Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadis merupakan segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan (iqrar) dan persetujuan
dari Nabi Muhammad Saw yang dijadikan pegangan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadis juga
merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an.

Suatu hadis bisa dikatakan menjadi hadis Shahih, Hasan, ataupun Dha’if karena beberapa
alasan. Suatu hadis bisa terangkat derajatnya dari Hasan menjadi Shahih apabila syarat-syarat hadis
shahih itu telah terpenuhi, begitu juga hadis yang semula diyakini Shahih namun bisa saja kemudian
hadis tersebut ternyata masuk kategori hadis Hasan jika ditemukan keganjalan dalam hadis itu baik
berupa sanadnya maupun matannya. Atau bisa saja suatu hadis disebut Hasan-Shahih dengan
beberapa persyaratan.

Inilah yang penulis coba bahas dalam makalah ini supaya memudahkan dalam memahami
suatu hadis yang ditemui di lingkungan masyarakat setempat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Yang Dimaksud Musytarak antara Shahih Hasan dan Dhaif?

2. Jelaskan Macam-Macam Musytarak antara Shahih Hasan dan Dhaif?

C. TUJUAN

1. Menjelaskan Definisi Musytarak antara Shahih, Hasan dan Dha’if secara terperinci

2. Menjelaskan Macam-Macam Musytarak antara Shahih, Hasan dan Dha’if secara global.
BAB II

PEMBAHASAN

A. MUSYTARAK ANTARA SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF

Musytarak dalam bahasa Arab disebut dengan kompromis. Kompromis menurut Kamus
Ilmiah Populer adalah penyelesaian perselisihan dimana pihak yang terlibat saling mengurangi
tuntutannya agar tercapai suatu titik penyelesaian(damai). Menurut kamus Kontemporer Arab-
Indonesia, musytarak artinya kebersamaan atau hubungan timbal balik . Jadi, musytarak adalah
sebuah solusi dari upaya untuk mencari jalan tengah (damai) terhadap suatu persoalan dengan tetap
menyertakan kepentingan diantara pihak-pihak yang berselisih secara adil.

Menurut Zulkarnain al-Maidaniy, hadis kompromis atau hadis-hadis yang musytarak antara
shahih, hasan dan dha’if merupakan suatu terminology bagi hadis, yakni jenis-jenis hadis menurut
terminology ulama yang bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dha’if.

Jadi, hadis-hadis yang kompromis antara shahih, hasan dan dha’if’ sebagai kondisi hadis yang
memungkinkan untuk memasukkannya ke dalam suatu kategori dari ketiga kategori hadis di atas,
atau sebuah sistem penilaian tentang status hadis, bagaimana ia menjadi shahih, hasan dan dha’if,
serta bagaimana pula syarat-syaratnya.
B. MACAM-MACAM MUSYTARAK ANTARA SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF

1. Hadits Marfu’, Muttashil dan Musnad

a) Hadits Marfu’

Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari fi’il rafa’a kebalikan dari kata Wadla’a, dinamakan
demikian karena dinisbatkan kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi, yaitu Nabi SAW.
Sedangkan menurut istilah hadits marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Secara
khusus, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik muttashil maupun munqathi’ karena
gugurnya seorang sahabat atau lainnya dari sanadnya.

Marfu’ terbagi dua, yaitu:

1) Tashrihan, yaitu isinya terang-terangan menunjukkan kepada marfu’.

2) Hukman, yaitu isinya tidak terang-terangan menunjukkan kepada marfu’ tetapi dihukumkan
marfu’ karena bersandar kepada beberapa tanda.

Beberapa kalimat yang berhubungan dengan pembicaraan marfu’.

Ø Jika diriwayatkan satu hadits dari seorang shahabi, tetapi tabi’i yang menceritakannya berkata: “ ia
merafa’kannya (kepada Nabi Saw) atau ia menyandarkannya (kepada Nabi saw) atau ia
meriwayatkan (dari Nabi Saw) atau ia sampaikannya (kepada Nabi Saw) atau dengan meriwayatkan
(sampai Nabi Saw).

Ø Jika seorang shahabi berkata:” telah berlalu sunnah, atau menurut sunnah, atau kami berbuat
demikian di zaman Nabi Saw, atau kami berbuat demikian padahal Rasulullah Saw masih hidup.

Ø Kalau di akhir sanad ada sebutan:” keadaannya dimarfu’kan.

b) Hadits Muttashil (Maushul)

Hadits muttashil adalah hadits yang bersambung sanadnya, sama saja apakah marfu’ kepada
Nabi Saw atau sekedar mauquf kepada sahabat atau orang yang dibawahnya.

c) Hadits Musnad

Hadits musnad adalah hadits yang sanadnya bersambung,baik persambungan itu sampai
kepada Nabi ataupun sampai kepada Sahabat. Musnad tidak sama dengan marfu’, dengan alasan
bahwa dalam marfu’ ada kemungkinan inqitha’, karena penekanannya pada matan saja. Berbeda
dengan musnad yang berkumpul di dalamnya dua syarat, yaitu ittishal dan rafa’ (penekanan pada
sanad dan matan), maka dapat dikatakan bahwa setiap musnad adalah muttashil, karena ittishalnya
sanad dari awal hingga akhir, dan musnad juga dikatakan marfu’ karena berakhirnya matan sampai
kepada Nabi Saw.
2. Hadits Mu’an’an, Mu’annan dan Mu’allaq

a) Hadits Mu’an’an

Al-Mu’an’an menurut bahasa adalah hadits yang diriwayatkan dengan memakai ‘an (dari).
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits adalah “ Hadits yang diriwayatkan dengan memakai
perkataan ‘an fulanin (dari si fulan) dengan tidak disebut perkataan “ haddatsana” (ia menceritakan)
atau “akhbarana” ( dia mengkhabarkan kepada kami) atau “sami’na” (kami mendengar).

Bukhari dan Ibnu al-Madini memandang hadits mu’an’an sebagai muttashil apabila orang
yang “an” itu ada bertemu atau mungkin bertemu dengan orang yang menceritakan kepadanya
serta dia bukan orang yang mudallis. Sedangkan Muslim mensyaratkan hanya semasa saja.

b) Hadits Mu’annan

Menurut bahasa : hadits yang memakai perkataan “anna” (bahwasanya) ditengah sanadnya.
Menurut istilah ilmu hadits adalah “ Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan “anna”.

Hadits Mu’annan ini, disamakan hukumnya atau syaratnya dengan hadits Mu’an’an diatas
yaitu mungkin dan bukan termasuk rawi yang mudallas. An-Nawawi dalam taqribnya mengatakan
bahwa di masanya telah banyak orang mempergunakan “an”, buat menerima dengan jalan ijazah,
sedang “anna” dipakai buat orang yang menerima dengan mendengarnya sendiri.

c) Hadits Mu’allaq

Dalam istilah ilmu hadits adalah: “ Hadits yang pada awal sanadnya terbuang satu perawi
atau lebih secara berturut-turut, dan hadits itu dinisbatkan kepada perawi diatas perawi yang
terbuang.”

Hadits muallaq ini banyak terdapat dalam shahih Bukhari yang terbagi dalam dua bagian:

1) hadits tersebut ditempat lain berstatus muttashil, ini dimaksudkan untuk meringkas agar
jangan terlalu panjang.

2) Hadits tersebut memang berstatus muallaq, hanya beliau meriwayatkannya dengan shighat
jazm (redaksi pasti) seperti qala, pa’ala, amara dan rawa. Komentar an-Nawawi untuk kasus seperti
ini, maka hadis tersebut adalah shahih.

3. Hadits Al-fard Al-Gharib

Secara bahasa : yang jauh dari negerinya, yang asing, yang ajaib, yang luar biasa, yang jauh
untuk dipaham. Dalam istilah Ahli Hadits, ialah “ Suatu Hadits yang diriwayatkan hanya dengan satu
sanad.”
Bagian Gharib.

a) Pada sanad saja

Apabila matan satu hadits diriwayatkan oleh “beberapa” sahabat, tetapi seorang rawi
bersendiri menceritakannya dari “seorang” shahabi lainnya.

b) Pada Sanad dan Matan secara bersama-sama.

Yaitu satu hadits yang hanya mempunyai satu sanad saja, sedangkan matannya tidak orang
lain lagi yang meriwayatkannya. Gharib juga biasa dinamakan dengan Fard. Fard terbagi dua, yaitu:
· al-Fardu al-Muthlaq.

Jika “seorang” tabi’i bersendiri meriwayatkan suatu hadits dari seorang sahabat, sekalipun sesudah
tabi’i tersebut sanadnya tetap gharib atau banyak orang yang menceritaknnya.

· al-Fardu al-Nisbi.

Jika “lebih dari seorang” tabi’i menceritakan satu hadits dari seorang sahabat, lalu ada seorang rawi
bersendiri dari salah seorang mereka dalam meriwayatkan hadits itu.

4. Hadits Ahad

Hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak
mencapai derajat masyhur, apalagi mutawattir. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah Ilmu
Hadis:

‫هو ما ال ينتهي الى التواتر‬


“Hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat Mutawatir”

Sifat atau tingkatan hadis ini adalah "zhanniy", dan tidak bersifat “qath’i” .

Dari segi kualitas penerimaan (maqbul atau mardud), sebelumnya para ulama membagi
hadis Ahad ini menjadi dua macam, yakni hadis Shahih dan hadis Dha'if. Namun Imam At Turmudzi
lah yang kemudian membagi hadis Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu dengan disertakannya hadis
Hasan sebagai kategori hadis selain Shahih dan Dha’if. Namun, berdasarkan jumlah perawi, hadis
ahad ini terbagi ke dalam 3 pembagian: 1. Ahad Masyhur. 2. Ahad ‘Aziz. 3. Ahad Gharib.

A. Pembagian Hadis Ahad berdasarkan jumlah perawinya;

1) Hadis Ahad Masyhur atau Mustafidah

Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer . Karena
sudah tersebar ke berbagai daerah. Batasan jumlah rawi hadis masyhur pada setiap tingkatan tidak
kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi
hadis mutawatir.

Contoh hadis masyhur (mustafidah) adalah sebagai berikut: “ Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.”
(Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “

Hadis di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-
imam yang membukukan hadis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan
oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.

2) Hadis Ahad ‘Aziz

‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadis ‘aziz
menurut bahasa berarti hadis yang mulia atau hadis yang kuat atau hadis yang jarang, karena
memang hadis ‘aziz itu jarang adanya. Hadis ‘Aziz ini juga didefinisikan sebagai; ‘hadis yang
perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanadnya’ .

Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadis pada tingkatan pertama
diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadis itu
tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk
hadis ‘aziz.

Contoh hadits ‘Aziz adalah sebagai berikut: “ Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-
orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadis Riwayat
Hudzaifah dan Abu Hurairah) “

Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadis tersebut adalah dua orang
sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadis itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang
rawi, namun hadis itu tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi,
dan karena itu termasuk hadis ‘aziz.

3) Hadis Ahad Gharib

Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadis gharib
menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain, atau ‘ Hadis yang
terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi’ .

Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadis hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru
pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadis tersebut tetap dipandang sebagai
hadis gharib.

Contoh hadis gharib ini antara lain adalah sebagai berikut: “ Dari Umar bin Khattab, katanya:
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang
hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “

5. Mutabi’ dan Syahid

a) Mutabi’

Al-Muttabi’ secara bahasa artinya yang mengiringi atau yang mencocoki. Menurut Ahli
Hadits adalah, “hadits yang terdapat di dalamnya rawi-rawi yang bersekutu dengan rawi hadis, baik
secara makna dan lafadz maupun secara makna saja, serta bersatu sanadnya pada sahabat.”

Mutabi’ ada dua macam, yaitu:

· Tamm ( yang sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi yang pertama.

· Qashir ( yang kurang sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi-rawi yang lain
dari yang pertama tadi.

b) Syahid

al-Syahid berasal dari kata asy-syahadatu, dinamakan demikian karena menyaksikan bahwa
hadis yang tunggal itu mempunyai asal, lalu ia menguatkannya, seperti halnya saksi menguatkan
pernyataan orang yang menuduh lalu menguatkannya.

Syahid terbagi dua, yaitu:

· Syahid Lafzhiy, suatu matan hadits yang menguatkan matan hadits lain secara lafazh.

· Syahid Maknawiy, suatu hadits yang menguatkan hadits lain dari segi makna, bukan
lafazhnya.
Keterangan:

Kegunaan Mutabi’ dan syahid adalah untuk menguatkan keterangan lain, apakah yang
dikuatkan itu shahih, hasan atau dlaif.

6. ‘Ali dan Nazil

‘Ali artinya : yang tinggi. Nazil artinya : yang rendah. ‘Ali dalam istilah ilmu hadits ialah, “
Satu hadits yang para perawi sanadnya lebih sedikit dibanding dengan sanad lain dari hadits itu
juga.”

Nazil dalam istilah ilmu hadits adalah, “ satu hadits yang para perawi sanadnya lebih banyak
dibanding dengan sanad lain dari hadits itu juga.”

Bagian ‘Ali.

Pertama, Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi saw sedikit, kalau dibandingkan
dengan sanad lain dari hadits itu juga.

Kedua, Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah seorang imam hadits sedikit
dibanding dengan sanad lain dari riwayat itu juga.

Ketiga, Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu kitab yang mu’tabar lebih
sedikit dibandingkan dengan sanad lain.

Keempat, Satu sanad di dalamnya ada rawi yang terima dari seorang syaikh meninggal lebih
dahulu dari rawi lain yang juga terima dari syaikh tersebut.

Kelima, Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari syaikh lebih dahulu daripada
rawi lain dari syaikh itu juga.

Keterangan:

‘Ali yang pertama disebut juga dengan ‘al-Uluwul Haqiqi” atau “al-Uluwwul Muthlaq” karena
tidak disandarkan kepada selain Nabi Saw.

Sedang ‘Ali yang kedua sampai dengan kelima disebut juga dengan “al-Uluwwun Nisbi”.

Riwayat al-Kabir ‘an al-Shagir.

Yaitu riwayat orang besar dari orang kecil.

Maksudnya adalah:

a). Orang yang lebih tua umurnya dari rawi yang satunya, dan lebih dahulu thabaqahnya.

b). Orang yang lebih tinggi derajatnya tentang ilmu dan hafalan.

c). Orang yang lebih tua umurnya, serta lebih dahulu mendengar dari seorang syaikh.

d). Seorang guru (jika dibandingkan dengan muridnya).

e). Seorang Sahabat Nabi Saw (jika dibandingkan dengan tabi’i).

f). Seorang tabi’i (jika dibandingkan dengan pengikutnya, yaitu tabi’ut tabi’i).

keterangan:
ilmu tentang riwayat Kabir ‘an Shagir adalah agar kita tidak menyangka sanadnya terbalik dan agar
jangan ada anggapan bahwa orang yang diriwayatkan daripadanya itu lebih mulia.

7. Hadits Mudraj

Hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu
termasuk hadits. Sedang secara terminologis ia memiliki dua macam arti:

a) Idraj fil matn, yaitu memasukkan suatu pernyataan sebagian perawi ke dalam matan hadits,
sehingga di salahpahami bahwa pernyataan itu termasuk sabda Nabi Saw. Letaknya bisa diawal, di
tengah dan di akhir, dan inilah yang umum terjadi.

b) Idraj fis Sanad, terdiri dari tiga jenis, yaitu:

· Seorang perawi memiliki dua matan dengan dua sanad, lalu ia meriwayatkan keduanya dengan
salah satu sanad.

· Seorang perawi mendengar suatu hadits dari sejumlah ulama dengan beragam sanad atau
matannya, lalu ia meriwayatkannya dari mereka secara seragam dan dengan satu sanad tanpa
menjelaskan adanya perbedaan di antara mereka.

· Seorang perawi memiliki suatu hadits lengkap dengan sanadnya, kecuali sebagian darinya. Ia
memiliki yang sebagian itu dengan sanad lain. Tetapi kemudian ada perawi (lain) yang
meriwayatkannya secara lengkap darinya dengan salah satu sanadnya.

Ulama sepakat mengenai keharaman sengaja melakukan idraj dengan segala bentuknya.
Karena rawi yang melakukan idraj, berarti telah gugur sifat adilnya, termasuk yang memutar bailkkan
kalam dan disejajarkan dengan para pendusta. Sedang mudraj yang terjadi kesalahan perawi maka
tidak ada dosa. Tetapi bila kesalahan tersebut sering terjadi, maka kualitas kedlabitannya cacat.

8. Al-Mushahhaf dan Al-Muharraf

a) Al-Mushahhaf

Mushahhaf berarti sesuatu yang di dalamnya termuat kekeliruan baik dalam lafadz maupun
maknanya. Sebagian ulama’ mengkhususkan istilah itu untuk kata-kata yang mengalami perubahan
satu atau dua huruf karena perubahan titik-titiknya dengan masih utuh tulisannya. Misalnya tashhif
yang terjadi pada hadis:

”barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari
dari bulan Syawal”.

Menjadi berbunyi:

”barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan sebagian
dari bulan Syawal”.

terdiri dari dua bagian yaitu tashhif sam’ dan tashhif bashar (kekeliruan mendengar dan
kekeliruan melihat).

b) Al-Muharraf

Muharr af adalah perubahan yang terjadi karena harakat semata.

Contohnya adalah hadis Jabir:


َ ‫علَ ْي ِه َو‬
.‫سل َم‬ ُ ‫علَى أ َ ْك ُح ِل ِه فَك ََواهُ َر‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬
َ ‫صلى هللا‬ َ ‫ب‬ ٌّ َ‫ي أُب‬
ِ َ‫ي يَ ْو َم ْاالَحْ ز‬ َ ِ‫ُرم‬
Sebagian perawi melakukan tashhif dengan membaca “(‫”)أ َ ِب ْي‬. Padahal yang dimaksud adalah “Ubay
ibn Ka’b”. Disamping itu, ayah Jabir telah syahid di Uhud sebelum peristiwa itu.

9. Musalsal

Musalsal artinya yang terangkai atau yang berangkai. Menurut Ahli Hadits Musalsal dalam
pembicaraan ilmu haditsadalah “ satu hadits yang rawi-rawinya atau jalan meriwayatkannya
berturut-turut atas satu keadaan”.

Dr. M. Ajaj al-Khatibi memasukkan musalsal ini dalam sifat isnad dengan memberikan contoh,
diantaranya:

1) Tasalsul hal-ihwal para perawi yang berupa ucapan. Contohnya hadits Muadz bin Jabal, bahwa
Nabi Saw bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, sesungguhnya aku mencintaimu. Karena itu, setiap
usai shalat, maka berdoalah: Ya Allah, tolionglah aku untuk mengingatMu, bersyukur kepadaMu dan
mengabdi sebaik-baiknya kepadaMu.

Masing-masing rawi secara berantai mengatakan : sesungguhnya aku menciantaimu.

2) Musalsal karena hal-ihwal para perawi yang berupa perbuatan. Contohnya hadits Abu Hurairah
r.a katanya, Abu al-Qasim Saw menggenggam tanganku seraya berkata: “Allah menciptakan bumi
pada hari sabtu.”

Hadits ini diriwayatkan secara berantai dengan cara masing-masing perawi menggenggam tangan
orang yang meriwayatkan hadits itu darinya.

3) Musalsal karena hal-ihwal perawi yang berupa ucapan dan perbuatan sekaligus. Contohnya
adalah hadits Anas bin Malik r.a, katanya, Rasulullah saw bersabda: “seorang hamba tidak akan
merasakan manisnya iman, sehingga ia beriman kepada qadar, baik dan buruknya, manis dan
getirnya.” Rasulullah Saw memegang jenggotnya seraya berkata lagi: “Aku beriman kepada qadar,
baik dan buruknya, manis dan getirnya. Masing-masing perawi melakukan dan mengatakan apa yang
dilakukan dan dikatakan oleh Nabi Saw.

4) Musalsal dengan sifat-sifat isnad dan periwayatan. Misalnya para perawi memiliki kesamaan
dalam sighat ada’, seperti ucapan masing-masing perawi: “sami’tu fulan”, “haddatsana fulan”,
“akhbarana fulan wallahi”, “asyhadu billahi lasami’tu fulan yaqulu” atau sejenisnya.

Hadits-hadits musalsal ada yang shahih, hasan, dlaif dan bathil, tergantung pada keadaan para
perawinya. Karena tasalsul merupakan sifat bagi sebagaian sanad, maka sifat ini tidak serta merta
mengindikasikan keshahihan atau kedlaifan. Kadang-kadang hadits bertasalsul sejak awal sampai
akhirnya. Namun kadang-kadang sebagian tasalsul itu terputus sejak awal atau akhirnya.
BAB III

KESIMPULAN

1. Musytarak dalam bahasa Arab disebut dengan kompromis. Kompromis menurut Kamus Ilmiah
Populer adalah penyelesaian perselisihan dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya
agar tercapai suatu titik penyelesaian(damai). Menurut kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
musytarak artinya kebersamaan atau hubungan timbal balik . Jadi, musytarak adalah sebuah solusi
dari upaya untuk mencari jalan tengah (damai) terhadap suatu persoalan dengan tetap menyertakan
kepentingan diantara pihak-pihak yang berselisih secara adil.

Menurut Zulkarnain al-Maidaniy, hadis kompromis atau hadis-hadis yang musytarak antara shahih,
hasan dan dha’if merupakan suatu terminology bagi hadis, yakni jenis-jenis hadis menurut
terminology ulama yang bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dha’if.

2. Macam-macam musytarak antara Shahih, Hasan dan Dhaif, antara lain: Hadits Marfu’,
Muttashil, Musnad, Mu’an’an, Mu’annan dan Mu’allaq, Al-fard Al-Gharib, Ahad, Mutabi’, Syahid, dan
lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 2007. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Ismail, M. Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa

Thahhan, Mahmud. 2004. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Anda mungkin juga menyukai