Anda di halaman 1dari 3

KERAJAAN MATARAM

Terdapat dua Kerajaan Mataram di Indonesia. Kerahaan Mataram Kuno yang berdiri pada abad
ke-8 merupakan Kerajaan Hindu-Buddha. Sementara itu, Kerajaan Mataram Islam berdiri pada
1586. Baca juga: Sejarah Kerajaan Majapahit, Berhasil Satukan Nusantara, tetapi Runtuh akibat
Perang Saudara Mengutip buku Kebudayaan dan Kerajaan Islam di Indonesia (2018) yang
ditulis oleh Iriyanti Agustina, Kerajaan Mataram terletak di Kota Gede, sebelah tenggara Kota
Yogyakarta. Kerajaan ini berdiri di sekitar aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut
Selatan. Keraton Kerajaan Mataram Islam ini dipercaya penduduknya sebagai pusat dunia.
Masyarakat pada masa itu menjulukinya dengan nama "pusat jagad". Di Yogyakarta, situs
peninggalan sejarah dari Kerajaan Mataram Islam antara lain Kotagede, Situs Kerto, dan Situs
Pleret. Tempat-tempat ini bisa dikunjungi untuk mendapatkan sekilas mengenai Kerajaan
Mataram Islam. Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Pemberontakan di
Kerajaan Pajang dan Berdirinya Kerajaan Mataram Tanah Mataram dan Pati merupakan hadiah
yang diberikan oleh Raja Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang pada siapa saja yang berhasil
menumpas Arya Panangsang pada tahun 1549. Ki Ageng Pemanahan berhasil membunuh Arya
Panangsang dan mendapat tanah di daerah Kota Gede, Yogyakarta. Sedangkan, Pati diberikan
pada Ki Ageng Penjawi. Baca juga: Sejarah Peringatan Satu Suro yang Diadakan Sejak
Kerajaan Mataram Islam Berbeda dengan Ki Ageng Penjawi yang diangkat sebagai penguasa
Pati saat itu juga, Ki Ageng Pemanahan baru menerima hadiahnya pada 1575. Penguasa
Mataram ini diketahui sebagai orang yang sebenarnya berhasil mengalahkan Arya Panangsang
dengan bantuan Sunan Kalijaga.Di sini terdapat makam Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, Ki
Ageng Pemanahan, Raja Mataram Islam pertama, Panembahan Senopati, dan makam Sultan
Hamengku Buwono II Hadiwijaya yang saat itu masih menguasai tahta Kerajaan Pajang
mendengar ramalan dari Sunan Prapen tentang kemunculan pemimpin besar di Tanah Mataram.
Hal ini yang diduga menjadi penyebab tanah tersebut baru diserahkan pada Ki Ageng setelah
bertahun-tahun lamanya Wisata Religi hingga Keraton Pada tahun 1582 perang antara Mataram
dan Pajang pecah setelah terjadi konflik antara Sutawijaya dan pemimpin Pajang. Konflik
tersebut dipicu lantaran Tumenggung Mayang, adik ipar Sutawijaya, dibuang ke Semarang oleh
Raja Hadiwijaya. Perang ini berhasil dimenangkan oleh pihak Mataram, meski saat itu jumlah
pasukan Kerajaan Pajang jauh lebih banyak. Kemenangan Mataram ini berhasil menggoyahkan
Pajang dan menjadi cikal-bakal kekuasaan Mataram yang semakin kuat. Permusuhan antara
dua kerajaan hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno dalam peristiwa Pralaya
Medang Meninggalnya Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir pada 1582, membuat kota-kota
pesisir pada masa tersebut terus memperkuat diri. Pangeran Benowo, putra dari Sultan
Hadiwijaya ternyata tak mampu menangani pergerakan kota-kota tersebut. Sang Pangeran
kemudian menyerahkan kekuasaan Kerajaan Pajang pada Sutawijaya. Dengan penyerahan
kekuasan tersebut, Kerajaan Pajang menjadi daerah kekuasaan dari Kerajaan Mataram,Raja-
raja, Kemunduran, dan Peninggalan Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kebesarannya
pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berkuasa dari tahun 1613
sampai 1645. Ia merupakan raja ketiga setelah Panembahan Sedo Krapyak. Letak geografis
kerajaan yang berada di pedalaman membuat Mataram menjadi kerajaan agraris. Pertanian
yang menjadi sumber pokok ekonomi masyarakat berkembang pesat karena didukung tanah
yang subur. Pada masa kejayaannya, Mataram berhasil menjadi pengekspor utama beras.
Meski mengandalkan pertanian sebagai pusat ekonomi, tak sedikit masyarakat yang melakukan
aktivitas perdagangan laut. Kehidupan sosial masyarakat pun berkembang dengan sangat baik.
Bahkan pada masa kebesarannya, Mataram berhasil mengembangkan Budaya Kejawen.
Budaya ini merupakan bentuk akulturasai dari kebudayaan Hindu-Buddha dan ajaran agama
Islam. Raja yang zalim dan runtuhnya Kerajaan Mataram Islam Kerajaan Mataram berhasil
meraih perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sayangnya, setelah sang sultan meninggal dunia, Kerajaan Mataram mengalami kemunduran.
Sunan Amangkurat I yang menggantikan sang sultan ternyata memimpin kerajaan dengan zalim.
Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I banyak melakukan pembunuhan. Kezaliman sang
Sunan memicu permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) dengan ayahnya sendiri.
Sayangnya, Amangkurat II ternyata juga memiliki perangai yang buruk. Dalam masa
kepemimpinannya, Amangkurat II kerap dibenci oleh pemuka Kerajaan Mataram dan rakyat.
Puncak dari konflik dalam internal kerajaan ini menyebabkan pecahnya Perang Trunajaya pada
tahun 1677. Amangkurat II meminta bantuan pada VOC yang saat itu mulai menjajah Indonesia.
Dengan pertolongan yang diperolehnya dari VOC, Amangkurat II berhasil memenangkan
pertempuran tersebut. Baca juga: Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Namun, VOC ternyata
menuntut ganti rugi dan imbalan atas pertolongan tersebut. Karena tuntutan ganti rugi tersebut,
Kerajaan Mataram mengalami kemunduran ekonomi. Hubungan Amangkurat II dan VOC yang
tidak baik membuat pihak Belanda menentang penobatan Amangkurat III setelah sang sunan
meninggal. Mereka justru menunjuk Pangeran Puger untuk menggantikan Amangkurat II untuk
memimpin Kerjaan Mataram. Perebutan tahta antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger
menimbulkan perang saudara pada tahun 1704-1708. Perang ini berhasil dimenangkan oleh
Pangeran Puger yang kemudian mendapatkan tahta dengan gelar Paku Buwono Setelah
meninggalnya Paku Buwono, Kerajaan Mataram semakin terguncang karena berbagai aksi
pemberontakan. Perebutan kekuasaan antara Paku Buwono II dan Raden Mas Said
menimbulkan peristiwa besar yang disebut Geger Patjina. Sejumlah konflik antara pihak
kerajaan, VOC, dan pemberontak akhirnya memunculkan Perjanjian Giyanti pada 1755.
Perjanjian ini menyatakan bahwa Mataram dibagi menjadi dua bagian. Ada Kendi Maling Bagian
barat, yang meliputi wilayah Yogyakarta, diberikan pada Pangeran Mangkubumi. Sang pangeran
pun naik tahta dengan menyandang gelar Hamengku Buwono I. Mangkubumi kemudian
membangun sebuah keraton di wilayah tersebut. Sementara itu, bagian timur yang meliputi
wilayah Surakarta dan sekitarnya diberikan kepada Sri Susuhan Paku Buwono III. Kemudian
melalui Perjanjian Salatiga yang dibuat pada 1757, Sunan Paku Buwono III menyerahkan
wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said. Raden Mas Said
kemudian menobatkan dirinya sebagai Mangkunegoro I dan memimpin Puro Mangkunegaran
sampai 1795. Kerajaan Mataram berdiri setelah Pangeran Benowo yang saat itu memimpin
Pajang menyerahkan kekuasaannya pada Sutawijaya. Penguasa Mataram ini memiliki gelar
Panembahan Senopati. Berikut ini adalah sederet raja yang pernah berkuasa dan memimpin
Kerajaan Mataram: Sutawijaya (Panembahan Senopati) berkuasa pada 1586-1601 Mas Jolang
(Panembahan Sedo Krapyak) berkuasa pada 1601-1613 Raden Rangsang (Sultan Agung
Hanyokrokusumo) berkuasa pada 1613-1645 Sunan Amangkurat I berkuasa pada 1645-1677
Sunan Amangkurar II berkuasa pada 1677-1703 dari Kerajaan Blambangan sampai Zaman
Belanda .
Sejarah Kerajaan Banten

Kerajaan atau Kesultanan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati. Ia mengangkat anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama
Kesultanan Banten. Pada masa kepemimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570), perdagangan
Kerajaan Banten berkembang pesat yang didukung dengan adanya pelabuhan sebagai gerbang
perdagangan antarnegara. Lokasinya yang strategis, menjadikan Kerajaan Banten sangat
mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Lada menjadi komoditas yang
paling diunggulkan dan berkembang pesat pada masa itu. Bahkan monopoli perdagangan lada
di Lampung dikuasai oleh Banten. Belum lagi didukung oleh niaga melalui jalur laut yang
membuat Banten berkembang tak hanya di Nusantara, melainkan sampai pada pedagang
Persia, India, Arab, Portugis, hingga Tiongkok.

Kejayaan Kerajaan Banten

Sejarah Kerajaan Banten dari masa jaya hingga kemundurannya (Foto Masjid Agung Banten:
Detikcom/Fitraya Ramadhanny)
Masa keemasan Kerajaan Banten disebut berlangsung ketika pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1683 M). Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, ia banyak memimpin
perlawanan terhadap Belanda lantaran VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan
yang merugikan Kesultanan Banten. Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa juga menginginkan
Banten menjadi kerajaan Islam terbesar. Tak heran jika Islam telah menjadi pilar dalam Kerajaan
Banten maupun pada kehidupan masyarakatnya.

Kemunduran Kerajaan Banten

Perang saudara adalah salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Banten. Sekitar tahun 1680
terjadi perselisihan dalam Kesultanan Banten. Anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, yakni Sultan
Haji, berusaha merebut kekuasaan dari tangan sang ayah. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh
kompeni VOC dengan memberi dukungan dan bantuan persenjataan kepada Sultan Haji,
sehingga perang saudara menjadi tak terhindarkan. Akibat sengketa tersebut, Sultan Ageng
terpaksa mundur dari istananya dan pindah bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya.
Kemudian pada 1683 Sultan Ageng ditangkap VOC dan ditahan di Batavia. Perang saudara
yang berlangsung di Banten menyisakan ketidakstabilan dan konflik di masa pemerintahan
berikutnya. VOC semakin ikut campur dalam urusan Banten bahkan meminta kompensasi untuk
menguasai Lampung sekaligus hak monopoli perdagangan lada di sana. Merujuk Kemhub, usai
Sultan Haji meninggal, VOC semakin menekan Kerajaan Banten. Hal tersebut pun membuat
pengaruh Kerajaan Banten memudar dan ditinggalkan.

Kerajaan Banten memiliki benda peninggalan yang menjadi bukti bahwa kerajaan ini pernah
berjaya di masanya. Jejak peninggalan Kerajaan Banten banyak berupa bangunan seperti
Masjid Agung Banten, Istana Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Vihara Avalokitesvara,
Benteng Speelwijk, dan Meriam Ki Amuk.

Anda mungkin juga menyukai