Pujidansyukur kami panjatkan kehadirat tuhan Yang mahaesa,karena berkat limpahan rahmat
dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini.salawatdan salam dihaturkan
kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati
pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai “Pembagian Hadis ditinjau dari Segi Kualitas Perawinya” dalam
rangka memenuhi tugas Studi Hadist.
Makalah initelah di buat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami.Oleh karenaitu, kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalahini.Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untukmemberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami.Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaa
nmakalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bicara mengenai pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya, tidak terlepas dari
pembahasan hadits ditunjau dari segi kualitasnya, yang telah dibagi menjadi dua yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir mempunyai pengertian bahwa hadits
tersebut Yaqin bi al-qath’i, artinya Nabi Muhammad SAW. betul-betul bersabda,
berbuat dan menyetujuinya (iqrar) di hadapan para sahabat. Dengan demikian maka
dapat dikatakan hadits ini mempunyai sumber yang kuat, disepakati dan keberadaannya
dapat dipercaya serta meyakinkan. Sehingga ia harus diterima dan diamalkan dengan
tanpa adanya penelitian ataupun penyelidikan baik terhadap sanad atau matanya.
Sebaliknya yang kedua adalah hadits ahad, dimana faedah yang diberikan
bersifat zhonny (prasangka yang kuat akan kebenarannya). Dengan demikian maka
mengharuskan kepada kita untuk mengadakan pengkajian, penyelidikan terhadap hadits
tersebut, baik pada sanadnya ataupun matanya. Sehingga kejelasan status hadits ini
menjadi nyata, untuk dipergunakan sebagai hijjah atau tidak.
Oleh karena itu. Dengan melihat persoalan ini maka para ulama ahli hadits membagi
hadits, ditinjau dari segi kualitasnya, menjadi dua bagian yang hadits maqbul dan hadits
mardud.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Sahih
1. Pengertian Hadis Sahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata Saqim (sakit). Kata sahih juga
telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah; benar, sempurna
sehat(tiada segalanya); pasti”. Pengertian hadis sahih secara difinitif eksplisit
belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-muttawaddimin (sampai abad
III H). mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai kriteria
penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Diantara pernyataan-penyataan mereka
adalah : “tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari
orang-orang yang tsiqqat (kemampuan hafalan yang sempurna), tidak diterima
periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang
ditolak kesaksianya”
Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai
berikut :
.الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه وال يكون شاذا وال معلال
Bukhari dan Muslim, sebagi tokoh ahli hadis dan hadis-hadis yang
diriwayatkannya diakui sebagai hadis yang sahih, ternyata juga belum membuat
definisi hadis sahih secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan
penelitian mengenai cara-cara ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu
hadis yang bisa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenai kriteria
hadis sahih menurut keduanya.
3
Contohnya :
ةcc اذا كا نوا ثال ثت: حدثنا عبدهللا بن يوسف اخبر نا ما لك عن نا فع عن عبدهللا ان رسول هللا ص م قا ل
فال يتنا جى اثنا دون الثا لث
(kata bukhari) telah menceritakan kepada kami, “abdullah bin yusuf, (ia
berkata) telah mengkhobarkan kepada kami, malik, dari nafi, dari abdullah
bahwa Rasulluwlah SAW. Bersabda: “apabila mereka itu bertiga orang,
janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama
ketiganya.
2) Hadits Shahih li-Ghairihi
Hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari
sifat sebuah hadits maqbul (a’la sifat al-qabul).
Hal itu biasa terjadi karena ada beberapa hal,misalnya saja perawinya sudah
diketahui adil tapi dari sisi ke dhabit annya,ia dinilai kurang. Hadits ini
menjadi sahih karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya)
diriwiyatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih sahih.
Contohnya :
Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan muhammad bin amr
dari abu salamah dari abu Hurairah bahwa rasulluwlah bersabda :
لوالان اشق عل امتي المرتهم بالسواك عند كل صالة
“seandainya aku tidak khawatir memberatkan atas umatku, tentu aku perintah
mereka bersiwak ketika setiap shalat.”
B. Hadis Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada
yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara
hadis sahih dan hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut
sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah “Hasan” bagi suatu jenis
hadis yang berdiri sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi. Untuk lebih jelasnya
dibawah ini dikemukakan beberapa definisi Hadis Hasan.
Ibnu taimiyah menguraikan batasan hadis hasan yang diberikan Al-
Tirmidzi sekaligus merangkum polemic tentang peristilahan yang sering dipakai
Al-Tirmidzi. Hadis hasan menurut Al-Tirmidzi adalah : “hadis yang diriwayatkan
dari dua arah(jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung
syadz yang menyalahi hadis hadis sahih”
4
Jadi yang dimaksud syadz versi Al-Tirmidzi adalah perawi yang
meriwayatkan hadis tersebut berlawanan dengan orang yang lebih hafal
daripadanya atau lebih banyak jumlahnya.
Defenisi tersebut diatas dipandang tidak mani’ dan tidak jami’. Tidak
mani’, sebab hadis sahih yang rawinya selamat dari tuduhan dusta dan ma’nanya
bersih dari kejanggalan dapat tercakup dalam defenisi tersebut; dan tidak jami’
karena hadis gharib walaupun bernilai hasan pada hakikatnya tidak dapat
dimasukkan kedalam definisi tersebut, karena dalam definidi itu disyaratkan harus
mempunyai jalan datangnya berita(sanad) dari beberapa tempat.
Contohnya :
“Bahwa Nabi jika mengulurkan kedua tangannya dalam berdo’a beliau
tidakmenariknya kembali sampai mengusapkan dulu keduanya pada
wajahnya.”{HR. Tirmidzi. Ibnu Hajar berkata: ‘Hadits ini memiliki syahid dalam
riwayat Abi Daud danyang lainnya’.}
5
itu. Dengan emikian,dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadis sahih
sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama(para sahabat) yang
menerima hadis langsung Nabi SAW,bersambung dalam periwayatan. Dari
pengertian seperti ini, maka hadis mursal, munqathi’, mu’dhal, dan muallaq,
tidak tergolong hadis shahih.
b. Perawinya adil
Kata ‘adil menurut bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak
zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur.1 Seseorang yang dikatakan adil apabila
ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu
senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya
sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya.
Dengan demikian, maka yang dimaksudkan dengan perawi dalam periwayatan
sanad hadits adalah bahwa semua perawinya, disamping harus islam dan
baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan
semua larangannya.
b) Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil, dan
c) Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai
muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan
yang sia-sia atau perbuatan dosa.
c. Perawinya Dhabit
Kata “dhabth” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal
dengan sempurna. Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut
mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang
6
diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah
mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya,
kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala
diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar
secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isi apa yang
didengar, terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikannya
kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
Yang dicakup oleh pengertian dhabit dalam periwayatannya disini ada dua
kategori, yaitu dhabit fi al-shadr dan dhabit fi al-kitab. Maksud dhabit fi al-
shadr, ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima
hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan dhabit fi al-
kitab, ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama, dapat diketahui
melalui:
- Kesaksian para ulama.
- Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang
telah dikenal kedhabitannya.
d. Tidak Syadz(Janggal)
Maksud syadz atau syudzuz (jama’ dari syadz) disini adalah hadis yang
bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian
ini, yang dipegang oleh Al-Syafi’I dan diikuti oleh kebanyakan para ulama
lainnya.
Melihat pengertian syadz diatas, dapat dipahami, bahwa hadis yang tidak
syadz (ghair syadz), adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan
hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Al-Hakim Al-Naisaburi
memasukkan hadits fard (hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
tsiqqah, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), kedalam
kelompok hadis syadz. Pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli
hadits.
7
yang samar-samar, karenanya dapat merusak kesahihan hadis tersebut.
Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadis tersebut
terlihat tidak shahih. Adanya kesamaran pada hadis tersebut , mengakibatkan
nilai kualitasnya menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud
hadis yang tidak berillat adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan.
‘illat hadis, dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling
banyak,terjadi pada sanad,seperti menyebutkan muttashil terhadap hadis yang
munqati’ atau mursal(terputus sanadnya).
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat dari diterima dan ditolaknya hadits tersebut, maka dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu : Hadits Sahih dan Hadits Hasan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Husti, Ilyas.2007. Studi Ilmu Hadis. Perpustakaan Nasional : Pekanbaru
10