Anda di halaman 1dari 5

B.

Kerajaan Demak

Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan
nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah
kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah
seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit.

Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang


sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan
kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan
terhadap Majapahit. Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan
Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah.

Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat


pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh
daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak
terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting
pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara
akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.

Di atas reruntuhan kerajaan Majapahit, Jin Bun mendirikan Demak sebagai


negara Islam pertama di Jawa, negara Islam ketiga di Nusantara dan yang keempat di
Asia Tenggara. Setelah dikukuhkan sebagai raja Demak, Jin Bun mengambil nama
Patah, sebuah kata yang berasal dari al-fath yang berarti kemenangan. Sebagai raja
pertama Demak, Raden Patah menjadikan kota Demak sebagai ibu kota atau pusat
administrasi kerajaan, serta menjadikan Semarang sebagai pelabuhan utama atau
pusat kegiatan ekonomi. Jin Bun alias Raden Patah berkuasa di Demak pada 1478-
1518.

Di kota pelabuhan Semarang, Raden Patah mengangkat adik tirinya, Kusen


untuk menjadi penguasa utama sekaligus membangun kota tersebut agar menjadi
bandar pelabuhan yang strategis. Untuk menjalankan tugasnya ini, Kusen meminta
bantuan Gan Si Cang untuk menjadi kapten Cina di Semarang pada 1478. Kusen
bersama Gan Si Cang memanfaatkan orang-orang Cina Semarang, yang tidak saja
kuat dalam perdagangan, tapi juga memiliki keahlian dalam bidang pertukangan,
untuk memproduksi banyak kapal. Kusen dan Gan Si Cang juga membuka kembali
upaya pengergajian kayu serta galangan kapal yang sudah lama terbengkalai sejak
masa Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang.[5]

Setelah Raden Patah wafat, ia digantikan oleh anaknya pati unus yang terkenal
dengan Pangeran Sebrang Lor. Sebelumnya Pati Unus menjabat sebagai adipati di
jepara.

Demak dibawah Pati Unus (1518-1521 ) adalah Demak yang


berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan
maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan
pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran
pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Masa pemerintahan Pati Unus hanya seumur jagung, + hanya 3 tahun.
Penerusnya ialah sultan trenggono, seorang ulama besar dari pasai yang berhasil lolos
dari pengepungan penjajahan Portugis. Sultan trenggono pada mulanya bernama
Fatahillah, karena beliau di terima dengan baik dan menjadi imam bagi masyarakat
trengganu. Sultan trenggono juga terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati, karena
dikuburkan di daerah gunung jati, Jawa Tengah.

Pengangkatan Pati Unus sebagai pengganti Raden Patah tidak banyak


dipersolkan, karena ia memang putra mahkota sulung. Masalah muncul tatkala Pati
Unus tewas pada 1521 tanpa meninggalkan keturunan. Raden Kinkin adalah anak
tertua kedua setelah Pati Unus, namun lahir dari istri ketiga. Sementara itu, Trenggana
adalah anak yang lebih muda dari Raden Kinkin, tapi ia lahir dari istri pertama Raden
Patah. Maka, terjadilah perebutan kekuasaan antara Trenggana dengan Raden Kinkin.
Dalam konteks ini, Prawata (anak Trenggana) memainkan peran untuk mengangkat
ayahnya ke tampuk kekuasaan dengan membunuh Raden Kinkin dari Jipang.

Tatkala Trenggana wafat pada 1546, Prawata memang naik tahta di Demak.
Namun, Arya Panangsang dari Jipang (anaknya Raden Kinkin), yang memiliki
dendam kepada Prawata atas kematian ayahnya sekaligus berambisi untuk menjadi
sultan, tidak mau tinggal diam. Tatkala tentara Demak masih bergerak di wilayah
Maluku untuk mengusir Portugis, Arya Panangsang membawa pasukannya bergerak
untuk menyerang Demak. Dalam penyerangan ini, Prawata mati dan banyak orang-
orang Tionghoa peranakan dibunuh secara kejam oleh pasukan dari Jipang.
Sungguhpun Prawata berhasil dibunuh, Arya Panangsang tidak bisa secara mulus
menjadi sultan karena mendapat halangan dari Jaka Tingkir dari Pajang.

Ketika Arya Panangsang berhasil membunuh Prawata, Jaka Tingkir bergerak


untuk mencegah Arya Panangsang menjadi sultan. Ia membawa tentara Pajang, serta
meminta bantuan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Panjawi, untuk menyerang
Arya Panangsang dari Jipang. Di dalam pertempuran, Jaka Tingkir berhasil
membunuh Arya Panangsang. Selanjutnya, Jaka Tingkir mendirikan kesultanan
Pajang, sementara Ki Ageng Pamanahan dihadiahi tanah di daerah Mataram dan Ki
Ageng Panjawi mendapat daerah Pati.

Demikian, berdirinya kesultanan Pajang untuk menggantikan kesultanan


Demak telah mengakhiri sejarah kerajaan Islam pesisir. Sebab, Pajang terletak di
pedalaman, jauh dari laut. Karenanya, peralihan ini juga menandai peralihan orientasi
ekonomi Islam Jawa, dari ekonomi perniagaan ke pertanian. Selain itu, hal ini juga
diikuti dengan peralihan paham keislaman, dari madzhab Hanafi ke madzhab Syiah
ajaran Syeikh Siti Jenar. Inilah momen penting dalam sejarah Islam di Jawa di mana
terjadi peralihan orientasi ekonomi, politik dan keagamaan. Tentu saja, akan sangat
menarik dapat mengetahui sebab-sebab pergeseran orientasi tersebut. Hanya saja,
sebelum mengelaborasi masalah ini, ada baiknya kita terlebih dahulu melihat peran
orang-orang Tionghoa peranakan dalam penyebaran Islam di Jawa. Tionghoa
peranakan yang berjasa besar dalam Islamisasi pulau Jawa ini dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan walisongo yang berarti sembilan wali atau wali sembilan.

C. Kerajaan Mataram Baru


Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat
maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman
Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan
keluarga raja maupun pada golongan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai
dengan perebutan tahta dan perselisihan antar anggota keluarga yang sering dicampuri
oleh Belanda.

Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-


penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang
kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut
merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.

Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang


dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran
Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya
membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya
kerajaan Pajang.

Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi


kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede
Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati
di Kota Gede tersebut.

Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi


perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati
Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono. Akibat dari perang saudara
tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal
inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas
bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena
ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya
kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai
kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram.

Pada tahun 1588 Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut


wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati[9]. Pada
saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengahsaat ini, mewarisi wilayah Kerajaan
Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di
timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton
(tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak diBanguntapan, kemudian dipindah
ke Kotagede. Sesudah Sutawijaya ( 1601 ) meninggal ( ia dimakamkan di Kotagede)
kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu
Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat


karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut
Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang)
wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas
Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita
penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas
Rangsang.
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau
lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung ( 1613-1645 ). Pada masanya Mataram
berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa
dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timursekarang). Ia
memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kert", maka muncul sebutan pula "Mataram
Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan
antara Mataram denganVOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi
denganKesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Tindakan-tindakan Sultan Agung sebagai
raja Mataram!

Menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri untuk memperluas wilayah


kekuasaannya.

Mempersatukan daerah-daerah kekuasaannya melalui ikatan perkawinan.

Melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629.

Memajukan ekonomi Mataram.

Memadukan unsur-unsur budaya Hindu, Budha dan Islam.

Setelah wafat (1645), ia digantikan oleh putranya yang


bergelar Amangkurat (Amangkurat I). Amangkurat I memindahkan lokasi keraton
ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan
Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin olehTrunajaya dan memaksa
Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi
sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat
Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan
pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi
ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama
dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708),


Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749).
VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC
mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja
dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi
"king in exile" hingga tertangkap diBatavia lalu dibuang ke Ceylon.

Sebab-sebab kehancuran dari kerajaan Mataram

Tidak adanya raja-raja yang cakap seperti Sultan Agung.

Banyaknya daerah-daerah yang melepaskan diri.

Adanya campur tangan VOC terhadap pemerintahan Mataram.


Adanya politik pemecah-belah VOC melalui perjanjian Gianti 1755 dan Salatiga
1757.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah
pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur
kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan
politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan
bahwaKesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari
Kesultanan Mataram.

https://dinanurfadhilah.wordpress.com/2014/06/26/kerajaan-samudra-pasai/

http://dedyiraw.blogspot.co.id/2013/11/kerajaan-samudra-pasai.html

Anda mungkin juga menyukai