PENDAHULUAN
Kita tidak bisa melupakan sejarah apalagi tentang sejarah peradaban Islam, sebab ilmu
agama juga lahir pada jaman dulu, sedangkan jaman dulu adalah sejarah, berarti ilmu agama
tinggal sejarah. Oleh karena itu ilmu agama dan peradaban Islam yang melahirkan pejuang-
pejuang Islam sangat penting dipelajari karena ilmu agama serta sejarah masuknya Islam
diberbagai negeri harus dipelajari karena ilmu agama atau sejarahnya tidak akan usang
dimakan waktu.
Kami selaku penyusun sangat senang dengan tugas makalah tentang kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan, sebab proses masuknya Islam di Kalimantan sangat mudah karena
terdapat sungai Barito yang ramai dilalui. Perihal lain yang memudahkan masuknya Islam di
Kalimantan adalah karena berdekatan dengan Brunai Darussalam dan Johor Malaysia. Jalur
perdagangan yang telah memudahkan Islam masuk ke wilayah Kalimantan.
B. RUMUSAN MASALAH
1|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan Pasir
Dahulunya rakyat Dayak pasir dipimpin oleh kepala-kepala dari rakyat Dayak
sendiri. Ada seorang kepala suku Dayak yang sangat berpengaruh bernama Temanggung
Tokio, dia mengusulkan agar di daerah-daerah agar dikepalai oleh seorang kepala saja dan
untuk itu diminta sultan yang dekat tempat tinggalnya. Kemudian mereka berangkat dengan
perahu yang penuh bermuatan emas dan perak yang akan dianugerahkan kepada raja yang
baru, tetapi ia tak mendapatkan seorang pun yang dipandang cakap. Temanggung Tokio
sangatlah sedih sampai ia tidak makan dan minum, kemudian di dalam mimpinya ia melihat
seorang yang tua yang berkata padanya: “Untuk mendapat raja engkau pergilah ke laut, dan
di situ engkau akan memperoleh sepotong bambu yang tiga ruasnya terapung-apung di laut,
ambillah bambu itu dan bungkus dengan sutra kuning, di dalam bambu itu ada sebutir telur
yang harus diberi asap dupa, menyan, dan gaharu, dan dari telur itu nanti melahirkan raja
perempuan”.
Temanggung Tokio pun menuruti pesan orang tua dalam mimpinya, sesudah tiga hari
tiga malam telur itu didupakan, maka terbelah dualah bambu itu dan dari dalam telur itu pun
pecah pula dan dilahirkan seorang bayi puteri yang cantik jelita. Anak itu sama sekali tidak
mau menyusu, setelah berusaha dapatlah ia diberi makanan dengan susu kerbau putih.
Puteri inilah yang diangkat menjadi Ratu Pasir, dan waktu ia berusia 15 tahun ia telah
dinikahkan, tetapi malang sekali ia tidak dapat keturunan sehingga harus diceraikan beberapa
kali. Ketika dia telah menikah yang ketujuh kali, masih belum juga mempunyai anak,
kemudian datanglah seorang Arab dari Jawa (Gresik) yang beragama Islam, terus ia
dinikahkan dengan sang puteri. Orang Arab tadi kemudian mencari tabib yang dapat
membuang sari bambu yang ada pada sang puteri sehingga bisa melahirkan dua puteri dan
satu putera. Puteri yang tertua (Putri Adjie Meter) kemudian menikah. [1] Ajaran agama Islam
masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan
seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter
inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke
Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M.[2]
a. Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya dengan Putri
Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga perkawinan Sayyid
Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak Putri Petong dengan Abu
Mansyur Indra Jaya.
b. Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada zaman mereka, yang
selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk pedagang dari
Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser dengan para pedagang muslim
menyebabkan sebagian masyarakat penduduk tertarik untuk memeluk agarna Islam.
c. Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu Mansyur Indra
Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan berhubungan badan dengan
lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal ini disebabkan sari bambu yang
melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat
menyembuhkan penyakit tersebut.
Jauh sebelum mengenal agama, di daerah Paser ini, masyarakat Paser mengenal
kepercayaan animisme supernatural, syamanisme dan sebagainya, mereka terikat dengan
2|Page
makhluk-makhluk halus, roh-roh halus, kekutan-kekuatan gaib dan kekuatan-kekuatan sakti.
Di daerah Paser, dikenal dengan ilmu gaib, sebagai bentuk kepercayaan “Kuno” yang
mempercayai adanya kekuatan maha dasyat terdapat di alam semesta. Desa yang diartikan
sebagai penguasa tertinggi dalam kekuasaannya menguasai seluruh alam semesta, dalam
sistem ini terlihat dalam tata cara pelaksanaan untuk maksud-maksud tertentu, misalkan pada
saat pembukaan hutan untuk lahan perladangan atau persawahan, menanam padi dan
sebagainya yang dilaksanakan oleh seorang dukun / mulung, yang mengetahui jampi-jampi
atau soyong dalam bahasa Paser, diucapkan kata-kata permohonan sesuai dengan yang
diharapkan.
Sayyid Ahmad Khairuddin keturunan Arab yang diberi Gelar Sayyid keturunan Arab
kalangan Alawiyyah sebagai keturunan Nabi, dan mereka menyebutkan diri sebagai "Ahlul
Bayit” yang menjadi pengruh besar di Kerajaan Pasir.
Di Kerajaan Paser sendiri sangat jelas bahwa Sayyid Ahmad Khairuddin mendapat
gelar Sayyid Imam Pawa. Sayyid Ahmad Khairuddin masih berkaitan erat dengan Maulana
Malik Ibrahim keturunan Zainal Abidin bin Husain bin Ali R.A .
Beberapa lama tinggal di Kerajaan Paser akhimya Sayyid Ahmad Khairuddin kawin
dengan Aji Putri Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Saudara dari Aji
Mas Pati Indra, bibi Aji Mas Anom Indra. Sumber lain mengatakan bahwa yang menjadi
Imam pada masa itu adalah Imam Mustafa (Vr, sumber dari Aji Zainal Abidin dan kawan-
kawan). Lebih kurang 15 tahun menyiarkan agama Islam di Kerajaan Paser, Sayyid Ahmad
Khairuddin menunaikan ibadah haji.
Ketika Sayyid Ahmad Khairuddin yang menjadi guru dari raja Paser Aji Mas Anom
Indra diangkat menjadi imam di kerajaan Paser, Sareat Islam pun diperlakukan dalam
kerajaan Paser, sehingga Islam masuk dalam struktur kekuasaan kerajaan Paser, sehingga
islam menyebar dikalangan rakyat Paser. Setelah Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan
ibadah haji, rupanya takdir Allah menghendaki Sayyid Ahmad Khairuddin di Makatul
Musyarrafah. Siar Islam dilanjutkan keturunan dia, Imam Sayyid Abdurrahman bin Sayyid
Ahmad Khairuddin.
B. Kesultanan Banjar
3|Page
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu
pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini
digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada11 Juni 1860, yaitu :
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah
cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden
Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja
Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena
para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung,
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir
sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha,
selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra
yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih
di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja
yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan
Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
Awal masuknya pengaruh agama Islam di Banjarmasin pada abad ke XV melalui
jalur perdagangan. Pengaruh Islam ini dibawa oleh pedagang- pedagang muslim seperti
Raden Paku. Pemeluk agama Islam pertama diperkirakan adalah golongan pedagang dan
masyarakat yang tinggal di bandar-bandar pelabuhan yaitu orang-orang Melayu dan orang-
orang Ngaju. Agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Banjarmasin pada abad ke XVI,
yaitu pada tanggal 24 September 1526 melalui Kerajaan Demak. Penerimaan agama ini
terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan
Suriansyah.
4|Page
C. Kesultanan Kotawaringin
Kotawaringin merupakan salah satu kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang
yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Kerajaan ini bagian dari
kepangeranan cabang. Kesultanan Banjar. Menurut catatan istana al-Nursari yang terletak di
Kotawaringin Lama, kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau 1530.
Pada tahun 1637 Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin, dan
pada tahun itupula dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai
dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya
saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada
masa Sultan Mustain Billah.
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin
Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti
beringin.
Pada abad ke-15, merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam. Walaupun
kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatra sebelum tahun 1300,
dan baru akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam pertama di Kalimantan.
Demikian pula Islam di Sabah pada 1405 dan Brunei pada 1410, Malaka pada 1440, yang
ketika itu ramai dikunjungi kapal-kapal dari Cina. Islam kemudian menyebar di pulau Jawa
yang pada akhirnya menyebabkan jatunya Kerajaan Majapahit ke tangan Kesultanan Islam
Demak pada permulaan abad ke 16, sementara itu, hubungan perdagangan berlangsung terus,
dan pengaruh-pengaruh Jawa Hindu tampak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,
Kotawaringin, Kalimantan Tengah dan Sambas, Kalimantan Barat. Namun, di sisi lain,
pengaruh Islam yang meningkat di Brunei menjadi suatu pusat baru penyebaran Islam,
seluruh penduduk pantai akhirnya memeluk Islam. Di bawah Sultan Bolkiah dari Brunei,
Islam pun menyebar ke Filipina, yang merupakan batas tumur pengaruh Islam.
Pada awal abad ke-16 itu pula, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan. Semenjak
itu pula, kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir. Abad ke-16 ini
merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang menguasai pantai-pantai Kalimantan
sampai sejauh Sambas dan Sukasada di Barat, Kutai dan Berau di Timur. Brunei juga
berkembang dan menguasai Pantai Utara, Sulu dan sebagian Palawan.
Sementara itu, masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tak bisa dilepaskan
dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin. Seperti diketahui, Kerajaan Sungai Sampit
adalah vazal dari Kerajaan banjarmasin (lihat Traktat Karang Intan pada 1 Januari 1817).
Bahkan, pada 1844, diketahui cukup banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah
memeluk agam Islam. Mereka bermukin di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar,
Kawan Batu, Pahirangan, Sumin, Balirik, Tangkaroba, Tambah, Pamintangan,dan Tumbang
Kuayan (Masdipura; 2003).
5|Page
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Kotawaringin
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M),
pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud
dari perhatian tersebut adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan
dan Danau Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota
Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan
sebuah sekolah sambungan yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota
Pngkalan Bun yaitu Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan,
Kudangan, Kinipan, Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
D. Kerajaan Pagatan
Daerah Pagatan baru ada sekitar tahun 1750 dibangun oleh Puanna Dekke', hartawan
asal Tanah Bugis tepatnya dari daerah Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan. Puanna Dekke'
berlayar menuju Kesultanan Pasir, hatinya tidak berkenan sehingga menyusuri Kerajaan
Tanah Bumbu(sekarang Kabupaten Kotabaru) dan belum menemukan daerah yang dapat
dijadikan permukiman sampai dia menemukan sungai yang masuk dalam wilayah Kesultanan
Banjar. Selanjutnya bertolaklah Puanna Dekke' menuju Banjarmasin untuk meminta izin
kepada Sultan Banjar (1734) yaitu Panembahan Batu untuk mendirikan pemukiman di
wilayah tersebut, yang kelak menjadi Kerajaan Pagatan. Pada akhirnya wilayah Kerajaan
Pagatan dan Kerajaan Kusan disatukan menjadi semacam federasi dengan sebutan Kerajaan
Pagatan dan Kusan dan rajanya disebut Raja Pagatan dan Kusan.
Islam di Kerajaan Pagatan memang sudah ada sebelum Kerajaan Pagatan lahir.
Kerajaan Pagatan menjunjung tinggi adat budaya suku bugis, sangat erat dengan ritual religi
islami, yang dikemas dalam sajian kesenian tradisional Masukkiri atau pelantunan riwayat
Maulid Nabi Muhammad S.A.W, Shalat hingga Asmaul Husna dengan menggunakan alat
rebbana jenis Terbang berukuran besar secara kolosal. Kemudian tradisi Silelung Botting,
Mapanre Dewata dalam upacara pernikahan tradisional adat bugis, dan beragam adat budaya
bugis lainnya yang selalu lestari di Tanah Bumbu.
Islam di wilayah Pagatan sudah ada bermula dari Kerajaan Banjar, namun untuk
wilayah Pagatan sendiri sangat erat dengan kebudayaan Bugis yang sangat erat dengan nilai-
nilai keislaman.
E. Kesultanan Sambas
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana
yang tercantum dalam kitab Negara kertagama karya Mpu Prapanca pada masa Majapahit.
Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun
secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan
benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu) yang ditemukan selama
6|Page
ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M
di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat
posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas
dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas
ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya
Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan
Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas
oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3)
pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan
Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri
pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah
sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3
kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan
kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara,
rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini
lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah
dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir.
Raja Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta dengan
menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung yang
dikuburkan hidup hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat
kawin sesama saudara (lihat: Legenda Bujang Nadi Dare Nandung) Pada saat itu di wilayah
ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah terjadi kudeta rakyat dengan
terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan dimasukkan kedalam peti dan petinya
dibuang kedalam sungai Sambas (Lihat: dato’ Ronggo) dan sejak itu masyarakat Melayu di
wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa
ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap
rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
7|Page
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran
Sinum Panji Mendapaberhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan
Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak
di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pengaruh Islam sudah ada sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota. Undang-Undang
Dasar Kerajaan saat itu adalah “Panji Salaten” dan “Beraja Nanti”. Kedua Undang-Undang
tersebut peraturannya disandarkan pada hukum Islam.
G. Kesultanan Berau
8|Page
H. Kesultanan Sambaliung
Kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan
Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan
kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan
cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan
Sambaliung).
Pendirian Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra
ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober
1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai
Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah
sebagai tempat tinggal. Pada tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi
Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinyaMasjid Jami
Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang
sekarang terletak diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Pendirian Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra
ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober
1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai
Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah
sebagai tempat tinggal. Pada tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi
Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinyaMasjid Jami
Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang
sekarang terletak diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Sesuai dengan asumsi tersebut tadi maka Masjid Raya Imanuddin pun tidak
membatasi peranannya pada kegiatan ubudiyah semata. Pada zaman penjajahan, baik
Belanda maupun Jepang, sama mencurigai aktivitas yang dilakukan di masjid ini telah
digunakan para ulama untuk mengobarkan semangat anti penjajahan kepada kaum muslimin
pada waktu itu.
J. Kesultanan Pontianak
10 | P a g e
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Pontianak
Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit
mencampuri urusan pemerintahan. Sultan Syarif Yusuf lebih aktif dalam bidang keagamaan,
sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Kesultanan Kadriah dipimpin oleh delapan sultan, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun
1950 sebagaimana berikut ini :
K. Kerajaan Tidung
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka)
adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang
berkedudukan diPulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat
pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah
(Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulauTarakan yakni, di kawasan
binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira
tahun 1076-1156.
11 | P a g e
kerajaan tarakan, berkembang dari tiga penduduk yang berlokasi di menjelutung. Orang lokal
sesayap padamulanya adalah suku Kepatal, yang telah lama terlupakan. Kemungkinan besar
adalah bagian dari suku putuk.
Sesayap juga dikatakan berada di bawah kekuasaan Berau. Berau pada waktu itu
beraliansi dengan brunei melawan sulu. Lebih lanjut, mungkin seorang kepala suku kepatal,
mulai menggunakan nama dayak yang tegas untuk semua keturunan raja tidung sesayap.
Setelah suku Tausug dari sulu menduduki tarakan dan bersekutu dengan bulungan,
saudara perempuan raja tidung tarakan menikah dengan seorang pangeran bulungan dan
membawa tidung berada di bawah kuasa bulungan.
Anak mereka yang bernama, Baginda, adalah yang pertama masuk islam. Dengan
demikian itu adalah suatu perubahan yang hampir secara langsung dari kepemimpinan kepala
adat dayak ke pemerintahan muslim. Namun bagaimanapun, koversi tersebut hanya terbatas
pada kalangan bangsawan, sehingga sampai akhir tahun 1700an populasi Tidung belum
mayoritas islam.
Masyarakat suku Tidung mayoritas beragama Islam dan memiliki corak budaya
Melayu, tetapi kehidupan suku Tidung masih memiliki unsur-unsur agama leluhurnya masuk
didalam ritus dan adatnya baik itu dalam aspek perkawinan, kelahiran, atau pengobatan.
Kehidupan masyarakat suku Tidung yang menarik adalah adat istiadatnya salah
satunya saat bulan Syafar yang terdapat dalam kalender Penanggalan Hijriyah (Islam),
menurut kepercayaan masyarakat suku kaum Tidung adalah bulan waktu diturunkannya
malapetaka/bala. Jadi agar terhindar dari malapetaka/bala, maka setiap anak dari suku kaum
Tidung yang lahir pada bulan safar haruslah mengadakan Tradisi Betimbang asebanyak tiga
kali dimana pelaksanaan Tradisi Betimbang adalah pada setiap bulan Safar. Tatacara
pelaksana sang Anak duduk di atas Timbangan yang telah dibuat sedemikian rupa, sementara
kitab Suci Alqur'an, Sayur-sayuran, dan Makanan di simpan di atas timbangan lainnya,
sehingga kedudukannya menjadi seimbang. setelah itu anak diturunkan, dan digantikan
dengan sayur-sayuran dan buah-buahan yang lainnya.
12 | P a g e
2. Proses Masuknya Islam di Kerajaan Tidung Kuno
Penyebaran Islam saat itu melalui perkawinan karena berawal dari kehidupan yang
berpencar dan berpindah-pindah. Beberapa orang suku Tidung berpindah-pindah dan
kebanyakan dari mereka tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyang mereka, tinggal dan
hidup di Berau, Kutai (Kutai Lama, Sangkulirang, Sangatta) dan lainnya. Di Sabah bagian
Barat ada kumpulan kecil yang memiliki adat di luar suku Tidung yang bukan Islam. Tapi
bahasa mereka mirip dengan dialek Tarakan. Tidung Tarakan sendiri disebut Tenggara atau
desa Raja Tara’ yang penduduknya bercampur dengan orang Kayan seperti halnya Melayu
yang tidak menjadi pertimbangan mereka menjadi orang Tidung. Suku Tidung membaur
dengan semua kelompok untuk bersama-sama membentuk pemerintahan pantai. Waktu itu,
mereka lebih menyukai kawin dengan tetangga muslim seperti Sulu, Bugis, Brunei, dan Arab
serta orang-orang Melayu lainnya.
M. Dinasti Tengara
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada
tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
Dahulu kala kaum suku Tidung yang bermukim dipulau Tarakan, popular juga
dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah
melahirkan Dynasty Tengara.
Proses masuknya Islam melalui suku Tidung yaitu melalui masyarakat Dayak. Suku
Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di
Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga
13 | P a g e
tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang
berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
N. Kesultanan Bulungan
Pada saat Kesultanan Bulungan ini terkenal dengan perayaan Birau, yaitu pesta yang
diadakan secara meriah oleh seluruh masyarakat. Perayaan Birau awalnya dilaksanakan pada
masa Kesultanan Bulungan untuk memperingati syukuran khitanan anak raja-rajanya.
Sebagai upaya untuk melestarikan adat istiadat, perayaan Birau tetap terus diselenggarakan.
BAB III
14 | P a g e
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa awal mulanya Kerajaan Islam di
Kalimantan terjadi karena Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha dapat ditaklukkan oleh kerajaan
Islam sehingga agama Islam menyebar hingga ke seluruh Nusantara, salah satunya
Kalimantan. Di Kalimantan, Kerajaan Islam juga menyebar akibat kekalah Kerajaan Hindu-
Budha yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Islam. Salah satu Pangeran yang berjasa
dalam penyebaran Kerajaan Islam di Kalimantan Ialah Pangeran samudera. Hal itu terjadi
karena pangeran Samudera menikahi seorang Puteri dari Kerajaan Hindu-Budha yang
kemudian diIslamkanoleh Pengeran samudera dan hal itu mengakibatkan kemarahan dari
saudara-saudara sang Puteri dan mengakibatkan terjadi perperangan dan pertumpahan darah.
Dari sanalah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar akibat kekalah
kerajaan Hind-Budha tersebut.
Adapun Kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan yaitu Kesultanan Pasir, Kesultanan
Banjar, Kesultanan Kota Waringin, Kesultanan Beruk, Kesultanan Pontianak, Kerajaan
Tidung, Kesultanan Sambas, Kesultanan Kertanegara, Kesultanan Sambaliung, Kesultanan
Bulungan.
1. Jalur perdagangan
2. Kehidupan yang berpindah-pindah
3. Pernikahan
4. Jalur pelayaran
5. Adat Istiadat
B. SARAN
Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di Kalimantan kita
dapat menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di
daerah Kalimantan walaupun harus berkorban nyawa dalam memerangi kerajaan Hindu-
Budha yang pernah menguasai daerah-daerah di Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA
15 | P a g e
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993), h. 119-120.
Cilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam dan kebudayaan, PT. Tiara Wacana Yogya,
cetakan pertama 17 Agustus 1993 h. 119-120.
16 | P a g e