Anda di halaman 1dari 17

Kesultanan Demak, adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh

Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan bagian dari
kerajaan Majapahit, dan kesultanan ini merupakan pelopor penyebaran agama Islam
di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak mengalami
kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan antar kerabat kerajaan. Pada tahun
1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh
Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid
Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota
Kesultanan Demak saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah.

2.Kerajaan Demak
Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama
Bintoro
atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit.
Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja
Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai
kota
dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi
Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di
pulau
Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di
Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai
Demak,
yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut
Muria
sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana
Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram
(Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan
yang
penting bagi kerajaan Demak.

3.Kerajaan Banten
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi tentang kerajaan Demak, bahwa
daerah
ujung barat pulau Jawa yaitu Banten dan Sunda Kelapa dapat direbut oleh Demak, di
bawah pimpinan Fatahillah. Untuk itu daerah tersebut berada di bawah kekuasaan
Demak.
Setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah maka daerah Banten diserahkan kepada
putranya yang bernama Hasannudin, sedangkan Fatahillah sendiri menetap di
Cirebon,
dan lebih menekuni hal keagamaan.
Dengan diberikannya Banten kepada Hasannudin, maka Hasannudin meletakkan
dasardasar
pemerintahan kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama,
memerintah tahun 1552 – 1570.
Lokasi kerajaan Banten terletak di wilayah Banten sekarang, yaitu di tepi Timur Selat
Sunda sehingga daerahnya strategis dan sangat ramai untuk perdagangan nasional.
Pada masa pemerintahan Hasannudin, Banten dapat melepaskan diri dari kerajaan
Demak, sehingga Banten dapat berkembang cukup pesat dalam berbagai bidang
kehidupan. Untuk lebih jelasnya, simaklah uraian materi tentang kehidupan politik
Banten
berikut ini.
Silsilah Raja-raja Banten
1. Sultan Hasannudin (1552 – 1570)

2. Panembahan Yusuf (1570 – 1580)

3. Maulana Muhammad (1580 – 1596)

4. Abulmufakir (1596 – 1640)

5. Abumaali Achmad (1640 – 1651)

6. Sultan Abdul Fatah/Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682)

7. Abdulnasar Abdulkahar/Sultan Haji (1682 – 1687)
Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang
dikuasai
oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka
Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu
mengatasi
perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang.
Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada
raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan
meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota
Gede
tersebut.
Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang
saudara
antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang
merupakan keturunan dari Raden Trenggono.
Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang
melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta
bantuan
kepada Sutawijaya.
Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena
ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya
kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai
kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram.
Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di
kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang.
Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham, untuk
mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan kerajaan Mataram, maka simaklah
uraian
materi berikut ini.
1.latar belakang berdirinya kerajaan Mataram!
Berdirinya kerajaan Mataram tidak terlepas dari perang saudara di Pajang. Karena
setelah kematian Pangeran Hadiwijaya, raja Pajang, maka terjadi perebutan
kekuasaan antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri keturunan
Pangeran Trenggono. Untuk menghadapi Arya Pangiri, Pangeran Benowo meminta
bantuan kepada Sutawijaya, sehingga Sutawijaya berhasil mengatasi perebutan
kekuasaan tersebut. Atas jasanya secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan
takhta Pajang kepada Sutawijaya sehingga Sutawijaya mendirikan kerajaan Mataram.
2.Tindakan-tindakan Sultan Agung sebagai raja Mataram!
-Menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri untuk memperluas wilayah
kekuasaannya.
-Mempersatukan daerah-daerah kekuasaannya melalui ikatan perkawinan.
-Melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629.
-Memajukan ekonomi Mataram.
-Memadukan unsur-unsur budaya Hindu, Budha dan Islam.
3. Sebab-sebab kehancuran dari kerajaan Mataram!
-Tidak adanya raja-raja yang cakap seperti Sultan Agung.
-Banyaknya daerah-daerah yang melepaskan diri.
-Adanya campur tangan VOC terhadap pemerintahan Mataram.
-Adanya politik pemecah-belah VOC melalui perjanjian Gianti 1755 dan Salatiga
1757.
Awal mula berdirinya sebuah kerajaan kecil atau sebuah kadipaten di tanah Mataram
tidak lepas dari peranan seseorang yang bernama Ki Pamanahan yang juga merupakan
pendiri Dinasti Mataram. Ki Pamanahan merupakan keturunan dari Ki Ageng Sela.
Nama Ki Ageng Sela sendiri berasal dari nama suatu tempat yaitu desa Sela di daerah
Grobogan, tidak jauh dari Purwadadi. Di sana pulalah letak kompleks pemakamam
“Krajang Sela”  yang merupakan makam Ki Ageng Sela dan kedua istrinya. Apabila
dilihat dari asal keturunan, Dinasti Mataram tidak berasal dari kelas penguasa. Nenek
moyang Raja-raja Mataram yaitu Ki Ageng Sela sendiri adalah seorang pemuka
pedukuhan atau desa Sela, ia dikenal sebagai seorang petani yang rajin. Terbukti ia
bekerja keras di sawah, barangnya yang dianggap sebagai suatu peninggalan yaitu
berupa cangkul dan caping tersimpan di Museum Radyapustaka Surakarta.
            Ki Ageng Sela merupakan anak dari Ki Getas Pendawa yang merupakan cucu
dari Raja Majapahit.  Setelah Ki Ageng Sela menikah ia memiliki tujuh orang anak
dan anak yang paling bungsu merupakan anak lak-laki yang bernama Ki Ageng
Ngenis. Ki Ageng Ngenis inilah yang merupakan ayah dari Ki Pamanahan. Orang-
orang dari Sela tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Raja Pajang.
Di istana Pajang, menurut penulis Mataram, terdapat orang-orang yang berasal dari
Sela. Yang pertama yaitu Ki Pamanahan yang menikah dengan sepupunya sendiri
yang merupakan anak dari kakak kandung ayahnya, tokoh yang kedua yaitu Ki Juru
Martani yang merupakan saudara kandung Ki Pamanahan, tokoh yang ketiga disebut
sebagai putera angkat Ki Ageng Ngenis yang bernama Ki Panjawi. Menurut cerita, Ki
Pamanahan dan Ki Panjawi sangat disenangi oleh Sultan Pajang, mereka dijadikan
pemimpin para tamtama dan mereka disebut sebagai saudara tua oleh Sultan Pajang.
Sementara itu Ki Juru Martani sendiri dijadikan penasehat kedua orang tersebut.
            Ki Pamanahan dan Ki Panjawi merupakan tokoh yang penting dan berjasa
dalam perang merebut kekuasaan Jipang oleh Kerajaan Pajang. Sultan Pajang yaitu
Hadiwijaya merupakan menantu Raja Demak  yang bernama Trenggana, setelah
Trenggana wafat ia digantikan oleh puteranya yang bernama Pangeran Prawata yang
bergelar Sunan Prawata. Tetapi Sunan Prawata sendiri dibunuh oleh Aria Panangsang
yang merupakan sepupu sunan Prawata. Aria Panangsang sendiru kemudian dibunuh
oleh orang-orang suruhan Sultan Pajang.
            Menurut Babad Tanah Jawi, yang mengatakan bahwa Raja Pajang telah
menghadiahkan tanah Pati dan tanah Mataram kepada orang-orang yang mampu
mengalahkan  Aria Panangsang. Pada tahun 1558 Sultan Pajang berhasil mengalahkan
Aria Panangsang dari Jipang. Kemenangan itu tidak lepas dari jasa orang-orang
suruhannya yaitu Ki Pamanahan dan Ki Panjawi. Tetapi sesungguhnya orang yang
telah membunuh Aria Panangsang adalah seperti yang diceritakan dalam Babad
Meinsma adalah Sutawijaya yang merupakan anak kandung Ki Pamanahan.
Sutawijaya juga merupakan anak angkat Sultan Pajang. Atas jasa tersebut Sultan
Hadiwijaya memberikan tanda ucapan terima kasih berupa tanah Pati dan tanah
Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi yang mengatakan bahwa Sultan Hadiwijaya
meminta kepada Ki Pamanahan agar memilih tanah Pati atau tanah Mataram. Ki
Pamanahan berpendapat bahwa haknya sebagai anak sulung membawanya pada
kedudukan yang lebih rendah. Oleh sebab itu ia memilih tanah Mataram yang masih
berupa hutan belukar dan tanah Pati yang telah berbentuk kota dan mempunyai
penduduk 10.000 orang diserahkan kepada Ki Panjawi.
Akan tetapi menurut cerita tutur Jawa Barat menyebutkan, oleh karena asal
keturunan orang Mataram yang sangat rendah tersebut menyebabkan tanah Mataram
tidak diperoleh dengan cara damai tetapi dengan penaklukan secara kekerasan. Jac
Couper juga memberitakan bahwa Ki Pamanahan menjadi kepala perampok di
“Negeri Mataram” dan menamakan dirinya menurut nama tempat itu. Dikatakan pula
Ki Pamanahan dikirim ke Mataram sebagai panglima oleh Sultan Hadiwijaya untuk
mengislamkan wilayah tersebut yang berarti dengan kekerasan. Apabila dilihat dari
sumber Jawa maupun berita-berita tua dibandingkan antara berita penyerahan kedua
daerah tersebut sebagai tanda jasa kemenangan mereka terhadap Jipang dengan berita-
berita tua yang mengatakan bahwa tanah Mataram ditaklukkan dengan kekerasan,
maka kiranya berita-berita tua itulah yang lebih meyakinkan dan dapat diterima serta
dipandang sebagai berita yang asli.
            Setelah Mataram menjadi miliknya, Ki Pamanahan mulai berangkat ke
Mataram yang disertai anak-anak dan isterinya, terutama anaknya yang bernama
Sutawijaya dibawa pula, serta para sanak keluarga yang lain dari Pamanahan dibawa
juga. Tanah Mataram juga terkenal dengan nama Alas Mentaok karena daerah itu
masih berupa hutan belukar. Pada hari yang telah ditentukan oleh Ki Pamanahan
penduduk mulai membersihkan hutan dan membangun sebuah Dalem  atau
perkampungan. Penanggalan berdirinya Kerajaan Mataram mengalami suatu problem
yang sulit. Berbagai daftar tahun diperlihatkan jurang yang menimbulkan pertanyaan.
Menurut Raffles jurang itu terdapat antara tahun 1556 dan 1577 Masehi. Hageman
mencoba menyisipkan beberapa tahun dari sumber lain. Tahun 1577 merupakan
angka tahun yang penting artinya bagi Mataram karena menurut cerita tutur Jawa
pada tahun ini Kraton Mataram didirikan dan ketika Kraton Plered jatuh yaitu pada
tahun 1677, usia Kerajaan Mataram tepat satu abad. Pendirian kraton juga didahului
dengan masa yang penuh pertempuran dan kekacauan yaitu selama kurang lebih 19
tahun.
            Pada kenyataannya tanah Mataram merupakan tanah yang subur, cerita
mengenai Kraton Mataram  tidak lepas dari sebuah nama wilayah yaitu Kotagede
yang merupakan Ibukota Kerajaan Mataram. Kotagede juga disebut dengan Pasar
Gede karena keramaian pasarnya. Di dalam perkembangannya seiring dengan
berkembangnya Kerajaan Mataram, Ki Pamanahan juga mendirikan sebuah masjid
atau langgar, tetapi bentuk masjid itu masih sangat sederhana sekali. Setelah menjadi
penguasa di Mataram ia merubah namanya yang semula bernama Ki Gede Pamanahan
atau Ki Ageng Pamanahan menjadi Ki Gede Mataram atau Ki Ageng Mataram.
Bersangkutan dengan ramalan Sunan Giri mengenai Kerajaan Mataram kelak
dipimpin oleh seorang raja yang akan berkuasa di tanah Jawa, maka Ki Pamanahan
mempunyai keinginan agar keturunannya yang akan menjadi raja tersebut. Ramalan
itu menjadi kenyataan setelah Ki Pamanahan meminum air kelapa ajaib di rumah
sahabatnya Ki Ageng Giring di Gunung Kidul. Kelak puteranya yang bernama
Sutawijaya akan menjadi raja besar di Mataram.
            Kota Karajaan Mataram makin lama semakin makmur. Hal itu menyebabkan
kegelisahan di hati Sultan Pajang. Ia khawatir ramalan Sunan Giri menjadi kenyataan
bahwa kelak di Mataram muncul seorang raja yang akan menyamainya, tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa karena kehendak Tuhan tidak mungkin dapat dicegah oleh
manusia. Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Ki Ageng Mataram merupakan
kerajaan kecil atau berupa sebuah kadipaten yang sangat patuh dan tunduk di bawah
kekuasaan Kerajaan Pajang. Menurut Babad Tanah Jawi sejalan dengan semakin
makmurnya Mataram, menyusul berita tentang penyakit Ki Gede Mataram yang telah
tua itu, ia menyerahkan pemeliharaan atas keturunannya kepada Ki Juru Martani yang
harus dipatuhi oleh anak-anaknya. Ki Ageng Mataram wafat pada tahun 1584 M dan
dimakamkan di sebelah masjid Kotagede. Mengenai pesan Ki Ageng Mataram kepada
Ki Juru Martani, menandakan bahwa keselamatan Mataram berada di tangannya. Oleh
karena itu setelah wafatnya Ki Ageng Mataram, Ki Juru Martani diminta memperoleh
persetujuan Sultan Pajang mengenai siapa pengganti Ki Ageng Mataram. Menurut
cerita tutur jawa sesuai pesan ayahnya, Ki Ageng Mataram dan restu Sultan
Hadiwijaya, Sutawijaya atau Senapati yang masih muda itu pada tahun 1584 menjadi
pengganti ayahnya sebagai raja di Mataram yang kelak segera setelah ia mendapat
kekuasaan atas Mataram, mulai mengadakan persiapan untuk memerdekakan tanah
warisnya
.

B.     Perkembangan Kerajaan Mataram   

Setelah wafatnya Ki Ageng Mataram pada tahun 1584,

Di tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)


diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran korupsi.

Catatan sejarah memang menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18 VOC
digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral
Antonio Van Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang
terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya ubtuk memberantas korupsi di dalam tubuh
asosiasi dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang dikatakan bahwa korupsi saat itu
sudah menjadi suatu kenyataan hidup.

Pasal utama penyebab korupsi ini adalah kecilnya gaji yang diterima oleh para
pegawai VOC. Sementara gaji pegawai rendahan VOC, yang hanya berkisar antara 16
gulden hingga 24 gulden per bulan, tak sesuai dengan gaya hidup di Batavia pada saat
itu. Para pegawai setingkat juru tulis rata-rata menerima gaji 24 Gulden setiap bulan,
sementara seorang Gubernur Jendral menerima 600 hingga 700 Gulden setiap bulan.
Para pejabat VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga juru tulis, banyak
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam banyak kasus
ditemukan jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan perdagangan
diperjualbelikan dan diberikan kepada orang yang memberikan penawaran tertinggi.

Sudah barang tentu sebagai sebuah perusahaan dagang VOC melarang para
pegawainya terlibat dalam perdagangan. Akan tetapi dengan alasan gaji yang kecil,
pada saat itu taklah heran jika dijumpai para pejabat VOC yang melakukan kerjasama
dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau Perancis. Bahkan praktek tersebut
mungkin dikerjakan sebagai prioritas ketimbang kerja untuk VOC sendiri. Tak jarang
merea memanfaatkan kapal VOC untuk mengangkut barang yang bukan
diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di London
pada tahun 1743, “A Description of Holland, or the Present State of the United
Provinces,” dilaporkan banyak kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan.

Persoalan korupsi ini tidak berarti tuntas tatkala VOC digantikan oleh pemerintahan
Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal dua sistem, Bestuurs
Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi dalam bentuk yang lain.
Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam
beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut peraturan petani
diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi tanaman wajib tersebut.
Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi, teh, atau nila. Berdasarkan
peraturan harus mengubah 1/3 bagian dari sawah-sawah produktif mereka guna
tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu mereka untuk menagawasi tanaman
tersebut.

Akan tetapi dalam prakteknya kepala desa, demang, wedana, atau bupati yang
bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani untuk
menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat
sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut. Sementara itu
residen-resinden dan pengawas (controluer) Hindia Belanda mendiamkan saja praktek
tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit. Taklah heran bila pada masa
Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan, terutama di
Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang diwajibkan dan tak memiliki
waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi 1/3 bagian yang dapat mereka
tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam setahun.

Situasi tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa dihapuskan pada
tahun 1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal, dimana perusahaan-
perusahaan swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala
besar. Perubahan ini juga menandai diterapkanya sistem kerja upahan.

Modal asing semakin deras masuk ke Hindia Belanda, yang bukannya memberikan
kebaikan, tetapi justru semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat. Para
pemilik modal, selain bisa memiliki tanah, juga dapat menyewa dari penduduk
setempat atau pemerintah. Sawahsawah desa yang bersifat komunal mulai banyak
disewakan para kepala desa dimana mereka mendapat premi tertentu, sementara
peduduknya menjadi kuli secara massal. Petani telah menjadi budak di lahannya
sendiri.

Meskipun industri Gula semakin berkembang, kehidupan kaum buruh dan tani yang
menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula kian lama kian terpuruk. Kehidupan
kaum buruh dan petani yang buruk itu tak ada satupun mendapat pembelaan dari
aparat birokrasi pemerintah, yang seharusnya memeberikan perlindungan. Para kepala
desa sudah sepenuhnya menjadi alat perusahaan perkebunan tebu dengan berbagai
suap yang mereka terima. Pemberontakanpemberontakan kecil petani tebu mulai
muncul, dengan membakar area perkebunan tebu.

Di sisi yang lain persoalan klasik yang ada pada masa-masa sebelumnya tetap
dijumpai. Gaji yang diterima oleh para pangreh praja, terutama pangreh praja
rendahan seperti wedana, camatcamat dan mantri, tetaplah kecil. Keuntungan besar
yang didapat pemerintah Hindia Belanda dari sewa-menyewa lahan perkebunan dan
pajak yang mereka peroleh dari penguaha-pengusaha perkebunan tak digunakan untuk
mensejahterakan aparat birokrasi pada level menengah ke bawah. Sementara sebagai
bagian dari pemerintahan Hindia Belanda dan sistem birokrasi tradisional, para
pangreh praja ini harus memelihara gaya hidup sebagai priyayi. Diduga mereka
menerima segala macam upeti dari rakyat untuk membiayai hidup mereka.
Para patih dan bupati, meskipun gaji yang mereka terima lebih tinggi, juga banyak
menerima upeti yang tidak resmi dari rakyat. Selain itu mereka pun masih memelihara
kewajiban kerja bakti bagi para kawula yang berada dibawah kekuasaan mereka.
Kewajiban-kewajiban tidak resmi ini baru dihapuskan sama sekali oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1890. Peristiwa antara Bupati Lebak dan Multatuli
mungkin salah satu contoh yang menarik tentang penindasan dan tindak korupsi yang
dilakukan oleh pangreh praja Hindia Belanda.

Dengan diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya, pejabat
pribumi setingkat kepala desa dan pembantunya memanfaatkan kesempatan dari
peluang baru tersebut untuk mengambil keuntungan yang besar. Di Jawa, Bekel
(petugas pemungut pajak) menaikkan 20 kali lipat apa yang mereka bayar kepada
atasan mereka.

Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960

Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia
Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi
Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14
Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di
Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang
menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay
mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang
diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri
Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan
Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena
dianggap sebagai lawan politik Sukarno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958


dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal
AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan
hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di
tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini,
namun kurang berhasil.

Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus
korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo
dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro
diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu
dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad
di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi
ketua Senat Seskoad.
Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh
panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada


sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang
dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren
dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih
tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan
dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah
mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik
dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu
sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat
mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan
banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi"


yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita
dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan
kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam
berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan
seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak
(Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan
seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa


mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas,
namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan -
belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram)


adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal
Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang
paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan
semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh
Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun
1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian
Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram.
Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa
asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah
Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya
pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang
memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih
lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut
provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa
Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah
menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan
adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh
tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi'
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih
didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris
"belum mengenal" atau belum memahaminya.

Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta
Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan
runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan
Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih
dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan
Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal
Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816
mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi
Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya
meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau,
iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk,
pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.
Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun,
di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus
terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta,
memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat
atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang
disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan
terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya
Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan
mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan"
miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
"penguasa".

Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya
korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam
mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah)
selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di
Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun
sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang
standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih
kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa,
Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda
baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah
yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku
"memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap
jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru
oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 -
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap
Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol
(1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan
lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga
dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan
pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem
Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman
produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi"
dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak
manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu
sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia
mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan"
menjadi "Tanam Paksa".

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya


adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku
dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga
Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete,
jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh
"Belanda Item" (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada
yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya
penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum
tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau
perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang
sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang
tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk
(poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka
segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk
tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh
"Belanda Item" atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya
justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang
jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.

Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya


korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti
telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia,
baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum
melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada
waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling
Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin
oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin
dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di


balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke
meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya
adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang
dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk
kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi
Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise
Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran


Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj


Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas
korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-
akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib


(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini
hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution.
Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution
berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari
atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari
dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas
sama sekali.

Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga
dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara "konkesuen" alias "kelamaan".

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999


tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu
untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review
Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami
kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat


tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan
korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda
kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai
presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan
proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan


Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa
Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur
lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi
politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di
masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan,
Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi
putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet,
menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas
korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada
para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian
nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-
kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas
korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat
proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan
serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang
kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab
mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama
dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan
datang dari hati sanubari rakyat.

dari amanah.or.id
Amin Rahayu, SS
*Penulis adalah Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi
Ilmiah - LIPI, Pengajar llmu Sejarah, Sosiologi dan Tata Negara.
RumahPolitik.Com : http://www.rumahpolitik.com
Versi Online : http://www.rumahpolitik.com/?pilih=lihat&id=32

Anda mungkin juga menyukai