Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA


ISLAM DI KALIMANTAN TIMUR

DOSEN PENGAMPU: Dra ILMIYATI. M,Ag

OLEH :

NAMA/NIM : GISKA AMIRAH (11810722079)


SEMESTER/KELAS : III /C
JURUSAN : PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1440 H / 2018 M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini,
kami susun untuk menambah pengetahuan, menambah wawasan, serta
memperdalam pemahaman kami dan teman – teman akan makalah ini.

Penyusunan makalah ini disesuaikan dengan kemampuan dasar yang kami


miliki dan disajikan secara sistematis, ringkas, dan mudah dipahami.Dengan
demikan, diharapkan makalah ini tidak hanya sebagai tugas bagi kami, namun
akan tetapi lebih bersifat aplikatif yang dilandasi sikap kritis dan analitis.

Dengan tugas ini, kami berharap dapat menjadi lebih mengerti tentang
materi ini dan kami juga menyadari bahwa dalam penyusun makalah ini tidak
begitu bagus atau masih jauh dari kesempurnaan ini karena kesempurnaan itu
hanyalah milik Allah SWT.

Pekanbaru, November 2019

Penyusun

M. Syahriza Rezkianoor

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………….2

2
Daftar Isi …………………………………...…3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang…………………………..4

1.2. Tujuan Penulisan ……………………..…5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kalimantan Timur……………………….6

2.2. Islam di masa kerajaan…………………..6

2.3. Kerajaan Islam di zaman penjajaha……..10

2.4. Islam di Era Modern……………………16

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpula……….……………………....….18

Daftar Pustaka …………………………….19

BAB I
PENDAHULUAN

3
1.1.  Latar Belakang
Pada dasarnya agama Islam di Kalimantan Timur masuk sejak zaman
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur dahulu berkuasa, yaitu Kerajaan
Kutai, Kerajaan Pasir, Kerajaan Berau, Kesultanan Gunung Tabur, Kesultanan
Sambaliung, Kerajaan Bulungan, dan Kerajaan Kutai Kartanegara
ingMartadipura. Di kerajaan inilah awal mula tersebarnya agama Islam di
Kalimantan Timur dan dapat berkembang hingga sekarang.
Adapun orang yang banyak berjasa dengan masuknya agama Islam di
Kalimantan Timur kebanyakan dari mereka berasal dari Makassar dan Melayu.
Mereka mempengaruhi raja-raja di Kalimantan Timur untuk memeluk agama
Islam dan dengan Islamnya raja tersebut, maka rakyat dari kerajaan itu mengikuti
apa yang telah dilakukan oleh rajanya. Sejarah Mencatat masuknya Islam di
daerah Kalimantan Timur khususnya di kerajaan Kutai dahulu adalah melalui dua
orang ulama dari Makassar yaitu Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang
bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tuanku
Tunggang Parangan. Bagaimanakah reaksi raja-raja Kalimantan Timur pada saat
itu setelah masuknya Islam di kerajaan mereka?.
Pada saat zaman penjajahan, kerajaan di Kalimantan Timur yang
sebagiannya sudah menjadi Kerajan Islam pada saat itu  harus berjuang melawan
penjajah mempertahankan kerajaannya pada masa itu. Bagaimanakah perlawanan
raja-raja Kalimantan Timur terhadap penjajah pada saat itu?.
Dari awal masuknya agama Islam di Kalimantan Timur hingga saat ini
agama Islam terus berkembang dan melekat kuat dimasyarakat Kalimantan Timur,
dibuktikan dengan mayoritas penduduk Kalimantan Timur beragama Islam dan
dibangunnya beberapa Masjid-Masjid yang megah. Bagaimanakah perkembangan
Islam di Kalimantan Timur?.
Menjawab beberapa pertanyaan di atas, Melalui makalah ini saya sebagai
penulis akan membahas beberapa hal tentang sejarah Islam di zaman Kerajaan di
Kalimantan Timur, Kerajaan Islam Kalimantan Timur di zaman Penjajahan, dan
Islam Kalimantan Timur di masa sekarang.
1.2. Tujuan

1.Bagaimana awal mula Islam masuk di Kalimantan Timur?


2. Bagaimana perkembangan Islam di Kalimantan Timur?
3. Bagaimana Islam di masa Kerajaan?
4. Bagaimana Islam Era Modern di Kalimantan Timur?

4
BAB II
ISI

1.   Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur terletak di pulau kalimantan bagian paling
timur, luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur secara keseluruhan sekitar
202.440 km².  Kalimantan timur terdiri atas empat kota dan enam kabupaten.
Adapun wilayah kota di kalimantan timur seperti Kota Samarinda, Kota
Balikpapan, Kota Tarakan dan Kota Bontang. Sedangkan pembagian wilayah
kabupaten yaitu Kab. Kutai, Kab. Pasir, Kab. Berau, Kab. Bulungan, Kab.
Penajam Paser Utara, dan Kab. Kutai Barat. Adapun jumlah penduduk di
Kalimantan Timur sekitar 2.097.500 jiwa. Sebagian besar penduduknya beragama
Islam (85,2%), Kristen (13,9%) Hindu (0,19%) Buddha (0,62%). Kalimantan
Timur dihuni oleh suku asli dan pendatang. Suku asli diantaranya suku Kutai,

5
suku Dayak, suku Banjar, suku Tidung, suku Kenyah, suku Berusu, suku Abai,
dan suku Kayan. [1]
2.   Islam di Zaman Kerajaan
1. Kerajaan Kutai
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan
tertua di Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400
M. Keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti  berbentuk
Yupa/tiang batu yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa
pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang diantaranya adalah Tuan di Bandang,
yang dikenal dengan Dato' Ri Bandang dari Makassar dan Tuan Tunggang
Parangan. Setelah pengislaman itu, Dato' Ri Bandang kembali ke Makassar,
sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui Tuan
Tunggang inilah Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera
dibangun sebuah masjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Yang pertama
sekali mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian pangeran,
para menteri, panglima dan hulubalang, dan akhirnya rakyat biasa.[2]
   Sejak itu Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam, Proses
Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575.
Penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan, terutama pada
waktu puteranya Aji Di Langgar dan penggantinya-penggantinya meneruskan
penyebaran Islam ke daerah Muara Kaman.
2.      Kerajaan Pasir
Dahulunya rakyat Dayak pasir dipimpin oleh kepala-kepala dari rakyat
Dayak sendiri. Ada seorang kepala suku Dayak yang sangat berpengaruh bernama
Temanggung Tokio, dia mengusulkan agar di daerah-daerah agar dikepalai oleh
seorang kepala saja dan untuk itu diminta sultan yang dekat tempat tinggalnya. 
Kemudian mereka berangkat dengan perahu yang penuh bermuatan emas dan
perak yang akan dianugerahkan kepada raja yang baru, tetapi ia tak mendapatkan
seorang pun yang dipandang cakap. Temanggung Tokio sangatlah sedih sampai ia
tidak makan dan minum, kemudian di dalam mimpinya ia melihat seorang yang
tua yang berkata padanya: “Untuk mendapat raja engkau pergilah ke laut, dan di
situ engkau akan memperoleh sepotong bambu yang tiga ruasnya terapung-apung
di laut, ambillah bambu itu dan bungkus dengan sutra kuning, di dalam bambu itu
ada sebutir telur yang harus diberi asap dupa, menyan, dan gaharu, dan dari
telur itu nanti melahirkan raja perempuan”.
Temanggung Tokio pun menuruti pesan orang tua dalam mimpinya,
sesudah tiga hari tiga malam telur itu didupakan, maka terbelah dualah bambu itu
dan dari dalam telur itu pun pecah pula dan dilahirkan seorang bayi puteri yang

1 . Farukhi dan Vida Afrida. Mengenal 33 Provinsi Indonesia Kalimantan Timur ( Jakarta: PT.
Sinergi Pustaka Indonesia), 2008, h.11
2 . B. Setiawan, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 48

6
cantik jelita. Anak itu sama sekali tidak mau menyusu, setelah berusaha dapatlah
ia diberi makanan dengan susu kerbau putih.
Puteri inilah yang diangkat menjadi Ratu Pasir, dan waktu ia berusia 15
tahun ia telah dinikahkan, tetapi malang sekali ia tidak dapat keturunan sehingga
harus diceraikan beberapa kali. Ketika dia telah menikah yang ketujuh kali, masih
belum juga mempunyai anak, kemudian datanglah seorang Arab dari Jawa
(Gresik) yang beragama Islam, terus ia dinikahkan dengan sang puteri. Orang
Arab tadi kemudian mencari tabib yang dapat membuang sari bambu yang ada
pada sang puteri sehingga bisa melahirkan dua puteri dan satu putera. Puteri yang
tertua (Putri Adjie Meter) kemudian menikah. Ajaran agama Islam masuk ke
Kerajaan Pasir bersamaan dengan pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan
seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri
Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan
ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M.3
3.      Kerajaan Berau
Kerajaan Berau adalah sebuah kerajaan yang muncul pada era sebelum Islam
masuk ke wilayah Kalimantan Timur atau yang dulu masih termasuk dalam
wilayah Kalimantan bagian utara. Pendirian kerajaan yang diperkirakan sudah ada
sejak abad ke-15 Masehi ini dipelopori oleh orang-orang Melayu yang datang dari
Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan.4
Ketika penjajah Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai
pedagang (VOC). Belanda kemudian menerapkan “devideetempera” (politik
perpecahan) pada tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah.
Pecahnya kerajaan ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau
yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat penyebarannya di sekitar Desa
Sukan.
4.      Kesultanan Gunung Tabur
Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Bersama
dengan Kesultanan Sambaliung, Kesultanan Gunung Tabur pernah menyatu
dalam satu nama dan sistem pemerintahan Kerajaan Berau. Awal mula
perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17 karena adanya politik perpecahan dari
Belanda. Kesultanan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Maharaja Dinda
Hassan Nudia adalah keturunan dari Sultan Berau (Dayak) tetapi ia kawin dengan
seseorang yang memeluk agama Islam. Pada tahun 1834 Gunung Tabur berada di
bawah Sultan Aji Kuning.[5]
5.   Kesultanan Sambaliung
Sultan pertama yang berkuasa di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam
dengan gelar Alimuddin (1830-1836). Sebelum kesultanan ini berdiri, Raja Alam
sebenarnya adalah sultan pertama di Kesultanan Batu Putih, yang berdiri pada
tahun 1830. Pada tahun 1834/1836 nama Batu Putih berubah menjadi Tanjung,
3 . TjilikRiwut, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan ( Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993), h. 119-120
4 . Ibid, h. 21
5 . Ibid, h. 120

7
yang kemudian pada tahun 1849 berubah menjadi Sambaliung. Meski demikian,
sejarah berdirinya Kesultanan Sambaliung sebenarnya sudah ada sejak tahun
1830.
6.      Kerajaan Bulungan
Daerah ini dulunya diperintah oleh orang Dayak. Raja Bulungan pada saat itu
bergelar Wira kemudian gelar ini dirubah sewaktu orang Bugis dan Melayu
datang di Kalimantan Timur. Mereka menyebarkan agama Islam dan mulai waktu
itu raja dan sebagian besar orang-orang Dayak memeluk agama Islam.
7.      Kerajaan Kutai Kartanegara ingMartadipura
Kesultanan Kutai Kartanegara ingMartadipura merupakan sebuah
kesultanan yang terletak di daerah yang kini kita kenal dengan nama
Tenggarong. Pada awalnya Kerajaan Kutai Kartanegara yang lokasinya
berdekatan dengan Kerajaan Kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman, ketika
Kerajaan Kutai Kartanegara diperintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa
ingMartadipura, terjadi perang besar antara dua kerajaan ini. Perang antara
Kerajaan Kutai dengan Kerajaan Kutai Kartanegara berakhir dengan kekalahan
Kerajaan Kutai. Setelah perang selesai, Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai
Kartanegara dilebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Kutai Kartanegara
ingMartadipura. Raja pertama dari gabungan dua kerajaan ini adalah Aji Pangeran
Sinom Panji Mendapa ingMartadipura.
Pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (raja
Kutai Kartanegara terdahulu) telah mengakar kuat pada masa pemerintahan Aji
Pangeran Sinom Panji Mendapa ingMartadipura. Islam sangat berpengaruh pada
sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara ingMartadipura. Indikator dari
pengaruh Islam terlihat pada pemakaian Undang-undang Dasar kerajaan yang
dikenal dengan nama Panji Salaten yang terdiri dari 39 pasal dan memuat sebuah
kitab peraturan yang bernama Undang-undang Beraja Nanti yang memuat 164
pasal peraturan. Kedua undang-undang tersebut berisi peraturan yang disandarkan
pada Hukum Islam.
3.  Kerajaan Islam di Zaman Penjajahan
1.      Perjuangan Kerajaan Kutai Melawan Penjajah
a.       Kerajaan Kutai Melawan Penjajah Inggris
Pada tahun 1838 Kesultanan Kutai Kartanegara di pimpin oleh Sultan Aji
Muhammad Salehuddin. Pada masa kepemimpinannya ditahun 1844, 2 buah
kapal dagang Inggris yang dipimpin James ErskineMurray memasuki perairan
Tenggarong, Murray yang datang untuk berdagang itu meminta tanah untuk
mendirikan pos dagang  serta  hak eksklusif menjalankan kapal uap di perairan
Mahakam. Namun Sultan A.M Salehuddin hanya mengizinkan Murray untuk
berdagang di wilayah Samarinda saja, Murray kurang puas dengan tawaran Sultan
ini.
Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan
meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan Kerajaan Kutai. Pertempuran pun

8
tak dapat dihindari. Setelah pertempuran yang cukup sengit, akhirnya Murray pun
tewas dalam pertempuran itu dan armada pasukan Murray melarikan diri menuju
laut lepas.
b.      Kerajaan Kutai Melawan Penjajah Belanda
Berawal dari tewasnya Murray dalam pertempuran melawan kerajaan Kutai,
membuat pihak Inggris marah dan ingin melakukan serangan balasan terhadap
Kerajaan Kutai, namun pada saat itu ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai
adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan
menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri.
Kemudian Belanda mengirimkan armadanya untuk menyerang Kerajaan
Kutai, setibanya di Tenggarong armada Belanda yang dipimpim oleh t’Hooft
menyerang istana Kerajaan Kutai. Panglima Kerajaan Kutai (Awang Long)
dengan gelar Pangeran Senopati dengan gagah berani brtempur melawan armada
t’Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Namun
sayangnya Awang Long gugur dalam pertempuran itu dan Kerajaan Kutai
Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus mentandatangani
perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui
pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di
Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di
Banjarmasin.
c.       Kerajaan Kutai Melawan Penjajah Jepang
Pada tahun 1942, Jepang menduduki wilayah Kutai. Sultan Kutai pada
waktu itu harus tunduk pada Kaisar Jepang (TennoHeika). Jepang memberi Sultan
gelar kehormatan Koo dengan dengan nama Kerajaan Kooti. Dua tahun
kemudian, Kerajaan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke
dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kerajaan lainnya seperti
Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir. Kemudian pada tanggal 27
Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

2.      Perjuangan Kesultanan Pasir Melawan Penjajah

a. Konflik Kesultanan Pasir


Kesultanan Pasir telah menjadi daerah taklukan Kesultanan Banjar yang
berdiri pada tanggal 24 September 1526. Sebagai daerah taklukan, Kerajaan Pasir
diwajibkan untuk mengirimkan upeti setiap tahun kepada Kesultanan Banjar
berupa 10 kati emas urai, beras, dan padi. Kebijakan pengiriman upeti tersebut
dianggap terlalu memberatkan rakyat di Kesultanan Pasir. Sultan Sepuh I
Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766) berangkat ke Kesultanan Banjar untuk
meminta keringanan pengiriman upeti. Melalui langkah diplomasi, Sultan Sepuh I
Alamsyah berhasil menawarkan solusi bahwa Kesultanan Pasir tidak lagi harus
mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar, tetapi sebagai
konsekuensinya, Kesultanan Pasir harus mengirimkan upeti 50 kati emas urai.
Sultan Banjar memberikan waktu selama 1 tahun kepada Sultan Sepuh dan

9
rakyatnya untuk menambang emas dan memberikannya kepada Kesultanan
Banjar.
Usaha Sultan Sepuh dan rakyat Kesultanan Pasir tidak sia-sia. Mereka
berhasil menambang emas dan menyerahkannya kepada Sultan Banjar sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Atas dasar kesepakatan ini, pada
masa pemerintahan Sultan Sepuh, Kesultanan Pasir bisa menjadi daerah merdeka,
dalam arti tidak wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan
Banjar.
Status sebagai sebuah negara yang merdeka bagi Kesultanan Banjar
bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan)
(1766-1786). Setelah Sultan Ibrahim Alam Syah meninggal dunia, kedudukannya
digantikan oleh Ratu Agung (1786-1788). Pada masa pemerintahan Ratu Agung,
Kesultanan Banjar menjadi taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC).
Status Kerajaan Pasir sebagai daerah taklukan Pemerintah Hindia Belanda
(VOC) dimulai ketika Belanda membantu Sultan Tahmidillah II dalam perang
melawan Pangeran Amir. Perang ini adalah perang perebutan tahta yang terjadi di
Kesultanan Banjar. Dalam perang tersebut, Sultan Tahmidillah II dibantu oleh
Belanda sedangkan Pangeran Amir dibantu oleh orang-orang Bugis. Di akhir
perang, yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1786, kekuatan gabungan Sultan
Tahmidillah II dan Belanda berhasil mengalahkan kekuatan gabungan Pangeran
Amir dan orang-orang Bugis. Pangeran Amir akhirnya tertangkap dan dibuang ke
Ceylon (Sri Lanka).
Kesultanan Pasir secara defactotelah menjadi daerah taklukan Belanda
melalui perjanjian tanggal 13 Agustus 1787. Belanda sebenarnya tidak
mengetahui kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya (pada masa pemerintahan
Sultan Sepuh) bahwa Kesultanan Pasir sebenarnya telah menjadi daerah yang
merdeka dan bukan lagi sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar. Meskipun
demikian, Belanda tetap meminta pengakuan kedaulatan atas Kesultanan Pasir.
Penyerahan kedaulatan Kerajaan Pasir kepada Belanda baru dilakukan pada
masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843-1853).
Ketika ditabalkan sebagai sultan, untuk pertama kalinya A.L. Weddik, Residen
Banjarmasin yang berpangkat Komisaris Gubernemen Belanda menghadiri acara
penabalan. Pada waktu penabalan, Belanda mengikat secara de jure Kesultanan
Pasir melalui kontrak politik yang berisi:
1)      Kesultanan Pasir mengakui sebagai daerah yang termasuk ke dalam wilayah
jajahan Hindia Belanda.
2)      Kesultanan Pasir menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda dan
taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
3)      Kesultanan Pasir tidak akan mengadakan hubungan langsung ataupun
membuat perjanjian dengan negara lain. Selain itu, musuh dari Belanda juga
menjadi musuh Kesultanan Pasir.
b.       Perlawanan terhadap Belanda

10
Perjanjian politik antara Sultan Adam II dan Pemerintah Hindia Belanda
yang diwakili oleh A.L. Weddik ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh Sultan
Adam II. Beberapa kerjasama dengan pihak asing tetap dilakukan oleh Sultan
Adam II tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda.
Salah satu kerjasama dengan pihak luar tersebut adalah kerja sama antara
Sultan Adam II dengan seorang pedagang keturunan Arab dari Semarang yang
bernama Syeh Syarif Hamid Alsegaf. Pedagang ini sering membawa pistol dan
senapan untuk Sultan Adam II. Keduanya kemudian menjalin persahabatan yang
dikukuhkan dengan perkawinan antara Syeh Syarif Hamid Alsegaf dengan
kemenakan sultan bernama Aji Musnah. Bahkan, Syeh Syarif Hamid Alsegaf
kemudian diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan diberi gelar Pangeran.
Sultan Adam II juga menjalin hubungan dengan seorang pedagang lainnya
bernama La Kumai dari Sulawesi Selatan, La Kumai kemudian dikawinkan
dengan putri almarhum Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815-
1843) yang bernama Aji Rindu. La Kumai kemudian juga diangkat menjadi
Menteri Kesultanan dan bergelar Pangeran Mas.
Salah satu tujuan kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Adam II adalah
membantu gerakan perlawanan di Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran
Hidayatullah dan Pangeran Antasari. Sultam Adam II membantu gerakan dengan
cara menyuplai senjata melalui gerakan bahwah tanah. Belanda yang mengetahui
langkah-langkah Sultan Adam II mengambil tindakan tegas dengan menangkap
dan kemudian membuang Sultan Adam II ke Banjarmasin. Belanda beralasan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan Adam II telah melanggar perjanjian
politik yang telah disepakati sebelumnya.
Pembangkangan terhadap perjanjian politik terus menjalar sampai pewaris
Kesultanan Pasir selanjutnya naik tahta, yaitu Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie
Tenggara) (1853-1875). Di era pemerintahan Sultan Sepuh II, kebijakan
Kesultanan Pasir sepaham dengan kebijakan Kesultanan Banjar yang melawan
kepada Belanda. Perebutan tahta yang terjadi antara Sultan Tamjidillah II dengan
Pangeran Hidayatullah ternyata menjalar pula ke Pasir. Sultan Sepuh secara tegas
berada di belakang Pangeran Hidayatullah yang nyata-nyata mempunyai
kedudukan yang sah sebagai pewaris tahta Kesultanan Banjar, lain halnya dengan
Sultan Tamjidillah II yang merupakan putera dari seorang selir yang tidak berhak
untuk naik tahta. Pembangkangan ini semakin diperkuat dengan naiknya Sultan
Tamjidillah II yang merupakan buah karya Belanda. Sultan Tamjidillah II
dianggap sebagai pemimpin boneka buatan Belanda yang bertujuan untuk
mengatur Kesultanan Banjar agar tunduk pada kekuasaan Belanda.
Penyebab utama keberpihakan Kesultanan Pasir kepada Pangeran
Hidayatullah dan Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari. Dalam sengketa
perebutan tahta yang kemudian menimbulkan Perang Banjar (1859-1905)
tersebut, Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi
penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat. Beliau
menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya,
mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir.

11
Pada saat Perang Banjar meletus, banyak pengikut Pangeran Antasari yang
disembunyikan oleh Sultan Sepuh II. Tindakan inilah yang membuat Belanda
menjadi murka karena selain tidak mentaati perjanjian politik yang ditandatangani
pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843-
1853), Kesultanan Pasir juga memberikan tempat persembunyian bagi pengikut
Pangeran Antasari yang merupakan musuh Belanda dalam perjanjian tertera
bahwa musuh Belanda adalah juga musuh dari Kesultanan Pasir.
Belanda tidak segera mengambil tindakan yang tegas untuk menyikapi
pembangkangan dari beberapa sultan tersebut. Belanda hanya mewajibkan kepada
para sultan yang memimpin Kesultanan Pasir untuk melakukan pelayanan sebaik-
baiknya dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan, khususnya yang
berhubungan dengan perintah Residen Banjarmasin. Sikap Belanda ini tetap tidak
ditaati oleh para Sultan Pasir. Kesabaran Belanda sampai pada puncaknya ketika
terjadi suatu peristiwa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga)
putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876-1898).
Kejadian ini berawal dari tindakan Sultan Muhammad Ali yang memberikan
kelonggaran kepada para pegawainya untuk melaksanakan ibadah dibulan
Ramadhan. Akibat kelonggaran tersebut, beberapa perintah dari Residen
Banjarmasin kurang mendapatkan pelayanan yang baik. Residen Banjarmasin
yang mendapatkan laporan dari Asisten Residen yang mengadakan penyelidikan
di Kesultanan Pasir kemudian memerintahkan kepada Sultan Muhammad Ali
untuk datang ke Banjarmasin dan melaporkan serta mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Di luar dugaan Residen Banjarmasin, Sultan Muhammad Ali menolak untuk
datang ke Banjarmasin. Bahkan, dengan tegas Sultan Muhammad Ali menyatakan
bahwa urusan pemerintahan serta kebijakan di dalamnya yang menyangkut
Kesultanan Pasir menjadi kewenangan Sultan Pasir, bukan kewenangan Belanda.
Menghadapi sikap Sultan Muhammad Ali ini, Belanda kemudian mengambil
tindakan tegas dengan menangkap dan membuang Sultan Muhammad Ali ke
Banjarmasin. Sultan Muhammad Ali akhirnya meninggal di tempat pembuangan.
3.      Perjuangan Kesultanan Sambaliung melawan Penjajah
Raja Alam dikenal sebagai sultan yang sangat gigih dalam menghadapi
kolonialisme Belanda. Pada bulan September 1834 ia memimpin pasukannya
bertempur melawan pasukan Belanda di laut dekat Batu Putih. Pihak Belanda
menuduh Raja Alam telah bersekongkol dengan pelaut Bugis dan Sulu dari
Mindanao Selatan yang menyebabkan perairan selat Makassar tidak aman.
Akibatnya, sejak tahun 1834 hingga tahun 1837, ia ditawan dan diasingkan ke
Makassar. Selama masa pengasingan, tahta kekuasaan Kesultanan Tanjung (Batu
Putih) oleh Belanda diserahkan kepada Sultan Gunung Tabur, yang bertindak
sebagai pelaksananya adalah Pangeran Muda dari Kutai, yaitu keluarga dari istri
Raja Alam. Pada tanggal 15 September 1836, Raja Alam dapat kembali ke Berau
setelah permintaan Aji Kuning Gunung Tabur dikabulkan oleh pemerintah
Belanda.
Sekembalinya dari masa pembuangan, Raja Alam tetap konsisten melawan
kolonialisme Belanda. Bahkan, ketika Belanda berusaha selama tujuh tahun

12
membujuknya agar berubah pikiran untuk tidak lagi menyerang mereka,
pendirian Raja Alam tetap bulat. Belanda akhirnya mengalah. Pada tahun 1844,
Belanda mengakui eksistensi Kesultanan Tanjung. Namun, tetap saja Raja Alam
tidak menerima pengakuan tersebut karena hal itu sama saja dengan bersedia di
bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Prinsip yang dianutnya adalah
bahwa syariat Islam melarang mengangkat orang kafir (baca: pemerintah koloial
Belanda) sebagai pimpinan.

4.   Islam Kalimantan Timur di Era Modern

1.      Samarinda

a.       Masjid
Setiap berkunjung ke suatu daerah yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, maka jamak kita jumpai masjid. Masjid-masjid tersebut biasanya
memiliki arsitektur dan ciri khas tersendiri yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena masjid-masjid
tersebut dibangun dengan mencoba menyesuaikan diri terhadap karakteristik dan
budaya dari masyarakat sekitar. Bisa jadi pula dengan arsitektur yang berbeda
akan menjadi suatu ciri khas, sehingga ketika seseorang berkunjung ke suatu
daerah, maka akan dengan mudah mengenali daerah tersebut lewat bangunan
masjidnya.
Di Samarinda yang juga mayoritas penduduknya beragamaIslam, tentu
keberadaan masjid bukanlah sesuatu yang mengherankan lagi. Hampir di setiap
sudut kota akan mudah dijumpai masjid-masjid indah yang berdiri kokoh. Masjid-
masjid itu antara lain Masjid Shiratal Mustaqim di Samarinda Seberang yang
memiliki sejarah panjang terhadap awal penyebaran agama Islam di Kota
Samarinda. Berdiri tahun 1880 M yang pembangunannya dilakukan oleh
Pangeran Bendahara Said Abdurrahman Assegaf, masjid ini bahkan pernah
meraih juara 1 tingkat nasional sebagai masjid bersejarah di Indonesia.
Masjid lainnya adalah  Masjid Raya Darussalam Samarinda yang terletak di
jalan KH. Abdullah Marisi berdekatan dengan kawasan Pasar Pagi. Dulunya
masjid ini menjadi masjid terbesar di Kota Samarinda selama hampir 80 tahun
lebih sejak berdiri tahun 1925 silam sebelum akhirnya tergantikan oleh Masjid
Islamic Center Samarinda.
Masjid Islamic Center Samarinda menjadi masjid terbesar dan termegah di
Kota Samarinda pada khususnya dan Provinsi Kalimantan Timur pada umumnya.
Bahkan, kemegahannya bisa disejajarkan dengan Masjid Istiqlal di Jakarta. Masjid
Islamic Center Samarinda terletak di Jalan Slamet Riyadi, Kelurahan Karang
Asam, Kecamatan Samarinda Ilir, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur
dengan latar depan berupa Tepian Sungai Mahakam. Masjid ini memiliki luas
bangunan utama 43.500 meter persegi. Untuk luas bangunan penunjang adalah
7.115 meter persegi dan luas lantai basement 10.235 meter persegi. Sementara
lantai dasar masjid seluas 10.270 meter persegi dan lantai utama seluas 8.185
meter persegi. Sedangkan luas lantai mezanin (balkon) adalah 5.290 meter
persegi. Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan bekas areal penggergajian kayu

13
milik PT Inhutani I yang kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur. Bangunan masjid ini memiliki sebanyak 7 menara dimana
menara utama setinggi 99 meter yang bermakna asmaulhusna atau nama-nama
Allah yang jumlahnya 99. Menara utama itu terdiri atas bangunan 15
lantai, masing-masing lantai setinggi rata-rata 6 meter. Sementara itu, anak tangga
dari lantai dasar menuju lantai utama masjid jumlahnya sebanyak 33 anak tangga.
Jumlah ini sengaja disamakan dengan sepertiga jumlah biji tasbih.Selain menara
utama, bangunan ini juga memiliki 6 menara di bagian sisi masjid. Masing-
masing 4 di setiap sudut masjid setinggi 70 meter dan 2 menara di bagian pintu
gerbang setinggi 57 meter. Enam menara ini juga bermakna sebagai 6 rukun
iman.6

BAB III
PENUTUP

 Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa
Islam telah ada di Kalimantan Timur sejak zaman kerajaaan-kerajaan berkuasa,
agama Islam dibawa oleh penyiar agama Islam dari luar Kalimantan Timur
sendiri. Para penyiar agama Islam itu menyebarkan agama Islam salah satunya
dengan cara melakukan pendekatan terhadap raja-raja.
Kekuasaan Kerajaan Islam di Kalimantan Timur bukanlah tanpa hambatan,
mereka harus berjuang mempertahankan kerajaannya dari penindasan penjajah.
Perjuangan dari raja-raja Kalimantan Timur melawan penjajah tidaklah sia-sia,

6 . Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia ( Jakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 1985, h.
120-125)

14
keberhasilan dari perjuangan mereka dibuktikan dengn terus berkembangnya
agama Islam di Kalimantan Timur hingga sekarang.
Di masa modern sekarang ini Islam di Kalimantan Timur terus berkembang
pesat. Perkembangan Islam di Kalimantan Timur ditandai dengan berdirinya
masjid-masjid yang megah yang berada di kawasan Kalimantan Timur.
Pembahasan di atas menjelaskan banyak hal tentang Islam di Kalimantan
Timur, namun penulis menyadari banyaknya ketidaklengkapan dari isi
pembahasan di atas. Saya sebagai  penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk mengumpulkan referensi yang ada, tetapi penulis masih belum
mendapatkan data yang lengkap mengenai Islam di Kalimantan Timur secara
keseluruhan. Penulis meminta maaf jikalau terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam pembahasan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Sejarah Lokal di Indonesia. Jakarta: Gadjah Mada UniversityPress,


1985.

Farukhi dan Vida Afrida. Mengenal 33 Provinsi Indonesia Kalimantan Timur. Jakarta:


PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2008.
Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan.Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993.
Setiawan, B. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi
Pustaka, 1990.

15

Anda mungkin juga menyukai