Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
1. Pengertian hadits secara etimologis
Menurutnya Ibnu Manzhur, kata hadist’ berasal dari bahasa arab, yaitu Al-
Hadits, jamaknya al-hadits, al-haditsan, dan al-hudstan. Secara etimologis, kata ini
memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari kata al-qodim
(yang lama), dan al-khobar, yang berarti kabar atau berita.
Disamping pengertian tersebut, M.M Azami mendefinisikan bahwa kata hadits
secara etimologi berarti komunikasi, kisah, percakapan: relegius atau sekular,
historis atau kontenporer.
2. Pengertian Hadist secara Terminologis
Secara terminologis para ulama, baik muhaditsin, fuqoha, ataupun ulama
ushul, merumuskan pengertian hadits secra berbeda-beda. Ulama’ hadits
mendifinisiakn sebagai berikut: hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an Al-karim, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) nabi yang bersangkutan dengan
Syara’
3. Memahami Pembagian Hadits
Hadits dari segi dapat dibai menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan
kualitas. Yang di maksud segi kualitasnya adalah penggolongan hadits di tinjau
dari banyaknya rowi yang meriwayatkan hadits, sedangkan hadits berdasarkan
kualitasnya adalah penggolongan hadits dilihat dari aspek diterima atau ditolaknya
.
B. Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas
dalam menrasmisikan hadits, Nabi Muhammad SAW, terkadang
berhadapan langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada
saat itu Nabi sedang memberikan khutbah dihadapan kaum muslimin, kadang
hanya beberapa sahabat, bahkan juga bisa terjadi hanya satu dua orang sahabat
saja. Demikianlah itu terus terjadi dari sahabat ketabi’in sampai paa generasi yang
menghimpun para hadits dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi
yang di bawa oleh banyak rawi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan
informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rawi saja. Dari sinilah, para ahli
hadits membagi hadits menurut jumlah rawinya.

a. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir secara etimologi berarti muttabi’ atau mutatabi’ yang artinya
yan datang berturut turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara terminologi hadist
mutawatir adalah hadist yang merupakan tanggapan pancaindra yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi , yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.
Menurut Khotib Al-baghdadi, hadist mutawatir adalah suatau hadits yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah banyak yang menurut
kebiasaan mustahil untuk melakukan dusta. Dan sebelum Al-baghdadi menurut
Imam Syafi’i, ia telah mengemukakan istilah hadist mutawatir dengan istilah
kahabar al-‘ammah.
Ada para ulama’ yang menerangkan hadits dengan jelasa dan juga ada yang
secara terperinci yaitu Ibnu Hajar Al-Atsqalani hadits mutawatir yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil untuk melakukan dosa. Mereka
itulah yang melakukan atau meriwayatkan hadits dari awal hingga akhir.
Hadis mutawatir terbagi menjadi tiga yang pertama yaitu mutawatir lafdzi kedua
hadis mutawatir ma’nawi dan ketiga hadis mutawatir ‘amali:
Mutawati lafdzi yaitu mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak
dan mencapai syarat-syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang sama
antara riwayat dan riwayat lainnya.
Sedangkan mutawatir ma’na yaitu hadits yang mempunyai tingkat derajar
mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antar yang diriwayatkan satu rawi
yang lain, namun isinya dan kandungan ma’nanya sama.
Kemudian mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan
rakaat sholat, sholat jenazah, sholat’ied, hijab perempuan yang bukan mahram,
kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma’.
Menurut pendapat ulama ahli hadist ridak boleh ada keraguan sedikitpun
dalam pemakain hadist mutawatir, hadis mutawati harus diyakini dan dipercayai
dengan sepenuh hati.
Syarat-syarat hadis mutawatir ini adalah:
1. Perwartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar
benar hasil dari pendengaran atau penglihatan sendiri.
2. Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin
mereka sepakat melakukan dusta. Dengan demikian jumlahnya adalah
relatif, tidak ada batas tertentu.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara perawi dan tingkatan pertama dengan
jumlah rawi dalam tingkatan berikutnya.

b. Hadist Ahad
Yang dimaksud hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua,
tiga, orang atau lebih namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Artinya, pada
tiap-tiap tobaqoh (tingkatan), jumlah rawihadist ahad bisa hanya terdiri dari satu
rawi, dua, atau tiga rawi saja dan tidak mencapai tingkat mutawatir.

Kedudukan hadis ahad untuk digunakan untuk landasan hukum. Sebagian


ulama ahli hadist berkeyakinan bahwa hadis ahadd bukanlah qot’i as-subut (pasti
ketetapannya). Namun menurut ulama hadis yang lain dan mayoritas ulama,
bahwa hadis ahad wajib di amalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadist
yang telah disepakati.
Hadis ahad dibagi menjadi tiga macam: yaitu hads masyhur, hadis aziz, dan hadis
garib.
1) Hadis Masyhur
Definisi hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,
namun belum mencapai denan derajat mutawatir.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. Oleh beberapa orang sahabat namun tidak mencapai
tingkat mutawatir. Bisa jadi, pada tabaqoh (tingkatan) tabi’in atau setelahnya
hadis itu diriwayatkan secara mutawatir.

2) Hadis aziz
Definisi hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oelh dua orang dalam satu
habaqah kemudian pada habaqah selanjutnya banyak rawi yang meriwayatkannya.
Dari definisi hadis diatas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis aziz yaitu
hadis yang salah satu atau habaqah (tingkatan) rawinya hanya dijumpai dua rawi
saja.
Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu:
1. Pada tiap tingkatan hanya terdapat dua rawi saja.
2. Pada salah satu tingkatan hanya terdapat dua rawi, meskipun tingkatan yang
lainnya lebih dari tiga rawi.
3) Hadis Garib
Secara etimologi kata garib dari garab-yagribu yang artinya menyendiri, asing,
atau terpisah. Sedangkan secara terminologi hadis garib adalah : hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi, di manapun tempat sanad itu terjadi.
Dari definisi tersebut di atas, dapat katakan bahwa yang dimaksud dengan
hadist garib yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja, baik dalam
seluruh tingkatan sanad atau pada salah satu tingkatan sanadnya. Adapun yang
dimaksud dengan sanad menyendiri pada suatu hadis yaitu rawi yang
meriwayatkan hadis secara sendirian tanpa ada rawi lainnya. Hadis gharib terbagi
menjadi dua bagian:
a. Hadis garib mutlak
Hadis garib mutlak adalah hadis yang kegaribannya terjadi pada peretangahan
sanadnya. Maksudnya, hadis pada saat disampaikan oleh Rasul Saw. Hanya
diterima oleh satu sahabat.
b. Hadis gharib nisbi
Yaitu termasuk sebagai hadis garib nisbi yaitu apabila kegariban terjadi paa
pertengahan sanadnya.
C. Hadis Ditinjau dari Segi Kualitas
a. Hadis shahih
Definisi hadis shahih menurut Ibnu Shalah adalah: hadis musnad (hadis
yang mempunyai sanad) yang bersambung sanadnya, dan dinukil oleh orang yang
adil dan dabit dari orang yang adil dan dabith, hingga akhir sanadnya, tanpa ada
kejanggalan dan cacat.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis
sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan rawi yang
meriwayatkan hadis tersebut adalah adil dan dabit, serta dalam matan hadis
tersebut tidak ada kejanggalan (syak) dan cacat (‘illat). Syarat-syarat hadis sahih:
a) Hadisnya musnad. Maksudnya yaitu hadis tersebut di sandarkan
pada Nabi Saw dengan disertai sanad.
b) Sanadnya bersambung. Artinya, antara rawi dan sanad hadis
tersebut pernah bertemu langsung dengan gurunya.
c) Seluruh rawinya adil dan dabith. Maksudnya rawi yang adil yaitu
rawi yang bertaqwa dan menjaga kehormatan dirinya, serta dapat
menjauhi perbuatan buruk dan dosa besar seperti syirik, fasik, dan
bid’ah. Adapun yang dimaksud dabith adalah kemampuan seorang
rawi dalam menghafal hadist.
d) Tidak ada syadz, artinya, dalam hadis tersebut tidak bertentangan
dengan hadis dari rawi lain yang lebih kuat darinya
e) Tidak ada ‘illat. Artinya, dalam hadis tersebut tidak ditemukan
cacat yang merusak kasahihan hadis.
f) Hadis sahih diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu sahih lidzati
dan sahih lighoirihi.

1. Sahih li Zatihi
Yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shohoh, seperti rawi harus
adil, rawi kuat ingatnnya, (dhabit), sanadnya tidak putus, matannya tidak
mempunyai cacat, dan tidak ada kejannggalan.
2. Sahih lighairihi
Artinya yang shahih karena yang lainnya, yakni shahihnya karena
dikuatkan oleh sanad atau keteranan lan.

Hukum memakai hadis shahih adalah wajib, sebagaimana kesepakatan para


ahli hadis dan para fuqaha. Argumuennya adalah hadis shahih adalah salah satu
sumber hukum syari’at, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.

b. Hadis hasan
Kata hasan berasal dari kata al-husnu yang berarti al-jamalu, yang artinya
kecantikan dan keindahan. Adapun tentang definisi hadis hasan, ada perbedaan
pendapat dikalangan muhadissin. Pendapat Abu Isa at-Tirmizi tengtang hadis
hasan: hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh
bohong, hadisnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu rawian.
Definisi yang lebih jelas dan detail adalah yang dikemukakan oleh kebanyakan
para muhadissin atau ulama ahli hadis: hadis hasan adalah hadis yang dinukil oleh
seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan
tidak terdapat cacat serta kejanggalan pada matan rawinya.

c. Hadis dha’if
Definisi hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis
hasan dan hadis shahih atau hadis yang tidak memenuhi syarat diterimanya suatu
hadis dikarenakan hilangnya salah satu syarat dari beberapa syarat yang ada.
Dari definisi diatas tersebut diatas dapat dikatakan bahwa jika salah satu syarat
dari beberapa syarat diterimanya suatu hadis tidak ada, maka hadis tersebut
diklasifikasikan kedalam hadis shahih.
Para ulama ada perbedaan mengenai masalah hukum menggunakan hadis
dha’if, mayoritas ulam membolehkan mengambil hadis da’if sebagai hujjah
apabila terbatas pada masalah fadhailul ‘amal.
D. Klasifikasi Berdasarkan Kuantitas Rawi
1. Hadis marfu’
Hadis marfu’ adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan
pada Nabi Saw, baik sanad hadis tersebut bersambung-sambung atau terputus,
abik yang menyandarkan hadis itu sahabat atau yang lainnya.
2. Hadis mauquf
Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Adapun hukum mauquf pada dasarnya tidak boleh dibuat hujjah, kecuali
ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadikan marfu’)
3. Hadis maqtu’
Hadis maqtu’ adalah hadis yang disandarkan kepada tabi’in atau orang
yang sebawahnya, baik perkataan atau perbuatan.

BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

M. Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai