PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an karena, Hadits
diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda
Nabi SAW :
Artinya : “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam
neraka disediakan”.
Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak
mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah
salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan
atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut
memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan
sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian
hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara
historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan
diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba
mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari
berbagai aspek.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis ialah:“Segala perkataan Nabi,
perbuatan, dan hal ihwalnya.”Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.1 Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat
beliau”.
sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi
SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”. 2
1. Hadis Sahih
Sahih menurut bahasa artinya sehat, haq dan kuat. Menurut ulama ahli hadis, hadis
sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat
dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah saw., atau sahabat atau tabiin,
bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena, illat yang menyebabkan cacat dalam
penerimaannya.
Menurut muhadisin, suatu hadis dapat dinilai sahih apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut.
1
Soetari AD, Endang, Ilmu Hadits ( Bandung: Amal Bakti Press 1997), h. 4.
2
Tohan, Mahmud , Tafsir Mustalah Hadits(Jakarta : Insan Press, 2002), h. 6.
2
dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai marwah, seperti makan sambil
berdiri di jalanan, buang air kecil di tempat yang disediakan bukan untuknya, dan bergurau
berlebihan.3
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil adalah :
1. Beragama Islam.
2. Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf).
3. Melaksanakan ketentuan agama.
4. Memelihara marwah.
3. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis
menempuh tata kerja penelitian berikut:
3
M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis. (Bandung : Pustaka Setia). Hal. 142
3
1. Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
2. Antar masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad
itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah
menurut ketentuan tahamul wa ad al-hadis
4. Tidak ber-‘Illat
Maksudnya bahwa hadis yng bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni
hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa
hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang
dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) dari padanya,
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna kedhabit-annya,
sanadnya muttashil, dan tidak cacat matannya marfu‟, tidak cacat dan tidak
janggal.
Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Sahih li
dzatihadalah hadis sahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti yang
telah disebutkan di atas. Adapun hadis shahuh li ghairih adalah hadis shahih yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna
ke-dzabit-annya (kapasitas intelektualnya rendah). Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain
semisal, maka ia menjadi shahih lil ghairih. Dengan demikian, shahih li ghairih adalah hadis
yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena memenuhi syarat-syarat secara
maksimal. Misalnya, hadis hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajat
dari derajat hasan ke derajat sahih.
Hadis sahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadis yang bersanad ashahul sanad,
kemudian berturut-turut sebagai berikut:
4
1. Hadis yang disepakati oleh bukhari muslim
2. Hadis yang diriwatkan oleh imam bukhari sendiri
3. Hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim sendiri.
4. Hadis sahih yang diriwatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim,
sedangkan kedua imam itu men-takhrij-nya.
5. Hadis sahih menurut syarat bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri
tidak men-takhrij-nya.
6. Hadis sahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri
tidak mn-takhrij-nya.
7. Hadis sahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari
dan Muslim. Ini berarti si pen-takhrij tidak mengambil hadis dari rawi-
rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati
bersama atau yang masih disahihkan, akan tetapi, hadis yang di-takhrij-
kan tersebut, disahihkan oleh imam-imam hadis kenamaan. Misalnya
hadis-hadis sahih yang terdapat pada sahih Ibnu Huzaimah, shahih Ibnu
Hibban, dan sahih Al-Hakim.
2.Hadis Hasan
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah&Pengantar Ilmu Hadist,. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009. Hlm. 301.
5
3. Hadis Dhaif
c. Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-an rawi itu ada sepuluh macam,
yaitu sebagai berikut :
Dusta
Tertuduh dusta
Fasik
Banyak salah
Lengah dalam menghafal
Menyalahi riwayat orang kepercayaan
Banyak waham (purbasangka)
Tidak diketahui identitasnya
Penganut bid‟ah
Tidak baik hafalannya
6
3. Hadits Munkar adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau
jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
4. Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all) adalah hadits yang tampaknya baik, namun
setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya
5. Hadits Mudraj (saduran) adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan
hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
6. Hadits Maqlub adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain),
disebabkan memutar balikkan urutan Perawi.
7. Hadits Mudltharrib adalah hadits yang menyalahi hadits dengan mengganti rawi.
8. Hadits Muharraf adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan
karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
9. Hadits Mushahhaf adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata,
sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
10. Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat
seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan
11. Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang
makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih.
12. Hadits Mukhtalith adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah
lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
1. Hadits Mutawatir
Ada empat hal yang harus terpenuhi pada sesuatu Hadits yang dikategorikan
Mutawatir, yaitu : Pertama, Hadits itu harus diriwayatkan oleh banyak orang. Kedua, Hadits
itu diterima dari banyak orang pula. Ketiga, ukuran banyak di sini jumlahnya relatif, dengan
ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin
7
sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta, dan keempat, Hadits itu diperoleh
melalui pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka5
.
Syarat – Syarat Hadits Mutawatir
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan oleh para
perawi harus berdasarkan hasil pengamatan panca indera. Dengan kata lain berita
yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya,
penciumannya atau sentuhannya.
2. Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap thabaqahnya. Jumlah
sanad Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus
seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada
thabaqah-thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang.
Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian
diterima oleh sepuluh tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh empat tabi' at-
tabi'in, tidak digolongkan Hadits Mutawatir, sebab jumlah sanadnya tidak seimbang
antara thabaqah pertama dengan thabaqah-thabaqah berikutnya.
3. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka untuk bersepakat bohong (berdusta). Dalam hal ini para ulama' berbeda
pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :
5
Utang Ranuwijaya, 2001, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal : 125.
6
Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT al-Ma'arif, Bandung, hal : 79.
8
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus musuh (al-Anfal : 65)
- Ulama' yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Karena
mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :
)64 : يا أيها النبي حسبك هللا ومن اتبعك من المؤمنين (األنفال
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).
- Dan ulama' yang lain berpendapat bahwa jumlah tersebut sekurang-kurangnya 70 orang.
Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :
واختار موسى قومه سبعين رجال لميقاتنا
Hadits Mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir
Ma'nawi.7 Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafdzi dan Ma'nawi adalah :
Hadits Mutawatir Lafdzi adalah Hadits yang Mutawatir lafadz dan maknanya.8
Contoh dari Hadits Mutawatir Lafdzi ini yaitu :
م يده حتى رؤي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه إال فى اإلستسفاء.ما رفع ص
)(متفق عليه
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a selain dalam shalat istisqa dan
beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya
7
A. Qadir Hasan, 1990, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro, Bandung, hal : 44.
8
Mahmud at-Thahhan, Taisiiru Musthalahul Hadisi, hal : 20.
9
2. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Mutawatir9
Atau dengan kata lain, Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya tidak
mencapai jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga
orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir10. Dan Hadits Ahad itu
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Masyhur, Hadits 'Aziz dan Hadits Gharib.
Hadits Masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih – dalam
tiap thabaqah – serta belum mencapai derajat Mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Masyhur ada yang Shahih, ada yang Hasan dan
ada yang Dho'if11. Hadits Masyhur yang Shahih artinya Hadits Masyhur yang memenuhi
syarat-syarat keshahihannya, Hadits Masyhur yang Hasan artinya Hadits Masyhur yang
kualitas perawinya di bawah kualitas perawi Hadits Masyhur yang Shahih, sedangkan Hadits
Masyhur yang Dho'if artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang
salah satu syaratnya dari syarat Hadits Shahih.
Adapun contoh dari Hadits Masyhur tersebut adalah :
Dalam Hadits 'Aziz terdapat Hadits 'Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula
yang Dha'if13. Hadits 'Aziz yang Shahih, Hasan dan Dha'if tergantung kepada terpenuhi atau
tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.
9
ibid, hal : 22.
10
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, hal : 74.
11
Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Úlumus as-Sunnah wa Dusturu al-Ummah, hal : 197.
12
Endang Soetari, 1997, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, hal : 125.
13
Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Op-Cit, hal : 197.
10
Hadits Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi karena tidak ada
orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap
matan atau sanadnya.
D. Aspek Sandaran
1. Hadits Qudsi
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah
penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada
Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala.
Bentuk-Bentuk Periwayatan
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu
‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah,
bahwasannya Allah berfirman : ”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan
perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu
saling menganiaya di antara kalian”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam
persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka
jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
11
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
1. Al-Qur’an itu lafadhdan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari
Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
3. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak
disyaratkan mutawatir.
Sedang untuk Hadits-Nabawi (biasa), tidak ada tanda-tanda yang demikian itu. Misalnya :
“Dari Abu Dzar r.a. ujarnya: Rasulullah s.a.w bersabda : Firman Allah ‘Azza wa jalla:
Siapa yang menjalankan kebaikan, ia berhak menerima sepuluh kali lipat atau lebih, sedang
siapa yang berbuat kehajatan, maka balasannya satu kejahatan yang sepadan atau bahkan
Aku ampuni, dan seterusnya.” (Riwayat Muslim)14
2. Hadist Marfu’
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki
kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan),
atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat
14
Drs. Fatchur Rahman, Musthalahu’lHadits (Bandung : Alma‘arif, 1991),hlm.50-51
12
jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya
itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-
masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih
(tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’,
namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
2. Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak
mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau
seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah
yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya
pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk
begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini.”
3. Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
4. Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah
berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari
shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud.15
15
Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km).
13
5. Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan
perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan
telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam –
dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
6. Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat
begini/demikian pada jamana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
7. Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu
‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
8. Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami
begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir
menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan
mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan
adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang
menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat
baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk
seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
3. Hadits Mauqhuf
Mauquf menurut bahasa waqaf, yang artinya berhenti atau stop. Di dalam Alquran
terdapat tanda-tanda waqof yang harus dipatuhi oleh sipembacanya.barang waqof terhenti
tidak boleh diperjualbelikan kepada orang lain karena amal lillah ta’ala sampai hari kiamat
tiba. Wauquf adalah barang yang dihentikan atau barang yang di-waqof-kan.
Menurut pengertian istilah ulama Hadits,” Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik
dari pekerjaan perkataan, dan persetujuan, baik bersambung sanadnyabmaupun terputus.”
Kata Ibnu Al-Atsir dalam Al-Jami’, “Hadits yang dihentikan (sandarannya) pada seseorang
sahabat tidak tersembunyi bagi seorang ahli Hadits, yaitu Hadits yang disandarkan kepada
seorangsahabat. Apabila telah sampai kepada seorang sahabat, ia (seorang perawi)
berkata:bahwasanya sahabat berkata begini, atau berbuat begini, atau menyuruh begini.”
14
Sebagian ulama’ mendefinisikan Hadits Mauquf adalah, Hadits yang disandarkan kepada
seorang sahabat, tidak sampai kepada Nabi SAW.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadits Mauquf adalah sesuatu
yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, baik bersambung sanadnyaatau terputus.Jadi, sandaran Hadits ini
hanya sampai kepada sahabat.16
Ibnu shalah dan ulama’ lain berkata, “Hadits Mauquf yang sanadnya bersambung
sampai kepada seorang sahabat yang bersangkutan termasuk Hadits Mauquf maushul; dan
sebagian Hadits Mauquf yang tidak bersambung sanadnya termasuk Hadits Mauquf yang
tidak mashul sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada Hadits Marfu’.
Kekhususan Hadits Mauquf bagi seorang sahabat itu apabila kata Mauquf disebutkan
secara mutlak, yakni apabila dikatakan وقفه فالن. Namun kadang-kadang kata Mauquf
digunakan untuk Hadits yang terhenti pada selain sahabat, seperti dikatakan, “Hadits tentang
anu dan anu dinilai Mauquf oleh fulan pada ‘Atha’, anu pada Thawus, dan
sebagainya.Sebagian ulama menyebut Hadits Mauquf secara mutlak sebagai atsar.
Ibnu Shalih juga membagi Hadits Mauquf kepada dua bagian, yaitu Mauqufal-
maushul dan Mauquf ghair al-maushul.Mauquf al-maushul berarti Hadits Mauquf yang
sanadnya yang bersambung sampai kepada sahabat sebagai sumber Hadits.SedangMauquf
ghair al-maushul berarti Hadits Mauquf yang sanadnya tidak bersambung.Dilihat dari segi
persambungan ini, maka Hadits Mauquf ghair al-maushul dinilai sebagai Hadits dha’if yang
lebih rendah daripada Hadits Mauquf al-maushul.17
4. Hadits Maqthu’
Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut
istilah adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di
bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Contohnya
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang
shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”.
16
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadits, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm.257
17
Munzier Suparta,Ilmu Hadits,(Jakarta : Raja Grafindo Persada,2003),hlm.171
15
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad
Al-Muntasyir,”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan
menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.
“ telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, menceritakan kepada kami al-Laits,
ia berkata , bercerita kepada Said al-maqburi,dari Abu Suraih al-Adawi, ia berkata, saya
mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku manakala Nabi S.A.W
bercakap-capak beliau S.A.W bersabda:” barang siapa percaya kepada allah dan hari ahir,
hendaklah ia memulyakan tetangganya”. (H.R bukhori)
16
b. Hadits Mukhtalaf
Mukhtalaf artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara
istilah ialah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits
maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara
keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan
kedua-kaduanya.
Untuk mendudukan hadits-hadits yang mukalaf ini para ulama’ mengunakan dua cara
yaitu:
Thariqotul jam’i, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang kelihatan berlawanan yang
kemudian didudukan satu-persatu sehingga semua hadits tersebut dapat dipakai.
Thariqotut tarjih, yaitu hadits-hadits yang dhahir kelihatan bertentangan satu dengan
yang lain kemudian dicari keterangan yang paling kuat.
Dalam menyikapi hadits atau riwayat yang muktalif para ulama’ selalu memakai
thariqatul jam’i lebih dahulu, karena dengan cara ini semua dalil dapat dipakai. Setelah
benar-benar tidak ada jalan untuk menjama’ baru mereka menempuh cara thariqatut tajrih
sebagai usaha terahir.
Contohnya:
ش ْعثَاءَ ع َم ُرو ب ُْن َجابِر ب ُْن َر ْي ِد أ َ ِبي ال ُ ععَّ ْن َ َحدَّثَنَا َي ْحيَي ب ُْن َي ْح
َّ ُ ي ا َ ْخ َب َرنَا دَ ُاودُ ب ِْن َع ْبد
َ الر ْح َم ِن
)سلَّ َم َم ْي ُم ْونَةَ َو ُه َو ُم ْح ِر ٌم ( َم ْس ِلم
َ علَ ْي ِه َو
َ هللا
ِ س ْو َل ُ ع ْن اِب ِْن َعبَّاس أَنَّهُ قَا َل ت َزَ َّو َج َرَ
“.... dari Ibnu Abbas Bahwasannya Rasulullah telah menikahi maimunah, sedang
beliau dalam ihram.(H.R Muslim)
)( ُم ْس ِلم
“dari yazid bin asham dari maimunah, ia berkata rasulullah saw menikahiku sedang beliau
sedang dalam ihlal(keluar dari ihram).” (H.R Muslim)
Kedua riwayat tersebut drajatnya sama-sama shahih. Dan jika diihat terdapat pertentangan antara
keduanya. Oleh karena itu, para ulama’ ada yang menggunakan thariqatul jam’i ada yang thariqatut
tajrih.
17
c. Hadits Rajih
Hadits Rajih yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang
berlawanan maksudnya. Riwayat yang tidak dipakai dinamai marjuh artinya yang tidak
diberati, yang tidak kuat.
Contoh :hadits tentang riwayat yang mengatakan Nabi menikah saat ihlal. Riwayat yazid bin
asham itu disebut rajih dan riwayat ibnu abbas di sebut marjuh.
d. Hadits Nasikh
Hadits Nasikh yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan
hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Hadits yang dihapuskan ketentuan hukumnya dinamakan mansukh.
Contohnya:
ٌ سلَّ ُم َاليَأ ْ ُكلَ َّن ا َ َحدُ ُك ْم ِم ْن نُ ْس ِك ِه َب ْعدَ ث َ َال
ث َ صلَّى
َ علَ ْي ِه َو ُ قَا َل َر
َ ِس ْو ُل هللا
((الشَافِ ِعي
“Rasulullah saw bersabda : janganlah salah seorang diantara kamu memakan daging
kurban sudah tiga hari.” (imam syafi’i)
Larangan memakan daging kurban yang sudah tiga hari itu disebut “ hukum”.
Kemudian hukum dihapuskan oleh Nabi sendiri dengan sabdanya :
ث فَ ُكلُ ْوا َوا ْن ِف ْيعُ ْوا ِب َها فِى اِ ْسفَ ِر ُك ْم
ُ اخي ا ِْن َالت َ ُك ْولَ َها َب ْعدَ ث َ َال
ِ ضَ َ ع ْن ل ُح ْو ِم األ
َ نَ َه ْيت ُ ُك ْم
)(اإل ْعتِبَار
ِ
“aku pernah melarang kamu tentang daging kurban bahwa jangan kamu makan dia sesudah
tiga hari, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dalam pelayaran-pelayaran kamu.” (al-
I’tibar)
Hadits yang pertama dinamakan mansukh, artinya yang dihapuskan karena hukum yang ada
padanya sudah tidak terpakai lagi. Hadits yang kedua di sebut nasikh yang menghapuskan
hukum yang ada pada hadits pertama.
Hadits ghairu ma’mul bih ialah hadits hadits maqbul yang tidak bisa di amalkan.
Yang masuk kategori ini melipiti:
a. Hadits Mutasyabih
Matasybih artinya yang samar. Yakni hadits yang samar/ sukar dipahami dan tidak
bisa diketauhi maksud dan tujuannya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan
adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
Contohnya:
)علَى قَ ْل ِبي َوا ِِني ِالَ ْستَ ْغ ِف ُر هللا فِي ْاليَ ْو ِم ِمائَة َم َّرة ( ُم ْس ِلم
َ اِنَّهُ ليعان
18
“sesungguhnya tertutup hatiku. Dan aku akan meminta maaf kepada allah dalam sehari
seratus kali” (H.R Muslim)
Arti hadits tersubut sudah jelas tetapi tentang maksudnya dan tujuanya para ulama’
berbeda pendapat. Dalam sarah muslim terdapat enam pendapat hadits tersebut.
Hadits mutasyabih sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang muhkam.
Sebagian besar mutasyabih itu terdapat pada persoalan-persoalan yang gaib-gaib.
َ ع ْن ِع ْك ِر َم ِة
ع ِن ب ِْن َ ب ِ س ِع ْي ِد َحدَّثَنَا أَي ُْو
َ ث ب ُْن َ ُ ع ْبد
ِ الو ِار َ ص ِري َحدَّثَنَا ْ َحدَّثَنَا بَشَر ب ُْن ِه َالل ال َب
َ سلَّ َم َو ُه َو ُم َح ِر ٌم
صائِ ٌم َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو ُ عبَّاس قَا َل ا ِْحتَ َج َم َر
َ ِس ْو ُل هللا َ
19
Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa orang yang
membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak
membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam juga diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang
diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8
hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun
setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits
pertama.
20