Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist
Disusun Oleh :
2.) Isnad
Dari segi bahasa, isnad berarti mengangkat hadist hingga pada orang yang
mengucapkannya. Isnad merupakan bentuk atau proses. Sedangkan sanad adalah keadaannya.
Namun demikian, sebagian dari ahli hadits menyatakan bahwa kata isnad bermakna sama
dengan kata sanad, yakni merupakan jaring periwayatan hadits. Menurut Ibn al-Mubarak,
isnad termasuk bagian dari agama, seandainya tidak ada isnad niscaya orang akan berbicara
sembarang, menurut apa maunya.
3.) Musnid
Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik
mempunyai ilmunya maupun tidak kecuali ia mengisnadkan hadits seorang diri.
4.) Musnad
Adapun musnad adalah materi hadits yang diisnadkan.
D a l a m pengertian istilah, kata musnad mempunyai tiga makna, yaitu:
a) Kitab yang menghimpun hadits sistem periwayatan masing-
masing shahabat, misalnya Musnad Imam Ahmad;
b) Hadits marfu’ yang muttashil sanadnya, maka hadits yang demikian dinamakan
hadits musnad;
c) Bermakna sanad tetapi dalam bentuk Mashdar Mim.
5.) Matan
Secara harfiyah matan berasal dari bahasa Arab matn yang berarti apa saja yang
menonjol dari (permukaan) bumi, berarti juga sesuatu yang tampak jelas, menonjol,
punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas, matnul-ard berarti lapisan
luar/kulit bumi, dan yang berarti kuat/kokoh.
Sedangkan menurut peristilahan Ilmu Hadits, al-Badr bin Jama’ah memberikan
batasan pengertian matan yakni:
a) Matan adalah redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad.
b)Matan adalah kata-kata (redaksi) hadits yang dapat dipahami maknanya.
Matan hadits juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita yang d i o v e r o l e h
sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah
S A W , sahabat ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang p e r b u a t a n
N a b i a t a u p e r b u a t a n s a h a b a t y a n g t i d a k d i s a n g g a h o l e h Nabi SAW.
6.) Rowi
Rawi adalah sebutan untuk orang yang meriwayatkan, menyampaikan, serta
memindahkan suatu hadits kepada orang lain yang menjadi rangkaian berikutnya. Seorang
rawi juga mencatatnya dalam suatu kumpulan hadits dan menyebutkan sanadnya.
Dijelaskan dalam buku Peranan Wanita dalam Periwayatan Hadits karya Amal Qardasy
(2002), perawi hadits diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan, yakni:
a) Perawi hadits dari tingkatan sahabat : Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin Malik, dan
lain-lain.
b) Perawi hadits dari tingkatan tabiin : Umayyah bin Abdullah bin Khalid, Sa’id bin
Al-Musayyab, dan lain-lain.
c) Perawi hadits dari tingkatan mudawwin : Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam An-
Nasa’iy, Imam Ahmad, dan lain-lain.
7.) Al Mukhorrij
ialah ahli hadits yang mengeluarkan hadits-hadits yang berbeda sanadnya dengan
hadits-hadits dari kitab seorang ahli Hadits, tetapi tidak memenuhi standar sanadnya
penyusun kitab itu, seperti Abu Nu’aim mentakhrij hadits-hadits dalam sohih Bukhari dan
Ahmad bin Hamdan mentakhrij hadits-hadits dalam sohih muslim. Hadits– hadits yang
ditakhrij para mukhorrij itu dikumpulkan dalam kitab yang disebut Mustakhraj.
8.) Al Mudain
ialah orang yang mengkodifikasi (menyusun buku) hadits.
9.) Al Thoriq
ialah jalan datangnya hadits dari seorang imam yang mendengarkan atau
mengeluarkan hadits.
10.) Al Muhaddits
ialah orang yang ahli dalam masalah hadits; mengetahui sanad-sanad, ilat-ilat, para
perowi secara lengkap, mana yang rengking atas dan bawah, memahami Kutubut Tis’ah,
Mu’jam al Baihaqi dan Mu’jam at Thabrany. Dan hafal sekurang-kurangnya 1000 hadits
dengan sanadnya. Diantara imam-imamnya antara lain : ‘Atho bin Robah.
11.) Al Hakim
ialah seorang ahli hadits; mengetahui setiap rowi dengan sejarah hidupnya, guru-gurunya
dan sifat-sifatnya yang baik maupun yang tercela. Sekurang-kurangnya dia hafal 300 ribu
hadits dengan sanadnya. Diantara imam-imamnya adalah sebagai berikut :
a. Ibnu Dinar, Wafat 162 H
b. Laits bin Sa’ad wafat 175 H
c. Imam Malik, wafat 179 H d. Imam Syafi’I, wafat 204 H
12.) Al-Hafizh Al-Hafizh
adalah gelar Ulama yang kepakarannya berada diatas Al-Muhaddits, Seorang Hafizh telah
mampu menghafal sejumlah 100.000 Hadist lengkap dengan matan dan sanadnya, serta sifat-
sifat perawinya, baik dari segi jarah maupun ta’dil. Di antara Ulama Hadits yang bergelar Al-
Hafizh adalah:
a. Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaid Allah ibn ‘Abd Allah
ibn Syihab al-Zuhri (w. 136 H)
b. Al-Hafizh ibn Khaitsam, Zubair ibn Harb al-Nasa’I (w. 334 H), Ahli Hadits di
Baghdad.
c. Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad ibn Hibban (w. 354 H) 46
d. Al-Hafizh Abu al-Fadhl, Syihab al-Din Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
e. Al-Hafizh Jalal al-Din as-Suyuthi (w. 911 H), dan lain-lain.
13.) Al Hujjah
ialah gelar bagi orang yang sanggup menghafal 300 ribu hadits beserta sanadnya seperti
al hakim, namun dari segi penguasaannya terhadap ilmu Hadits lebih umum dibandingkan
dengan al Hakim. Diantara Imamnya :
a. Hisyam bin Urwah, wafat 146 H
b. Abu Hudzaid Muhammad bin Walid, 149 H
c. Muhammad Abdullah bin Amr, 242 H
14.) Amirul mu’minin
gelar kholifah bagi para Muhaditsin. Disebut ‘Amirul Mu’minin karena mereka
perintis dalam menyebarkan sunnah Rasulullah saw di jamannya. Diantara para muhadditsin
yang mendapat gelar ini antara lain; Syu’bah, Sufyan at Tsaury, Ishaq ibn Rohawaih, Ahmad
ibn Hanbal, al bukhari, ad Darquthny dan Muslim.
15.) Riwayat
ialah perjalanan hadits atau khobar dari Nabi saw.
Orang yang melakukan kajian secara mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan
pokok-pokok penting bagi ilmu riwayat dan penyampaian berita dijumpai di dalam al-Quran
al-Karim dan Sunnah Nabi. Di dalam al-Quran dijumpai firman Allah Swt:
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ِإْن َج اَء ُك ْم َفاِس ٌق ِبَنَبَأ َفَتَبَّيُن
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti. (TQS. al- Hujurat [49]: 6)
« َنَضَر ُهللا اْمَر َأ َسِمَع ِم َّنا َشْيًئا َفَبْلَغُه َك َم ا َسِمَع ُه َفُرَّب ُمَبِّلُغ َأْو َعى ِم ْن
»سامع
Artinya : Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sesuatu
(berita, yaitu hadits-pen), lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang ia dengar. Dan
mungkin saja orang yang menerima berita itu lebih paham dari orang yang mendengarnya.
(HR. Tirmidzi --dalam kitab al-ilmu-, haditsnya hasan shahih)
ُرَّب حامل فقه َلْيَس بَفقيه» ِإَلى َم ْن ُهَو َأْفَقُه ِم ْنُه َفُرَّب حامل فقه ِإَلى َم ْن ُهَو
Artinya : Dan mungkin saja orang yang membawa berita itu lebih faqih dari orang
yang menerima berita. Dan mungkin pula orang yang membawa berita itu tidak lebih faqih
dari orang yang menerima berita. (HR. Tirmidzi dalam sumber yang sama, namun dikatakan
haditsnya hasan. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Pada ayat dan hadits yang mulia itu terdapat prinsip yang tegas dalam mengambil suatu berita
dan tata cara penerimaannya, dengan cara menyeleksi, mencermati dan mendalaminya
sebelum menyampaikannya kepada yang lain.
Dalam upaya melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasulullah saw, para sahabat ra telah
menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya,
terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita. Berdasarkan hal itu, tampak
nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima atau menolak suatu berita. Di dalam
pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin:
Dikatakan, pada awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah
terjadi peristiwa fitnah maka mereka berkata: 'Sebutkanlah kepada kami orang-orang yang
meriwayatkan hadits kepadamu'. Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah
ahli sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika orang- orang yang meriwayatkan hadits
itu adalah ahli bid'ah, maka mereka tidak mengambil haditsnya.
Berdasarkan hal ini, maka suatu berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanad-
nya. Karena itu muncullah ilmu jarh wa ta'dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara
mengetahui bersambung (muttashil) atau terputus (munqathi')-nya sanad, mengetahui cacat-
cacat yang tersembunyi. Muncul pula ucapan-ucapan (sebagai tambahan dari hadits-pen)
sebagian perawi meskipun sangat sedikit, karena masih sedikitnya para perawi yang tercela
pada masa-masa awal.
Kemudian para ulama dalam bidang itu semakin banyak, hingga muncul berbagai
pembahasan di dalam banyak cabang ilmu yang terkait dengan hadits, baik dari aspek
kedlabithannya, tata cara menerima dan menyampaikannya; pengetahuan tentang hadits-
hadits yang nasikh (menghapus) dari hadits-hadits yang dimansukh (dihapus); pengetahuan
tentang hadits-hadits yang gharib (asing/menyendiri), dan lain-lain. Semua itu masih
disampaikan oleh para ulama secara lisan.
Ļalu, masalah itu semakin berkembang. Lama kelamaan ilmu hadits ini mulai ditulis dan
dibukukan, akan tetapi masih terserak di berbagai tempat di dalam kitab-kitab lain yang
bercampur dengan ilmu- ilmu lain, seperti ilmu-ilmu ushul, fiqih, dan ilmu hadits. Contohnya
kitab ar-Risalah dan al-Umm-nya Imam Syafi'i.
Akhirnya, ilmu-ilmu itu semakin matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah tersendiri
yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Ini terjadi pada abad keempat hijriyah. Para ulama
menyusun ilmu mushthalah dalam kitab tersendiri. Orang yang pertama menyusun kitab
dalam bidang ini adalah Qadli Abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman bin Khalad ar-
Ramahurmuzi (wafat 360 H), yaitu kitab al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa'i.
Saya akan menyebutkan kitab-kitab yang masyhur dalam ilmu mushthalah, sejak awal
penyusunannya hingga saat sekarang.
3. Manfaat Memahami Ilmu Mustalah Hadist
Dari uraian di atas dapat di simpulkan, bahwa Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan. Selain itu,
ada hal yang harus di pahami dalam mempelajari ilmu Hadits, yaitu ditetapkan para Ulama
dalam Ilmu Hadits, seperti : matan, sanad, rawi, dan lain sebagainya. Lalu kita dapat
memahami bagaimana manfaat dari mempelajari ilmu mustalah hadist ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, Jakarta, AMZAH, 2014
Ibnu ˌḤajar Al-‘asqalāni, Bulūgul marām, dar al-kitab al-islami, Beirut Lebanon, tt.,
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadist, Bandung, PUSTAKA SETIA, 2009
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2013.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.
Said Agil Husin Al-Munawwar, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.
Syahudi ismail, Metode Penelitian Sanad Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta, Bulan Bintang 1954