PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala
sesuatu yang tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari
segi ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya dan petunjuk dalilnya.
Maka semua itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits
adalah penjelas dari Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang
tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa
pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat islam.
Seiring perkembangan zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin
memalsukan hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu.
Menimbang betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam dan
banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka sebagai umat Islam kita
harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian hadits, kita
harus mempelajari struktur hadits itu sendiri seperti tentang sanad, matan,
perawi dan mukharrij hadits beserta transformasinya. Transformasi hadits
yakni periwayatan hadits dari perawi sampai pada Rasulullah. Ini adalah
cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai sanad, matan, rawi dan
mukharrij, syarat-syarat perawi dan bentuk-bentuk transformasi hadits.
Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih mengetahui secara
mendalam tentang hadits beserta isinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sanad, matan, rawi dan mukharrij?
2. Apa syarat-syarat menjadi seorang perawi?
3. Bagaimana proses trasformasi hadits?
1
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui unsur-unsur hadits
2. Untuk mengetahui syarat-syarat menjadi seorang perawi
3. mengetahui transformasi hadist
2
BAB II
PEMBAHASAN
“ “ مارتفع من االرض
Menurut istilah ahli hadist sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada matan hadist.
Secara terminologis, definisi sanad ialah :
" اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره االول,”هو طرىق المتن
Sanad adalah jalanya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan
(meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. (ajjaj al-khatib,t.t:32)
1
Nawir Yuslem, cit., halaman 148
2
M. Syuhudi Ismail,kaidah keahlian sanad hadits (Jakarta, bulan bintang,1988) halaman 24
3
Sohari Sahroni, Ulumul Hadits (iain smh banten, 2005) halaman 129
3
asnad mempunyai arti yang hamper sama atau berdekatan, berbeda dengan istilah
al-musnad mempunyai beberapa arti : pertama, berarti hadits yang di riwayatkan
dan di sandarkan atau disanadkan kepada seseorang yang membawanya seperti
ibn-syihab az-zuhri, malik bin annas, dan amarah binti abdarrahman ;
kedua,berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadist dengan sistem
penyusunananya berdasarkan nama-nama para sahabat prawi hadits, seperti kitab
musnad ahmad, berarti nama bagi hadits yang memenuhi riteria marfu’(di
sandarkan kepada nabi saw) dan muttasil ( sanadnya bersambung sampai kepada
akhirnya).4isnad adalah :
Atau :
2. Pengertian Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras
dan tinggi ” ’’ما صلب و ارتفع من االرض.kata matan dalam ilmu hadits ialah
4
Utang ranu wijaya, ilmu hadits (Jakarta,raja grafindo persada,1997)halaman 3
5
Ibnu hamzah al-husin al-hanafi al damisyqi,ilmu hadits,(surabaya: kalam mulia,tt hal,v)
6
Munzier suparta, op. cit.halaman 131. H.Muddasir. op,cit. halaman 146
4
penghujung sanad, ada juga yang mengatakan materil atau lafal hadits itu sendiri.
Ssedangkan menurut ath-thibi mendifiinisikanya dengan :
(ajjaj Al-Khotib,t.t.:31)
3. Pengertian rawi
Rowi adalah seseorang yang mengutip hadits sekaligus dengan isnadnya,dia
bisa laki-laki maupun perempuan.7rawi menurut bahasa adalah orang yang
meriwayatkan hadist atau memberitakan hadits.8menurut maslani dan ratu suntiah
(iktisar ulumul Hadits:16) bahwa sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang
tidak dapat di pisahkan.sanad pada tiap thobaqooh-nya,juga di sebut rawi.jika
yang di maksud rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memindahkan hadits.
Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad adalah terletak pda
pembukuan atau pentadwiran hadits.9
Menurut al – hasyim yang di kutipa maslani dan ratu suntiah (ikhtisar
ulumul hadits:17) rawi ialah orang yang menyampaikan dan menuliskan dalam
suatu kitab apa-apa yang telah di denga dari seorang
gurunya.(A.Hasyim,2004:120)
‘’Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaiknaya dengan salah satu
bahasa penyampainya.’’10
Jadi rawi itu ialah orang yang menukil,memindahkan atau menuliskan hadist
dengan sanadnya baik itu laki – laki maupun perempuan. Atau orang yang telah
menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab . menurut ilmu hadits rawi
adalah ‘’orang yang meriwayatkan hadits ‘’. Salah satu cabang dari penelitian terhadap
7
Al-kifayah 97
8
Tadrib al-rowi,halaman 11:bagian rawi halaman 197
9
Ulumul hadist,halaman 108-109
10
Al-manhaj al-hadits bagian rawi hal.5
5
rowi hadist. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negative perawi. Ilmu
inidinamakan dengan istilah ilmu jahr dan ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi
perwi,apakah dapat di percaya, handal,jujur,adil dan tegas atau sebaliknya.
‘’dari abu huraira r.a. berkata rasullullah saw bersabda, ‘’tiada bagian dalam islam bai
orang yang tidak mengerjakan sholat dan tiada sholat bagi orang yang tidak
berwudhu.’’(h.r.bazzar di keluarka oleh imam hakim dari aisha r.a13
11
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Studi Hadits, (Semarang, Pustaka
Rizki Putra, 2009) halaman 37
12
Nuruddin,ulumul hadits, (bandung,rosdakarya,1994)halaman 191
6
ليس يتحسر اهل الجنة اال علي ساعة: قال رسول هللا صلي هللا عليه و سلم:عن معاذ بن جبل رضي هللا قال
(اخرجه الطبرانى و البيهقي رواه احمد و ابن حبان و الحاكم باسناد.مرت بهم لم يذكروا هللا تعالى فيها
)صحيح
Muadz bin jabal r.a rosullullah saw bersabda ‘’ahli surga tidak akan menyesali apapun
(segala sesuatu di dunia ) kecuLI atas waktu yang mereka lalui tanpa dzikrullah
didalamnya ‘’.(dikeluarkan oleh thabrani dan baihaqi diriwayatkatn oleh ahmad , ibnu
hibban,dan hakim dengan sanad yang shahih ).14
B. SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI.
1. Syarat- syarat seorang perawi
a. ‘adl dan jarh
Jahr dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa al –saba’I
memasukan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam ‘’ulum al
hadits’’ .melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan trhadap rawi hadits akan terjadi
kredibillitas. Perawi hadits akan terukr dengan jelas.menginggat ilmu ini sangat
penting,siapaun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini
menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak, layak di jadikan sumber
hukum atau tidak.
‘adl menurut pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang mendorong kita
tetap berlaku taqwa damn memelihara muru’ah.orang yang sepeti ini dinamakan
adil.muru’ah ialah membersihkan dari segala macam perangai yang kurang baik seperi
buang air besar di tengah jalan.menurut ulama hadits adl ialah :
13
Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta,
Pustaka Nabawi,2003), halaman 227
14
Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta,
Pustaka Nabawi,2003), halaman 337
15
Ibid,halaman 55
7
Sedangkan jrh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya mengeluarkan
darah (hasbi, 1981: 2004). Menurut istilah ialah mencela perawi dan menolak
riwayatnya.menurut istilah ilmu hadist jhr adalah :
‘’tampak suara sifat pada perawi yang merussakan keadilannya, hafalanya, karena
gugurlah riwayatnya atau di pandang lemah.’’(ajaj al-khatib, 1986:260),sebagian ulama
hadits mengatakan :
الجرح عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدا لته او ضبطه
‘’menunjukan sifat-sifat cela raei sehingga menggangkat atau mencacatkan adil dan
kedhabitannya’’16
16
Qism al-ruwwat,hal.82
17 17
Lihat Ihya Ulumuddin (Afat AL-Lisan), 3: 148-150; Riyadh ash-Shalihin, 374-375; ar- Rafu
wa at-Takmil karya al-Kunawi dengan catatan kakinya halaman 9-11dan at-tadrib halaman 520
8
seorang rawi bukan hanya saja berakal tetepi baligh pun harus terdapat pada seorang
perawi18.
Yang di maksud dengan seorang rawi yang cermat adalah dia mendengarkan riwayat
sebagaimana mestinya,mampu memehaminya dengan cermat dan seksama, menghafalnya
dengan sempurna, hingga tidak eraguan,mempertahankan semuanya secara utuh mulai
saat mendengar sampai waktu yang menyampaikanya.19
Seorang rawi yang adil harus memilki karakteristik moral baik,muslim telah
baligh,berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang menyebabkan harga dirinya
jatuh dan ia meriwayatkan hadist dalam keadaan sadar. Maka dari itu rawi di tuntut
mengetahui atau menguasai isi itabnya. Jika meriwayatkan hadistnya dari kitab dan juga
ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang di riwaatkan .
perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkotmiment tinggi terhadap urusan
agama,yang bebas dari setiapkefasikan dan dari hal-hal yang dapat merusak
kepribadianya.20 Al-khotib al Baghdadi memberikan definisi tentang adil sebagai berikut
:’’adil adalah yang tahu melaksanakanya yang wajib dan segala yang di perintahkan
kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan,
mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulanya, serta
menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa
yang dapat mempertahankan sifat-sifat tersebut ia bisa disebut bersikap adil terhadap
agamanya, dan hadist-hadits nya di akui kejujuranya.’’21
b. Memiliki pengatahuan bahasa arab
Seorang rawi harus benar- benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam
diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa,mengerti arti
konotasi lafadz dan maksudnya, memahami perbedaan-perbedaandan mampu
menyampikan hadist dengan tepat.
Perawi dalam kondisi tepaksa, lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits
tersebut sangat di perlukan, hal ini di anggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu
hadist, atau engganmeriwayatkan hadits dengn lupa lafadznya sementara nilai pokok
(hukum) yang tekandung dalam hadits tersebut dangat di perlukan ummat islam.
18
Marifah ulum al-hadis lil hukmi hal.62
19
Kifayah hlm.54 pada bab yang menerangkan tentang keabsahan mendengar hadits bagi anak
kecil.
20
At-tadrib 110
21
Bandingkan dengan taudiah al-afkar 2/118
9
Perawi harus menyertakan kalimat-kalimat yang menunjukan bahwa hadist tersebut
diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat ‘’ad kama kola’’
menurut periwayatan hadist dengan cara bi al makna (makna ) diperbolehkan apabila
lafadz hadist tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara
dari kesalahan periwayataan22tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang
langsung mereportase perilaku nabi saw.kebolehan periwayatanya hadis dengan dengan
makna terbatas,pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukukan (tadwin)hadits. Harus dengan lafadz, kedudukan boleh tidaknya
meriwayatkan hadits dengan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada
umumnya sahabat memperbolehkannya tetapi,sebenarnya mereka yang berpegang teguh
pada periwayataan dengan lafadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam
meriwayatkan hadits dengan makna.
c. Sanadnya harus muttsil (bersambung)
Sanad yang muttasil artinya tiap –tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya.
Guru benar –benar mendengardari gurunya. Dan gurunya benar-benar mendengar dari
rosulullah saw.
d. Kuat hafalanya
Adapun yang di maksudkan dengan kuat ingatan atau kokoh ingatan ialah sempurna
ingatanya sejak ia menerima hadits nya itu dan dapat meriwayatkanya setiap saat.
Kekokohan ingatan (kekuatan ingatan )peraw itu di bagi dua :
Kuat ingatanya karena kitabnay terpelihara. Ini dinamakan dhabith al kitab.
Kuat hafalan dan pemahamanya. Ini dinamakan dhabith ash-shadari.
e. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih di percaya.
f. Tidak berrilat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat hadistnya tidak di
terima.
Perawi-perawi yang tidak langsung di tolak riwayatnya dan tidak terus diterima
riwayatnya ialah :
Orang yang dipersilihkan tentang cacatnya dan tentang keadilanya.
Orang yang banyak kesilapan (kesalahan)nya dalam menyalahi imam – imam yang
kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnya.
Orang yang banyak lupa
Orang yang rusak akal diakhir umurnya.
22
T.m. hasbi as-shidiqy…op cit.halaman 13-14
10
Orang yang tidak baik hafalanya.
Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja.
Hukum mencela para perawi menurut Al-Ghazaly dalam Ihya Ulumuddin dan
an-Nawawy dalam Riyadh as-Shalihin dan ulama lain berpendapat mencela
keadaan seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan
apabila karena ada sesuatu kepentingan agama.
Karena teraniaya.
Meminta pertolongan untukmembasmikemungkaran.
Untuk mencela fatwa
Untuk menghindarkan diri dari kejahatan
Orang yang dicacati adalah orang-orang yang terang-terangan berbuat
bid‘ah.
Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya.
a. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5374, menurut Al-
Kirmany 5364.
b. Anas ibn umar, meriwayatkan 2630.
c. Anas ibn malik, meriwayatkan 2276.
11
d. Aisyah istri Rasul SAW meriwayatkan 2210.
e. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660.
f. Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g. Abu sa’id al-khudri meriwayatkan 1170.
h. Abdullah ibn Mas’ud.
i. Abdullah ibn Amribn Ash.
Tahammul wal ada adalah “mengambil atau menerima“ hadits dari salah
seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. 23 Yang dimaksud
dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang
digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya
kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( س ِم ْعت
َ ) “Aku telah
mendengar”; haddatsani ( “ ) َحدَّثَنِيtelah bercerita kepadaku”; dan yang semisal
dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan
baligh.24 Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya,
disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang
baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh,
dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil).
Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang
benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat
23
Afif Djalil, Ulumul Hadits, Diktat STAIN “SMHB” Serang, Tahun 2000
24
Abidin Zinal, Musthalah al-Hadits, Fa Setia Karya, Bandung, t.th.
12
memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar,
itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau
mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-
munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.25 Berikut ini
masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-
masingnya sebagai berikut:
a. Mendengar (Al-Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak
(pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits.
Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang
rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru
meriwayatkan hadits ini kepada kami).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik
guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan
menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulis. Menurut
jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam
pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah
mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami
telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan
bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun
lafadh dengan bahsa arab yaitu : سمعت, حدثني, اخبرني, لنا ذكر, “ لنا قالsami’tu,
haddatsani, akhbarani, dzakara lana, qala lana.”26
b. Membaca (Al-Qira’ah)
Yaitu seorang murid menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam
periwayatannya, bisa seorang murid sendiri yang membacakan haditsnya pada
seorang guru atau gurunya membacakan dan muridnya mendengarkan dengan
25
Saefullah Yusuf dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung, Pustaka Bani
Quraisy,2001) halaman 191
26
M. Ajaj al-Khatib, op.cit. hal. 234. Subhi Shaleh, op. Cit. Hal. 86. MM. Azmi, op.cit. hal. 40
13
baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya.
(aku bacakan hadits ini kepada fulan).
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan
syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca
atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan
dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari
hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain
yang tsiqah. Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada
syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang
benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau
“qaratu ala fulanin” atau “qaraa ala fulanin wa ana asma’, “ حدثناhaddasana”
“ اخبرناakhbarana”27 aku telah membaca kepada fulan atau telah membaca
kepada fulan atau telah dibacakannya kepadanya dan aku mendengar orang
membaca dan menyetujuinya. Lafadh as-Sama’ berikutnya adalah yang terikat
dengan lafadh qira’ah seperti:“ حدثننا قرءة عليhaddasana qira’atan ‘alaih” (ia
menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Naman yang
umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja
tanpa tambahan yang lain.
c. Ijazah (Al-Ijazah)
Ijazah menurut bahasa yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang
lain. Sedangkan menurut istilah ahli hadits ijazah adalah pemberian izin oleh
seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa
membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara
lisan bisa juga dengan cara tertulis. “ حدثنا اجارتنىhaddatsana ijaratana”.28 “aku
berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang
terdapat dalam kitab shahih Al-Bukhari”.
Gambarannya: seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya:
“aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan hadits dariku”. Diantara macam-
macam ijazah adalah:
Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu.
Misalnya dia berkata, “aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”.
27
Syuhudil Ismail, op. Cit. Hal. 59-60
28
Ibid
14
Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan, “aku ijazahkan
semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul.
Seperti dia mengatakan, “aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-
Dimasyqi”. Sedangkan disitu terdapat sejumlah orang yang mempunyai
nama seperti itu.
Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata, “aku ijazahkan
riwayat ini kepada sifulan dan keturunannya”.
Bentuk pertama dari beberapa bentuk diatas diperbolehkan menurut jumhur
ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat
yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain terjadi banyak perselisihan
diantara para ulama, ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafadh yang
dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah
اجاز لفالنajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), حدثنا
اجازةhaddatsana ijaazatan, اجازة اخبرناakhbarana ijaazatan, dan اجازة انبئنا
anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
d. Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua
yaitu:
1. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatnya paling tinggi
diantara macam-macam ijaah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh
memberian kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Ini
riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku
tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk
disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan
tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
2. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan: “ini
adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan
pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan
hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si
15
perawi berkata: “nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa
ijazatan, atau akhbarana munawalatan”.29
e. Menulis (Al-Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa
hadits kepda orang ditempat lain. Kata-kata yang dipakai “seseorang telah
bercerita kepadaku dengan surat menyurat”. Kitabah ada 2 macam:
1. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh, “aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya
sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.
2. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya,tapi tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Disini terdapat perselisihan hukum
meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya
syaikh itu sendiri.
f. Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau
kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan izin untuk
meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
meriwayatkan dengan cara al-I’lam. sebagian membolehkan dan sebagian yang
lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini,
perawi berkata: “A’lamanii syaikhi” (guruku telah memberitahuku).
g. Wasiat (Al-Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan kepada
orang lain. Waktu berlakunya ditentukan oleh orang yang memberi wasiat.
Demikian pula dengan bimbinan dan kewenangannya. “seseorang telah
berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab itu “telah bercerita kepadamu si
fulan”.
Seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam
perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat
seseorang yang diterima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian
29
MM.BAzmi, loc. Cit.
16
ulma. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan:
( اوصا الي فالن بكتابAushaa ilaya fulaanun bi kitaabin) (si fulan telah
mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan
(si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
h. Penentuan (Al-Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini
biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits
orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan dibawah
bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.
30
Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seseorang syaikh
dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan
ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si
perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam
menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, perawi
berkata, “wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si
fulan), atau “qara’tu bi kaththi fulaanin” aku telah membacabuku ini dengan
tulisan si fulan), kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Dari delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan diatas,
yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah: Al-
Sama’, Al-Qira’ah dan Al-Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif,
selebihnya diperselisihkan. Perbedaan dalam menanggapi model periwayatan
ini terjadi disebabkan karena sangat berhatu-hati dalam meriwayatkan hadits.
30
Ibid, hal. 82-83
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits merupakan sumber islam yang kedua setelah al- Qur’an. Didalam
memiliki struktur tertentu, yaitu sanad matan, rawi dan mukharij. Menurut ulama
hadits, definisi sanad ialah:
اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره االول,طرىق المتن هو
Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang
memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. (Ajjaj Al-
Khatib,t.t.:32).
Sedangkan pengertian matan dapat didefinisikan debagai berikut:
الفظ الحديث التى تتقوم ها معانية
Al-Khatib,t.t.:31).
Adapun pengertian rawi adalah:
الراوي من تلقي االحديث واده بصيغة من صيغ االءداء
“Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan
salah satu bahasa penyampayanya”.
Sedangkan untuk mukharij dapat diartikan:
المخرج هو الذي يشتغل بجمع الحديث
“mukharrij atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan)
hadits“.
Didalam meriwayatkan hadits, terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki
oleh seorang perawi, yaitu:
a. ‘Adl dan Jarh.
b. Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab.
c. Sanadnya harus muttasil (bersambung).
d. Kuat hafalannya.
18
e. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat
dipercaya.
f. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak
diterima.
Adapun transformasi hadits dari seorang guru kepada muridnya ada 8
metode, yaitu:
Mendengar (Al Sama’)
Membaca (Al Qira’ah)
Ijazah (Al Ijazah)
Memberi (Munawalah)
Menulis (Al Kitabah)
Pemberitahuan (I’lam)
Wasiat (Al Wasiyah)
Penentuan (Al – Wijadah)
B. Saran
Tim penulis menyadari akan kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan
makalah ini. Untuk itu kritik dan saran dari pembca sangat diperlukan.
19
DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Subhi. 1997. Ulumul Hadits wa Musthalahu. Dar al-Ilmi lil-Malayani: Beirut.
As-Shiddieqy, Hasbi, Muhammad. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka
Rizki Putra: Semarang.
Saefullah, Yusuf dkk.2004. Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.
Sholeh Al-Utsaimi, Muhammad. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Dar Al-Atsar: Mesir.
Smeer, Zeid. 2008.Ulumul Hadits dan Pengantar Studi Hadits. Praktis: UIN Press.
Malang.
http://abuzaidalbadri.wordpress.com/2012/05/02/metode-transformasi-hadits/ html.
http://udink.wordpress.com/tahamul-ada-hadis/. html
http://runa0344.blogspot.com/2011/01/syarat-syarat-seorang-perawi-dan-proses.html
http://khairuddinhsb.blogspot.com/2008/06/syarat-perowi-dan-proses-transformasi.html.
20