b. Hadis pada periode sahabat


Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para
sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan
menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab
al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada
seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya
dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”

Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki.
Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang
penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa
Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran,
maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim)

c. Hadis Periode Tabi’in

Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga
datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau,
kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.

5. HADIS MASA KODIFIKASI

Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan
hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar
bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat
mendesak untuk memelihara perbendaharaan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat
perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan
membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.

Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi
oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits,
karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw
masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi
diragukan otentisitasnya atau tidak otentik karena baru ditulis jauh sesudah Rasul wafat
merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu
menuliskan al-Hadits bersama al-Qur’an dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan
menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga
mengesampingkan al-Qur’an.

6. ILMU HADIS RIWAYAH DAN DIRAYAH

a. Hadis Riwayah
Ilmu hadis riwayah yaitu ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi
SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafadz-lafadznya.

Ilmu ini bertujuan memelihara hadis Nabi dari kesalahan dalam proses periwayatan dan
pembukuannya.

b. Hadis Dirayah

Ilmu hadis dirayah yaitu ilmu yang membahas pedoman-pedoman

yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.

Adapun tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah :

1. mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak
masa Rasulullah hingga sekarang.

2. mengetahui tokoh-tokoh hadis dan usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan,
memelihara, dan meriwayatkan hadis.

3. Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan ulama dalam mengklasifikasikan hadis

4. Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam


menetapkan suatu hukum syara’.

7. PEMBAGIAN HADIS

A. Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi

a. Hadis mutawatir

Hadis mutawati yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat tidak
mugkin orang yang banyak tersebut bersepakat untuk berdusta.

Hadis mutawatir di bagi 3, yaitu mutawatir lafdzi (hadis yang sama bunyi, lafadz, hukum, dan
maknanya), mutawatir ma’nawi ( hadis yang berlainan bunyi dan makna, namun dapat diambil
makna umumnya), dan mutawatir ‘amali (sesuatu yang telah diketahui dan mutawatir di
kalangan umat, seperti jumlah raka’at shalat, dsb).

b. Hadis ahad

Hadis ahad yaitu hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.


Hadis ahad dibagi 3, yaitu hadis masyhur ( yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tapi
tidak mencapai tingkat mutawatir), hadis aziz (yang diriwayatkan oleh dua orang perawi), hadis
gharib( yang diriwayatkan oleh satu orang perawi).

B. Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad

a. Hadis sahih

Hadis sahih yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya
bersambung, tidak ber’illat, dan tidak syadz.

Syarat-syarat hadis sahih yaitu rawinya adil, dhabit, bersambung sanad, tidak ber’illat, dan tidak
syadz.

Hadis sahih di bagi 2, yaitu sahih lizatihi dan sahih lighairihi.

b. Hadis hasan

Hadis hasan yaitu khabar yang dinukilkan oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya,
bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.

Hadis hasan di bagi 2, yaitu hasan lizatihi dan hadis hasan lighairihi.

Perbedaan antara hadis hasan dengan hadis sahih adalah pada hadis hasan disadang oleh perawi
yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis sahih disandang oleh rawi yang benar-
benarkuat ingatannya.

c. Hadis dha’if

Hadis dha’if adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang
diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama, hadis dha’if adalah yang tidak terkumpul
padanya sifat hadis sahih dan hasan.

Cacat pada keadilan rawi itu disebabkan 10 macam, yaitu dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak
salah, lengah dalam menghafal, menyalahi riwayat orang kepercayaan, banyak nerprasangka,
tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah, tidak baik hafalannya.

Ø Klasifikasi hadis dha’if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi

· Hadis maudhu : yaitu hadis palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah.


· Hadis matruk : yaitu hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.

· Hadis mungkar : hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang parah kesalahannya
atau banyak kelupaannya atau nampak kefasikannya.

· Hadis syadz : yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang
menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun
lebih btinggi daya hafalannya.

Ø Klasifikasi hadis berdasarkan gugurnya rawi

· Hadis mu’allaq : jatuhnya rawi pada awal sanad, seorang perawi atau lebih secara
berturut-turut.

· Hadis mu’dhal : hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih scara berturut-turut.

· Hadis mursal : yaitu hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in.

· Hadis munqati’ : hadis yang gugur rawi sebelum sahabat atau gugur dua orang pada dua
tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.

· Hadis mudallas : menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakkan cara


(periwayatan) yang baik.

C. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi

a. Hadis marfu’

Yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW.

b. Hadis mauquf

Yaitu hadis yang disandarkan kepada sahabat.

c. Hadis maqtu’

Yaitu hadis yang disandarkan kepada tabi’in.

8. PERIWAYATAN HADIS

A. Cara-cara Menerima Riwayat


· Mendengar (Al Sama’)

· Membaca (Al Qira’ah)

· Ijazah (Al Ijazah)

· Memberi (Munawalah)

· Menulis (Al Kitabah)

· Pemberitahuan (I’lam)

· Wasiat (Al Wasiyah)

· Penentuan (Al – Wijadah)

B. Cara-cara Menyampaikan Riwayat

· Sami’tu

· Haddasana

· Akhbarana

· Ambaana

· Dll

9. ILMU ASBAB AL-WURUDIL HADIS

Ilmu asbab wurudil hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan
sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturnya itu.

Contohnya:

Tentang berhati lembut

“ Hendaklah kamu berhati lembut, sebab kelembutan itu tidak menjadikan sesuatu melainkan
memperindahnya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu melainkan dapat memperburuknya”.

Sababul Wurud

Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Aisyah telah menunggang seekor unta yang sukar
ditungganginnya. Sehingga ia mendorongnya kuat-kuat. Maka Rasulullah bersabda: “Hendaklah
kamu berhati lembut......dst”.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:

1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.

2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.

3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.

4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.

5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.

6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)

Adapun faedah dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan ada tidaknya takhsish
dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci yang masih global,
menentukan ada tidaknya nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu
hukum, dan menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).

10. ILMU NASIKH WALMANSUKH

Ilmu nasikh walmasukh adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan
yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh
dan sebagian lainnya mansukh. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang
terbukti datang kemudian sebagai nasikh.

Syarat-syarat nasakh yaitu:

· Adanya mansukh ( yang di hapus )

· Adanya mansukh bih ( yang digunakan untik menghapus)

· Adanya nasikh (yang berhak menghapus)

· Adanya mansukh ’anhu (arah hukum yang dihapus ituadalah orang-orang yang sudah aqil
baligh atau mekallaf)

11. ILMU JARH WA TA’DIL

Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan
memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

Syarat-syarat bagi orang yang menta’dilkan dan mentajrihkan:

· Berilmu pengetahuan
· Taqwa

· Wara’

· Jujur

· Menjauhi fanatik golongan

· Mengetahui sebab-sebab untuk mentajrihkan dan menta’dilkan

Lafadz-lafadz jarh:

· Autsaqunnas

· Tsiqah-tsiqah

· Tsiqah

· Shuduq

· Hasanul hadis

· Shuduq insyaAllaah

Lafadz-lafadz ta’dil:

· Akzabunnas

· Kazzab

· Fulannun za’if

· Fulanun majhul

· Zha’ifun hadis

12. HADIS MAUDHU’

hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu
alaihi wa sallam secara sengaja.

Faktor munculnya hadis maudhu’:

· Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah

· Adanyakesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran islam


· Mempertahankan mazhab dalam masalah fiqh dan masalah kalam

· Membangkitkan gairah beribadah untukmendekatn diri kepada Allah

· Menjilat para penguasa untu mencari kedudukan atau hadiah

Ciri-ciri hadis maudhu’ :

Ø Ciri yang terdapat pada sanad

· Rawinya terkenal berdusta

· Pengakuan dari si pembuat sendiri

· Kenyataan sejarah

· Keadaan rawi dan faktor-faktorn yang mendorongnya membuat hadis maudhu’

Ø Ciri yang terdapat pada matan

· Keburukan susunan lafadznya

· Kerusakan maknanya

13. TAKHRIJUL HADIS

Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad
dan martabatnya sesuai keperluan.

Tujuan pokok men-tahrij hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij.
Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan
mardud-nya.

. cara mentakhrij hadis:

· Pertama kita mencari subuah hadis

· Selanjutnya kita melihat salah satu fi’il dari hadis tersebut, misalnya saama

· Kata saama kita lihat di mu’jam hadis ( mu’jam almunfarras )

· Di situ akan tertera potongan hadis yang dimaksud, dan ada simbul perawi, misalnya kha
(bukhari), mim (muslim),dsb.
Misal: kha-iman-32 (berarti kita mencari hadis tersebut pada kitab shahih bukhari pada bab
iman, hadis yang ke 32)

· Setelah kita melihat pada kitab shahih bukhari pada bab iman dan hadis yang ke 32, disitu
tertera hadis yang di maksud dengan sanadnya yang lengkap.

· Setelah itu kita mencari tau biografi perawi secara lengkap ( nama lenkapnya,lahir,
tahun,masa, guru, murid, keterangan perawi, nilai ) satu-persatu dari perawi pada kitab tahzibul-
tahzib atau tahzibul kamal,dsb

· Untuk mengetahui tabaqatnya, kita bisa merujuk ke kitab tarikh al kabir.

14. ILMU MUKHTALAFIL HADIS

Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtaliful Hadits wa Musyakilihi


sebagai:

Ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan
pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami
atau dimengerti,lalumenghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.

Berdasrkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian hadits-hadits mukhtalif
menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni :

a) penyelesaian dengan cara kompromi

b) penyelesaian dengan cara nasakh

c) penyelesaian dengan cara tarjîh

Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak
menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh
solusi, maka ditempuh cara ketiga.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Dhaif

1. Pengertian Hadits Dhaif

Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Sedangkan secara istilah yaitu:
‫ بِفَ ْق ِد شَرْ ِط ِم ْن ُشرُوْ ِط ِه‬,‫صفَةُ ْال َح َس ِن‬
ِ ‫ َمالَ ْم يَجْ َم ْع‬.

“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercakup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat
dari syarat-syarat hadits hasan.”

Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau
tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut
dapat dinyatakan sebagai hadits dhaif yang sangat lemah. Oleh karena itu, sebagian ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hukum.

Adapun menurut Muhaditsin,

‫ْح َو ْال َح َس ِن‬ ِ ‫ َو قَا َل َأ ْكثَ ُر ْال ُعلَ َما ِء هُ َو َمالَ ْم يَجْ َم ْع‬.‫ات ْالقَبُوْ ِل‬
ِ ‫صفَةَ الص‬
ِ ‫َّحي‬ ُ َ ‫صف‬ ٍ ‫ه َُو ُكلُّ َح ِد ْي‬.
ِ ‫ث لَ ْم تَجْ تَ ِم ْع فِ ْي ِه‬

“Hadits dhaif adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang
diterima menurut pendapat kebanyakan ulama; hadits dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya
sifat hadits shahih dan hasan”.

Contoh hadits dhaif adalah sebagai berikut:

ْ‫ " َم ْن َأتَي َحاِئضًا َأو‬:‫ال‬


َ َ‫ْق " َح ِكي ِْم اَأل ْث َر ِم" ع َْن َأبِي تَ ِم ْي َم ِة الهُ َج ْي ِم ْي ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرةَ َع ِن النَّبِ ِّي ص م ق‬
ِ ‫َما َأ ْخ َر َجهُ التِّرْ ِم ْي ِذيْ ِم ْن طَ ِري‬
‫اِ ْم َراةً فِي ُد بُوْ ِرهَا َأوْ َكاهُنَا فَقَ ْد َكفَ َربِ َما َأ ْنزَ َل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬."

“Apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari jalur hakim Al-Atsrami dari Abi Tamimah Al-
Hujaimi dari Abi Hurairah dari Nabi Saw ia berkata: barang siapa yang menggauli wanita haid
atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari
apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw”.

Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini: “kami tidak mengetahui hadits
ini kecuali hadits dari jalur hakim Al-Atsrami, kemudian hadits ini didhaifkan oleh Muhammad
dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim Al-Atsrami sebab didhaifkan pula oleh
para ulama hadits”.

Berkata Ibnu Hajar mengenai hadits ini di dalam kitab “Taqribut Tahdzib”: Hakim Al-Atsrami
pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.

2. Sebab-sebab Hadits Dhaif

Adapun penyebab kedhaifannya karena beberapa hal:


1) Sebab terputusnya sanad

Ketidakbersambungnya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau
saling tidak bertemu satu sama lain.

2) Sebab penyakit pada rawi

Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya


(hafalan). Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-annya rawi itu ada sepuluh macam, yaitu
sebagai berikut.

a. Dusta

b. Tertuduh dusta

c. Fasik

d. Banyak salah

e. Lengah dalam menghafal

f. Menyalahi riwayat orang kepercayaan

g. Banyak waham (purbasangka)

h. Tidak diketahui identitasnya

i. Penganut bid’ah

j. Tidak baik hafalannya

3. Klasifikasi Hadits Dhaif

a. Dhaif karena tidak bersambung sanadnya

1) Hadits Mu’allaq

Mu’allaq, menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti
ini disebut mu’allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara
bagian bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap dan yang
semacamnya. Sementara itu, menurut istilah, hadits mu’allaq adalah hadits yang seorang rawinya
atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Di antara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan,
“Rasulullah bersabda…” atau dengan menggugurkan semua sanad, kecuali seorang sahabat, atau
seorang sahabat tabiin.

Contohnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw bersabda:

‫اضلُوْ ا بَ ْينَ اَأْل ْنبِيَا ِء‬


ِ َ‫اَل تُف‬.

Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para nabi.

Pada hadits ini, Bukhari tidak pernah bertemu Al-Majisyun.

2) Hadits Mu’dhal

Mu’dhal secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Disebut demikian, mungkin
karena para ulama hadits dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya karena beratnya
ketidakjelasan dalam hadits itu. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadits mu’dhal adalah hadits
yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.

Contohnya diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifat Ulum Al-Hadits dengan sanadnya
kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata,
“Rasulullah bersabda,

ُ ‫ف َواَل يُ َكلِّفُ ِمنَ ْال َع َم ِل ِإاَّل َما ي ُِط ْي‬


‫ق‬ ِ ْ‫ص َعا ُمهُ َو ِك ْس َوتُهُ بِ ْال َم ْعرُو‬ ِ ْ‫لِ ْل َم ْملُو‬.
َ ‫ك‬

Seorang hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik
dan tidak dibebani pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.

Al-Hakim berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha’.”

Hadits ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha’, diriwayatkan
dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak ke-
mu’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan
bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.

3) Hadits Mursal

Mursal, menurut bahasa, isim maf’ul, yang berarti ‘yang dilepaskan’. Adapun hadits mursal
menurut istilah adalah hadits yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar
maupun tabiin kecil. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak
disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul Saw. Seperti
bila seorang tabiin mengatakan, “Rasulullah Saw bersabda begini atau berbuat seperti ini.”
Contoh hadits mursal, Dari Malik, dari ‘Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm, bahwa surat yang
Rasulullah saw. tulis kepada ‘Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak menyentuh Qur’an
melainkan orang yang bersih”.

Seperti telah kita ketahui bahwa dalam hadits mursal itu, yang digugurkan adalah sahabat yang
langsung menerima berita dari Rasulullah Saw, sedangkan yang menggugurkan dapat juga
seorang tabiin atau sahabat kecil. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan
dan segi sifat-sifat pengguguran hadits, hadits mursal terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.

1. Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) jelas sekali,
dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan
orang yang digugurkan yang mempunyai berita.

2. Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, Karena pada saat
Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam. Hadits mursal
shahabi ini dianggap shahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari para
sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil.

3. Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan tabiin, di mana tabiin yang meriwayatkan
hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun darinya.

4) Hadits Munqathi

Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau
gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut. Atau pada sanadnya
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dari ats-Tsauri dari Abi Ishak dari Zaid bin Yutsai’i
dari Hudzaifah secara marfu’: “Apabila kalian menyerahkan perkara itu kepada Abu Bakar,
maka ia adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”

Dalam hadits ini terdapat satu orang sanad yang gugur dan terletak di pertengahan sanad. Ia
adalah Syurik, yang gugur (dan letaknya) antara ats-Tsauri dan Abi Ishak. Ats-Tsauri tidak
mendengar secara langsung haditsnya dari Abu Ishak, melainkan mendengarnya dari Syurik.
Syurik mendengar haditsnya dari Abu Ishak.

Macam- macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut.

1. Inqitha’ dilakukan dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadits dapat diketahui
tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits padanya atau ia hidup sezaman dengan
gurunya, tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan haditsnya.

2. Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang
mempunyai keahlian saja.
3. Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadits
riwayat orang lain.

5) Hadits Mudallas

Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits
itu tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadits yang diriwayatkan oleh
mudallis disebut hadits mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.

Hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad (4/289), Abu Daud (5212) dan Tirmidzi (2727) dan Ibnu
Majah (3703) dari jalan periwayatan: Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin Azib, dia berkata:
Rasulullah bersabda:

‫صافَ َحا ِن اِاَّل ُغفِ َرلَهُ َما قَب َْل َأ ْن يَتَفَ َّرقَا‬ ِ َ‫ َما ِم ْن ُم ْسلِ َمي ِْن يَ ْلتَقِي‬.
َ َ‫ان فَيَت‬

Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian mereka berjabat tangan, kecuali mereka telah
diampuni dosa mereka sebelum berpisah.

Abu Ishaq as-Sabi’ie adalah Amr bin Abdullah, dia adalah rawi yang tsiqah dan banyak
meriwayatkan hadits, hanya saja dia melakukan tadlis. Dia banyak mendengar hadits-hadits dari
Baro bin Azib radiyallahu 'anhu, namun hadits yang ia riwayatkan dari Baro ini ia riwayatkan
dengan lafadz yang muhtamal (berkemungkinan mendengar atau tidak), dan dia tidak mendengar
langsung dari Baro bin Azib. Dia hanya mendengar dari Abu Daud al-A’ma, yaitu namanya
Nufa’i bin Harits, dia adalah rawi yang tidak dipakai dan tertuduh dusta.

Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Ibnu Abi Dunya mengeluarkan hadits
tersebut dalam kitab “al-Ikhwan” (hal: 172) dari jalan Abu Bakr Iyasy dari Abu Ishaq dari Abu
Daud yang mendengar dari baro bin Azib dan

Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut dalam Musnadnya (4/289) dari jalan: Malik bin
Migwal dari Abu Daud dari Baro bin Azib. Maka hadits Abu Ishaq dari Baro bin Azib adalah
hadits mudallas.

Macam-macam tadlis sebagai berikut.

1. Tadlis Isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang
pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits darinya. Agar
rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan lafadzh
menyampaikan hadits dengan ‘an fulanin (dari si Fulan) atau anna fulanan yaqulu (bahwa si
Fulan berkata).

2. Tadlis Syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarkan dari
seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunannya, atau menyifati
gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
3. Tadlis Taswiyah (Tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadits dari gurunya yang
tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini
menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa
menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafadzh yang mengandung
pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.

b. Dhaif karena tiadanya keadilan

1) Hadits Maudhu’

Hadits maudhu’ adalah,


‫ك َع ْمدًا َأ ْم خَ طًَأ‬
َ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم ُزوْ رًا َو بُ ْهتَانًا َس َوا ٌء َكانَ َذل‬
َ ِ‫ع ْال َم ْنسُوْ بُ ِإلَى َرسُوْ ِل هللا‬
ُ ْ‫هُ َو ْال ُم ْختَلَ ُع ْال َمصْ نُو‬.

Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada
Rasulullah Saw secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.

2) Hadits Matruk

Hadits matruk adalah,

ِ ‫ْث الَّ ِذيْ فِى ِإ ْسنَا ِد ِه َرا ٍو ُمتَّهَ ٌم بِا ْل َك ِذ‬


‫ب‬ ُ ‫هُ َو ْال َح ِد ي‬.

Hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.

Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai
pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadits.
Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima
periwayatan haditsnya.

Contoh hadits matruk, “Telah datang kepadamu suku Adzi, orang-orang yang paling bagus
wajahnya, paling manis mulutnya, dan paling sungguh-sungguh dalam perjumpaan.”

3) Hadits Munkar

Hadits munkar adalah hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak
kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya dinamakan ma’ruf. Hadits munkar juga
merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhaif) yang
bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.

Contoh hadits munkar, “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah
ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari (siksa) neraka.”

c. Dha’if karena tiadanya dhabit


1) Hadits Mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari)
hadits.

Contoh hadits mudraj pada awal matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-
Baghdadi dengan sanadnya dari Abu Hurairah:

‫اسبغوا الوضوء ويل لالعقاب من النار‬.

Pada hadits tersebut kalimat asbighu al-wudhu’a adalah kalimat Abu Hurairah sendiri.

2) Hadits Maqlub

Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad
(silsilah) maupun matan (isi).

Contoh hadits maqlub ini yang di matannya adalah hadits riwayat Muslim, sebagai berikut:

. . . ‫ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى التعلم يمينه ما تنفق شمال‬.

sebagaimana terdapat dalam shahih ‫ حتى ال تعلم شمله ماتنفق‬Padahal seharusnya

Bukhari, Muwatha’ dan selain keduanya.

3) Hadits Mudhtharib

Hadits Mudhtharib menurut As-Suyuthi yaitu: hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang
berbeda-beda padahal dari satu perawi, dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).

4) Hadits Mushahhaf

Hadits Mushahhaf yaitu terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya.

Contoh tashif al-matan ini adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshary: Bahwasanya Nabi Saw
bersabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan
Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa”.

Perkataan sittan yang artinya enam oleh Abu Bakr Al-Shauly dirubah menjadi syaian yang
berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah maknanya.

Adapun tashif pada sanad misalnya saja nama sanad yang sesungguhnya Ibnu Al-Badzar diubah
dengan Ibnu Al-Nadzar.
5) Hadits Muharraf

Yaitu hadits yang perbedaanya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih
tetapnya bentuk tulisannya.

‫ ان النبي (ص) صلى الى العنزة‬Contoh pada makna:

Bahwa Rasulullah Saw sembahyang pada anazah.

Abu Musa Muhammad Ibn Al-Mutsanna menyangka, bahwa makna Al-‘Anazah tersebut adalah
salah satu suku masyhur Di Arab.

d. Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan

1) Hadits Syadz

Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.

Contoh hadits syadz ini adalah “Kata abu Daud telah menceritakan kepada kami, Ibnu-Sarah,
telah menceritakan kepada kami, ibnu Wahb, telah mengabarkan kepada kami, Yunus dari Ibnu
Syihab, dari Amrah binti Abdirrahman, telah mengabarkan dari Aisyah istri Nabi Saw, bahwa
Rasulullah Saw berkurban untuk keluarga Muhammad (istri-istrinya) pada haji wada’ seekor sapi
betina.

2) Hadits Mu’allal

Hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang
tersembunyi.

Contoh hadits mua’allal ini adalah hadits Ya’la bin ‘Ubaid: “Dari Sufyan Al-Tsauri, dari ‘Amr
Ibn Dinar dari Ibn Umar dari Nabi Saw ia bersabda,

‫البيعان بالخيار مالم يتفرقا‬.

Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan.

‘Illat ini terdapat pada ‘Amr Ibn Dinar. Seharusnya bukan ia yang meriwayatkan, melainkan
‘Abdullah Ibn Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga melalui sanad
tersebut.

e. Dha’if dari segi matan

Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari sudut persandarannya ini
adalah hadits yang mauquf dan yang maqthu’.

1) Hadits Mauquf
Hadits mauquf ialah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau tidak.

Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak
dikatakan marfu’, karena hadits ini tidak dirafa’kan atau disandarkan kepada Rasulullah Saw.

Ibnu Shalah membagi hadits mauquf kepada dua bagian:

(a) Mauquf al-maushul

(b) Mauquf ghair al-maushul.

2) Hadits Maqthu’

Hadits maqhtu’ yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik
perkataan maupun perbuatannya”.

B. Hadits Maudhu’
1. Pengertian Hadits Maudhu’

‫ض ُع‬
َ َ‫ي‬-‫ض َع‬
َ ‫ َو‬Hadits maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari

ُ ْ‫ الَتَّر‬memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’. Juga bermakna


‫ك‬ ’‫ض َع‬
َ ‫ ’ َو‬Kata

ُ ‫( اَِإْل ْفتِ َرا ُء َو اإْل ْختِاَل‬meninggalkan). Selain itu, juga bermakna


(mengada-ada dan membuat-buat). ‫ق‬

Menurut istilah, hadits maudhu’ adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian
dinisbahkan kepada Rasulullah Saw secara palsu dan dusta baik dengan sengaja atau tidak,
dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.

Adapun pengertian hadits maudhu’ menurut istilah para muhaditsin adalah:

ُ‫إختِاَل قًا َو ِك ْذ بًا ِم َّمالَ ْم يَقُ ْلهُ َأوْ يَ ْغ َع ْلهُ َأوْ يُقِ َّره‬
ْ ‫صلَّى اهللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ب إلَى َرسُوْ ِل هللا‬
َ ‫هُ َو َما نُ ِس‬.

Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara mengada-ada dan dusta, yang tidak
beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.

Dengan pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perbuatan, perkataan maupun
taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits
maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.

Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’ adalah al-mukhtalaqu, al-muhtala’u, al-
mashnu, dan al-makdzub. Kata tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaian kata-kata
tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits semacam ini semata-mata dusta atas
nama Rasul Saw.

Ulama berbeda pendapat tentang sengaja atau tidaknya pembuatan hadits itu. Umar ibn Hasan,
Utsman Fallatah dan Mahmud Abu Rayyah menyatakan bahwa hadits maudhu’ itu dibuat baik
dengan sengaja ataupun tidak. Abu Bakar Abd al-Shamad Abid, dan Ibn Taymiyyah seperti
dikutip Umar ibn Hasan Utsman Fallatah mengemukakan bahwa hadits maudhu’ adalah hadits
yang dibuat dengan sengaja dan kalau tidak, bukan palsu.

2. Kriteria Hadits Maudhu’

Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.

a. Ciri-ciri yang terdapat pada sanad

Terdapat banyak ciri-ciri ke-maudhu’-an hadits yang terdapat pada sanad, diantaranya:

1) Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) yang tidak ada seorang rawi yang
terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.

Contohnya, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam seorang yang terkenal suka berbohong dan
mengada-ada. Dia pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perahu Nabi Nuh
mengitari Baitullah dan melakukan shalat dua rakaat di belakang makam Ibrahim.”

2) Pengakuan dari si pembuat sendiri.

Contohnya, pengakuan dari ibn Abdu Robbi al-Farisi yang telah memalsukan hadits-hadits
keutamaan al-Qur’an.

3) Ungkapan perawi yang secara tidak langsung bermakna pengakuan.

Misalnya seorang perawi mengatakan telah mendengar hadits dari seseorang padahal keduanya
tidak hidup sezaman, dan dia mengklaim bahwa hadits tersebut telah diambil dari orang tersebut.

Ketika Ma’mun Ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam Ibn
Amr kepada Ibn Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?” Ma’mun
menjawab, “Pada tahun 250 H.” Mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia
pada tahun 245 H.”

4) Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’. Misalnya
seperti yang dilakukan Ghiyats bin Ibrahim seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
b. Ciri-ciri yang terdapat pada matan

Terdapat banyak pula ciri-ciri hadits maudhu’ yang terdapat dalam matan, di antaranya sebagai
berikut.

1) Keburukan susunan lafazhnya.

Jika terdapat kejanggalan dalam redaksi, ini adalah hal yang mustahil keluar dari orang yang
paling fasih, yakni Nabi Muhammad SAW. Kaidah ini mudah dimengerti oleh orang-orang yang
menggeluti bidangnya. Karena, sebuah hadis, sebagaimana diaktakan oleh Ar-Rabi’ bin Jutsaim
“terang bagaikan terangnya siang, bila anda mengenalnya. Tetapi, kelam bagai gelap malam, bila
anda tidak mengenalnya”.

Maksudnya, ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan. Dengan mendalami ilmu
Bayan, kita akan merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi Saw, dan
mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi Saw.

2) Kerusakan maknanya.

(1) Bertentangan dengan akal sehat.

Seperti hadits: “Pakailah cincin akik, karena bercincin akik dapat menghindarkan dari
kekafiran.” Semua orang akan bertanya, apa hubungannya antara kekafiran dan cincin akik?

Atau hadits, “Jika seseorang sedang berbicara lalu ia bersin, maka ketahuilah bahwa ucapannya
itu benar.” Apa hubungannya antara bersin dan kebenaran ucapan seseorang?

(2) Berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan

َ ‫اَل يُوْ لَ ُد بَ ْع َد ْال ِماَئ ِة َموْ لُوْ ٌد هّلِلا ِ فِ ْي ِه َح‬.


ٌ‫اجة‬

Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.

(3) Bertentangan dengan ilmu kedokteran.

‫اَ ْلبَا ِذ ْن َجانُ ِشفَا ٌء ِم ْن ُكلِّ َش ْي ٍء‬.

Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.

(4) Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits,

‫ك اَْأل ْبيَضُ َحبِ ْيبِ ْي َو َحبِيْبُ َحبِ ْيبِ ْي‬


ُ ‫اَل ِّد ْي‬.

Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril.


(5) Bertentangan dengan keterangan Al-Quran atau hadits shahih serta ijma’.

Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran adalah hadits,

‫ولَ ُد ال ِّزنَا اَل يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ إلَى َس ْب َع ِة َأ ْبنَا ٍء‬.


َ

Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.

Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6] ayat 164, yaitu:

) ١٦٤ :‫ (األنعام‬.‫از َرةٌ ِو ْز َر ُأ ْخ َراى‬


ِ ‫َواَل ت َِز ُر َو‬
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang yang lain. (Q.S. Al-An’am [6]: 164)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain.
Seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.

(6) Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.

Seperti hadits, “Barang siapa makan bawang pada malam jum’at maka ia akan dilempar ke
neraka hingga kedalaman tujuh puluh tahun perjalanan.”

Atau, “Barang siapa puasa sunnah sehari maka ia akan diberi pahala seperti melakukan seribu
kali haji, seribu umrah, dan mendapat pahala Nabi Ayub.”

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hadits dhaif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhaif ini memiliki penyebab mengapa bisa tertolak, di
antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan. Kriteria hadits dhaif
adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung, kurang adilnya perawi, kurang dhobitnya
perawi dan ada syadz dalam hadits tersebut.

Hadits maudhu’ merupakan buatan pendusta yang dinisbahkan pada Nabi Saw, padahal tidak
berasal darinya, maka pada hakikatnya bukan hadits tetapi pernyataan selain Allah. Hadits
maudhu’ merupakan hadits palsu sehingga tidak baik / cocok untuk dijadikan sebuah landasan /
pegangan dalam kehidupan sehari-hari untuk menentukan suatu hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia

http://sulfiana22.blogspot.com/2014/04/hadis-dhoif-beserta-contoh-contohnya.html

http://nhuroelkmuetz.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-maudhu.html

http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif-serta-
contohnya.html

BAB I

PENGERTIAN HADITS DAN BENTUK-BENTUK HADITs

A. PENGERTIAN HADITS

1. Pengertian Hadits secara etimologis

Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadist, jamaknya al-
Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata ini memiliki banyak arti,
diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti
kabar atau berita.

2. Pengertian Hadits Secara Terminologi

Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan
pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh
terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan
pada aliran ilmu yang di dalaminya. Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut : “Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun
hal ihwal Nabi.”. Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah: “Segala sesuatu yang
ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”

B. PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR


1. Pengertian Sunnah

Menurut bahasa, Sunnah adalah : jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.

Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad
Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik,
moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.

2. Pengertian Khabar

Secara bahasa berarti berita atau warta yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilahyaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW
atau dari yang selain Nabi SAW.

3. Pengertian Atsar

Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut banyak ulama, atsar
mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian ulama
lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan dengan khabar.

C. BENTUK-BENTUK HADITS

Bentuk-bentuk hadits terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi
(keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.

1. Hadits Qauli

Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW,
yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan
dengan aspek aqidah, syari’at maupun akhlak.

2.Hadits Fi’li

Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits tersebut
terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada
saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
3. Hadits Taqriri

Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh para
sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para
sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau
mempermasalahkannya.

4. Hadits Hammi

Hadits Hammi : hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW yang belum
direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.

5.HaditsAhwali

Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam
kategori keempat bentuk hadits diatas.

D. Hadits Qudsi

Hadits qudsi secara bahasaa berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau
bersih. Jadi, hadits qudsi secara bahasa adalah hadits yang suci.

Secara terminologi, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala sesuatu yang diberitakan
Allah SWT kepada Nabi SAW, selain Al-Quran yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.

E. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HADITS QUDSI DAN HADITS


NABAWI

Persamaannya yaitu : antara hadits qudsi & hadits nabawi sama-sama bersumber dari Allah
SWT. Kalau perbedaannya yaitu : hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul Saw dan diriwayatkan
dari beliau, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT & Rosul Saw hanya
menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
F. PERBEDAAN AL-QURAN DENGAN HADITS QUDSI

1.Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah SWT yang menantang & mukjizat yang abadi hingga
hari akhir, sedangkan hadits qudsi tidak digunakan untuk menantang & tidak pula untuk
mukjizat.

2.Al-Quran Al-Karim hanya dinisbatkan untuk Allah SWT, sedangkan hadits qudsi terkadang
diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah SWT & kadang juga disandarkan kepada
Rasulullah Saw.

3.Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafadz maupun maknanya & merupakan wahyu Allah,
sedangkan hadits qudsi itu maknanya saja dari Allah & lafadznya dari Rasulullah Saw.

BAB II

A. SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

Perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi.

M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode
Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

1. Periode pertama : Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW.

Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:
a. Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.

b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.

c. Anas Ibn Malik

2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)

Periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-
Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.

3. Periode ketiga: Perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin.

Periode ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadis).

Adapun tokoh-tokohnya :

• Abu hurairah, menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut
al-kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.

• Abdullah ibn umar meriwayatkan 2.630 hadits.

• Aisyah, istri Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.

• Abdullah ibn abbas meriwayatkan 1.660 hadits.

• Jabir ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.

• Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.

4. Periode keempat : Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah

Pada periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan : Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang
kemudian dinamakan golongan syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan
golongan Mu’awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan & pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau asas
inisiatif pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak di
tulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa
pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. Pada saat itu banyak perowi hadits yang meninggal,
sehingga Khalifah Umar Ibn Aziz berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-
hadits dalam satu buku dari para perowinya langsung.

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadits adalah :

1. Pengumpul pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-150 H)

2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)

3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)

4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H)

5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)

6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)

7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)

8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)

9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)

10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).

5. Periode Kelima : Masa Men-tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya

Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu
Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira,
kemauan enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat dan
mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadits.Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis
ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan
shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang
zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman,
masa, dan lain-lain.

b.memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan
hadits.

Tokoh-tokoh dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn
Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim,
An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.

6. Periode Keenam : Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan
ke-2).

Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.

Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri & pemeriksaan sendiri, dengan menemui
para penghapalnya di berbagai pelosok negeri.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang degelari
‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan dari kitab-kitab
Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para
penghapalnya.

Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:
mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits
dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab,
mengumpulkan hadits-hadits hukum & menyusun kitab-kitab ‘Athraf.

7. Periode Ketujuh (656 H-sekarang)


Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w.
656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa
Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab
hadits, menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami’ yang
umum.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang
menyusun kitab ‘Athraf.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu
Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-Atsqalany (852 H), Ad-
Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742
H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu
Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-’Iraqy (w. 806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu
Zurah (826 H).

B. MADRASAH-MADRASAH HADIS

Madrasah hadis adalah tempat atau pusat penyebaran hadis Nabi SAW. Berkembangnya
madrasah hadis ini diawali ketika Rasul mengutus para sahabat untuk berdakwah keberbagai
pelosok negri, seperti Irak, Yaman, Mesir, dan sebagainya. Ditempat inilah mereka mengajar
agama termasuk mengajar hadis-hadis yang telah mereka dapatkan dari Rasul SAW.

Madrasah hadis tersebut melahirkan tokoh-tokoh terkenal, baik dari golongan sahabat, tabiin,
maupun atba’ tabiin.

1. Madrasah Madinah

2. Madrasah Mekah

3. Madrasah Yaman

4. Madrasah Bashrah

5. Madrasah Kufah

6. Madrasah Syam

7. Madrasah Mesir
BAB III

SEJARAH PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS

A. Penulisan Hadits

Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis.
Mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak
berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak bisa menulis dan membaca. Keadaan ini
hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu
membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arabdalam surat yang
ditujukan kepada Kaisar. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk
menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi
adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang
yang mampu membaca dan menulis di kota Mekkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang
dimaksut bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.

Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekkah
daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rosulullah kepada para tawanan
dalam Perang Badar dari Mekkah yang mampu menulis untuk mengajarkan menulis dan
membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.

Hadits atau sunnah dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya penulisan
Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi karena tidak
diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadits
Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits yang peernah mereka dengar dari Rosulullah
SAW.

Diantara sahabat Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits Rasulullah SAW
adalah Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
Sebagian sahabat menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah.

Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal
beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalubaliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan
syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW.
Mengenai hal trsebut, Rasulullah kemudian bersabda :

ٌّ ‫اُ ْكتُبْ َعنِّ ْي فَ َوالَّ ِذيْ بِيَ ِد ِه َماخَ َر َج ِم ْن فَ ِم ْي ِإاَّل َ َح‬


‫ق‬

“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada ditanganNya, tidak
keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah Sahifah dan Anas bin Malik
mempunyai sebuah buku catatan.

Abu Hurairah menyatakan, “ Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih
mengetahui) hadits Rasulullah SAW daripadaku, selain Abdullah bin Amru bin Ash. Dia
menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.” Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa larangan menulis hadits di-nasakh (di-mansukh) dengan hadits yang
memberi izin yang datang kemudian.

B. Penghapalan Hadits

Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya,
yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan menulis hadits dalam buku. Karena itu
kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati yang disabdakan Nabi.
Kemudian terekamlah lafadz dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat
langsung apa yang Nabi kerjakan dan mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri
dari Nabi karena tidak semua dari mereka dapat mengikuti atau menghadiri majelis nabi setiap
waktu. Kemudian, para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan
berupaya mengingat yang pernah Nabi lakukan lali menyampaikannya kepada orang lain secara
hapalan pula.

Hanya beberapa orang sahabat yang mencatat hadits yang didengarnya melalui Nabi SAW.
Diantara sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits adalah Abu Hurairah.
Menurut ibnu Jauzi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berjumlah 5.374 buah hadits.
Adapun sahabt yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah adalah:

1. ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits

2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits

3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits

4. ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits

5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits

6. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits

C. Pembukuan Hadits

Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, dan sebagian
besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits itu berpindah-pindah
dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan
hadits berdasarkan kekuatan hapalannya.

Ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukaan oleh Kholifah
Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena
khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.

Pada masa pemerintaha Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama
Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar
bin Abdul Aziz terkenal sebagai seorang Khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan
wara’ sehingga dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam
ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak
segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para perawinya akan dapat
memusnahkan hadist-hadist itu dengan sendirinya.

D. METODE PEMBUKUAN HADITS

1. Metode Masanid.

Masanidyaitu jamak dari sanad, maksudnya, buku-buku yang berisitentang kumpulan hadits
setiap shahabat secara tersendiri, baikhadits shahih, hasan, ataupun dha'if. Kadangdiurutkan
berdasarkan huruf hijaiyah atau alfabet sebagaimana jugadilakukan oleh para ulama, kadang juga
berdasarkan kabilah atau suku,atau berdasarkan orang yang paling dulu masuk Islam.

Buku-bukuyang terkenal adalah:

- MusnadAbu Dawud Sulaiman bin Dawud at Thayalisi (wafat 204H) [1]

- MusnadAbu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidy (wafat 219H)

- MusnadImam Ahmad bin Hambal (wafat 241H)

- MusnadAbu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar (wafat 292H)

- MusnadAbu Ya'la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (wafat 307H)

2. MetodeAl-Ma'ajim
Metodeini adalah jamak dari mu'jam. Adapun menurut istilah par ahlihadits adalah: Buku yang
berisi kumpulan hadits-hadits yang berurutanberdasarkan nama-nama shahabat atau guru-guru
penyusun, atau negeri,sesuai dengan huruf hijaiyah.

Buku-bukuyang terkenal adalah:

-Al-Mu'jam Al-Kabir, karya Abul Qasim Sulaiman bin AhmadAt-Thabrani (wafat 360H), berisi
musand-musnad para shahbat yangdisusun berdasarkan huruf mu'jam (kamus), kecuali musnad
Abu Hurairahkarena dsendirikan dalam satu buku. Ada yang mengatakan: Berisi60.000 hadits.
Aibnu Dihyah berkat bahwa dia adalah mu'jam terbesardi dunia. Jika mereka menyebut “Al-
Mu'jam”, maka kitab inilahyang dimaksud. Tapi jika kitab lain yang dimaksud maka ad
penjelasandengan kata lain.

-Al-Mu'jam Al-Awsath, karya Abul Qasim Sulaiman At-Thabraniyang disusun, berdasarkan


nama-nama gurunya yang jumlahnya sekitar2.000 orang. Ada yang mengatakan di dalamnya
terdapat 30.00hadits.

-Al-Mu'jam Ash-Shaghir, karya At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan
setiap satu hadits diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.

-Al-Mu'jam Ash-Shaghir, karya At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan
setiap satu hits diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.

3. MetodePengumpulan hadits berdasarkan pembahsan Agama seperti kitab-kitabAl-Jawami'

Al-jawami'adalah jamak dari jaami'. Sedang jawami' dalam karyahadits adalah apa yang disusun
dan dibukukan oleh pengarangnyaterhadap semua permasalahan agama. Maka dalam kitab
semodel ini, Andaakan menemukan bab tentang iman (akidah), thaharah, ibadah,
muamalah,pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa,fitnah dan lain
sebagainya. Kitab-kitabyang terkenal:

-Al-Jami' Ash-Shahih, karya Imam Abu Abdillah Muhammad binIsma'il Al-Bukhari (wafat
256H), orang yang pertama menyusun danmembukukan hadits shahih, akan tetapi belum
mencakup semuanya. Kitabini disusun berdasarkan urutan bab, diawali dengan Kitab Ba'duAl-
Wahyu, dan Kitabul Iman. Kemudian dilanjutkan denganKitabul Ilmi dan lainnya hingga
berakhir dengan Kitabut Tauhid.Julah semuanya ada 97 kitab. Pada setiap kitab terbagi
menjadibeberapa bab, dan pda setiap bab terdapat sejumlah hadits.

KitabShahih Bukhari ini mendapat perhatian yang cukup besar dari paraulama, diantaranya
dengan membuat syarahnya, dansyarha yang palingbaik adalah kitab Fathul Bari bi Syahri
Shahihi Al-Bukhari,karya Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852H) dan UmadtulQari,
karya Badrudin Al-Aini (wafat 855H), dan Isrsyadus SariIla Shahihi A-Bukhari, karya Al-
Qasthalani (wafat 922H)
-Al-Jami' Ash Shahih, karya Imam Abul Husain Muslim bin HajjajAl-Qusyairi An-Naisaburi
(wafat 261H), berisi kumpulan riwayat haditsyang shahih saja sesuai dengan syarat yang
ditentukan oleh ImaMuslim, dimulai dengan Kitab Iman, kmudian Kitab Thaharah, KitabHaid,
Kitab Shlalat dan dakhiri dengan Kitab Tafsir. Jumlah semuanyaada 54 kitab. Setiap kitab
meliputi beberapa bab, dan pada setip babterdiri dari sejumlah hadits.

Menurut para jumhur ulama hadits, Shahih Muslim menempati peringkat keduasetelah Shahih
Bukhari. Sedangkan menurut sebagian ulama wilayahMaghrib bahwa Shahih Muslim lebih
tinggi dari Shahih Bukhari.

ShahihMuslim juga mendapat penerimaan dan perhatian yang sangat besar olehpara ulama,
diantaranya dengan cra membuat syarah terhadap kitabtersebut. Di antaranya adalah : “Al-
Minhaj fi Syarh ShahihMuslim bin AL-Hajjaj” karya Abu Zakaria Muhyiddin An-
Nawawi(676H), kitab “Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim”karya Al Qadhi 'Iyadh (wafat 544H),
dan kitab “Ad-Dibaj'Ala Shahih Muslm bn Al-Hajjaj”karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin
Abu Bakr As-Syuyuthi (wafat911H).

-Al-Jami' Ash Shahih karyaImam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (wafat 279H),
merupakankumpulan hadits shahih, hasan, dan dha'if. Namun sebagian besardijelaskan derajat
hadits tersebut, dengan urutan bab-bab berikut:bab Thaharah, bab Shalat, bab Witir, bab Shalat
Jum'at, bab Haji, babjenazah, bab nikah, bab persususan, bab Thalaq dan Li'an, babJual-beli,
hingga diakhiri dengan bab Al-Manaqib. Kitab ini biasanyadisamakan dengan sebutan “Sunan
At-Tirmidzi”.

Selain itu juga telah ditulis kitab-kitab mustadrak atas kitab-kitab jami'.Yang paling masyhur
adalah Al-Mustadrak 'Ala Ash Shahihainkarya Abu Abdillah Al-Hakim (wafat 405H)

4. Metode Penulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan Fiqih

Karya ini tidak mencakup semua pembahasan agama, tapi sebagianbesarnya saja, khususnya
masalah fiqih. Metode yang dipakai dalampenyusunan kitab ini adalah dengan menyebutkan
bab-bab Fiqih secaraberurutan, dimulai dengan kitab Thaharah, kemudian kitab Shalat,Ibadah
Muamalat, dan seluruh bab yang berkenan dengan hukum danfiqih. Dan kadang pula
menuebutkan judul yang tidak berkaitan denganmasalah fiqih seperti: Kitab Iman atau Adab.

Karya yang terkenal dengan metode ini:

-As-Sunan, yaitukitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqih dan hanyamemuat
hadits yang marfu'saja agar dijadikan sebagai sumber bagi para fuqaha' dalammengambil
kesimpulan hukum.
1.As-Sunnan berbeda dengan Al-Jami'.Dalam As-Sunan tidak terdapat pembahsan tentang
aqidah, sirah,manaqib, dan lain sebagainya, tapi hanya terbatas pada masalh fiqihdanhadits-
hadits hukum saja. Al-Kittani mengatakan, “Diantaranyakitab-kitba yang dikenal dengan As-
Sunanmenurut istilah mereka adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkanurutan bab-bab tentang
fiqih mulai dari bab Iman, Thaharah, Zakat danseterusnya. Tidak ada didalmnya sedikit pun
hadits yang mauquf,sebab mauquf menurutmereka tidak dinamakan sunnah,tapi hadits

Kitab-kitab Sunan yang terkenal adalah:

-Sunan Abi Dawud, karyaSulaiman bin Asy'ats As-Sijistani (wafat 275H).

-Sunan An-Nasa'i , yangdinamakan dengan “Al-Mujtaba, karya Abdurrahman Ahmad bin


Syu'aibAn-Nasa'i (wafat 303H)

-Sunan Ibnu Majah karyaMuhammad bin Yazid bin Majah Al-Qazwini (wafat 275H)

-Sunan Asy-Syafi'ikarya Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i (wafat 204H)

-Sunan Ad-Darimi karyaAbdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi (wafat 255H)

-Sunan Ad-Daraquthnikarya Ali bin Umar Ad-Daraquthni (wafat 385H)

-Sunan Al-Baihaqi karyaAbu Bakar Ahmad bin Husein Al-Baihaq (wafat 458H).

2.Al-Mushannafat, jamakmushannaf. Menurutistilah ahli hadits adalah sebuah kitab yang


disusun berdasarkanurutan bab-bab tentang fiqih yang meliputi hadits marfu',mauquf, dan
maqthu',atau di dalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan shahabat,fatwa-fatwa tabi'in dan
terkadang fatwa tabi'ut tabi'in.

5. Metode Kitab-kitab yang Penyusunannya Menyatakan Komitmen HanyaMenuliskan Hadits-


hadits yang Shahih

Selain kitab-kitab Shahihain, Al-Muwaththa' karya Imam Malik danAl-Mustadrak karya Al-
Hakim ada beberapa kitab yang disusun dengankriteria shahih oleh penulisnya.

Kitab-kitabnya antara lain:

1. Shahih ibnu Khuzaimah,karya Abi Abdillah Muhammadn bin Ishaq bin Khuzaimah bin Al-
MughirahAs-Sulaimi An-Naisaburi, guru Ibnu Hibbah (wafat 311H).

2. Shahih ibnu Hibban,karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban (wafat 354H). As-Sakhawi
berkata,“Ada yang mengatakan bahwa buku yang paling shahih setelah ShahihBukhari dan
Muslim dalah Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban

6. MetodeTematik
Sebagianahli hadits menyusun karya-karya tematik yang terbatas padahadits-hadits tertentu
berkaitan dengan tema tertentu, di antaranya:

1.At-Targhib wa At-Tahrib yaitu kitab-kitab hadits yang berisikumpulan hadits tentang targhib
(motivasi) terhadap perintahagama, atau tarhib (ancaman)terhadap larangannya, seperti targhib
untukbirrul walidain(anjuranuntuk ta'at kepada orang tua), dan tarhib untuktidak durhaka kepada
keduanya Karya-karya tentang hal ini antara lain:

-At-Targhib wa At-Tahrib,karya Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abdil Qawiy Al-Mundziri


(wafat656H).

-At-Targhib wa At-Tarhib,karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad, dikenal dengan nama Ibnu
Syahin(wafat 358H).

2. Buku tentan kezuhudan, keutamaan amal, adab, dan akhlaq, antaralain:

-Kitab Az-Zuhd karyaImam Ahmad bin Hambal (wafat 241H).

-Kitab Az-Zuhd karyaAbdullah bin AL-Mubarak (wafat 181H).

-Kitab Akhlaq An-Nabi karyaAbi Syaikh Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-
Ashbahani (wafat 369H).

-Kitab Riyadh As-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalinkarya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi (wafat 676 H).

7. Metode Kumpulan Hadits Hukum Fiqih (Kutubul Ahkam)

Yaitu buku-buku yang memuat tentang hadits-hadits hukum fiqih saja,di antaranya yang terkenal
adalah:

-Al-Ahkam karya AbdulGhani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi (wafat 600 H)

-Umdatul Ahkam 'an Sayyidil Anam,karya Al-Maqdisi.

-A-Imam fi Haditsil Ahkam,karya Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Ibnu Daqiqil 'Ied
(wafat702 H)

-Al Imam bi Ahaditsil Ahkam,karya Ibnu Daqiqil 'Ied, ringkasan dari Kitab Al-Imam

-Al-Muntaqa fi Ahkam, karya AbdusSalam bin Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani (wafat 652 H)

-Bulughul Maran min Adillatil Ahkamkarya Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al 'Asqalani
(wafat 852 H).
8. Metode Merangkaikan Al-Majami'

Al-Majami' jamak dari majma'yaitu setiap kitab yng berisi kumpulan beberapa mushannafdan
disusun berdasarkan urutanmushannaf yang telahdikumpulkan tersebut.

Di antara majami' yang terkenal adalah:

- Jami' Al-Ushul minAhadits Ar-Rasul, karya AbuAs-Sa'adat dikenal dengan sebutan Ibnu Al-
Atsir (wafat 606 H), didalamnya terdapat kumpulan Kutubus Sitah (kitab Hadits yang enamyaitu
Shahih Bukhari, Shahih Mulmi, Sunan Abu Dawud, SunanAt-Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, dan
yang keenam adalah Al Muwaththa'Imam Malik sebagai ganti dari Sunan Ibnu Majah, karena di
dalamnyabanyak terdapat hadits-hadits dha'if. Oleh karenanya, sebagianhuffazh
menghendakisekiranya Musnad Ad-Darimi menempatiposisi tersebut).

- Majma'Az-Sawa'id wa Manba'u Al-Fawa'id,karya Al-Hafizh Ali bin Abu Bakar Al-Haitsam


(wafat 807 H), berisikumpulan hadits-hadits dalam Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya'laAl-
Mushili, Musnad Abu Bakar Al-Bazzar, dan Mu'jam Ath-Thabrani yangtiga: Al-Mu'jam Al-
Kabir, Al-Mu'jam Al-Awsath,dan Al-Mu'jam Ash-Shaghir,yang tidak terdapat di kutubus sittah.

-Jam'u Al-Fawa'id min Jami' Al-Ushul wa Majma' Az-Zawa'id,karya Muhammadn bin


Muhamadbin Sulaiman Al-Maghribi (wafat 1094 H),yang merupakan kumpulan dari dua kitab.
Yaitu kitab Ibnu Al-Atsir dankitab Al-Haitsami dan ditabah dengan tambahan dari Munad Ad-
Darimidan Sunan Ibnu Majah. Kemudian muncul sebuah ensiklopedia baru yangmemuat ebih
dari 10.000 hadits dari 14 kitab yaitu Shahih Bukhari,Shaih Muslim, Al-Muwaththa', Sunan yang
empat: Abu Dawud, An-Nasa'i,At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, Musnad Ad-Darimi, Musnad
Ahmad, MusnadAbu Ya'la, Musnad Al-Bazzar dan Mu'jam Ath-Thabarani yang tiga:Al-Kabir,
Al-Awsath, dan Ash-Shaghir.

9.Metode Al-Ajza' (jamak dari juz)

Yaitu setiap kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perawihadits, atau yang berkaitan
dengan satu permasalahan secaraterperinci, seperti:

- Juz'u Ma Rawahu AbuHanifah 'an Ashshahabah, karyaUstadz bu Ma'syar Abdul Karim bin
Abdush Shamad At-Thabari.

- Juz'u Ra'fil Yadain fiAs-Shalat, karya Al-Bukhari

10.Metode Al-Athraf

Yaitu setiap kitab yanghanya menyebutkan sebagian hadits yang dapatmenunjukkan lanjutan
hadits yang dimaksud, kemudian mengumpulkanseluruh sanadnya baik sanad satu kisah ataupun
sanad dari beberapakitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnadpara
shahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalumenyebutkan pangkal hadits
yang dapat menunjukkan ujunngya, sepertihadits nabi: “Kullukum ra'in...”, “Buniyal Islamu
'AlaKhamsin...”, dan “Al-Imanu Bidh'un wa Sab'una Syu'batan...”,demikian seterusnya.

Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah:

- Athrafu Ash-Shahihainkarya Muhamad Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (wafat 401 H).

- Al-Isyraf 'Ala Ma'rifatiAl-Athraf atau AthrafAs-Sunan Al-Arba'ah karyaAl-Hafizh Abul Qasim


Ali bin Hasan dikenal sebagai Ibnu Asakir.

- Tuhfatul Asyraf biMa'rifatil Athraf atau AthrafAl-Kutub As-Sittah karyaAl-Hafizh Abul Hajjaj
Yusuf bin abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H)

- Ithaful Muharah binAthrafil Asyarah, karyaAl-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hja Al-Asqalani
(wafat 852 H).Al-Asyarahatau kitabyang sepuluh adalah: Al-Muwaththa',Musnad Asy-Syafi'ie,
Musnad Ahmad, Musnad Ad-Darimi, ShahihIbnu Khuzaimah, Muntaqa Ibnul Jarud, Shaih Ibnu
Hibban, MustadrakAl-Hakim, dan SunanAd-Daruquthni. Jumlahnya menjadi11 karena Shahih
Ibnu Khuzaimah hanyaberisi seperempatnya saja.

- Athraf Al-Masanid Al-Asyarah,karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri


(wafat 840 H).Al-Asyarah atau munad yang sepuluh adalah: Musnad Abu DawudAt-Thayalisi,
Musnad Abu Bakar Al-Humaidi, Musnad Musaddad binMusarhad, Musnad Muhammad bin
Yahya Al-Adani, Musnad Ishaq binRawaih, Musnad Abu Bakar bin AbiSyaibah, Musnad
Ahmad bin Mani',Musnad 'Abd bin Humaid, Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi
Usamah,dan Musnad Abi Ya'la Al-Mushili.

- Dzakha'ir Al-Mawarits fiAd-Dalalah 'Ala Mawadhi' Al-Hadits,ini merupakan kumpulan athraf


kutubus sittahdan Muwaththa' ImamMalik, karya Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat 1143 H)

11.Metode Kumpulan Hadits-hadits yang mesyhur diucapkan di lisan atautematik

Pada beberapa kurun waktu, para ulama banyak memperhatikan penulisanhadits-hadits yang
masyhur diucapkan di kalangan masyarakat lalumerka menjelaskan derajat hadits tersebut dari
segi dha'if danmaudhu'nya atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah sedemikianmasyhur.
Di antara ulama juga ada yang meperhatikan penulisan haditspalsu secara khusus.

Buku-buku yang terkenal di antaranya adalah:

- Al-La'ali' Al-Mantsurahfi Al-Ahadits Al-Musyataharah min Ma Allafahu At-Thab'u wa Laisa


LahuAshlun Fi Asy-Syar'i, karyaAl-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852 H)

- Al-Maqashid Al-Hasanahfi Bayani Katsirin Minal Ahadits Al-Mustaharah 'alal Alsinah,


karyaMuhammad bin Abdurrahman As-Skahawi (wafat 902 H)
- Ad-Durar Al-Muntatsirahfi Al-Ahadits Al-Musytaharah,karya Jalaluddin As-Syuyuthi (wafat
911 H).

- Tamyizu At-Thayyib minAl-Khabits fi Ma Yadhurru 'ala Alsinati An-Nas min Al-Hadits,karya


Abdurrahman bin Ali As-Syaibani (wafat 944 H)

- Kasyful Khafa' waMuzilul Ilbas 'Amma Isytahara minal Ahadaits 'ala Alsinati An-Nas,karya
Ismail bin Muhamad Al-Ajluni (wafat 1162 H)

- Asna Al-Mathalib fiAhadits Mukhtalifil Maratib,karya Muhamad bin Darwisy yang terkenal
dengan nama Al-HuutAl-Bairuni (wafat 1276 H).

- Al-Maudhu'at,karya Ibnul Jauzy (wafat 597 H)

- Al-Manar Al-Munif fiAsh-Shahih wa Adh-Dha'if karyaIbnu Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751


H), ditahqiq Syaikh Abdul FattahAbu Ghuddah.

- Al-La'ali' Al-Mashnu'ahfi Al-Ahadits Al-Maudhu'ah karyaJalaluddin Asy-Syuyuthi (wafat 911


H).

- Al-Mashnu'fi Ma'rifati Al-Hadits Al-Maudhu',karya Allamah Nuruddin Ali bin Muhammad


yang dikenal dengan namaAl-Mulla Ali Al-Qari AlHarawi (wafat 1014 H), tahqiq: Syaikh
AbdulFattah Abu Ghuddah.

- Al-Asrar Al-Marfu'ah fiAl-Akhbar Al-Maudhu'ah, yangdikenal dengan, Al-Maudhu'at Al-


Kubra,karya Al-Mulla Ali Al-Qari', tahqiq: Muhammad As-Shabbagh.

- Al-Fawaid Al-Majmu'ah fiAl-Ahadits Al-Maudhu'ah, karyaAsy Syaukani (wafat 125 H)

- Silsilah Al-HaditsAdh-Dha'ifah, karya SyaikhMuhammad Nashiruddin Al Albani.

12.Metode Az-Zawa'id

Zawa'id adalah karya berisi kumpulan hadits-hadits tambahan terhadaphadits yang ada pada
sebagian kitab-kitab yang lain.

Buku-buku yang terkenal dalam bidan ini antara lain:

- Mishbah Az-Zujajah fiZawa'id Ibnu Majah, karya AbuAbbas Ahmad bin Muhammad Al-
Bushairi (wafat 84 H), bukan Al-BushairiMuhammad bin Sa'id (wafat 696 H) sang penyair yang
menyusun“Al-Burdah”. Kitab in imencakup tambahan Sunan Ibn Majah ataslima kitab pokok
aitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, SunanAt-Tirmidzi, Abu Dawud, dan An-Nasa'i.

- Ithafu As-Sa'adahAlMaharah Al-Khairah bi Zwa'idi Al-Masanid AL-'Asyarah, karyaAl


Bushairi juga yang merupakan tambahan terhadap kutubussittah: (Musnad AbuDawud Ath-
Thayalisi, Musnad Al-Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad,Musnad Muhammad bin
Yahya Adani, Musnad Ishaq bin Rahawaih, MusnadAbu Bakar bin Abu Syaibah, Musnad
Ahmad bin Mani', Musnad 'Abd binHumaid, Musnad Harits bin Muhammad bin Abu Usamah,
dan Musnad AbuYa'a Al-Mushili)

- Al-Mathalib Al-'Aliyah bin Zwa'idiAl-Masanid Ats-Tsamaniyah, karya Al-Hafizh Ahmad bin


Ali Ibn HajarAl-Asqalani (wafat 852 H), yang merupakan tambahan dari sepuluhmusnad di atas
kecuali Musnad Abu Ya'la Al-Mushili,Musnad Ishaq bin Rahawaihatas kutubus sittah
danMusnad Ahmad.

- Majma' Az-Zawa'id waManba'ul Fawa'id, karyaAl-Haitsami, yang telah kami sebutkan


sebelumnya dalam Al-Majami'.Kitab ini berisi beberapa buku hadits sehingga menyerupai
majami',dan karena bersii kumpulan hadits-hadits ambahan pada sebagian kitab,maka layak pula
disebut zawa'id.

BAB IV

HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA

A. KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM

1. Dalil / Dasar Kewajiban Mengikuti Sunnah

Dalil Al-quran, firman Allah:

Artinya"Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras
hukumannya". (QS. Al Hasyr [59]: 7)

2. Dalil Hadis Nabi SAW :

Artinya”aku tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalianberpegang kepada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Al-Hakim dari abu
Hurairah)

3. Ijma’

Dalil dari Ijma (kesepakatan Ulama) Umat Islam telah mengambil keputusa bersama untuk
mengamalkan sunah. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah
SWT, Rasulnya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima sunah seperti mereka menerima al-
Qur‟an, karena berdasarkan kesaksian dari Allah, sunah merupakan salah satu sumber syariat.

B. FUNGSI HADITS SEBAGAI AL-QUR’AN


 Bayan at-tafsir

 Bayan at-taqrir

 Bayan an-nasakh

BAB V

STRUKTUR HADITS

A. KOMPONEN-KOMPONEN HADITS

Secarai struktur, hadits terdiri dari tiga struktur, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan
(redaksi hadits), dan mukharij (rawi). Berikut ini contoh hadits yang memuat ketiga unsur
tersebut.

‫ ع َِن‬،ُ‫ه‬È ‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬È ‫ض‬


ِ ‫ك َر‬ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ِ ‫ ع َْن َأن‬،َ‫ ع َْن َأبِي قِالَبَة‬، ُ‫ َح َّدثَنَا َأيُّوب‬:‫ قَا َل‬،‫ب الثَّقَفِ ُّي‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ال ُمثَنَّى‬
ِ ‫الوهَّا‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫َأ‬
َّ‫ َو ْن ي ُِحب‬،‫ َواهُ َما‬È‫ ِه ِم َّما ِس‬È‫ولهُ َحبَّ ِإلَ ْي‬È‫ ْن يَ ُكونَ ُ َو َر ُس‬:‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج َد َحالَ َوةَ اِإل ي َما ِن‬ ٌ َ‫ " ثَال‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
َّ ْ ‫َأ‬ ْ ْ ُ ‫َأ‬ ْ ‫َأ‬ ‫هَّلِل‬
)‫ َو ْن يَك َرهَ ْن يَعُو َد فِي الكف ِر َك َما يَك َرهُ ْن يُق َذفَ فِي النار(رواه البخاري‬،ِ ‫ِال َمرْ َء الَ يُ ِحبُّهُ ِإ‬ ‫اَّل‬

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah meriwayatkan


kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW., bahwa beliau bersabda, ‘Ada tiga
hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisanya iman.
Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia
mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada
kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka’.” (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut kita lihat bahwa hadits tersebut terdiri dari tiga komponen, yang pertama
sanad,

‫ ع َِن‬،ُ‫ه‬È ‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬È ‫ض‬ ِ ‫ك َر‬ ِ ‫ ع َْن َأن‬،َ‫ ع َْن َأبِي قِالَبَة‬، ُ‫ َح َّدثَنَا َأيُّوب‬:‫ قَا َل‬،‫ب الثَّقَفِ ُّي‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ال ُمثَنَّى‬
ِ ‫الوهَّا‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ‫النَّبِ ِّي‬

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah meriwayatkan


kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW.”
Kedua adalah matan,

‫رهَ َأ ْن‬È
َ È‫ َوَأ ْن يَ ْك‬،ِ ‫ َوَأ ْن ي ُِحبَّ ال َمرْ َء الَ ي ُِحبُّهُ ِإاَّل هَّلِل‬،‫ َأ ْن يَ ُكونَ هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َأ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬:‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج َد َحالَ َوةَ اِإل ي َما ِن‬
ٌ َ‫ثَال‬
‫يَعُو َد فِي ال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ َأ ْن يُ ْق َذفَ فِي النَّار‬

Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisanya
iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia
mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada
kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka.

Di samping dua komponen utama tersebut, dalam hadits tersebut juga ada komponen tambahan
yang menyebutkan sumber dan asal hadits itu dinukil, yang disebut dengan mukharij (rawi)

(‫)رواه البخاري‬

Riwayat Bukhari

Maksudnya hadits tersebut dikeluarkan oleh Bukhari sehungga kita bisa melacak hadits tersebut
dalam Shahih Bukhari.

B. SANAD HADITS

1. Pengertian Sanad Hadits

Sanad dari segi bahasa berarti bagian bumi yang menon-jol, sesuatu yang berada dui
hadapan Anda dan uang jauh dari kaki bukit ketika Anda memandangnya. Bentuk jamaknya
adalah Segala sesuatu yang Anda sandarkan kepada yang lain disebut disebut Dikatakan
maknanya’Seseorang mendaki gunung’. Dikatakan pulamaknanya ‘Seseorang menjadi
tumpuan’.

‫الطر يقة المو صلة إلى المتن‬

Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits


Yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-nya. Jalur ini
adakalanya disebut sanad, adakalanya karena periwayat ber-sandar kepadanya dalam
menisbatkan matan kepada sumbernya, dan adakalanya karena hafidz bertumpu kepada yang
menyebutkan sanad’ dalam mengetahui shahih atau dhaif suatu hadits.

‫سلسلة الرجا ل المو صلة للمتن‬

Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits

Silsilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang


menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah
SAW., yang perkataan, perbuatan, taqrir, dan l;ainnya merupakan materi atau matan hadits.
Dengan pengertian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku kepada serangkaian orang, bukan
dilihat dari pribadi secara perseorangan. Adapun sebutan untuk pribadi, yang menyam-paikan
hadits dilihat dari sudut orang perorangan, disebut rawi.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian sanad secara ter-perinci, sebagai
berikut:

Jalan matan hadits, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadits dari sumber
yangpertama (Rasulullah SAW)

Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas
seluruh penutur, mulai orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga
Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Contohnya adalah hadits
berikut:

2. Isnad, Musnad, dan Musnid

Selain istilah sanad, terdapat uga istilah lainnya yang mempunyai kaitan erat dengan istilah
sanad, seperti, al-isnad, al-musnad, dan al-musnid. Istilah al-isnad, berarti ‘Menyandarkan,
menegaskan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat’ Yang dimaksud di sini adalah:

‫رفع الحد يث الى قاإله‬

Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya

Atau,
‫عز والحد يث الى قاإله‬

Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya

Menurut Ath-Thibi, seperti yang dikutip oleh Al-Qasimi, kata isnad dengan as-sanad mempunyai
arti yang hampir sama atau berdekatan. Ibn Jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi. Menurutnya,
ulama muhaditsin memendang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang
keduanya dapat dipakai secara bergantian.

Istilah Al-Musanid mempunyai beberapa arti yang berbeda dengan istilah al-isnad, yaitu
pertama, berarti hadits yang diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan kepada seseorang
yang membawakannya, seperti Ibn Syihab Az-Zuhri. Malik bin Anas, dan Amrah binti Abd. Ar-
Rahman; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem
penyusunan berdsarkan nama-nama para sahabat rawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad;
ketiga, berarti nama bagi hadits yang memenuhi kriteria marfu’, (di-sandarkan kepada Nabi
SAW) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai akhirnya)

3. Jenis-jenis Sanad Hadits

a. Sanad ‘Aliy

Sanad ‘aliy adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan
sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertokal dengan sanad yang
sama jika rawinya lebih banyak. Sanad ‘aliy ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1) Sanad ‘Aliy yang bersifat mutlak adalah sanad

Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah bergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
setiap orang hanya memperoleh (sesuai) apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya
menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu kea rah (keridhaan) Allah dan Rasul-
Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu karena dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang
wanita yang akan dikawininya, hijrahnya itu kearah apa yang ia tuju.

Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muham-mad SAW atau
bukan.

2. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya
(apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Quran
(apakah ada yang bertolak belakang).

D. RAWI HADITS

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil Al-
Hadits).

Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad
hadits pada tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi
adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-
tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah diatas, jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam
dua hal, yaitu: pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits,
kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan demikian,
rawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits). Adapun
orang-orang yang menerima hadits dan hanya menyampaikannya kepada orang lain, tanpa
membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap
sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab
ada rawi yang membukukan hadits. Kedua, dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang
disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada
penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasulullah
SAW. dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya.
Artinya, rawi pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad pertama adalah rawi terakhir.

Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, rawi, dan matan di atas, lihat penjelasan lebih
lanjut pada hadits di bawah ini,

Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah menceritakan (hadits) kepada kami, katanya:
“Abu MUawiyyah telah menceritakan (hadits) kepada kami, yang diterimanya dari Al-A’masy,
dari Umarah bin Umar, dari Abd Ar-Rahman bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud, katanya:
‘Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami: “Wahai sekalian pemuda! Barang siapa yang
sudah mampu untuk melakukan pernikahan, maka manikahlah. Karena, dengan menikah itu
(lebih dapat) menutup mata dan lebih dapat menjaga kehormatan. Akan tetapi, barang siapa yang
belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena, dengan berpuasa itu dapat
menahan hasrat seksual”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari nama Abu Bakr bin Abi Syuaibah sampai dengan Abdullah bin Mas’ud merupakan silsilah
tau rangkaian satu susunan orang-orang yang menyampaikan hadits. Mereka semua adalah sanad
hadits tersebut, yang juga disebut sebagai jalan matan.

Mulai kata “yama’ syara asy-syabab” sampai kata ”fainnahu lahu wijaaun”, adalah matan atau
materi atau lafadz hadits tersebut, yang mengandung makna-makna tertentu. Dalam salah satu
definisi, lafadz-lafadz tersebut disebut sebagai ujung atau tujuan sanad.

Adapun nama Bukhari dan Muslim, yang ditulis pada akhir matan di-sebut rawi (orang yang
meriwayatkan hadits). Karena keduannya (masing-masing) membukukan hadits, mereka disebut
mudawwin (yang membukukan hadits).

E. KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADITS

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diper-oleh/diriwayatkan akan
mengikuti siapa yang meriwayatkan. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui
hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang shahih atau tidak shahih, untuk
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada
beberapa hadits atau atsar yang menerangkan keutamaan sanad, diantaranya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Sirin,

Ilmu ini (hadits ini) adalah agama karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil
agamamu dari mereka.

Abdullah Ibnu Mubarak berkata:

Menerangkan sanad hadits termasuk tugas agama. Andai tidak diperlukan sanad, tentu siap saja
dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka adalah sanad.
Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah
seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.

Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka
mempunyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka, terperiharalah sunnah
Rasul dari tangan–tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits
berusaha pergi dan melayat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan
Rasul yang dilakukan sanad ‘ali
Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaandari ketentuan-ketentuan umat Islam.
Dengan adanya sanad inilah, para imam ahli hadits dapat membedakan hadits yang shahih dan
hadits yang dhaif dengan cara melihat para perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya
Islam sekarang akan sama seperti pada zaman sebelumnya kaerena pada zaman sebelumnya
tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan orang-orang saleh diantara mereka
tidak dapat dibedaka. Adapun Islam yang sekarang telah berumur 1400 tahun lebih masih dapat
dibedakan antara perkataan Rasulullah SAW dan perkataan sahabat.

BAB VI

ILMU HADITS

A.Pengertian Ilmu Hadits

Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ulum dan hadits. Kata ulum dalam bahasa arab
adalah bentuk jamak dari ilm. Jadi artinya “ilmu”, sedangkan Al-Hadits menurut kalangan para
ulama adalah “segala sesuatu yang disadarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan,
taqrir atau sifat”. Jadi apabila di gabung kata ulum Al-Hadits dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu
yang mempelajari atau membahas yang berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.

Sedangkan menurut As-Suyuthi beliau mengemukakan pendapatnya tentang ilmu Hadits yaitu
ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan Hadits sampai kepada Rasul
SAW, dari segi hal ikhwan para perawnya yang menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan
bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.

Penulisan ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H. Jadi
secara garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini menjadi dua bagian
yaitu :Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.

1. Ilmu Hadits Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu Hadits
yang berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat mendefenisikan tentang ilmu
Hadits Riwayah, namun yang paling terkenal di antara para ulama yaitu defenisi ibnu Al-Akhfani
beliau berpoendapatan bahwa ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan
danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafadz-
lafadznya.
Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang disadarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya begitu juga yang
menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu yang
membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku (akhlak)
dengan cara yang teliti dan terperinci.

Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW,
sahabat dan tabiin yang meliputi :

a.Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang periwayat
(rawi) kepada periwayat lain.

b.Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits.

Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp Hadits
Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam
proses periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya.

Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini adalah abu
bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat perkembangan sejarah
Hadits, Az-Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun Hadits Nabi SAW atas
perintah khalifah Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II.

2.Ilmu Hadits Dirayah

Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu
pada masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain ilmu
ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits.

Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau kaidah-
kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun memberikan
defenisi yang bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya adalah ibn Al-
Akfani memberikan defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui
hakikat riwayat, syarat-syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi diterima atau ditolaknya

Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan
sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan
yang terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan
bahwa Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-
dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang
didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.

Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang
terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang
sanad adalah :

a.Persambungan sanad

b.Keterpercayaan sanad

c.Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad

d.Keselamatan dari cacat

e.Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad.

Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu :
a.Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi.

b.Terdapat catat pada makna Hadits.

c.Dari kata-kata asing.

Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain :

1.Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits.

2.Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara,


periwayatan Hadits.

3.Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama.

4.Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan


hukum syara.

Jika kita lihat dalam sejarahnya ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadits Dirayah
secara lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi.

B.Cabang-Cabang Ilmu Hadits

Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits lainnya
seperti ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu ‘Ilali Al-
Hadits ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits, ilmu Tashif
wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits.

Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut :

1.Ilmu Rijal Al-Hadits

Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan secara
istilah kata ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits dalam
kapasitas mereka sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan ilmu Rijal
Al-Hadits ini adalah ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin
maupun dari generasi-generasi sesudahnya.

2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul

Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil artinya
menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah kecacatan pada
perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi. Sedangkan para
ulama Hadits mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan sifatsifat yang
membersihkannya, maka nampak keadilannya dan riwayatnya di terima.

3.Ilmu Fannil Mubhamat

Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad.

4.Ilmu Ilal Al-Hadits


Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal al-
hadits adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits, namun
dari sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli hadits
mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat
mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang menqati,
memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam.

5.Ilmu Gharib al- Hadits

Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang
digunakan untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis yang
jauh dan sulit dipahami karena jarang digunakan orang umum.

6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk

Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan menyalin.
Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’ mengangkat
[membatalkan] suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang dimaksud dengan ilmu
Nasikh wa Al- mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu yang membahas tentang
hadis – hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang
datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian dinamakan Nasikh.

7.Ilmu Talfiq al-Hadits

Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara
mengempulkan hadis- hadis yang berlawanan.

8.Ilmu Tashif wa Al-Tahrif


Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha menerangkan
dan menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan bentuknya.

9.Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits

Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan secara
istilah dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang
di wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut As-suyuti
pengertian ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti
umum dan khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang
dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.

10.Ilmu Musththalah Ahli Hadits

Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang
menerangkan atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-
ahli Hadits.

C.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Apabila kita lihat dari praktinya, ilmu Hadits ini sudah ada sejak periode awal Islam dengan
periode Rasulullah. Ilmu ini mulai muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits yang
disertai dengan tingginya perhatian para sahabat dalam menerima riwayat yang disampaikan
Nabi kepada mereka.

Pada periode Rasulullah, penelitian terhadap suatu Hadits menjadi cikal bakal ilmu Hadits.
Apabila seorang sahabat ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lain, maka ia segera menemu
Rasulullah atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk dikompirmasikannya setelah itu barulah
ia menerima dan mengamalkan Hadits itu.
Sedangkan pada masa periode sahabat, penelitian Hadits ini menyangkut sanad dan matan,
misalnya khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq beliau tidak mau menerima suatu Hadits yang
disampaikan oleh seseorang, kecuali dia mampu mendatangkan saksi untuk memastikan
kebenaran riwayat yang disampaikannya.

Demikian pula pada masa Umar bin Al-Khattab, beliau mengamcam akan memberikan saksi
terhadap siapa yang meriwayatkan hadits jika tidak mendatangkan saksi. Maka para sahabat
dapat menyimpulkan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh sahabat dalam menyusun
suatu hadits yaitu :

1.Penyelidikan periwayatan hadits dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja.

2.Ketelitian dalamp eriwayatan, baik ketika menerima dan menyampaikannya.

3.Kritik terhadap matan hadits.

Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadits pada masa tabiin yaitu Ibn Syihab
Az-Zuhri atas perintah resmi dari khalifah bin Abd. Azis. Akhirnya kaidah-kaidah itu semakin
dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.

BAB VII

PEMBAGIAN HADITS
A. PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUANTITAS RAWI

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadits mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut
antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
untuk dusta.

b. Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

· Hadits Mutawatir Lafzi

Hadits yang lafad-lafad para perawi itu sama, baik hukum maupun ma’nanya.

· Hadits Mutawatir Ma’nawy

Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau
satu makna yang umum.

· Hadits Mutawatir Amaly

Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di
antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau
serupa dengan itu

2. Hadis Ahad

a. Pengertian hadis ahad

Menurut Istilah ahli hadis, pengertian hadis ahad ialah hadits yang tidak berkumpul padanya
syarat-syarat mutawatir.

b. Pembagian Hadits Ahad

Pembagian hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya di bagi kepada tiga tingkatan yaitu :

· Hadits Masyhur
Hadits yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir.

· Hadits ‘Azis

Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu
thabaqah saja,kemudian setelah itu,orang-orang pada meriwayatkannya.

· Hadits gharib

Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana
saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

4. Hadits Gharib

Menurut bahasa, gharîb bermakna yang asing, bersendirian, atau yang jauh dari kerabatnya.

Menurut istilah, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan bersendirian oleh satu orang,
walaupun hanya pada satu tingkatan sanad.

Hadits gharib kadang diistilahkan juga dengan “al-Fard”, walaupun sebagian ulama
membedakan antara keduanya.

B. KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI

1. Hadits Sahih

Hadits Sahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.

Hadits shahih terbagi kepada dua bagian:

· Shahih li-dzatihi

Hadits yang sanadnya bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
hafalannya dari orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak
mengandung cacat yang para
· Shahih li-ghairih

Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang
yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa
atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.

2. Hadis Hasan

Hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang yang adil yang kurang sedikit
kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada nabi SAW. dan tidak mempunyai
‘Illat serta syadz.

Menutut Ibnu Shalah, hadits hasan itu dapat dibagi menjadi dua:

· Hasan li-dzatihi

Berita Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan
keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.

· Hasan li-ghairih

Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik
hafalannya dan lain-lainnya.

C. KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI

1. Hadits Marfu’

Hadits Marfu' adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu terputus.

2. Hadits Mauquf

Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan
atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu terputus.

Contoh:

3. Hadits Maqtu’

Hadits Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang yang
sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau lainnya.

BAB VIII
ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

A. Pengertian al jarh wa at ta’dil

Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata,
yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata – ‫جرج‬
‫رح‬ÈÈ‫ يج‬, yang berarti, seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu.

Secara terminology al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat
adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yanga mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah riwayatnya atu bertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang
perawi dengan sifat sifat yang membawa konskuensi penilain lemah ats riwayatnya atau tidak
diterima.

Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa
sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang
yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu
al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima
atau ditolak riwayat mereka.

Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, maka
periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau
memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.

Dr. ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :

‫ْث قَبُوْ ِل ِر َوايَتِ ِه ْم َأوْ َر ِّدهَا‬


ُ ‫ث فِي َأحْ َوا ِل الرُّ َوا ِة ِم ْن َحي‬
ُ ‫ْال ِع ْل ُم الَّ ِذيْ يَ ْب َح‬

“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau ditolak riwayat
mereka”

B. MANFAAT ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang rawi
dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dam apabila seorang rawi dipuji sebagai
seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadist tersebut terpenuhi.

Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan
seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai
sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah
perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi
pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist.
Akkibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang
diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan
golongannya saja.

Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih,
hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

C. METODE UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN


MASALAH-MASALAHNYA

Dalam uraian yang baru lalu telah dikemukakan bahwa : menta’dilkan ialah memuji rawi dengan
sifat –sifat yang membawa ke-‘adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan
riwayat. Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu :

1. Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang yang
adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi
Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan
sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli
ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.

2. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil
oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang
adil.

Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :

- Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang
menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist). Oleh
karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian
menurut pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam
mentazkiyah seorang rawi.

- Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan
dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :

- Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang
sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.

- Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para
fuqaha sekurang-sekurangnya harus ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi,


diantaranya seorang rawi, diantaranya apabila penilaian itu secara mubham dan ada kalanya
mufasaT. Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:

- Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak
sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun mentarjihkan
tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan
satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga
tidak mustahil seorang mentarjihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.

- Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena
sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan
mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat.

- Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.

- Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan


mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya
kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap
rawi.

Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang
dipandang cukup untuk menta’dilkan dan mentarjihkan rawi, seperti berikut ini :

- Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian
pendapat kebanyakan fuqaha’ Madina.

- Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan
tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula disyaratkan dalam
menta’dilkan dan mentarjihkan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.

- Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.

Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau
dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil).
Seperti Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan
lain-lainnya.

D. SYARAT-SYARAT BAGI ORANG YANG MENTA’DILKAN DAN MENTARJIHKAN

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainny,
melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain
cacat padahal dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung suatu
perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.

Bagi orang-orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut ini,
yaitu :

- Berilmu pengetahuan

- Takwa

- Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil
dan makruhat-makruhat).

- Jujur

- Menjauhi fanatik golongan

- Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.

E. PERTENTANGAN ANTARA AL-JARH WA AT-TA’DIL

Terkadang, pertanyaan-pertanyaan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa
saling bertentangan. Sebagian mentarjihkannya, sebagian lain menta’dilkan. Bila keadaannya
seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya. Sebagian ulama
mentarjihkan dan sebagian ulama lainnya menta’dilkan dalam 4 pendapat, yaitu :

1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak
daripada jarhnya. Sebab bagi jarhh tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh
mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarihnya memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si
mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh Jumhuru ‘I-ulama.

2. Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila menta’dilkan lebih banyak karena banyaknya yang
menta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib,
pendapat ini dapat diterima, sebab yang menta’dil. Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak
memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang mentajrih.

3. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai
diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.

4. Masih tetap dalam keta’arudlannya selama belum ditemukan yang merajihkannya.


Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu’addilnya
lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka
mendahulukan jarah itu sudah merupakan keputusan ijma’.

F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil

Lafadz-lafadza yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki tingakatan-
tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Salah dan Imam Nawawi, lafadz-lafadz itu disusun
menjadi 4 tingkatan. Menurut Al-Hafidz Al-Dzahaby dan Al-‘Iraqy tersusun menjadi 5 tingkatan
dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:[1][1]

1. Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi

a. Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis,
misalnya:

ُ َ‫)َأوْ ث‬
Ø Orang yang paling tsiqah ( ْ‫ق النَّاس‬

Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (ً‫اس ِح ْفظًا َو َعدَالَة‬ ُ َ‫)َأ ْثب‬
ِ َّ‫ت الن‬
Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (‫)ِإلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَهَى فِى الثّبت‬

Ø Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (‫ق الثَّقَ ِة‬
َ ‫)ثَقَةُ فَ َو‬

b. Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang
menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan
mengulanginya) maupun semakna, misalnya:

ْ ‫ُت ثُب‬
Ø Orang yang teguh (lagi) teguh (‫ُت‬ ٌ ‫)ثُب‬

Ø Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (‫)ثِقَةٌ ثِقَ ْة‬

Ø Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (‫) ُح َّجةٌ ُح َّج ْة‬

Ø Orang yang teguh (lagi) tsiqah (‫ُت ثِقَّ ْة‬


ٌ ‫)ثُب‬
Ø Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (‫) َحافِظٌ ُح َّج ْة‬

Ø Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (‫)ضابِطٌ ُم ْتقِن‬.


َ

c. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya:

ٌ ‫)ثُب‬
Ø Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (‫ُت‬

Ø Orang yang meyakinkan (ilmunya), (‫) ُم ْتقِ ٌن‬

Ø Orang yang tsiqah (ٌ‫)ثِقَة‬

Ø Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (ٌ‫)حافِظ‬


َ

Ø Orang yang hujjah (ٌ‫) ُح َّجة‬.

d. Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti
kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:

ٌ ْ‫)ص ُدو‬
Ø Orang yang sangat jujur (‫ق‬ َ

Ø Orang yang dapat memegang amanat (‫) َمْأ ُموْ ٌن‬

َ ‫)اَل بَْأ‬.
Ø Orang yang tidak cacat (ْ‫س بِه‬

e. Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan, misalnya:

ِّ ‫) َم ِحلُّهُ ال‬
Ø Orang yang berstatus jujur (ُ‫ص ْدق‬

Ø Orang yang baik hadisnya (‫) َجيِّ ُد ْال َح ِديْث‬

Ø Orang yang bagus hadisnya (‫)ح َسنُ ْال َح ِديْث‬


َ

Ø Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah (‫اربُ ْال َح ِديْث‬
ِ َ‫) ُمق‬.
f. Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang
diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau
lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan, misalnya:

Ø Orang yang jujur, insya Allah (‫ق ِإ ْن َشا َء هللا‬


ٌ ْ‫ص ُدو‬
ُ )

َ ‫)فُاَل ٌن َأرْ جُوْ بَِأ َّن اَل بَْأ‬


Ø Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (‫س بِه‬

Ø Orang yang sedikit kesalehannya (‫)فُاَل ٌن صويلح‬

Ø Orang yang di harapkan diterima hadisnya (ُ‫)فُاَل ٌن َم ْقبُوْ ل َح ِد ْيثُه‬


Para ahli ilmu menggunakan haits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dil
menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para
rawi yang dita’dil menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat
dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.[2][2]

2. Tingaktan dan lafadz-lafadz menjarh rawi[3][3]

a. Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-
lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat muballagah) yang
mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu, misalnya:

Ø Orang yang paling dusta (‫ض َع النَّاْس‬


َ ْ‫)اَو‬

Ø Orang yang paling bohong ( ْ‫)اَ ْك َذبُ النَّاس‬

Ø Orang yang paling top kebohongannya (‫)اِلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَقَى فِى ْال َوضْ ِع‬

b. Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat


muballagah, misalnya:

Ø Orang yang pembohong ( ُ‫) َك َّذاب‬

ٌ ‫) َوضَّا‬
Ø Orang yang pendusta (‫ع‬

Ø Orang yang penipu ( ْ‫) َدجَّال‬

c. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:

ِ ‫)فُاَل ٌن ِمتَّهَ ٌم بِاْل َك ْذ‬


Ø Orang yang dituduh bohong (‫ب‬

Ø Orang yang dituduh dusta (‫)اَوْ ُمتَّ ِه ٌم بِ ْال َوضْ ِع‬


ْ َّ‫)فُاَل نُ فِ ْي ِه الن‬
Ø Orang yang perlu diteliti (‫ظ ُر‬

Ø Orang yang gugur (ٌ‫)فُالَ ٌن َساقِط‬

Ø Orang yang hadisnya telah hilang (‫)فُاَل ٌن َذا ِهبُ ْال َح ِديْث‬

ُ ْ‫)فُاَل ٌن َم ْترُو‬
Ø Orang yang ditinggalkan hadisnya (‫ك الِ َح ِديْث‬

d. Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:


ْ ‫) ُم‬
ُ ‫ط َر ُح ْال َح ِدي‬
Ø Orang yang dilempar hadisnya (‫ْث‬

َ ‫)فُاَل ٌن‬
ٌ ‫ض ِعي‬
Ø Orang yang lemah (‫ْف‬

Ø Orang yang ditolak hadisnya (‫)فُاَل ٌن َمرْ ُدوْ ٌد ْال َح ِديْث‬


e. Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:

Ø Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (‫)فُاَل ٌن اَل يُحْ تَجُّ بِ ِه‬

Ø Orang yang tidak dikenai identitasnya (‫)فُاَل ٌن َمجْ هُوْ ٌل‬

Ø Orang yang mungkar hadisnya (‫)فُاَل ٌن ًم ْن َك ٌر ْال َح ِديْث‬

Ø Orang yang kacau hadisnya (‫)فُاَل ٌن ُمضْ طَ ِربُ ْال َح ِديْث‬

Ø Orang yang banyak menduga-duga (‫)فُاَل ٌن َوا ٍه‬

f. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan
dengan adil, misalnya:

Ø Orang yang didla'ifkan hadisnya (Èُ‫ضعِّفَ َح ِد ْيثَه‬


ُ )

Ø Orang yang diperbincangkan (‫)فُاَل ٌن ُمقَا ٌل فِ ْي ِه‬


ْ ‫)فُاَل ٌن فِ ْي ِه‬
ٌ ‫خَل‬
Ø Orang yang disingkiri (‫ف‬

Ø Orang yang lunak (‫)فُاَل ٌن لَيَّن‬

Ø Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya (‫س بِ ْال ُح َّج ْة‬
َ ِ‫)فُاَل ٌن لَي‬

Ø Orang yang tidak kuat (‫ْس بِ ْالقَ ِوى‬


َ ‫)فُاَل ٌن لَي‬

Orang yang ditarjih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-
tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat
membandingkan).

BAB IX

HADIS MAUDHU’

hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu
alaihi wa sallam secara sengaja.

Faktor munculnya hadis maudhu’:

· Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah

· Adanyakesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran islam


· Mempertahankan mazhab dalam masalah fiqh dan masalah kalam

· Membangkitkan gairah beribadah untukmendekatn diri kepada Allah

· Menjilat para penguasa untu mencari kedudukan atau hadiah

Ciri-ciri hadis maudhu’ :

Ø Ciri yang terdapat pada sanad

· Rawinya terkenal berdusta

· Pengakuan dari si pembuat sendiri

· Kenyataan sejarah

· Keadaan rawi dan faktor-faktorn yang mendorongnya membuat hadis maudhu’

Ø Ciri yang terdapat pada matan

· Keburukan susunan lafadznya

· Kerusakan maknanya

BAB X

TAKHRIJUL HADIS

Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad
dan martabatnya sesuai keperluan.

Tujuan pokok men-tahrij hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij.
Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan
mardud-nya.

. cara mentakhrij hadis:

· Pertama kita mencari subuah hadis

· Selanjutnya kita melihat salah satu fi’il dari hadis tersebut, misalnya saama

· Kata saama kita lihat di mu’jam hadis ( mu’jam almunfarras )


· Di situ akan tertera potongan hadis yang dimaksud, dan ada simbul perawi, misalnya kha
(bukhari), mim (muslim),dsb.

Misal: kha-iman-32 (berarti kita mencari hadis tersebut pada kitab shahih bukhari pada bab
iman, hadis yang ke 32)

· Setelah kita melihat pada kitab shahih bukhari pada bab iman dan hadis yang ke 32, disitu
tertera hadis yang di maksud dengan sanadnya yang lengkap.

· Setelah itu kita mencari tau biografi perawi secara lengkap ( nama lenkapnya,lahir,
tahun,masa, guru, murid, keterangan perawi, nilai ) satu-persatu dari perawi pada kitab tahzibul-
tahzib atau tahzibul kamal,dsb

· Untuk mengetahui tabaqatnya, kita bisa merujuk ke kitab tarikh al kabir.

BAB XI

INGKAR AS-SUNNAH

A. Pengertian Ingkar sunnah

Terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau
mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa
mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu
tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-
Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam
masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san
dasar syari’at Islam.Menurut Daud Rasyid (2006:207) “ Inkar as-sunnah adalah sebuah sikap
penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun seluruhnya“. Secara bahasa pengertian
hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan
keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat
para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara
pendapat Nurcholis Majid (2008:27) “ Yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran
terhadap hadits Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya “. Nurcholis Majid
membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman
terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam pelaksanaannya
yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits merupakan peraturan tentang apa yang
disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan dalam praktek atau tindakan orang lain yang di
diamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran). Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk
menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits
atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam. Dan menurut Ibid (2007:5) “Inkar as-sunnah
tidak semata-mata penolakan total terhadap sunnah, penolakan terhadap sebagian sunnah pun
termasuk inkar as-sunnah “. Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:

1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.

2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori
kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.

3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.

B. Sejarah Ingkar As-Sunnah

1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik

Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain
(w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya,
tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran
menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan
segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut,
orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau
pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru
muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini
bermunculan kelompok ingkar as-sunnah.

3. Ingkar Sunnah pada Periode Modern

Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal
adalah Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah
kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai
Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara
keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok
ingkar sunnah pada periode klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia
antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan
Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi
Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang).

Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli
maupun aqli untuk menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah
Indonesia. Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87

‫َﻮﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ‬

B. Argumentasi Kelompok Ingkar As-Sunnah

Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun modern memiliki argument-
argumen yang dijadikan landasan mereka. Tanpa argument-argumen itu, pemikiran mereka tidak
berpengaruh apa-apa. Argument mereka antara lain :

1. Agama bersifat konkrit dan pasti Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada
hal yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai hadits, berarti landasan agama itu tidak
pasti. Al-quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti. Sementara apabila agama
islam itu bersumber dari hadits , ia tidak akan memiliki kepastian karena hadits itu bersifat
dhanni (dugaan), dan tidak sampai pada peringkat pasti.

2. Al-Quran sudah lengkap Jika kita berpendapat bahwa al-quran masih memerlukan penjelasan,
berarti kita secara jelas mendustakan al-quran dan kedudukan al-quran yang membahas segala
hal dengan tuntas. Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain,
kecuali al-quran.

3. Al-Quran tidak memerlukan penjelas Al-quran tidak memelukan penjelasan, justru sebaliknya
al-quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Mereka menganggap bahwa al-quran cukup
memberikan penjelasan terhadap segala masalah.

Anda mungkin juga menyukai