Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH KERAJAAN MATARAM ISLAM

DISUSUN GUNA MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH


FILSAFAT SEJARAH

Disusun Oleh:
1.) Andrianto
2.) Dayi Iskandar
3.) Nurul Jannah AM
4.) Mila Kurnia
5.) Supardiono

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA


JAKARTA
2016
A. PENDAHULUAN
Pertama kali membaca kata mataram, tentu bagi sebagian masyarakat masih
membingungkan karena dalam wilayah peninggalan dua buah kerajaan yang kini
membentang dari provinsi jawa barat, jawa tengah, DIY dan jawa timur hingga
beberapa pulau sekitarnya sampai sekarang berdiri beberapa candi yang luar biasa
mengagumkan dan lestari hingga sekarang, yaitu candi borobudur, prambanan dan
beberapa candi lainnya yang bercorak hindu-budha. Pada wilayah yang sama, juga
lestari hingga saat ini keraton dan kadipaten serta masjid yang bercorak islam.
Memang benar diwilayah ini pernah berdiri dan jaya sebuah kerajaan
mataram yang bercorak hindu budha, tidak seperti di daerah asalnya yaitu India
agama hindu dan budha tidak pernah bersatu, akan tetapi di wilayah ini kedua
agama hidup bersama berdampingan dengan mesra dan tidak ada perselisihan yang
berarti. Kedua agama ini berdampingan dan berkembang bersamaan dalam naungan
kerajaan mataram yang biasa kita sebut mataram lama atau mataram hindu-budha.
Sementara pada kurun waktu berikutnya berdiri dengan megahnya kerajaan
mataram baru yang bercorak islam. Dalam Kerajaan ini nilai-nilai agama islam
menyeliputi segenap penyelenggaraan kerajaan dan seluruh kebudayaan yang
berkembang.
DARI DEMAK HINGGA KOTAGEDE

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa Kerajaan Mataram Islam
adalah bagian dari kerajaan-kerajaan islam yang pernah tumbuh dan berkembang
bahkan ada yang tetap bertahan hingga saat ini. Kerajaan Demak bintoro adalah
kerajaan islam yang pertama kali berdiri di pulau jawa. Kerajaan Demak Bintoro
berdiri diprakarsai oleh para wali dan raja pertama yang bertahta adalah Raden
Patah. Kerajaan ini pada awalnya hanyalah sebuah kadipaten, iya benar kadipaten
yang merupakan pemberian dari Kerajaan Majapahit karena memang Raden Patah
adalah salah satu pangeran kerajaan Majapahit, sekali lagi saya tegaskan beliau
adalah pangeran dan bukan putra mahkota kerajaan Majapahit.
Pada masa mudanya Raden Patah mengaji dan bahkan mondok di pesantren
yang diajar langsung oleh para wali, oleh karena itulah Raden Patah yang
dikemudian hari menjadi sultan pertama di tanah jawa ini sangat hormat dan takzim
kepada para wali. Setelah dewasa dan karena merasa memiliki hak atas bagian dari
Majapahit maka Raden patah memohon kepada Raja Majapahit yaitu Prabu
Brawijaya tanah di kadipaten Demak. Permohonan tanah tersebut ternyata
dikabulkan oleh Prabu Brawijaya sehingga dibangunlah sebuah kadipaten Demak
yang para wali langsung adalah sebagai dewan penasihat raden patah yang
sebenarnya adalah hubungan guru-murid yang terus berlanjut dan tidak
terpisahkan. Hubungan persahabatan antara murid dengan murid, antara guru
dengan guru hingga terjalinlah komunitas pemimpin dan ulama yang luar biasa
saling hormat menghormati saling harga menghargai.
Seiring berjalannya waktu kadipaten demak semakin maju dan makmur,
kehidupan rakyat yang bercorak agraris sekaligus maritim. Keadaan wilayah yang
aman tenteram membuat masyarakat damai dan mesra menggeluti keahlian
masing-masing. Bersemangat memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan sosial dengan
profesi masing-masing tanpa ada gesekan yang berarti. Wilayah Demak yang
lokasinya dekat dengan pantai utara yang menjadi pelabuhan sangat cepat
berkembang dan termasyur hingga mancanegara. Palabuhan yang kian berkembang
pesat membuat pertumbuhan ekonomi rakyat meningkat dengan pesatnya.
Kehidupan petani dan peternak juga berkembang pesat bahkan dalam masa itu
dikisahkan ada seorang petani yang sedang asyik mencangkul disawah merasa
kurang nyaman karena gangguan petir, oleh karena itu ditangkaplah petir itu dan
dipersembahkan kepada sultan Demak. Petir dikurung dan ditempatkan di tengah
alun-alun untuk diperlihatkan kepada masyarakat umum, akan tetapi pada saat
penjaga lengah datanglah pasangan petir itu membawakan semangkuk air minum
sehingga terdengarlah suara menggelegar membelah angkasa dan pada saat
bersamaan hilang dan bebas kembali petir itu bersama pasangannya. Petani
penangkap petir itulah Ki Ageng Selo namanya, Beliau masih keturunan raja
Majapahit, Beliau ayah dari Ki Gede Pemanahan, Beliau kakek dari Panembahan
senopati yang nanti berhasil mendirikan kerajaan mataram Islam.
Dalam masa itu di pusat kerajaan Majapahit terjadi huru-hara yang
berkepanjangan. Sepeninggal Hayam Wuruk memang Majapahit semakin meredup
dan terjadi perang saudara serta pemberontakan. Lama kelamaan Majapahit
semakin lemah dan banyak kadipaten yang melepaskan diri dari Pemerintahan
Majapahit. Jatuhnya Majapahit adalah karena serbuan raja girindrawardana pada
tahun 1478M atau tahun 1400 saka. Kemudian Raden Patah yang juga putra Raja
Majapahit merebutnya dari kekuasaan Girindawardana. Untuk sementara waktu
Sunan Giri bertahta sebagai raja, hanya selama 40 hari lamanya dengan maksud
untuk menghilangkan pengaruh ke-budhaan Majapahit.1 Tahun ini biasa kita kenal
dengan sengkalan “sirna hilang kertaning bumi”.
Setelah 40 hari bertahta menjadi raja, Sunan Giri Prapen kemudian datang ke
Demak bersama para wali dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada raden patah
untuk memerintah pulau Jawa. Karena Demak berdiri dengan restu Sunan Giri, maka
selanjutnya Giri berwibawa atas kerajaan Demak dan kerajaan-kerajaan
penggantinya. Segala sesuatu yang penting seperti penobatan raja, perang dan
damai dimintakan dahulu dari Giri.
Kemudian kerajaan Demak berakhir dibawah Sultan Bintara. Pusat Kerajaan
lalu dipindah ke Pajang oleh Sultan Hadiwijaya, menantu Sultan Bintara. Setelah
bertahta Sultan Hadiwijaya datang menghadap kepada Sunan Giri.Datangnya Sultan
Hadiwijaya menghadap Sunan Giri tidak lain adalah untuk memperoleh legitimasi,
karena seperti yang telah di uraikan diatas bahwa legitimasi dari Sunan Giri amatlah
penting sejak awal berdirinya kerajaan Demak. Sunan Giri menyetujui, Beliau
bersedia menobatkan Sultan Hadiwijaya menjadi Sultan Pajang yang memerintah
Tanah Jawa. Sultan Hadiwijaya datang ke Giri diiringi oleh seluruh bupati dan
beserta juga Ki Ageng Mataram, Putra Ki Ageng Selo, Ayah Panembahan Senopati.
Kemudian Sunan Giri memanggil salah satu lurah kepala yaitu Ki Ageng Mataram. Ki
Ageng Mataram datang menghadap Sunan Giri. Kepada para bupati Sunan Giri
bersabda bahwa dikemudian hari Ki Ageng Nataram akan mendapatkan anugerah
untuk memimpin seluruh pulau jawa, termasuk Giri pula.
Ki Ageng Mataram mempersembahkan sebuah keris yang dibawanya, sebagai
tanda kesetiaan kepada Sunan Giri, namun keris tersebut dikembalikan. Semua yang
hadir merasa senang terhadap sikap Ki Ageng Mataram. Sunan Giri memerintahkan
segenap prajurit pajang untuk membuat sebuah kolam, setelah selesai kolam itu
diberi nama Telaga Patut. Kemudian Sultan Hadiwijaya mohon diri untuk kembali
pulang beserta seluruh prajuritnya, pulang kembali ke negri Pajang.
Kerajaan Pajang hanya Sultan Hadiwijaya saja yang bertahta karena
sepeninggal beliau Kesultanan pindah ke Mataram, Panembahan Senopati yang
bertahta.

1
Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya. Serat Centini dituturrkan dalam Bahasa Indonesia, 1978:
Mangkunegaran: Rekso Pustoko
MATARAM ISLAM

Mataram adalah daerah yang menghasilkan dinasti Jawa modern yang paling
kuat dan paling lama. Babad-babad Jawa menyebutkan bahwa seorang yang
bernama Ki Gede Pemanahan telah berhasil menunaikan tugas besar dari Sultan
Pajang, Jaka tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya untuk membunuh lawan
utamanya yaitu Arya Penangsang dari Jipang Panolan, yang berlangsung sekitar
tahun 1540-an sampai 1550-an. Sebagai hadiahnya, Pemanahan dijanjikan akan di
berikan Bumi Mataram, tetapi Jaka Tingkir mengulur-ulur waktunya hingga Sunan
Kalijaga ikut campur tangan mendesak supaya Jaka Tingkir memenuhi Janjinya.
Diperkirakan Ki Ageng Pemanahan menempati daerah tersebut pada tahun 1570-an
dan sesudah itu Beliau disebut Ki Ageng Mataram. Diperkirakan dia meninggal pada
tahun 1584.2
Mataram pada mulanya hanyalah merupakan hutan yang penuh tumbuhan
tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu, lima abad sebelum berdirinya
kerajaan Mataram (Islam) yang kita bicarakansekarang ini. Wilayah ini di akhir abad
ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang - Jaka Tingkir) telah dibedah kembali
oleh seorang Panglima Pajang " K i Gede Ngenis" yang kemudian popuier dengan Ki
Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukkan wilayah tersebut ke dalam
pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang. Konon karena khawatir akan sabda
yang disampaikan oleh Sunan Giri ketika Sultan Hadiwijaya sowan ke Giri Kedaton,
maka Sultan Hadiwijaya mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan tanah tersebut.
Berkat bantuan Sunan Kalijaga Ki Ageng Pemanahan memberanikan diri untuk
meminta haknya, yaitu tanah Mataram yang telah dijanjikan Sultan Hadiwijaya
sebelum menaklukkan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan.
Wilayah Mataram dihadiahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta
puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka dalam ikut
serta melumpuhkan Aria Penangsang di Jipang Panolan. Ki Pamenahan, disinyalir
sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada Sultan Pajang. Setelah wafat
ia diganti putranya, ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan
Pajang sebagai Senopati Ing AlagaSayidin Panatagama atau mashur dengan
Panembahan Senopati. Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh

2
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu. Hlm.97
sebagaikerajaan bawahan Pajang, ia dengan sengaja mengabaikan kewajibannya
sebagai raja bawahan dengan tidak seba atau sowan tahunan terhadap raja Pajang.
Panembahan Senopati adalah putra Ki Ageng Ngenis atau yang masyur dengan
nama Ki Ageng Pemanahan yang juga pernah diambil sebagai anak angkat Sultan
Pajang, Sultan Hadiwijaya karena beliau sudah lama berkeluarga belum juga
dikaruniai putra maupun putri. Tidak lama setelah mengangkat Sutawijaya sebagai
anak angkat beliau dikaruniai putra dan putri. Namun seiring berjalannya waktu
Sultan Hadiwijaya semakin keterlaluan, diceritakan Sultan Hadiwijaya gemar
mengambil istri selir, inilah yang membuat Sutawijaya, raden ngabehi loring pasar
yang telah diberi gelar senopati ing alaga ini mengabaikan kewajibannya untuk
sowan atau seba dikarenakan ia tahu bahwa gadis pujaannya ternyata telah
disiapkan untuk kelak menjadi garwo selir Sultan Pajang. Akan tetapi karena
keinginan Panembahan senopati sangat kuat bahwa ia harus mendapatkan gadis
pujaannya itu maka ayahnya memberanikan diri untuk mohon ijin kepada Sultan
Pajang, ternyata dikabulkan Sultan Pajang, Beliau tidak keberatan karena
Panembahan senopati adalah anak angkatnya juga dan sudah sangat baik selama
berada di Pajang dan berteman akrab dengan putra-putri Sultan Pajang.
Konsekuensinya akhirnya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan
pembangkangan Mataram dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata. Ekspedisi
penyerbuan dibawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan
karena bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan
bercerai berainya prajurit Pajang. Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari
ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang meninggal dunia. momentum ini
dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati untuk memproklamasikan dirinya sebagai
penguasadi seluruh Jawa.
Dalam serat babad diterangkan, bahwa kerajaan mataram didirikan oleh
Sutawijaya dan kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga, pada tahun
1575.3 Senopati Mataram merupakan figur penguasa yang agresif. Semenjak ia
menobatkan dirinya menjadi penguasa banvak sekali kerajaan-kerajaan di Jawa
Tengah dan sebagian di jawa Timur menjadi ajang taklukannya. Tercatat pada masa
berkuasanya (1584-1601 M), Pajang dan Demak dapat ditaklukan pada tahun 1588
(konon semenjak peristiwa ini ia mendapat gelar Panembahan) memnsul kemudian
Madiun pada tahun 1590 dan Jepara (Kalinyamat) pada tahun l599. Pada tahun yang

3
Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. 1988. Jakarta: UI-Press, hlm.10
bersamaan Tuban juga diserang yaitu tahun 1598 dan 1599 tetapi masih dapat
bertahan hingga diduduki pada tahun 1619 oleh Sultan Agung. Panembahan
Senopati mangkat pada tahun 1601 digantikan putranyayang bernama Mas Jolang
atau Ki Gede Mataram yang kemudian masyhur dengan julukan Panembahan Sedo
Ing Krapyak, yang memerintah tahun1601 sampai 1613. Dalam menjalankan roda
pemerintahan Sultan yang baru naik tahta ini tidak memiliki watak agresif
sebagaimana bapaknya, ia lebih cenderung mengadakan pembangunan dibanding
ekspansi. Banvak sekali dijumpai bangunan-bangunan yang sebelumnyua tidak ada,
seperti : Prabayeksa (tempat kediaman raja) dibangun pada tahun 1603, Taman
Danalaya pada tahun 1605, membuat lumbung di Gading tahun 1610 dan lain-lain.
Maka ia terkenal sebagai raja yang ahli membangun. Kecenderungan yang ia sukai
ialah berburu, dalam hal ini ia mempunyai daerah khusus untuk perburuan yang
dinamakan dengan krapyak. Sikapnya itu ternyata kurang disukai oleh sebagian
rakyat, terbukti pada masnya telah terjadi pemberontakan-pemberontakan;
Pangeran Puger di Demak pada tahun 1602-1605 dan Pangeran Jayaraga di
Ponorogo pada tahun 1608. Motif pemberontakan yang dilancarkan kedua kakaknya
memiliki kemiripan, yakni rasa tidak puas atas diangkatnya Mas Jolang berikut
kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Kedua pemberontakan tersebut akhimya bisa
dipadamkan. Di sisi lain, Surabaya yang belum sempat ditaklukkan oleh
Panembahan Senopati, sedang menyusun kekuatan dan menguasai sebagian
kerajaan di wilayah Jawa Timur sehingga ia merupakan rival bagi kerajaan Mataram
dalam upaya mempersatukan seluruh Jawa di bawah imperiumnya. Sementara
Mataram sibuk menghadapi konflik dalam negeri dan tidak sempat menganeksasi
daerah-daerah sekitar sebagaimana yang dilakukan orang tuanya. Peristiwa yang
sebelumnya tidak pernah terjadi yaitu ia telah menjalin kerja sama dengan kompeni
Belanda di akhir masa berkuasanya pada tahun 1613. Setahun kemudian, tepatnya
tanggal 1 Oktober 1613, Sultan yang gemar berburu itu meninggal dunia ketika
berburu di Krapyak.
Pewaris tahta Mataram ketiga ialah Sultan Agung. Beliau yang memiliki nama
kecil Den Mas Rangsang naik tahta pada tahun 1613 hingga wafatnya tahun 1646.
Berbeda sekali dengan ayahnya, ia termasuk figur pemimpin yang keras dan tegas
tetapi bijaksanan. Nampaknya karakter itu ia warisi dari almarhum kakeknya. Ia
juga yang telah meneruskan ekspansi-ekspansi keberbagai wilayah yang pada masa
Panembahan Senopati masih belum tuntas. Beberapa lama setelah naik tahta, ia
segera mengirimkan ekspedisi penaklukan ke kerajaan di wilayah Jawa Timur.
Usaha itu selalu berhasil, dengan tanpa mengalami kesulitan maka pada tahun 1615
Wirasaha dapat dikuasai menyusul kemudian Lasem (1616), Pasuruhan (1617),
Tuban (1619) dan Madura pada tahun 1624. Surabaya, yang merupakan saingan
berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut Giri
(1636) dan Blambangan di tahun 1639. Dengan dikuasainya kerajaan-kerajaan di
wilayaha Jawa Timur ini maka hampir sempurnalah kedudukan Mataram sebagai
penguasa Jawa, sebagaimana yang dicita-citakan perintisnya, Panembahan Senopati,
tinggal wilayah Barat saja yang belum mampu dikuasai.
Usaha ekspansi ke wilayah Barat (Jakarta - yang saat itu dikuasai oleh
Kompeni), sebenarnya sudah pernah dilakukan Sultan Agung pada tahun 1628 dan
1629, akan tetapi belum memperoleh hasil yang menggembirakan bahkan banvak
menelan korban di pihak mataram. Hal ini disebabkan disamping sistem
persenjataan yang kalah canggih juga karena adany a seorang prajurit Mataram
yang membelot dan memihak kepada Belanda serta menunjukkan gudang
perbekalan Mataram yang berada di Tegal - akhirnya logistik itupun dibakar oleh
Kompeni dan banvak prajurit Mataram yang mati kelaparan. Disinyalir pula bahwa
pada saat serangan itu terjadi parajurit Mataram sedang dilanda wabah malaria.
Walaupun usaha untuk membendung pengaruh VOC itu belum memperoleh
sukses sebagaimana yang siharapkan tetapi telah menimbulkan rasa hormat para
penguasa pribumi luar Jawa. Suatu hal yang menarik untuk diperhatikan ialah
kenapa dalam upaya perluasan wilayah ke Barat Sultan tidak mengadakan serangan
terhadap Cirebon padahal ia telah mengirimkan ekspedisinya dua kali ke Batavia
untuk menyerbu VOC, rencananya jika usaha tersebut berhasil akan dilanjutkan
menganeksasi Banten ? bahkan rencana untuk menyerang pun tidak pernah
terlintas.
Beberapa alasan bisa dikemukakan di sini. Pertama. karena Cirebon
diperintah oleh raja-raja keturunan Sunan Gunung Jati dan sekaligus sebagai
penerima Islam lebih dulu dibanding Mataram sehingga Mataram memandangnya
sebagai kerajaan yang lebih tua dan rajanya dianggap sebagai orang-orang suci. Di
saat Sultan Agung berkuasa, Cirebon diperintah oleh Panembahan Ratu yang
usianya lebih tua dibanding Sultan Agung dan ia dianggap sebagai guru. Kedua,
antara Mataram dengan Cirebon telah terjalin hubungan persahabatan bahkan
kekeluargaan yang intim sehingga sangat disayangkan jika persahabatan tersebut
harus lenyap hanya karena ambisi pribadi. Disinyalir bahwa sebelum Panembahan
Senopati wafat ia telah mewasiatkan kepada putranya agar tetap melestarikan
hubungan baiknya dengan Cirebon. Ketiga, bisa jadi Cirebon sengaja tidak diserang
dengan suatu pamrih agar usahanya untuk menaklukkan Banten seusai menyerang
Batavia tidak mendapat kesulitan. Jadi Cirebon di sini dijadikan perantara yang
menghubungkan Mataram dengan Banten.
Kharisma Mataram menjadi turun semenjak mangkatnya Sultan Agung di
bulan Februari 1646 dan diganti putranya "Susuhunan Amangkurat I'. Raja baru
Mataram yang menggunakan gelar Susuhunan (artinya yang disembah atau dipuji -
bisa juga berarti Kaïsar) ini disamping memerintah secara otoriter, kejam juga
termasuk raja yang antipati terhadap ulama. Tercatat selama ia berkuasa telah
membantai dua ribu ulama termasuk mertuanya, Sunan Giri Prapen. Bersekongkol
dengan Kompeni, berpola hidup ala Barat, dansa, minum minuman keras dan lain
sebagainya merupakan kebijaksanaan yang ditempuh. Ini berbeda dengan para
pendahulunya yang menghormati ulama dan antipati terhadap kompeni adapun
Sultan Agung menjalin kerja sama dengan Portugis itu sebatas demi kepentingan
kerajaan atau dengan kata lain untuk membendung usaha penetrasi yang dijalankan
oleh kompeni yang bermarkas di Batavia.
Sebagai akibatnya maka banvak daerah yang di masa Sultan Agung menjadi
bawahan Mataram, meiepaskan diri. Pemberontakan-pemberontakan pun tak bisa
dihindarkan lagi, seperti: Trunojoyó (Madura), Kajoran (tokoh agama) dan anaknya
sendiri Adipati Anom. Masa kelam terus menyelimuti bumi bedahan Ki Pemanahan
beserta putranya Panembahan Senopati dan mencapai kegemilangan pada masa
Sultan Agung Hingga akhirnya di tahun 1755 M , Mataram terbagi menjadi dua
bagian : Yogyakarta yang dipimpin Hamengkubuwono dan Surakarta dibawah
kekuasaan Pakubuwono.
Sebagaimana di kerajaan-kerajaan Islam lainnya, ulama di kerajaan yang
dibangun di atas puing-puing peradaban Hindu ini juga memperoleh posisi
terhormat. Partisipasinya dalam mewujudkan stabilitas kerajaan tidaklah sedikit,
terutama di bidang kerohanian dan mental spiritual. Kaïtannva dengan
permasalahan ini, disinyalir bahwa raja-raja Mataram memandang atau mengangkat
wali-wali Kadilangu (dekat Demak) sebagai penasehat dan pembimbingnya. Sering
tokoh bernama Sunan Kalijaga dimunculkan dalam berbagai berita, ia juga dianggap
sebagai orang yang berinisiatif membangun tembok keliling kerajaan berasama
dengan Senopati.
Apabila dicermati, gerak ulama di kerajaan Mataram lebih sempit lingkupnya
dibanding dengan Aceh. Kalau di Aceh ulama itu bisa berperan di berbagai aspek
kehidupan termasuk juga duduk sebagai aparat pemerintah atau memimpin
pertempuran melawan penetrasi Barat, maka di Mataram bisa ditemukan peran
ulama tidak lebih hanya sebagai kaum rohaniawan atau penasihat istana di bidang
mental spiritual. Kenyataan ini bisa difahamai karena keberadaan Mataram itu
sendiri terletak di atas puing-puing budaya Hindu yang sudah mendarah daging
maka otomatis benturan budaya terjadi di sana, termasuk dalam menentukan
klasifikasi sistem sosial. Posisi ulama (agamawan) kalau dalam ajaran agama Hindu
menduduki strata sosial (kasta Brahmana) barangkali kedudukan ulama di sini
disejajarkan dengan tingkatan kaum elite kerajaan yang tidak banvak perlu
bekiprah dalam persoalan-persoalan yang tidak ada hubungannya dengan
bimbingan massa terutama soal keagamaan. Adapun tugas lainnya itu diserahkan
sepenuhnya kepada kaum bangsawan atau ksatria. Atau mungkin juga karena ulama
pada saat itu sedang konsentrasi menggarap soal Islamisasi terhadap budaya-
budaya yang masih lekat di hati masyarakat Mataram, Sunan Kalijaga, misalnya
beliau yang dianggap sebagai ulama sesepuh Istana selalu berusaha keras agar
ajaran Islam mudah diterima masyarakat yang sudah kuat nilai kepercayaan
terhadap ajaran dan doktrin budaya sebelum Islam. Berbagai cara telah beliau
tempuh termasuk melalui karya seni yang telah mentradisi di masyarakat.
Memang disadari pindahnya pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa
(arus Islamisasi utama) ke daerah pedalaman yang agraris serta telah dipengauhi
budaya pra Islam, menimbulkan warna baru bagi Islam yang kemudian disebut
dengan Islam sinkritisme (percampuran ajaran Islam dengan budaya-budaya para-
Islam), seperti: kepercayaan Grebeg, Sekaten, labuhan di segara kidul pada bulan
Suro, penggelaran bendabenda keramat dan lain-lain.
Berkenaan dengan sinkritisme ini, Sartono dalam bukunya "Sejarah
Nasional" telah mensinyalir bahwa Babad Tanah Jawi menceritakan tentang para
wali yang berdzikir di Masjid Demak tiba-tiba jatuh di hadapan mereka sebuah
bungkusan berisi sajadah dan selendang Rasulullah s.a.w. Kedua benda itu
kemudian oleh Sunan Kalijaga dinamakan Antakusuma atau Ki Gundil. Baju inilah
yang menjadi perlambang pakaian resmi raja-raja Jawa semenjak Panembahan
Senopati Mataram.
Demikianlah keadaan Islam semenjak berpusat di Mataram, campur tangan
budaya setempat yang kemudian terkenal dengan Islam Kejawen. Peranan ulama
menjadi tergeser semenjak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I. Pada saat itu
terjadi de-Islamisasi. Banvak ulama yang dibunuh serta kehidupan keagamaan
merosot, sementara dekandensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram
akibat dari campur tangan budaya asing yang kian mencoreng dan makin hari makin
kuat.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kritik dan arahan selalu kami terima
dengan lapang dada dengan harapan akan menjadi semakin baik kedepannya.
Sekian. Terima Kasih.

Daftar Pustaka

Harun, M. Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI Dan XVII.
Yogyakarta.Kurnia Kalam Sejahtera.
Daryanto. 2013. Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram. Yogyakarta.
Dipta.
De Graaf, H.J. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta. Pustaka Grafitipers.
Moejanto,G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya Oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta. Kanisius(Anggota IKAPI)
Ibrahim, Teuku. 1998. Islam Dan Khasanah Budaya Keraton
Yogyakarta.Yayasan Kebudayaan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai