Anda di halaman 1dari 19

SANAD – RAWI – MUKHARIJ – MATAN HADIS

A. Pengertian Sanad Hadis


Sanad berasal dari bahasa Arab artinya adalah penyandaran sesuatu pada sesuatu
yang lain sedangkan al-sanad bisa berarti bagian depan atau bawah gunung atau kaki
gunung, karena dialah penyangganya. Dan secara harfiah sanad berarti sandaran atau
pegangan (mu’tamad). Adapun kata Isnad dalam hadis berarti kita bersandar kepada
para periwayat untuk mengetahui pernyataan Nabi saw., kadang istilah Thariq dipakai
dalam menggantikan Isnad, kadang pula Istilah Wajh digunakan untuk maksud yang
sama. Penyandaran suatu hadis kepada perawi, adalah makna yang bersifat qiyas
(analogi). Ada pula yang mengartikan sanad sama dengan Mu’tamad berarti terpercaya
atau dapat dijadikan pegangan.
Sedangkan menurut Istilah ilmu hadis sanad berarti silsilah periwayat hadis yang
menghubungkan kepada matan hadis dari periwayat terakhir sampai kepada Nabi
Muhammad saw. Sedangkan definisi terminologisnya ada dua sebagai berikut:
1. Mata rantai orang-orang yang menyampaikan matan.
2. Jalan penghubung matan, (yang) nama-nama perawinya tersusun.

Istilah yang terkait dengan sanad


Sehubungan dengan istilah sanad yang pengertiannya telah diuraikan di atas, ada
juga istilah-istilah yang terkait erat dengan sanad yang perlu untuk di pahami yaitu,
isnad, musnid dan musnad ketiga istilah tersebut berasal dari kata sanad. Untuk
memperjelas tentang pengertian term-term tersebut, perlu dibahas lebih rinci sebagai
berikut:
1. Kata isnad adalah bentuk masdar dari kata asnada, yang menurut arti bahasanya
adalah menyandarkan sesuatu kepada yang lain (sama dengan pengertian sanad yang
telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu). Sedangkan menurut istilah dalam
ilmu hadis isnad berarti mengangkat atau menyederhanakan suatu hadis kepada yang
mengatakannya.
2. Sedangkan kata musnid adalah isim fa’il dari sanada yang secara bahasa berarti
orang yang menyandarkan, sedangkan secara istilah kata ini berarti orang yang
meriwayatkan suatu hadis yang disertai dengan menyebutkan sanad hadisnya.
3. Adapun musnad adalah isim maf’ul yang terbentuk dari kata sanada yang
mempunyai arti secara lughawi sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadis musnad mempunyai tiga pengertian yaitu:

a. Kata musnad berarti kitab hadis yang di dalamnya berisi koleksi hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab yang lain pula.
b. Kata musnad juga berarti hadis-hadis yang disebutkan seluruh sanad dan
bersambung sampai kepada Nabi.
c. Para Ulama hadis juga menggunakan musnad dalam arti sanad, ini dapat dipahami
karena musnad merupakan masdar dari sanad.

Sejarah Pemakaian Sanad


Sistem periwayatan terhadap suatu berita, cerita, sya’ir dan silsilah sudah sangat
kental dalam budaya Arab jauh sebelum Islam datang, bangsa Arab mempergunakan
sistem periwayatan berantai (sanad), terhadap berita, cerita, sya’ir dan silsilah mereka

1
miliki yang dihafalkan dan diwariskan secara turun temurun, mereka menghafal apa
yang menjadi kebanggaannya itu di luar kepala, khususnya tentang nasab mereka, dan
dalam hal ini bangsa arab memang terkenal akan kekuatan hafalannya.
Sistem periwayatan yang terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam
memiliki perbedaan yang cukup prinsip, begitu juga halnya sistem periwayatan yang
sudah terjadi pada masyarakat yahudi dan Nasrani. Terutama pada hal periwayatan
kitab suci mereka. Tradisi periwayatan dalam masyarakat Arab sebelum Islam
atau pada masa jahiliah tidak mementingkan kebenaran berita dari apa yang
mereka terima. Sehingga mereka tidak kritis terhadap siapa yang membawa berita
itu. Tidak mementingkan kejujuran dan kebenaran yang disampaikan apalagi
terhadap penelusuran berita yang diterimanya, karena kebanyakan apa yang
mereka riwayatkan itu hanya hal-hal yang bersifat kesenangan, kebanggaan dan
juga untuk membakar semangat dalam berperang.
Namun urgensi metode sanad baru tampak dan lebih penting dalam Islam
khususnya periwayatan hadis, sehingga begitu berkembang sisitem sanad ini, Ibnu
Mubarak mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan bagian dari Agama Islam.
Ajaran Islam sendiri yang memotivasi umatnya untuk mencari kebenaran,
pahala dan menghias diri dengan kejujuran dan mencari kepastian terhadap apa yang
didengar dan diriwayatkan oleh seseorang, misalnya firman Allah swt.: Q.S al-Hujurat
ayat 6.

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
Dan Q.S. al-Israa’ ayat 36.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.
Sistem yang membedakan periwayatan sanad dalam Islam dengan sebelum
Islam, adalah ancaman Nabi yang sangat berat terhadap orang-orang yang berdusta atas
nama Nabi, sehingga menjadikan para sahabat dalam meriwayatkan hadis Nabi sangat
hati-hati. Ancaman tersebut misalnya: HR. Muslim

2
Dari Abu Hurairah ra. Berkata, bersabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa
berdusta atas diriku secara sengaja, hendaklah dia bersiap-siap menempati tempatnya
di neraka, (HR. Muslim)

Berbekal dengan budaya yang sudah ada dan sikap mental yang dibangun oleh
Nabi Saw., Ketika Nabi masih hidup para sahabat tanpa ada dinding pemisah antara
mereka semua. Nabi bercampur dengan mereka itu di Mesjid, di pasar, dalam perjalanan
dan dalam perhentian. Perbuatan dan perkataan nabi selalu menjadi pusat perhatian dan
kekaguman mereka. Sebab Rasulullah saw., merupakan pusat keagamaan dan kedunian
mereka sejak Allah memberi petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan dari
kesesatan dan kegelapan menuju hidayah dan cahaya.
Pada masa Nabi penggunaan sanad itu masih sederhana, namun menjelang akhir
abad I H., telah berkembang hingga Syu’bah selalu memperhatikan apa yang diucapkan
gurunya Qatada (w. 177 H.) apabila dalam meriwayatkan hadis Qatada mengatakan,
haddatsanaa maka Syu’bah mencatat hadisnya, apabila Qatadah berkata Qaala (dia
berkata), maka Syu’bah diam dan tidak mencatatnya, hal ini dilakukan karena sangat
hati-hati dalam menerima riwayat hadis itu. Penggunaan sanad dalam periwayatan hadis
menjadi penting karena hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam yang tentu
keasliannya harus dijaga antara lain dengan menjaga kevalidan sanad itu sendiri.

B. Rawi
Rawi adalah unsur pokok ketiga dari sebuah hadits. Kata "Rawi" atau "ar-Rawi" berarti
orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-Hadis). Antara sanad dan
rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan.

Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap tabaqah-nya juga disebut rawi. Sehigga yang
dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan, menerima dan memindahkan
hadis.

C. Mukhrij atau Mukharij Hadis


Makna harfiah kata mukharrij yang berasal dari kata kharraja adalah orang yang
mengeluarkan. Makna tersebut juga bisa didatangkan dari kata akhraja dengan isin
fa’ilnya mukhrij. Menurut para ahli hadis, yang dimaksud dengan mukharrij adalah
sebagai berikut: (Mukhrij atau mukharrij: orang yang berperan dalam pengumpulan
hadis). Dapat juga didefinisikan Mukharrijul Hadis adalah orang yang menyebutkan
perawi hadis. Istilah ini berbeda dengan al-muhdits/al-muhaddits yang memiliki
keahlian tentang proses perjalanan hadis serta banyak mengetahui nama-nama perawi,
matann-matan dengan jalur-jalur periwayatannya, dan kelemahan hadis.
Siapapun dapat disebut sebagai mukharrij ketika ia menginformasikan
sebuah hadis baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan menyertakan sanadnya
secara lengkap sebagai bukti yang dapat dipertanggnung jawabkan tentang kesejarahan
transmisi hadis. Yang pasti, mukharrij merupakan perwi terakhir (orang yang terakhir
kali menginformasikan ) dalam silsilah mata rantai sanad.

3
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan mukharrij
atau mukhrij adalah perawi hadis (rawi), atau orang-orang yang telah berhasil menyusun
kitab berupa kumpulan hadis, seperti al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, dsb. Dalam
contoh hadis di atas al-Bukhari adalah seorang mukharrij / mukhrij / rawi bagi sebuah
hadis.
Setiap orang yang bergelut dalam bidang hadis dapat digolongkan menjadi
beberapa tingkatan antara lain sebagai berikut:
1. Al-Talib; adalah orang yang sedang belajar hadis.
2. Al-Muhadditsun; adalah orang yang mendalami dan menganalisis hadis dari
segi riwayah dan dirayah.
3. Al-Hafidz; adalah orang yang hafal minimal 100.000 hadis.
4. Al-Hujjah; adalah orang yang hafal minimal 300.000 hadis.
5. Al-Hakim; adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan
hadis secara keseluruhan baik ilmu maupun mushthalahul hadis.
6. Amirul Mu’minin fil hadis; ini adalah tingkatan yang paling tinngi.
Menurut syeikh Fathuddin bin Sayyid al-Naas, al-muhaddits pada zaman
sekarang adalah orang yang bergelut/sibuk mempelajari hadis baik riwayah maupun
dirayah, mengkombinasikan perawinya dengan mempelajari para perawi yang semasa
dengan perawi lain sampai mendalam, sehingga ia mampu mengetahui guru dan
gurunya guru perawi sampai seterusnya.

D. Matan
Secara harfiyah matan berasal dari bahasa Arab “matnun” yang berarti apa saja
yang menonjol dari (permukaan) bumi, berarti juga sesuatu yang tampak jelas,
menonjol, punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas, matnul-
ard berarti lapisan luar/kulit bumi, dan yang berarti kuat/kokoh.
Sedangkan menurut peristilahan Ilmu Hadis, al-Badr bin Jama’ah memberikan
batasan pengertian matan yakni:
1. Matan adalah redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad.
2. Matan adalah kata-kata (redaksi) hadis yang dapat dipahami maknanya.
Matan hadis juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita
yang disampaikan oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah
SAW, sahabat ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi atau
perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi SAW.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan adalah redaksi atau teks bagi
hadis. Dari contoh sebelumnya makamatan hadis bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadis ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan, matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis
lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan

4
selanjutnya dengan ayat dalam al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang atau
tidak).
Selama sejarah kehadisan, konsep ajaran yang dibawa oleh Rasul hampir
semuanya dinarasikan/dibahasakan kembali oleh para sahabat dengan Fashahah dan
skill kebahasaan mereka masing-masing, tak terkecuali hadis qauli yang selanjutnya
diteruskan oleh generasi sesudahnya dengan kapasitas yang beragam dan sangat
personal. Sehingga dapat dimaklumi jika lafazh yang merumuskan konsep
ajaran tersebut banyak memiliki redaksi yang berbeda-beda
sebagaimana terdokumentasikan dalam berbagai kitab koleksi dan kadang
lafazhnya tidak fasih. Seperti itulah riwayah bil-ma’na. Sehingga merupakan kesalahan
yang fatal jika seseorang mengkulturkan lafadh matan dan menganggapnya sakral.
Karena hadis sangatlah berbeda dengan al-Qur’an yang qath’iyyuts-tsubut sebagaimana
telah dijanjikan oleh Allah dalam surat al-Hijr ayat 9 tentang keterjaminan otentisitas al-
Qur’an baik dari segi teks maupun substansi doktrinalnya.
Tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadis senantiasa berada pada
ujung terakhir setelah penyebutan sanad. Kebijakan peletakan itu menunjuk fungsi
sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadis dari nara
sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media pertanggungjawaban
ilmiah bagi asal-usul fakta kesejarahan teks hadis.

5
Contoh Hadis :

‫ال َح َّدثَيِن أَبُو ََجْ َرةَ َح َّدثَنَا َز ْه َد ُم بْ ُن‬ ٍ ‫ح َّدثَنَا مس َّدد َعن ََْيَي ب ين سعي‬
َ َ‫يد َع ْن ُش ْعبَةَ ق‬ َ ْ َ ْ َُ َ
َ َ‫اَّللُ َعلَْي يه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫ي َُيَ ييد‬
ٍْ‫ص‬ ‫ال َيَسع ُ ي‬ ٍ ‫ض يير‬
‫ال‬ َ ‫َّب‬‫ث َع ْن الني يي‬ َ ‫ت ع ْم َرا َن بْ َن ُح‬ ْ َ َ‫ب ق‬ َ ‫ُم‬
‫ال يع ْم َرا ُن ََل أَ ْد يري ذَ َك َر ثيْن تَ ْ ي‬
‫ي أ َْو‬ َ َ‫وَنُ ْم ق‬
َ ُ‫ين يَل‬ ‫ي‬
َ ‫وَنُ ْم ُُثَّ الَّذ‬
َ ُ‫ين يَل‬ ‫ي‬
َ ‫ْيُك ْم قَ ْريِن ُُثَّ الَّذ‬ ُ ْ ‫َخ‬
‫ثَََل اًث بَ ْع َد قَ ْرني يه ُُثَّ َيَييءُ قَ ْوم يَنْ يذ ُرو َن َوََل يَ ُفو َن َوَيُونُو َن َوََل يُ ْؤََتَنُو َن َويَ ْش َه ُدو َن َوََل‬
‫ي‬ ‫ي‬
‫ رواه البخارى‬. ‫الس َم ُن‬ ‫يُ ْستَ ْش َه ُدو َن َويَظ َْه ُر في يه ْم ي‬

Telah menceritakan kepada kami Musaddad dari Yahya bin Sa'id dari
Syu'bah mengatakan, Telah menceritakan kepadaku Abu Jamrah telah
menceritakan kepada kami Zahdam bin Mudharrib mengatakan, aku
mendengar Imran bin Hushain menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda; "Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian
generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya." -Imran berkata; 'Aku
tidak tahu penyebutan dua atau tiga kali setelah generasi beliau', -
"kemudian datang suatu kaum yang mereka bernadzar namun tidak mereka
penuhi, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bersaksi
padahal tidak di minta menjadi saksi, dan nampak tanda mereka adalah
kegemukan." (HR. Al-Bukhori ).

Berdasarkan Hadis di atas tentukan :


1. Sanad hadis : Musadad, Yahya bin Sa’id, Syu’bah, Abu Jamrah, Zahdam
bin Mudharrib, Imran bin Hushain, dan Bukhori.
2. Rawi hadis : Bukhori, Musadad, Yahya bin Sa’id, Syu’bah, Abu Jamrah,
Zahdam bin Mudharrib, dan Imran bin Hushain.
3. Rawi atau sanad pertama : Imran bin Hushain.
4. Rawi atau sanad ketiga : Abu Jamrah
5. Rawi atau sanad terakhir atau mukharrij hadis : Bukhori
6. Matan Hadis : “Aku tidak tahu penyebutan dua atau tiga kali setelah
generasi beliau', - "kemudian datang suatu kaum yang mereka bernadzar
namun tidak mereka penuhi, mereka berkhianat dan tidak dapat
dipercaya, mereka bersaksi padahal tidak di minta menjadi saksi, dan
nampak tanda mereka adalah kegemukan."

E. Kedudukan Sanad dan Matan Hadis


Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting karena hadis yang
diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad
suatu periwayatan hadis, dapat diketahui hadis yang dapat diterima atau ditolak dan
hadis yang shahih atau tidak shahih untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang
mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.

6
Para ahli hadis sangat berhati-hati dalm menerima suatu hadis, kecuali apabila
mengenal dari siapa perawi hadis tersebut menerima hadis tersebut dan sumber yang
disebutkan benar-benar dapat dipercaya.
Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., periwayatan hadis diawasi secara hati-
hati dan suatu hadis tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang
lain. Ali tidak menerima hadis sebelum orang itu disumpah.
Perhatian sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghafal sanad-sanad itu dan
mereka mempunyai daya ingat yang luar biasa. Maka terpeliharalah sunnah Rasul dari
tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta.
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang
dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW dengan bersambung-sambung para
perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah, khususnya orang Islam.

Test :

Tentukan :
1. Sanad hadis :
2. Rawi hadis :
3. Rawi atau sanad pertama :
4. Rawi atau sanad ketiga :
5. Rawi atau sanad kelima :
6. Rawi atau sanad terakhir
7. Mukhrij atau Mukharrij hadis :
8. Matan Hadis :

7
EKSISTENSI SANAD DALAM HADIS

Zulheldi
Fakultas Tarbiyah IAIN Bonjol Padang.
Jl. Kampus IAIN Imam Bonjol Lubuk Lintah, Padang 25153
e-mail: zulheldi@yahoo.co.id

Abstract: The Existence of Chain of Transmitters of Prophetic


Tradition. The chain of transmitters (sanad) plays an important role not only in
determining the qualification of prophetic tradition but also in Islamic studies in
general. In addition, scholars of hadîth have regarded chain of transmitters as
citadel and mace of Muslim society. The author argues that the existence of sanad
distinguishes Islamic community from other religious groups in reconstructing
the authenticity of the teaching of the Islam. It is for this reason that scholars of
hadîth have invested a great deal of efforts and serious study on sanad until they
were finally capable of formulating a general theory that shall become guidelines
in the study of prophetic tradition. This paper is an attempt to discuss the
historical origin of sanad criticism as well as analyze the extent to which this
theory contributes to verifying the authenticity of Islamic precepts.

Kata Kunci: sanad, matn, shahîh, hadis maudhu‘

Pendahuluan
Secara umum, pengajaran hadis pada masa Nabi Muhammad SAW. dan beberapa
periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat berusaha
semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan, dan taqrîr rasul dalam memori
mereka. Banyak informasi yang menegaskan bahwa hanya sebagian kecil sahabat yang
membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al-
Qur’an merupakan alasan paling asasi dari realitas ini, karena ketika itu al-Qur’an belum
dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah hadis yang disampaikan secara lisan oleh
nabi menyampaikan materi pelajaran yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak
hadir-sebagaimana pesan rasulullah-juga secara lisan.
Metode pengajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak hanya
menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang menjadi
sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh al-hadîts akan
mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengar atau melihat hadis yang
163
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format transmisi hadis dengan
menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara mendapatkannya tersebut menjadi
tradisi dalam beberapa generasi.
Tulisan ini akan mendiskusikan seberapa besar nilai dan peran sanad dalam sebuah
hadis. Apakah deretan nama sebelum matan ini benar-benar dapat mengukuhkan isi
pesan rasul? Atau, apakah seperti persepsi sebagian orang awam, hanya sekedar pamer
ranji ala Arab yang tidak ada manfaatnya? Bahkan, mungkinkah keberadaan sanad itu
hanya mengganggu, karena sementara awam sangat kesulitan menemukan pesan inti
dari hadis tersebut?

Pengertian Sanad
Secara bahasa, sanad ( ) berarti “sesuatu yang dijadikan pegangan”,
“sesuatu yang tinggi dari bumi dan yang menghadang di gunung.” Kata ini juga berarti
“tempat sandaran,” karena memang kata sanada, fi‘il mâdhi-nya, berarti “bertelekan” atau
“bersandar.”1 Sedangkan menurut istilah, sanad berarti jalan matan ( ), yaitu
rangkaian nama-nama perawi yang menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau
rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan ( ).2
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, istilah sanad digunakan dalam hal ini karena orang
yang memiliki sanad senantiasa menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan
matan kepada sumbernya, atau para huffâzh selalu berpedoman kepada sanad dalam
menilai apakah sebuah hadis itu shahîh atau dha’îf. Dengan demikian, dalam hal ini
sanad benar-benar menjadi tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas
matan hadis.3
Ulama hadis juga menggunakan istilah isnâd ( ) untuk menyebutkan
rangkaian periwayat ini. Dengan kata lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad
dengan isnâd. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan mereka .
Kadang-kadang, untuk maksud yang sama, kata asnâd dalam ungkapan di atas diganti
dengan asânîd.4 Dalam tulisan ini, sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad
dan isnâd juga dipakai untuk pengertian yang sama.

1
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Musthalâhuh (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1975), h. 32; Mahmud Thahhan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd (Riyâdh: Maktabah
al-Ma’ârif, 1412/1991), h. 138; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 181.
2
Ibid.; Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî (Riyâdh: Jamî’ah al-
Riyâdh, 1396), h. 391.
3
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 33.
4
Ibid.; Ahmad al-’Utsmani al-Tahanawî, Qawâ’id fî ‘Ulûm al-Hadîts, ed. ‘Abd al-Fattah al-
Ghaddad (Beirût: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, t.t.), h. 26; Akram Dhiya’ al-’Umarî,
Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirût: Basath, 1984), h. 47.

164
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Urgensi Sanad
Dalam wacana urgensi sanad hadis, akan ditemukan cukup banyak qaul ulama
yang dapat dijadikan referensi. Dari ungkapan mereka terlihat jelas bahwa keberadaan
sanad merupakan suatu keniscayaan. ‘Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H/797 M) pernah
mengatakan sebuah ungkapan yang sangat populer dalam khazanah ilmu hadis bahwa
sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad, maka siapa saja akan bebas
mengatakan apa yang dikehendakinya ( ).5
Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) juga pernah mengatakan “Sesungguhnya
pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau
mengambil agamamu itu ( ).6
Statemen kedua ulama tersebut mengukuhkan bahwa sanad menempati posisi sangat
vital. Sanad inheren dengan ajaran Islam karena hadis merupakan sumber kedua ajarannya,
dan hitam-putih sanad berpengaruh secara langsung pada pilar kedua bangunan Islam itu.
Maka tidaklah keliru jika ‘Alî bin Madinî (w. 234 H) mengatakan 7
(mengetahui
rijâl atau sanad merupakan setengah dari ilmu [agama]). Sanad juga benteng dan kebanggaan
umat Islam yang membuat mereka berani menegakkan kepala ketika berhadapan dengan
umat lain. Ia adalah senjata umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Sufyan al-
Tsaurî (w. 161 H/772 M) 8
(isnâd
adalah senjata umat Islam. Apabila seorang mukmin tidak mempunyai senjata, maka
siapa saja akan mudah untuk membunuhnya).
Sanad melindungi umat Islam dari ketergelinciran dan serangan musuh yang tidak
diduga. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad bahwa perumpamaan orang
yang menuntut ilmu agama tanpa sanad sama halnya dengan orang yang menaiki tempat
yang tinggi tanpa menggunakan tangga.9 Syâfi’î (w. 204 H/812 M) juga mengingatkan,
“Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang
membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat
ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut.” 10
Beberapa nilai lebih sanad, sebagaimana disebutkan di atas, membuat sanad
menjadi pembeda umat Islam dari umat lainnya. Sanad merupakan suatu potensi

5
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 412; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn
bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matn (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984), h. 155; al-’Umarî,
Buhûts fî Târîkh, h. 53.
6
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh; Muhammad
Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah (Azhâr: Majmâ’
al-Turâts, 1969), h. 37.
7
Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 47.
8
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 54.
9
Ibid., h. 155.
10
Ibid.

165
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

kekuatan Islam yang tidak dapat ditandingi oleh umat lainnya. Dengan adanya sanad,
secara umum, ajaran Islam dapat steril dari segala macam bentuk perubahan, infiltrasi
dan pemutarbalikkan. Sedangkan di pihak lain, ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul
selain dari Muhammad tidak memiliki imunitas semacam itu. Abû Hatim al-Radzî (w.
227 H) mengatakan, “Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam as. diciptakan yang
memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para rasulnya selain dari
umat Islam ini.” Muhammad bin Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, “Sesungguhnya
Allah SWT. telah memuliakan dan melebihkan umat Islam dengan isnâd.”11
Secara lebih lugas Ibn Taimiyyah yang menyatakan, “Ilmu sanad dan riwayat
adalah sesuatu yang dikhususkan Allah bagi umat Nabi Muhammad. Itulah yang akan
membuat mereka selamat. Adapun ahli Kitab, mereka tidak memiliki sanad yang akan
digunakan untuk meriwayatkan al-manqûlât (hadis-hadis) mereka. Orang-orang di luar
Islam memiliki akidah dan pandangan yang salah, karena mereka tidak memiliki sanad
yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Mereka berkata tanpa dalil dan meriwayatkan
tanpa sanad.12 Abû Muhammad ‘Alî bin Hazm turut menegaskan hal yang sama. Beliau
berkata “Penukilan suatu hadis oleh seorang yang tsiqah dari yang tsiqah lainnya sampai
kepada Rasul hanya ada pada umat Islam, tidak terdapat di kalangan selainnya. Pondasi
asasi Islam dan syari’ah serta segala yang terkait dengan semua itu menjadi kokoh karena
dinukilkan dengan menggunakan sanad.”13
Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa sanad merupakan
karakteristik khusus umat Muhammad ini. Sebaliknya, kelemahan pokok dari umat-umat
selain Islam adalah tidak adanya tradisi penggunaan sanad di kalangan mereka. Hal ini men-
jadikan ajaran-ajaran yang ada pada mereka tidak bisa dipertanggung-jawabkan sampai
pada tingkatan yang meyakinkan bahwa semua itu benar-benar diajarkan oleh rasul mereka.

Penggunaan Sanad
Awal Penggunaan Sanad dalam Hadis
Menurut keterangan dari Mushthafa Muhammad ‘Azamî, sanad telah digunakan
secara insidental dalam sejumlah literatur pra-Islam dengan makna yang tidak jelas.
Sanad juga dipakai secara luas dalam periwayatan syair-syair pada zaman Jahiliyah.
Akan tetapi, sama keadaannya dengan persoalan di atas, tidak ditemukan keterangan
lebih lanjut tentang realitas tersebut.14

11
Ibid., h. 162.
12
Ibid., h. 162-163.
13
Ibid., h. 163.
14
Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indiana:
American Truth Publication, 1977), h. 32; Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995), h. 97.
166
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Tradisi sanad dalam Islam telah ada sejak zaman rasul. Seperti digambarkan di
atas, ketika seorang sahabat mengajarkan atau menyampaikan sebuah hadis kepada
sahabat lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis itu dipelajarinya sampai kepada Rasul
sendiri. Sahabat menjelaskan apakah dia menerima langsung atau tidak, lengkap dengan
cara penerimaannya. Menurut Imâm al-Nawâwî (w. 676 H/1277 M), seringkali dalam
rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat, dan ada juga
dalam sanad yang lain terdapat empat orang tabi’în.15
Dalam hal ini, al-Nawâwî ingin menegaskan bahwa sahabat dan tabi’în sangat
jujur dan mementingkan deskripsi sanad secara utuh, tanpa adanya rasa rendah diri
dan takut dilecehkan. Sahabat yang berguru kepada tiga sahabat lain secara bertingkat,
sebenarnya “berpeluang” mengklaim bahwa dia menerima langsung dari nabi karena
sezaman dan sering bertemu. Begitu juga dengan tabi’în yang melewati tiga tabi’în
lainnya. Namun hal itu tidak mereka lakukan. Kejujuran ilmiah semacam ini, akhirnya,
tidak menggerogoti nilai hadis, tapi memberikan nilai tambah.
Bahkan, menurut Imâm Suyuthî (849-911 H/1445-1505 M), karena tingginya
perhatian sahabat terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari
tabi’în karena tabi’în tersebut telah menerima suatu hadis dari sahabat lain yang
mendengarkannya langsung dari Nabi. 16
Untuk memastikan sebuah sanad, para muhadditsîn pernah melakukan perjalanan panjang,
walau hanya untuk satu sanad hadis saja. Jabîr bin ‘Abd-Allâh (w. 78 H/697 M) pernah
melakukan rihlah dari Mekah ke Mesir untuk menanyakan sanad hadis “‫ ﻣﻦ ﺳﺘﺮ ﻣﺆﻣﻨــﺎ‬...”
kepada ‘Uqbah bin ‘Amîr. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Sa’id bin Musayyab (w.
94 H/712 M), sebagaimana diungkapkannya sendiri, “Saya pernah berjalan siang malam
untuk mencari sanad sebuah hadis.”17
Adapun mereka yang ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga
memberikan informasi yang benar. Dia tidak akan mengajarkan suatu hadis yang diketahuinya
memiliki cacat (‘ illat) pada sanad-nya kepada orang lain, atau mau mengajarkan tetapi
dilengkapi dengan penjelasan sebenarnya tentang realitas sanad hadis tersebut. Hal itu
seperti yang dilakukan oleh Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H), di mana dia menjelaskan
dengan terus terang bahwa di dalam sanad yang dimilikinya terdapat pemalsuan (tadlîs),
ketika dia ditanya tentang hal itu oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H).18
Mushthafa Siba’î menunjuk tahun 40 Hijrah sebagai batas pemisah antara kemurnian

15
Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh
wa Ittijâhâtuh (Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981), h. 36-37; Abû Husain Muslim ibn Hajjaj
ibn Muslim al-Qusyairî, Shahîh Muslim (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924), h. 83-85.
16
Al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah, h. 37.
17
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 156.
18
Ibid., h. 157.

167
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

hadis dengan pemalsuannya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat
Islam, antara ‘Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/661 M) dengan Mu’awiyah bin Abî Sufyan (60
H/680 M).19 Ketika itu, orang menjadi sangat kritis terhadap sanad sebuah ungkapan yang
dikatakan sebagai hadis. Realitas seperti itu dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin
Sirin bahwa “Pada mulanya umat Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad. Namun,
setelah terjadi fitnah, jika menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan
rijâl-mu (orang-orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!.” Hadis itu akan diterima
jika rijâl-nya adalah ahl al-sunnah dan akan ditolak jika rijâl adalah ahl al-bidâ’.20 Setelah
terjadi peperangan Shiffin, mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau mulai
mempertanyakan secara ketat guru-guru hadisnya dan menelitinya dengan cermat.
Di penghujung abad pertama hijrah, ilmu sanad (dalam arti mencermati sanad hadis
dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian lebih. Syu’bah
bin al-Hajjaj (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir Qatadah (w. 117 H) untuk
bisa membedakan apakah Qatadah mendapatkan hadis itu lewat tangan pertama atau
kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa al-‘dâ’ yang digunakannya.21
Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang “meributkan” masalah ini, tetapi juga pernah
seorang Arab Badui (A’râbî) menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada
Sufyan bin ‘Uyainah (w. 194 H).22
Dalam iklim lain, studi sanad hadis di kalangan sementara orientalis lebih diarahkan
kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sanad. Mereka terkesan menyembunyikan
kenyataan dan tidak mengakui bahwa sanad sudah mulai diberlakukan sejak zaman
rasul. Dengan demikian, mereka “berkesimpulan” bahwa sanad baru mulai dipakai sekitar
setengah abad setelah kematian Rasulullah. Tendensi mereka dalam hal ini bisa ditebak.
Logika yang ingin mereka kemukakan adalah kalau di masa nabi dan khalîfah al-râsyidîn
belum digunakan sanad dalam meriwayatkan hadis nabi, berarti bangunan ajaran Islam
didirikan di atas fondasi yang sangat rapuh. Jika hal ini dibenarkan, maka untuk
meruntuhkan bangunan Islam itu hanyalah menjadi persoalan waktu.
Seorang orientalis yang bernama Caetani, misalnya, mengatakan bahwa penggunaan
sanad baru dimulai antara masa ‘Urwah bin Zubair (w. 94 H/ 712 M) dengan Ibn Ishaq
(w. 151 H/ 768 M). Dia menambahkan bahwa sebagian sanad yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis hanyalah hasil kreasi ulama hadis abad kedua dan ketiga Hijrah.

19
Muhammad Mushthafa al-Siba’î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî (Beirût:
Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75.
20
Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; ‘Abd al-Majid Mahmud, Amtsâl al-Hadîts wa
Taqdîmat fî ‘Ulûm al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Turâts, 1975), h. 25; al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn,
h. 152-153; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 49.
21
‘Azamî, Hadis Nabawi; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 48.
22
Ibid., h. 54.

168
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Pendapat yang tidak memiliki dasar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
ini didukung oleh seorang orientalis lainnya, Sprenger. 23
Di lain pihak, orientalis Horovitz berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa sanad
sudah mulai dipakai pada penggal ketiga abad pertama Hijrah (sekitar tahun 70-an Hijrah).
Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja sanad sudah mulai digunakan
pada pertengahan abad pertama Hijrah. Puncak dari kekeliruan kajian sanad dari orientalis
ini terlihat dari pendapat Josept Schacht yang mengusung teori the projecting back. Menurutnya,
sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang belakangan dengan mencoba
mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu.24
Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Mushthafa ‘Azamî25
mengatakan bahwa kesalahan besar mereka berasal dari kesalahan metodologi yang
mereka gunakan, suatu ironi terjadi di kalangan sarjana Barat yang mengklaim diri
mereka sebagai pelopor studi ilmiah. Kesalahan mereka itu, menurut ‘Azami, adalah
meneliti sanad hadis dari objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab
sejarah, biografi dan fiqih yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis nabi. Mereka
tidak melakukan studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.

Beberapa Usaha dalam Studi Sanad


Para ulama hadis telah melakukan upaya yang relatif maksimal dalam mengkoreksi
dan mengkritik setiap ungkapan yang dikatakan sebagai hadis Nabi, baik dari segi sanad
ataupun matan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh keberanian, keikhlasan dan
tanggungjawab.
Muhadditsîn abad kedua Hijrah sangat selektif dalam menerima hadis, di antaranya
Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H/ 742 M), Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 125 H/ 741 M), Hisyam bin
‘Urwah (w. 146 H) dan al-A’masî (w. 147 H). Mereka selalu kritis dalam memandang sanad
hadis, apakah ittishâl (bersambung) sampai kepada Nabi dan di dalamnya terdapat orang-
orang yang berkompeten.26 Begitu juga dengan ‘Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H) yang
sangat kritis ketika Abû Ishaq Ibrâhîm bin ‘Isya al-Thalaqanî yang menyampaikan hadis
tentang shalat dan puasa yang dilakukan oleh seorang anak untuk kedua orang tuanya.27
Keseriusan ulama abad kedua Hijrah ini terhadap studi sanad dapat dibuktikan
dengan munculnya kitab-kitab musnad (jamaknya al-masânîd) di awal abad itu. Kitab-
kitab tersebut yang masih dapat dijumpai pada masa sekarang, di antaranya, musnad

23
‘Azamî, Hadis Nabawi, h. 532; Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis, h. 99.
24
Ibid., h. 533; Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis, h. 100.
25
Ibid., h. 582.
26
Ibid., h. 583.
27
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153-155.

169
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Ma’mar bin Rasyîd (w. 152 H) dan musnad al-Tayalisî (w. 204 H), yang dijadikan salah
satu pegangan penulis kitab kutub al-sittah yang ditulis pada abad ketiga Hijrah. Begitu
juga dengan kitab musnad al-Humaidî (w. 219 H), musnad Ahmad bin Hanbâl (w. 241 H)
dan musnad Abû Ya’la al-Maushilî (w. 307 H).28
Muhadditsîn menganalisa sanad, di antaranya, dengan cara membandingkan
beragam versi sanad, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat, apakah sanad hadis
yang bersangkutan dapat diterima atau tidak. Mereka menyusun kaedah penelitian sanad
yang bisa dibuktikan keilmiahannya, membuat klasifikasi sanad dari segi diterima atau
ditolaknya, dan membuat istilah-istilah khusus untuk memudahkan dalam upaya
identifikasi sanad. Ulama hadis juga mengelompokkan para periwayat menjadi ahl al-
sunnah (orang yang riwayatnya dapat diterima) dan ahl al-bidâ’ (orang yang, secara
umum, riwayatnya harus ditolak).
Ulama hadis memutlakkan adanya kebersambungan sanad (ittishâl al-sanad) sebagai
salah satu syarat hadis shahîh,29 sekalipun terdapat berbagai pandangan tentang kriteria sanad
yang disebut dengan ittishâl tersebut. Menurut Imâm Bukharî (194-256 H/810-870 M),
sanad dapat dikatakan bersambung jika seorang periwayat dengan periwayat lain yang
dekat dengannya terbukti hidup dalam satu zaman (mu’âsharah) dan pernah bertemu
walaupun hanya satu kali. Sementara menurut Imâm Muslim (206-261 H/821-875 M),
menurut kesimpulan beberapa ulama hadis yang mengkaji kitab Muslim, menekankan
pada mu’âsharah-nya saja, sedangkan pertemuannya tidak mesti dapat dibuktikan. 30
Untuk membuktikan bersambung-tidaknya sanad, ulama hadis harus mengkaji
dengan tekun biografi setiap periwayat. Mereka juga melakukan kajian yang mendalam
terhadap lafal-lafal yang digunakan untuk menghubungkan seorang periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat (seperti haddatsanâ, ‘an akhbaranâ dan sebagainya).
Pendeknya, ulama hadis mengkaji sanad dari berbagai dimensi sehingga setiap
kebohongan, sampai kepada hal-hal kecil sekalipun, dapat terdeteksi dan diangkat ke
permukaan. Seperti yang dituturkan oleh al-Tsaurî (w. 161 H/772 M) bahwa “Jika seorang
periwayat berbohong, maka kita akan mengujinya dengan menggunakan pendekatan
historis” ( ).31 Maksudnya, jika seorang periwayat
mengatakan bahwa dia berguru kepada seseorang dan menerima hadis darinya, maka
hal itu harus dibuktikan dengan hasil kajian sejarah-otentik. Dari kajian historis terhadap
keduanya (mengenai biografi, siapa saja guru dan murid, penilaian orang-orang yang

28
Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 56.
29
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.
30
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 108; ‘Abd al-Mun’im al-Nimr,
Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Wasalat Ilainâ (Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987), h. 102.
31
Jamila Syaukat, Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah,
vol. VI, h. 20.
170
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

hidup pada masa itu dan sebagainya) akan dapat dibuktikan apakah di antara keduanya
memang pernah terdapat relasi guru-murid.
Melihat besarnya usaha ulama dalam melakukan studi sanad, sangatlah beralasan apa
yang diungkapkan oleh Muhammad Mushthafa ‘Azamî, “Kitab-kitab hadis yang ditemui
sekarang selalu siap untuk diperiksa, dikoreksi dan diteliti kembali sepanjang hal itu memenuhi
kriteria ilmiah dan objektif, bukan dimotivasi oleh rasa kebencian dan bermodalkan
ketidaktahuan.”32 Ini merupakan tantangan bagi setiap orang yang meragukan validitas hadis.

Pengaruh Kualitas Sanad terhadap Nilai Hadis


Ijma’ di kalangan ulama hadis, seperti ditulis Muhammad Luqmân al-Salafî,33 bahwa
sanad sangat penting artinya bagi sebuah hadis. Tidak mungkin adanya matan tanpa
sebuah sanad, sebagaimana tidak mungkin adanya sebuah bangunan tanpa fondasi
atau jasad yang hidup tanpa roh. Urgensi sanad terhadap hadis sama dengan pentingnya
nasab bagi seseorang. Sanad sangat berperan dalam menentukan nilai sebuah hadis.
Pernyataan yang sama dikemukakan oleh al-A’masî, Syu’bah dan Bahz bin Asad. 34
Sanad menjadikan ukuran yang sangat menentukan dalam menerima dan menolak
sebuah hadis. Hadis tersebut akan diterima jika rijâl-nya adalah orang-orang yang tsiqah.
Menurut Imâm al-Nawawî bahwa “Jika sanad suatu hadis berkualitas shahîh maka hadis
itu dapat diterima. Akan tetapi, jika sanad hadis tersebut tidak shahîh maka hadis itu ditolak.”35
Secara logika, lemahnya sanad suatu hadis belumlah menjadikan hadis tersebut
secara absolut tidak berasal dari Rasulullah. Hanya saja, sanad yang tidak shahîh dari
sebuah hadis tidak dapat memberikan bukti yang meyakinkan bahwa hadis itu memang
benar-benar berasal dari Rasul. Karena hadis merupakan salah satu dasar yang pokok
dari ajaran Islam, maka dia mesti steril dari segala macam bentuk keraguan, termasuk
ketidakyakinan seperti ini. Jadi, hadis yang sanad-nya tidak shahîh ditolak karena dia
diragukan berasal dari Rasul.
Dengan demikian, sanad hadis yang dapat diterima itu adalah yang muttashil
(bersambung), bukanlah sanad yang tergolong sebagai munqathi’ (terputus atau adanya
mata rantai yang hilang) dengan segala ragamnya. Sanad hadis yang diterima harus
terdiri atas orang-orang yang benar-benar terbukti keamanahannya dan ketangguhan
intelektualnya (al-‘adl wa al-dhabth atau tsiqah). Mereka bukanlah orang-orang yang
majhûl (tidak jelas) dan matrûk (ditinggalkan).

32
‘Azamî, Hadis Nabawi.
33
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn., h. 157.
34
Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 53-54.
35
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, h. 88; Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 24.

171
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Sanad dan Hadis Maudhû’


Sesuai dengan makna bahasa, yaitu sandaran, pegangan, referensi, pengaman
dan benteng, sanad merupakan pengayom matan hadis. Eksistensi matan, apakah
diterima atau ditolak, sangat tergantung pada kualitas dan kemampuan sanad dalam
mempertahankan, melindungi dan membentenginya. Apalagi, jika sebuah matan tidak
memiliki sanad, maka keberadaannya tidak bisa dipertahankan, atau matan itu harus
ditolak dan disingkirkan dari perbendaharaan hadis.
Sebagai sebuah benteng, sanad sangat berperan melindungi hadis nabi dari segala
macam bentuk serangan. Sebuah ilustrasi yang bagus dikemukakan oleh Imâm al-Syafi’î,
seperti dikemukakan pada bagian terdahulu. Pada intinya, menurut Syafi’ î, jika tidak
ada sanad maka akan terbuka peluang yang sangat besar untuk menyerang dan
memporak-porandakan hadis Nabi. Karena, tanpa sanad, hadis telah mengidap cacat
internal yang sangat fatal, sewaktu-waktu bisa menjatuhkan hadis itu sendiri sekalipun
tanpa serangan yang berarti dari luar. Dalam bahasa Syafi’î bahwa “(bahaya itu) seperti
seekor ular ganas yang berada dalam ikatan kayu bakar yang dibawa oleh seorang
petani. Ular itu telah bersiap-siap mematoknya, sedang petani itu tidak menyadarinya.”36
Hadis maudhû’ merupakan salah “korban radikalisasi” muhadditsîn dalam
penerapan uji-sanad. Berbagai penipuan dan pemalsuan yang terdapat di dalam “hadis”
tersebut dapat dibongkar karena sanad yang membentenginya sangat rapuh. Maka
“hadis-hadis” itu berguguran satu demi satu dalam umur yang tidak panjang. Kriteria
kritik sanad yang tidak mengenal kompromi merupakan salah satu tembok penghalang
yang sukar ditembus oleh “hadis-hadis” ini.
Dengan mengetatkan penggunaan sanad (dalam arti mempertanyakan keabsahan
sanad secara tajam), ternyata sangat efektif dalam meredam gerakan pemalsuan hadis.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahwa salah satu usaha
untuk membela sunnah dari pemalsuannya adalah dengan memperketat penggunaan
sanad. Sahabat, tabi’în dan generasi setelah mereka sangat menuntut eksistensi sanad
dari seseorang yang mengajarkan hadis kepadanya, dan mereka selalu menggunakan
sanad dalam mengajarkan hadis kepada orang lain. 37
Memang benar bahwa bukanlah kritik sanad satu-satunya instrumen untuk mengetahui
hadis palsu, tetapi bisa juga dengan kritik matan. Sekalipun demikian, kontribusi kritik
sanad sangatlah signifikan dalam membongkar gerakan makar terhadap hadis nabi
tersebut. Salah satu bukti sahihnya adalah bahwa kritik sanad diterapkan pertama kalinya
dengan ketat sebagai reaksi keras atas munculnya hadis-hadis palsu pada masa itu.
Dari studi sanad akan dapat diketahui orang-orang yang menciptakan jalur sanad sendiri

36
Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155.
37
Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.

172
Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

untuk dipasangkan pada “matan hadis” yang diciptakannya. Dan juga, dari studi ini akan
diketahui lebih lengkap keadaan seorang perawi, berkenaan dengan siapa saja guru dan
muridnya, kemana saja dia melakukan rihlat al-hadîts, berapa banyak hadis yang diriwayat-
kannya beserta kualitas masing-masingnya, terutama kualitas sanad dan sebagainya. Dengan
adanya data yang relatif lengkap ini, maka akan sangat membantu menanggapi setiap
informasi tentang perawi yang diketahui itu dan akan segera terdeteksi manakala nama
seorang perawi terkenal dipasang seenaknya pada sebuah jalur ‘sanad’ imajinatifnya.

Penutup
Sanad memiliki peran vital dan menentukan dalam sebuah hadis nabi. Dalam
kaitan ini, al-Nawâwî memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Katanya bahwa
“hubungan hadis dengan sanad-nya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.” 38 Hal
itulah yang menyebabkan ulama hadis, sejak zaman rasul, terlihat sangat concern
terhadap sanad. Mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bidang ini.
Hasil kerja mereka itulah, di antaranya, yang membuat bangunan ajaran Islam tetap
berdiri kokoh hingga hari ini.
Formulasi metodologi kritik sanad telah sampai pada tahap yang meyakinkan dan,
meminjam istilah ‘Azami, tahan banting. Perjalanan intelektualisme Islam, terutama
kajian ilmu hadis dan sejarah, telah membuktikan kesahihan formulasi tersebut. Realitas
tersebut semakin menjustifikasi dan mengukuhkan peran sentral sanad dalam hadis
dan membuktikan kecemerlangan kultur distribusi informasi bertuan (menyebutkan
sumbernya) yang dimiliki masyarakat Islam awal.
Adalah sebuah anti-klimaks petualangan intelektual Barat (baca: orientalis) ketika
mereka memasuki ranah sanad, terutama tentang masa awal penggunaannya.
Kesimpulan kajian mereka “memaksa” penulis menyimpulkan bahwa mereka memiliki
keawaman, bahkan niat yang tidak terpuji, terhadap Islam. Dengan mengatakan bahwa
pada masa rasul dan khalifah yang empat belum dipergunakan sanad, berarti mereka
sedang mencoba menggoyang bangunan ajaran Islam, karena sanad merupakan salah
satu nyawa dari fondasinya. Namun, nampaknya mereka kekurangan bukti yang dapat
mendukung berbagai kesimpulan tersebut. Bahkan, berbagai kajian kontemporer
membuktikan adanya something wrong pada metodologi yang digunakan.

Pustaka Acuan
Abû Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah.
Kairo: Majmâ’ al-Turâts, 1969.

38
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim; Ismail, Metodologi.
173
MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî. Riyâdh: Jamî’ah al-Riyâdh,


1396 H.
‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. Indiana:
American Truth Publication, 1977.
‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Ya’cub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Musthalâhuh. Beirût: Dâr al-
Fikr, 1975.
Mahmûd, ’Abd al-Majîd. Amtsâl al-Hadîts wa Taqdîmat fî ‘Ulûm al-Hadîts. Kairo: Dâr al-
Turâts, 1975.
Al-Muthalib, Rif’at Fauzî ‘Abd. Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh wa
Ittijâhâtuh. Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981.
Al-Nimr, ‘Abd al-Mun’im. Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Washalat Ilainâ. Beirût: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyyah, 1987.
Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Kairo: Mathba’ah
al-Mishriyyah, 1924.
Al-Salafî, Muhammad Luqman. Ihtijâj al-Muhadditsîn bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matan.
Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984.
Al-Siba’î, Mushthafa. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî. Beirût: Maktab al-
Islâmî, 1978.
Syaukat, Jamila. Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah, no.
14, vol. VI, 1995.
Al-Tahanawî, Ahmad al-‘Utsmanî. Qawâ’id fî ‘Ulûm al-Hadîts, ed. ‘Abd al-Fattah al-
Ghaddad. Beirût: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, t.t.
Thahhan, Mahmûd. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, 1991.
Al-‘Umarî, Akram Diya’. Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4. Beirût: Basath, 1984.
Ya’cub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

174

Anda mungkin juga menyukai