PEMBAHASAN
A. Pengertian Sanad Hadist dan Istilah Yang Terkait
Sanad berasal dari bahasa Arab artinya adalah penyandaran sesuatu pada sesuatu
yang lain sedangkan al-sanad bisa berarti bagian depan atau bawah gunung atau kaki
gunung, karena dialah penyangganya. Adapun kata Isnad dalam hadis berarti kita
bersandar kepada para periwayat untuk mengetahui pernyataan Nabi saw., kadang istilah
Thariq dipakai dalam menggantikan Isnad, kadang pula Istilah Wajh digunakan untuk
maksud yang sama4. Penyandaran suatu hadis kepada perawi, adalah makna yang
bersifat qiyas (analogi)5. Adapula yang mengartikan sanad sama dengan Mu’tamad
berarti terpercaya atau dapat dijadikan pegangan. Sedangkan menurut Istilah ilmu hadis
sanad berarti silsilah periwayat hadis yang menghubungkan kepada matan hadis dari
periwayat terakhir sampai kepada Nabi Muhammad saw.
1. Isnad
Kata isnad adalah bentuk masdar dari kata asnada, yang menurut arti bahasanya
adalah menyadarkan sesuatu kepada yang lain (sama dengan pengertian sanad yang
telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu).7 Sedangkan menurut isltilah dalam
ilmu hadis isnad berarti mengangkat atau menyederhanakan suatu hadis kepada yang
mengatakannya.
2. Musnid
Sedangkan kata musnid adalah isim fa’il dari sanada yang secara bahasa berarti
orang yang menyandarkan, sedangkan secara istilah kata ini berarti orang yang
meriwayatkan suatu hadis yang disertai dengan menyebutkan sanad hadisnya.
3. Musnad
Adapun musnad adalah isim maf’ul yang terbentuk dari kata sanada yang
mempunyai arti secara lughawi sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadis musnad mempunyai tiga pengertian yaitu:
a. Kata musnad berarti kitab hadis yang di dalamnya berisi koleksi hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab yang lain pula.
1
b. Kata musnad juga berarti hadis-hadis yang disebutkan saluruh sanad dan bersambung
sampai kepada Nabi.
c. Para Ulama hadis juga menggunakan musnad dalam arti sanad, ini dapat dipahami
karena musnad merupakan masdar dari sanad,
4. Matan
Pengertian matan secara etimologi yaitu tanah yang tinggi dan keras, sedangkan
menurut istilah matan adalah sebuah kalimat yang terletak setelah berakhirnya sanad
suatu hadits. Sederhanya matan yaitu isi hadits, yang mengandung ungkapan Nabi
Muhammad SAW. Letak matan ini berada setelah penyebutan nama rawinya selesai,
atau sebelum penyebutan ahli haditsnya yang ada di akhir hadits.
5. Rawi
Rawi berarti orang yang meriwayatkan hadis. Ada pula yang mengartikan
bahwa rawi adalah orang yang memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang
lain atau membukukannya ke dalam suatu kitab hadis. Istilah rawi yang pertama
sama dengan sanad, yaitu oarng yan menerima hadis dan menyampaikan kepada
orang lain tanpa membukukannya. Pada pengertian kedua, rawi lebih cepat
disebut mudawwin (orang yang mengumpulkan dan membukukan hadis).
Dalam ilmu hadis, riwayat adalah memindahkan atau menyampaikan suatu hadis dari
seorang sahabat Nabi Muhammad saw. Kepada orang berikutnya. Riwayat juga
berarti membukukan hadis dalam satu kumpulan hadis dengan menyebutkkan sanad-
nya. Rawi pertama suatu hadis adalah sahabat Nabi Muahmmad saw,
sedangkan rawii terahkir adalah orang yang menulis atau mengumpulkannya, seprti
al-Bukhari,Muslim, dan Abu Dawud. Rowi menurut bahasa, adalah orang yang
meriwayatkan hadits dan semacamnya. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan.
2
B. Sanad dan Hubungan Dokumentasi Sanad Hadist
1. Dokumentasi sanad dan hadist
Sebagai salah satu data sejarah yang cukup lama, kitab-kitab hadis merupakan
salah satu dokumen sejarah yang cukup tua. Perjalanan sejarahnya sudah melewati waktu
yang sangat panjang, sejak 14 abad yang lalu kitab-kitab tersebut isinya terpelihara secara
murni dan diwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya secara berkesinambungan
sampai sekarang.
Salah satu keistimewaan atau keunikan hadis dan dokumen sejarah lainnya di
dunia adalah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadis-hadis
tersebut yang disebut sanad dengan ketelitian, semangat kerja yang tinggi dan
profesional, khususnya para penulis kitab hadis, sanad hadis satu persatu
terdokumentasikan secara urut. Hal ini misalnya dapat dilihat pada kitab-kitab al-jami‘ al-
s}ahih karya Bukhary dan Muslim.
Kedua ulama di atas, menuliskan nama-nama sanad hadis masing-masing,
meskipun untuk hadis yang memiliki banyak jalan sanad, seperti pada hadis-hadis
mutawatir dan masyhur. Bagitu juga halnya para ulama lainnya seperti Abu Daud,
Tirmidhy, Nasa’i, Ibn Majah, Malik Ibn Anas, Ahmad Ibn Hanbal, al-Darimy, al-
Daruqut}ny dan al-Hakim. Mereka tidak menulis satu hadis pun yang tidak memiliki
sanadnya secara lengkap, termasuk untuk hadis-hadis yang memiliki jalan sanad yang
berbilang.
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama generasi pasca kodifikasi, berusaha
menyusun nama-nama sanad itu pada kitab-kitab secara khusus, yang dilengkapi dengan
biografi masing-masing. Pada kitab-kitab tersebut tertulis secara terperinci dan lengkap
yang berkaitan dengan riwayat hidup, kualitas, dan kepribadiannya, mulai sanad pertama
sampai yang terakhir. Selain itu, dituliskan pula bagaimana penilaian para ulama sezaman
atau sesudahnya terhadap kualitas mereka, baik yang mengikuti ke-‘adilan maupun
kedabitannya. Diantara kitab yang secara khusus memuat data-data mereka itu ialah Usdu
al-Ghabah fi asma’ Sahabah karya Ibn Athir dan Isabah fitamyiz Sahabah karya Ibn Hajar
al-‘Asqalany (kitab yang khusus memuat biografi sahabat): Mizan al-I‘tidal karya
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Uthman al-Dhahaby dan Tahdhib al-tahdhib karya Ibn Hajar
3
al-‘Asqalany (kitab-kitab yang memuat biografi para sanad hadis pada semua tabaqah
atau tingkatannya).
Berdasarkan sejarah periwayatan hadis, para perawi mulai dari tingkatan sahabat
sampai ulama hadis, masa pembukuan hadis telah melakukan pendokumentasian hadis
melalui hafalan dan tulisan.Bahkan menurut al-A‘zamy, pada tingkatan sahabat
pengumpulan dan pemeliharaan hadis dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Belajar dan menghafal yaitu dengan cara mendengarkan setiap perkataan dari
Nabi secara hati-hati dan menghafalkannya.
2. Belajar Hadis dan mencatatnya yaitu mempelajari hadis dan menyimpannya
dalam bentuk tulisan. Dalam cara ini, yaitu menyimpan dan menyampaikan hadis
dalam bentuk tulisan, terdapat sejumlah sahabat yaitu Ibn ‘Umar, dan lain-lain.
3. Belajar dan mengamalkannya, yaitu para sahabat mempraktikan setiap apa yang
mereka pelajari mengenai hadis, yang diterimanya baik melalui hafalan maupun
tulisan.
4
‘Ard, yaitu bacaan oleh para murid kepada guru. Dalam hal ini para murid atau
seseorang tertentu yang disebut qari’ (pembaca), membacakan catatan hadis di hadapan
gurunya dan selanjutnya yang lain mendengarkan serta membandingkan dengan catatan
mereka atau menyalin dari catatan tersebut.
Ijazah, yaitu memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah hadis
atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dahulu hadis atau buku tersebut dibaca
dihadapannya.
Munawalah, yaitu memberikan kepada seseorang sejumlah hadis tertulis untuk
diriwayatkan/ disebarluaskan, seperti yang dilakukan Zuhry kepada Thaury, al-Auza‘i
dan lainnya. Kitabah, yaitu menuliskan hadis untuk seseorang yang selanjutnya untuk
diriwayatkan kepada orang lain. I‘lam yaitu memberi tahu seseorang tentang kebolehan
untuk meriwayatkan hadis dari buku tertentu berdasarkan atas otoritas ulama tertentu.
Wasiyyat, yaitu seseorang mewasiatkan sebuah buku atau catatan tentang hadis
kepada orang lain yang dipercayainya dan dibolehkannya untuk meriwayatkannya kepada
orang lain.
Wajadah, yaitu mendapatkan buku atau catatan seseorang tentang hadis tanpa
mendapatkan izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan hadis tersebut kepada
orang lain. Dan, cara yang seperti ini tidak dipandang oleh para ulama hadis sebagai cara
untuk menerima atau mempelajari hadis.
Melalui cara-cara di atas, masing-masing sanad hadis secara berkesinambungan,
mulai dari tingkatan sahabat, tabi‘in, tabi‘ al-tabi‘in dan seterusnya sampai terhimpunnya
hadis Nabi dalam kitab-kitab Hadis seperti yang kita jumpai sekarang, telah memelihara
dan menjaga keberadaan dan kemurnian hadis Nabi SAW. Yang merupakan sumber
kedua dari ajaran Islam. Kegiatan pendokumentasian hadis yang dilakukan oleh masing-
masing sanad tersebut diatas, baik melalui hafalan maupun tulisan, telah pula
didokumentsikan oleh para ulama dan para peneliti serta kritikus hadis. Kitab-kitab hadis
yang muktabar dan standar seperti sahih Bukhary, sahih muslim dan lainnya. Didalam
menuliskan hadis juga menuliskan secara urut nama-nama sanad hadis tersebut satu
persatu, mulai dari sanad pertama sampai sanad terakhir.
Kegiatan pendokumentasian hadis yang telah dilakukan oleh para sanad hadis
sebagaimana telah dijelaskan dimuka, merupakan suatu kontribusi besar bagi
5
keterpeliharaan dan kesinambungan ajaran agama Islam yang telah disumbangkan oleh
para sanad hadis.
2. Peranan sanad dalam dokumentasi hadist
6
sisanya yang satu lagi pun, yaitu yang pertama, juga sering berkaitan dengan materi
tertulis. Kedelapan metode tersebut adalah:
1. Sama', yaitu bacaan guru untuk murid-muridnya. Metode ini berwujud dalam
empat bentuk, yakni: bacaan secara lisan, bacaan dari buku, tanya jawab, dan
mendiktekan.
2. 'Ardh, yaitu bacaan oleh para murid kepada guru. Dalam hal ini para murid
atau seseorang tertentu yang disebut Qari', membacakan catatan Hadits di
hadapan gurunya, dan selanjutnya yang lain mendengarkan serta
membandingkan dengan catatan mereka atau menyalin dari catatan tersebut.
3. Ijazah, yaitu memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah Hadits
atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dahulu Hadits atau buku
tersebut dibaca di hadapannya.
4. Munawalah, yaitu memberikan kepada seseorang sejumlah Hadits tertulis untuk
diriwayatkan/disebarluaskan, seperti yang dilakukan oleh Al-Zuhri (w. 124 H)
kepada Al-Tsauri, Al-Auza'i, dan lainnya.
5. Kitabah, yaitu menuliskan Hadits untuk seseorang yang selanjutnya untuk
diriwayatkan kepada orang lain.
6. I'lam, yaitu memberi tahu seseorang tentang kebolehan untuk meriwayatkan
Hadits dari buku tertentu berdasarkan atas otoritas Ulama tertentu.
7. Washiyyat, yaitu seseorang mewasiatkan sebuah buku atau catatan tentang
Hadits kepada orang lain yang dipercayainya dan dibolehkannya untuk
meriwayat-kannya kepada orang lain.
8. Wajadah, yaitu mendapatkan buku atau catatan seseorang tentang Hadits tanpa
mendapatkan izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan Hadits tersebut
kepada orang lain. Dan, cara yang seperti ini tidak dipandang oleh para Ulama
Hadits sebagai cara untuk menerima atau mempelajari Hadits.
7
Nabi SAW, yang merupakan sumber kedua dari ajaran Islam. Kegiatan
pendokumentasian Hadits yang dilakukan oleh masing-masing sanad tersebut di atas,
baik melalui hafalan maupun melalui tulisan, telah pula didokumentasikan oleh para
Ulama dan para peneliti serta kritikus Hadits. Kitab-kitab Hadits yang muktabar dan
standar, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya, di dalam menuliskan
Hadits juga menuliskan secara urut nama-nama sanad Hadits tersebut satu per satu,
mulai dari sanad pertama sampai sanad terakhir.
Kegiatan pendokumentasian Hadits yang telah dilakukan oleh para sanad Hadits
sebagaimana telah dijelaskan di muka, merupakan suatu kontribusi besar bagi
keterpeliharaan dan kesinambungan ajaran agama Islam yang telah disumbangkan
oleh para sanad Hadits
8
hadis adalah bersumber dari Nabi saw. dan dapat dijadikan sebagai sumber ajaran
Islam, sebagai hujjah dan sebagai obyek kajian.
Dengan demikian penelitian hadis harus diarahkan kapada dua obyek penelitian,
yakni penelitian sanad dan matan. Tujuan pokok penelitian hadis, baik penelitian sanad
maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadis dimaksud, hingga dipastikan
status hadis itu shahih (maqbul) atau dhaif (mardud).
Selanjutnya Posisi sanad untuk suatu hadis demikian urgen, hingga suatu berita
sudah dinyatakan sebagai hadis Nabi, namun tidak memiliki sanad, maka ulama hadis
tidak dapat menerimanya. Abdullah ibnu Mubarak mengatakan bahwa: “Sanad hadis
merupakan bagian dari agama. Sekirannya sanad hadis tidak ada, niscya siapa saja
akan bebas mengatakan apa yang dia kehendaki”.
Imam Nawawi dalam mengomentari pernyataan al-Mubarak di atas, menjelaskan
bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis dimaksud berposisi
maqbul dan bila sanad-nya tidak dapat diterima, maka posisinya mardud.
Keadaan dan kualitas sanad harus pertama diperhatikan dan dikaji oleh ulama
hadis dalam melakukan penelitiannya. Apabila sanad hadis itu tidak mencapai kriteria
sebagaimana ditentukan misalnya, tidak adil, maka hadis tersebut langsung ditolak,
dan tidak lagi dilanjutkan penalitiannya. Dan jika sanad hadis tersebut berkategori
shahih, maka selanjutnya hadis dimaksud akan diperiksa kualitas matan-nya.
Untuk penelitian matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan
simantik dan dari segi kandungannya. Sekalipun demikian pendekatan simantik tidak
gampang dilakukan, karena hadis yang sampai kepada mukharrij telah melalui
periwayat yang berbeda generasi, latar belakang budaya dan kecerdasan.
Hal tersebut dapat merobah penggunaan dan pemahaman suatu istilah. Sekali pun
demikian, pendekatan bahasa sangat diperlukan karena bahasa yang dipakai Nabi saw.
dalam menyampaikan hadisnya selalu dalam susunan yang baik dan benar. Selain itu
pendekatan bahasa sangat membantu dalam memahami kandungan petunjuk dari
hadis dimaksud. Sealanjutnya penelitian matan hadis memerlukan pendekatan rasio,
sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Olehnya itu, penelitian terhadap hadis
Nabi saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau
ilmu hadis sebagai bidang studi keahliannya.
9
2. Penelitian para ulama’ tentang sanad dan matan hadist
Dalam dunia ilmu hadis, para sarjana sepakat bahwa hadis tidaklah mempunyai
arti jika tidak memiliki unsur sanad dan matan. Dengan demikian kedua unsur itu
sama pentingnya untuk diteliti. Khususnya pada matan hadis, sebelum dilakukan
penelitian terhadap matan, para pengkaji hadis harus melakukan penelitian atas sanad
hadis terlebih dahulu. Hal ini tak berarti matan lebih baik atau lebih utama dari pada
sanad, melainkan matan barulah berarti jika sudah diketahui kualitas sanadnya. Yang
dalam
hal ini minimal kualitas sanad tersebut adalah dhoif dan tidak termasuk maudu’
sehingga jika digambungkan dengan periwayatan lainnya maka ada kemungkinan
sanad tersebut naik tingkat yang lebih tinggi. Namun jika sudah memasuki kategori
maudhu’ atau matruk maka menurut Mahmud Thahan sanad tersebut sudah tidak bisa
ditolerin lagi.
Untuk menentukan standarisasi kesahihan sebuah matan hadis, Syuhudi Ismail
dalam bukunya menyimpulkan bahwa ada dua unsur utama yang harus diperhatikan
oleh para pengkaji hadis, yaitu hadis tersebut harus terhindar dari unsur syaz
keganjalan dan illah cacat. Namun ternyata dua unsur utama tersebut memiliki
klasifikasi lebih detail lagi yang mana pakar hadis banyak menyebutkannya dalam
karya-karya mereka. Adapun perincian dari dua unsur tersebut ulama berbeda
pendapat perihal kualifikasinya yang mana pemakalah akan paparkan setelah ini.
unsur utama tersebut memiliki klasifikasi lebih detail lagi yang mana pakar hadis
banyak menyebutkannya dalam karya-karya mereka. Adapun perincian dari dua unsur
tersebut ulama berbeda pendapat perihal kualifikasinya yang mana pemakalah akan
paparkan setelah ini.
a. Pada zaman sahabat:
1. Maknanya tidak bertentangan dengan Al-Quran
Contoh: hadist jenazah akan di adzab sebab tangisan keluarganya.
Umar Bin Khotob suatu ketka mendengar Syu’aib karena ia menangisi
salah seorang keluarganya yang telah meninggal. Umar bin Khatab
berkata: “wahai Syua’aib! Apakah kamu akan tetap menangisi
10
keluargamu? Padahl aku sendiri pernah mendengar Rasululloh SAW
berkata. ‘sesungguhnya seorang mayit akan di adzab sebab ditangisi oleh
sebagian keluarganya.’”
Namun Ibnu ‘Abbas berpendapat lain, yang menyebutkan
bahwasannya Umar bin Khatab wafat ia kemudian meminta penjelasan
atas hadist ini, lalu ‘Aisyah merevisi seraya berkata: “semoga Allah
merahmati Umar bin Khatab.” Adapun perihal penjelasan hadist ini
bukanlah seperti yang disebutkan Umar, karena Rasulullah sendiri tidak
pernah berkata jika Allah SWT akan mengadzab mayit sebab ditangisi
oleh keluarganya.
2. Saling tidak bertentangan dengan riwayat hadist yang lainnya
Para sahabat nabi menjadikan al-aqur’an sebagai tolak ukur dalam
melakukan verifikasi keautentikan hadis, namun bukan berarti mereka
menolak hadis nabi sendiri. Nyatanya ada beberapa hadis yang mana
menjadi tolak ukur untuk verifikasi hadis. Hal ini bermula Ketika mereka
mendapatkan suatu narasi hadis dari Nabi Muhammad secara langsung,
namun sebagaimana manusia biasa, dalam beberapa kasus Sebagian
sahabat yang juga khawatir jika terjadi kesalahpahaman dalam memahami
penjelasan nabi dan sebagian mereka juga lemah dalam mengingat. Oleh
karena itu wajar jika mereka meminta verifikasi melalui penjelasan hadis-
hadis lain yang dianggap lebih autentik seperti sabda Rasulullah saw. yang
dimaksud.
3. Bertentangan dengan akal sehat
Contoh hadist diwajibkan membasuh sebelum memasukannya
kedalam wadah. Dalam riwayat Abu Hurairoh dikatan bahwa Nabi
beersabda:” jika kalian bangun tidur maka jangan sekali-kali memasukan
tangan kalian kedalam wadah atau bejana kecuali sudah dibasuh selama
tiga kali”.
b. Menurut ulama’ hadis, fiqh dan ushul
Secara garis besar tolak ukur kritik matan yang dikemukakan ulama’ tidak
seragam, namun terdapat beberapa persamaan tolak ukur sebagai berikut:
11
1. Matan hadist tidak bertentangan dengan al-quran
2. Saling tidak bertentangan dengan riwayat hadist lain yang lebih
mutawatir
3. Tidak bertentangan dengan realita dan fakta-fakta sejrah yang ada
4. Tidak bertentangan dengan ushul syar’iyah (pokok ajaran islam) dan
kaidah-kaidah bahasa arab.
5. Tidak bertentangan dengan amalan yang sudah disepakati ulama’
6. Tidak bertentangandengan akal sehat, indra serta sejrah
7. Susunan pernyataannya memberi petunjuk indikasi-indikasi sabda
kenabian.
c. Analisis pengembangan kaidah kesahihan sanad dan matan hadis
Meskipun telah ditetapkan kaidah khusus sebagai standarisasi validitas
hadis baik sanad maupun matan, akan tetapi secara tersirat memang dalam
meneliti sebuah kualitas hadis, maka sanadlah yang harus diteliti terlebih
dahulu sebelum meneliti matan. Hal ini seperti yang sudah dijelaskan oleh M
Syuhudi Ismail sebelumnya,bahwa jika hasil penelitian sanad terungkap
adanya cacat dengan ktegori parah atau hal-hal yang menjadikan dia tidak
memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan maka otomatis penelitian akan
matan tidak perlu dilakukan sebab tidak ada artinya lagi. Sehingga hal ini
berorientasi terhadap tertolaknya Riwayat hadist tersebut sebagai hujjah.
Pendapat ini mayoritas digunakan oleh ulama’ahli hadist klasik.
Berbeda dengan ulama’ hadist kontemporer, mereka lebih banyak
menggunakan ilmu pengetahuan baru, seputar pendekatan penelitian, rasio,
konteks dan lain sebagainya dalam mengidentifikasi apakah matan hadist itu
sesuai atau tak sesuai dengan kaidah yang ada. Sehingga ada beberpa hadist
yang dinilai shohih, namun dinilai dhoif oleh kritikus hadist kontemporer
Tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa pemakaian akal sebagai tolak ukur
penilaian hadist menjadi acuan utama. Perlu adanya beberapa batasan
terhadap pemakaian akal, ilmu-ilmu pengetahuan baru dsb. Mustafa
‘Azami,salah seorang pakar hadist kontemporer menjelaskan bahwa beberapa
Batasan akan pemakaian akala tau nalar dalam mengkritik suatu hadist yaitu
12
akala tau nalar akan dikalahkan oleh argument berupa saksi periwayatan yang
benar dan jujur. Seperti periwayatan yang sanadnya bersambung semua dari
awal hingga akhir, dan semua rowinya tsiqoh, maka hadist itu dinilai shahih
dan akal tidak bisa menentangnya.
D. Periwayan Hadist dan Matan Hadist
Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis ataual-
riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau
periwayatan. Sesuatu yang di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql danzikir. Artinya
adalah penukilan dan penyebutan. Dalam istilah ilmu hadis,riwayat adalah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadis.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian
menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada
dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima
hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia
tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang
lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul
atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi
bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan.Apabila ia memberi tambahan
penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan
perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta
penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai
berikut:
1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal
dengan rawi (periwayat)
2. Apa yang diriwayatkan
13
3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
4. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal
denganmatan, dan
5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian
hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).Periwayatan secara lafdzi
a. Periwayatn Lafdzi
Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan
lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka
berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad
SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar
periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi.
Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat
berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan
sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan
disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih
senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari
kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu
tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan
dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW.
Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat
kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:
من مسع حديثا فحدث به كما مسع فقد سلم
Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang
memiliki redaksi sebagai berikut:
14
( مسعتSaya mendengar)
Contoh:
ٍد ِذ ٍب ِإ ِذ
َّن َك بًا َعَلَّي َلْيَس َك َك َعَلى َأَح َفَمْن: مسعت رسول اهلل صّلى اهلل عليه وسّلم يقول:عن املغرية قال
)َك َذ َب َعَلَّي ُمَتَعِّم دًا َفْلَيَتَبَّوْأ َم ْق َعَد ُه ِم َن الَّناِر (رواه مسلم وغريه
Contoh:
َح َّد َتىِن َم اِلٌك َعِن اْبِن ِش َه اٍب َعْن َمُحْيِد ْبِن َعْبِد الَّرَمْحِن َعْن َاىِب ُه َرْيَرَة َرِض َي اُهلل َعْنُه َاَّن َرُسْو ُل اِهلل َص َّلى
اَن ِاَمْياًنا ا ِت ا ا ُغِف َل ا َق َّد ِم َذْنِبِه ِه
َو ْح َس ًب َر ُه َم َت َم ْن َمْن َقاَم َرَم َض: اُهلل َعَلْي َوَس َّلَم َقاَل
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin
Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya
yang telah lalu.”
( رأيتSaya melihat)
Contoh:
” رأيت عمربن اخلّطاب رضي اهلل عنه يقّبل احلجر “يعىن األسود:عن عّباس بن ربيع قال
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin
Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar
15
aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak
(pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW.
menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa
para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis.
Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat
dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.
b. Periwayat Ma’nawi
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis
berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh
orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah
hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz
atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama
daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu
kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya
sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi
lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan
makna. Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah
proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna
atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti
maksud dari sesuatu.
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan
ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun
dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan
merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan
makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan
hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat
16
itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam
kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna.
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara
makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’
(wafat 32 H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri
Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan
hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-
Khattab dan Zaid bin Arqam.
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
1. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara
lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad
SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis
maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna
dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
2. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini
membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di
samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan
menulis hadis
3. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan,
menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada
mengingat susunan kata-katanya.
َقْد,َمَعُه ِم َن اْلَم ْه ِر َغْيَر َبْعِض اْلُقْرآِن َفقَاَل َلُه الَّنُّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َوَس َّلَم َاْنَك ْح ُتَك َه ا َمِبا َمَعَك ِم َن اْلُقْرآِن وفىرواية
َلْك ُتَك ا َمِبا َك ِم اْلُقرآِن, َزَّو ُتَك ا َلى َك ِم اْلُقرآِن وفىرواية,َزَّو ُتَك ا َمِبا َك ِم اْلُق آِن وفىرواية
َم َه َمَع َن ْج َه َع َمَع َن ْج َه َمَع َن ْر
)(احلديث
17
Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud
menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan
laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain
dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin)
berupa mengajarkan ayat Alquran. Dalam satu riwayat disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”
18
e. marfu. Yakni, hadits yang jalur periwayatannya dan penyandarannya sampai
kepada Rasulullah SAW.
f. shahih li-dzatihi. Yakni, hadits yang dikualifikasi sebagai sahih bukan karena
pertimbangan ragam jalur periwayatannya, melainkan karena secara intrinsik,
hadits ini sudah terkategori sahih berdasarkan periwayat-periwayat di dalamnya
yang bersifat tsiqat.
g. shahih li-ghairihi. Yakni, hadits hasan yang diriwayatkan dengan berbagai jalur
periwayatan sehingga saling menguatkan dan kemudian menjadi sahih.
h. tadlis.Yakni, keahlian yang dimiliki periwayat hadits yang menisbahkan sebuah
hadits tidak kepada sumbernya langsung. Hal itu dengan pertimbangan bahwa
sumber langsung ini dinilai tidak terkenal atau dhaif. Tadlis dalam tingkatan
tertentu dinilai sebagai bentuk pengaburan periwayatan dan karena itu sebuah
hadits harus ditolak.
i. ushul.Yakni, hadits yang diletakkan secara utuh pada awal bab, kemudian
disertakan mutaba’ah-nya dari jalur periwayatan lain. Menurut beberapa ulama,
hadits yang diletakkan dalam ushul ini biasanya diriwayatkan oleh periwayat-
periwayat tsiqat. Sementara itu, mutaba’ah biasanya diisi oleh periwayat-
periwayat yang berkualitas di bawah tsiqat.
j. shaduq.Yakni, penilaian posisitif yang biasanya disematkan kepada para
periwayat hadits yang kualitas ke-dhabith-annya kurang, tetapi memiliki ke-adl-
an yang bagus dan hadisnya dapat diterima. Namun, istilah ini juga terkadang
digunakan untuk merujuk pada periwayat tsiqat.
k. matruk.Yakni, hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh melakukan
kedustaan.
Laqab adalah merupakan suatu gelar yang di berikan kepada seseorang karena
suatu hal yang berkenaan dengan dirinya. Banyak penulis yang membahas khusus
masalah ini. Seperti Abu Bakar Ahmad bin Abdurrahman asy-Syairazi dan
bukunya mengenai ini sangat bermanfaat. Kemudian Abu al-Fadhl bin al-Falaki
al-Hafizh.
19
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalahan dan menempatkan
suatu laqab kepada yang bukan pemiliknnya. Apabila laqabnya tidak disukai oleh
orangnya, maka para ulama hadis menyebutnya sebagai pengenal dan pembeda
dan bukan sebagai celaan, ejekan maupun olokan. Wallahu al-Muwafiq li ash-
Shawwab.
Al-Hafiz Abdul Ghani bin Said al-Mashri mengemukakan, ada dua orang
mulia yang harus diberikan laqab jelek, yaitu Muawiyah bin Abdul Karim
dengan laqab “Adh-Dhaal” karena dia pernah tersesat di jalanan Makkah dan
Abdullah bin Muhammad dengan laqab adh-Dhaif, karena tubuhnya yang lemah
bukan berkenaan dengan hadisnya.
20
g. Sunaid. Dia adalah al-Husain bin Daud al-Mufsir.
h. Bundar. Dia adalah Muhammad bin Basyar. Disebut demikian karena dia
bundaru al-Hadis.
i. Qaishar. Ini adalah laqab Abu an-Nadhr Hasyim bin a-Qasim guru imam
Ahmad bin Hambal.
j. Al-Akhfasy. Banyak orang yang diberi laqab ini, seperti Ahmad bin Imran
al-Bashri an-Nahwi yang meriwayatkan dari Zaid bin al-Hubab. Ibnu
Shalah mengemukakan, para ahli Nahwu memberi laqab ini kepada tiga
orang terkenal. Diantaranya adalah Abu al-Khattab Abdulhamid bin Abdul
Majid. Dia disebutkan oleh Syibawaih di dalam bukunya yang terkenal.
Kedua. Abu al-Hasan Said bin Mas’adah, di dirwayatkan darinya dalam
buku Syibawaih. ketiga. Abu a-Hasan Ali bin Sulaiman, murid al-Abbas
bin Yahya (Tsa’lab) dan Muhammad bin Yazid (al-Mubarid).
k. Murabba’. Ini adalah laqab Muhammad bin Ibrahim al-Hafizh al-Baghdadi.
l. Jazarah. Dia adalah Shalih bin Muhammad al-Hafizh al-Baghdadi.
m. Kilajah. Dia adalah Muhammad bin Shalah al-Baghdadi.
n. Ma Ghammahu. Dia adalah Ali (bin al-Hasan bin) Abdushamad al-
Baghdadi al-Hafizh. Dia juga dipanggil dengan ‘Allanu Ma Ghammahu.
o. Ubaid al-‘Ijl. Ini adalah laqab Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin
Hatim al-Baghdadi. Menurut Ibnu Shalah, mereka ini adalah para hafiz dari
Baghdad, kesemuanya adaah murid Yahya bin Muayyan dan dialah yang
memberikan mereka laqab-laqab ini.
p. Sajjadah. Dia adalah al-Hasan bin Hammad, salah seorang sahabat Waqi’,
al-Husain bin Ahmad dan Syaikh bin Udaiu.
q. Abdaan. Ini adalah laqab sejumlah orang. Di antaranya adalah Abdullah
bin Utsman, guru Bukhari. Mereka ini adalah yang disebutkan Syaikh Abu
Amru.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22
membukukan Hadits-Hadits tersebut, seperti Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal,
Bukhari, Muslim, dan lainnya, telah menyebabkan terpeliharanya Hadits-Hadits
Nabi SAW sampai ke tangan kita seperti sekarang ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,Ali:https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/4793
Muhamad,Abror:https://sahabatmuslim.id/pengertian-matan-syarat-contoh/
https://media.neliti.com/media/publications/363250-none-.pdf
Admin:https://passinggrade.co.id/pengertian-rawi/
https://123dok.com/article/sanad-dokumentasi-hadis-urgensitas-penyebutan-dalam-periwayatan-
hadis.zw1rnk7q
telaah,santri http://telaahsantri.blogspot.com/2015/06/peranan-sanad-dalam-
pendokumentasian.html
shahr,ramli:https://www.academia.edu/29236161/
PERIWAYATAN_HADIS_SECARA_LAFAZ_DAN_MAKN
https://www.republika.co.id/berita/q6p89o430/10-istilah-dalam-ilmu-hadits-yang-perlu-dikenali
Rizkiyatul,Imtiyas https://media.neliti.com/media/publications/338515-metode-kritik-sanad-dan-
matan-554f48ab.pdf
24
25