Anda di halaman 1dari 17

Kesultanan Mataram 

adalah kerajaan Islam diPulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17.


Kerajaan ini dipimpin suatu dinastiketurunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang
mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu
Kadipaten di bawahKesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng
Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan
Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya,
termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-
masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia
meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman diBatavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan hanacaraka dalam literaturbahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa
batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

Masa awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijayadengan
gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengahsaat ini,
mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak
kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton
(tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak diBanguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede.
Sesudah ia meninggal (dimakamkan diKotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang
setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan
saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda
Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu
tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro.
Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas
Jolang yang bernama Mas Rangsangpadamasa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami
masa keemasan.

Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di
Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY,
dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul
sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan
antara Mataram dengan VOCyang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan
Banten dan Kesultanan Cirebondan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan
VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia
tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan").
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat
bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan
Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga
kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton
dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama
dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-
1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya
Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak
dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah
Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13
Februari1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram
sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa
beranggapan bahwaKesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari
Kesultanan Mataram.

Peristiwa Penting
 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas
jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki
Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena
rumahnya di utara pasar).
 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang
badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati
Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang
bergelarPanembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak"
karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro.
Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang
digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah
Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah
1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat.
Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing
Ngalaga.
 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I.
Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya
pada1734.
 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar
Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar
Susuhunan Paku Buwono II.
 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak
dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh
Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan
Beton.
 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai
Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana.
Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan
Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan
Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada
1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono
oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai
Susuhunan Paku Buwono III.
 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran
(daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota
Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia
walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang
membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin
Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas
sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
 1799 - Voc dibubarkan
 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta
dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta
dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta
dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh
Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara
de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
Diposkan oleh R. Wijaya di 11.39 1 komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
 Link ke posting ini

Reaksi:
Ngayogyakarta Serambi Madinah

A.    Semenjak tahun 1755 di wilayah Ngayogyakarta telah hadir masyarakat baru
yang hidup dala m tatanan islam. Masyarakat hidup rukun dan saling menghormati
karena disatukan oleh ikatan etnik, budaya, kesamaan tujuan, dan filosofi
kehidupan.
B.    Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat hadir memimpin mereka, melindungi, dan
mensejahterakan mereka, mendidik dan membimbing ke arah yang mendekati
tujuan idiil bersama, hingga matang da n menjadi sebuah bangsa dan umat yang
satu yaitu bangsa jawa.
C.    Sultan Khalifatulloh dalam dinasti Hamengku Buwana adalah pelanjut dan
pembangun kembali negara Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung
Hanyakrakusuma dan didirikan oleh Panembahan Senopati, sebagai pewaris
Kesultanan Pajang yang berpangkal dari kesultanan Demak Bintoro.
D.    Sepanjang perjalanan sejarah Dinasti Hamengku Buwana dalam fungsi
hamangku, hamengku dan hamengkoni pada masyarakat bangsanya, telah berhasil
mengaplikasikan nilai-nilai luhur pada tatanan masyarakat yang berbudaya Islami.
E.    Pemahaman tentang nilai-nilai luhur pada tatanan masyarakat madinah dalam
konteks Ngayogyakarta telah teadi semenjak HB 1, yaitu kajian integratif dalam
Majelis Bukhoren yang dipimpin oleh KH Nur Iman (BPH Sandiyo) dalam pesantren
luhur di Mlangi.
F.    Deri serangkaian pembicaraan rutin dalam kurun waktu yang cukup panjang
pada Majelis Bukhoren yang diselenggarakan oleh keraton, maka pada tahun 2008
berhasil diadakan Halaqoh (semiloka) di Keraton Ngayogyakarta (Ndalem
Joyokusuman) dan disepakati untuk melahirkan Ngayogyakarta Serambi Madinah
sebagai sebutan untuk masyarakat Ngayogyakarta yang berbudaya adhiluhung dan
agar segera di-birawa-kan. Pada bulan Agustus 2008  Ngayogyakarta Serambi 
Madinah dideklarasikan di Masjid Gedhe, dihadiri oleh para ulama dan tokoh
masyarakat dari seluruh DIY dan para tamu dari Banten. Selanjutnya pada 2009
diadakan kesepahaman (MoU) antara Kraton Ngayogyakata dengan Kanwil Depag
DIY.
G.    Deklarasi Masjid Gedhe tersebut telah mendeskripsikan dasar-dasar
Ngayogyakarta Serambi  Madinah, yang dituangkan dalam definisi, identifikasi, visi,
dan semangat. Selengkapnya sbb: definisi Serambi Madinah adalah sebutan untuk
Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebutan ini telah mereprentasikan karakter sosial,
budaya dan keagamaan dalam hidup dan berkembang secara riil, sehingga
menggambarkan sosok khittah Ngayogyakarta hadiningrat yang hakiki.
Ngayogyakarta Serambi  Madinah  ini bukan partai, bukan ormas dan bukan
organisasi apapun juga bukan bagian dari struktur pemerintah. Ia merupakan
sebutan yang terekspresikan dari luapan cita rasa adiluhung yang mengental dalam
diri masyarakat Ngayogyakarta dalam jati diri mereka.
H.    Nilai-nilai Ngayogyakarta Serambi Madinah diyakini telah termuat secara
keseluruhan dalam ajaran Walisongo, Piwulang Agung Kraton Ngayogyakarta,
kaweruh filosofi dan budaya masyarakat sebagai reinterpretasi terhadap Piagam
Madinah pada zaman Nabi.     Namun tetap diakui bahwa tidaklah mudah untuk
mengambil mutiara-mutiara ajaran yang tersebar dalam samodera kaweruh
tersebut sebagai “penjelasan yang dikehendaki” terhadap naskah deklarasi Masjid
Gedhe dimaksud.

Tujuh identifikasi Kesamaan Madinah dengan Ngayogyakarta


1. Sejiwa dengan piagam madinah yang berisi penguatan masyarakat plural
yang aman dan damai dalam disiplin dan identitas keagamaan yang jelas.
2. Pusat pengembangan peradaban dengan ilmu pengetahuan dan budaya.
3. Bersatunya kaum muhajirin (pendatang ) dan kaum ashar (pribumi) yang
hakiki, artinya masyarakat bhineka tunggal ika dalam kehangatan ukhuwah yang
tulus dan sejati.
4. Kawah candra dimuka untuk mencetak tokoh-tokoh besar.
5. Tempat perlindungan bagi orang teraniaya.
6. Wilayah pengembangan nilai-nilai tradisional religius.
7. Karakter masyarakat ramah dan sopan.  
Delapan visi serambi madinah 
1. Agama adalah anugerah Allah swt untuk membimbing para hamba-Nya agar mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Nikmat dan rahmat Allah swt amat banyak telah dilimpahkan pada hamba-Nya, maka
haruslah disyukuri dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan diridhoi-Nya.
3. Menyadari bahwa kehidupan ini adalah kelanjutan dari suatu proses yang telah berjalan
panjang, maka disamping menghargai jasa-jasa dan prestasi para pendahulu kita jugaharus
melanjutkan dan mengembangkanaya secara kreatif sebagai amanat amal jariyah.
4. Menyadari akan keterbatasan setiap manusia maka mewujudkan generasi pelanjut yang
lebih berkualitas adalah suatu keharusan yang tidak boleh diabaikan.
5. Untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas, maka kebodohan dan keterbelakangan
harus diperangi ; oleh karena itu pendidikan mempunyai arti penting yang mutlak, baik pendidikan
formal , informal, maupun non formal.
6. Sebagai masyarakat yang berbudaya adhiluhung, maka faktor formal dan akhlaqul karimah
menjadi bingkai utama yang kokoh dan tegas  dalam tatanan kedupan sehari-hari.
7. Agar tidak menjadi beban pihak lain dan demi menjaga muru’ah (harga diri), maka jiwa
adhiluhung mengharuskan setiap pribadi memiliki penuh semangat dalam bekerja, berprestasi dan
berjasa, tanpa mengabaikan tugas-tugas ritual keagamaan.
8. Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dalam menuaikan tugas dan kehidupan,
maka dalam pergaulan harus saling menghormati, membantu , rukun dan tenggang rasa.  
Sepuluh Semangat Serambi Madinah 
1.    Taqwa dalam beragama.
2.    Rukun dan hormat serta gotong royong dalam bermasyarakat.
3.    Bersikap ramah dan sopan dalam bergaul.
4.    Hidup dengan landasan ilmu dan penuh ‘amal serta pengabdian.
5.    Mewujudkan keluarga yang harmonis dalam mawadah dan rahmah.
6.    Mempersiapkan keturunan (anak cucu) sebagai generasi pelanjut yang lebih berkualitas.
7.    Nguri-uri nilai-nilai lama yang bermanfa’at dan mengembangkannya secara selektif, sekaligus
kreatif dan innovatif.
8.    Menghargai jasa para pendahulu / leluhur dan meneladaninya, serta menghargai setiap prestasi
yang bermanfaat bagi kehidupan.
9.    Membangun karakter dan moral masyarakat dengan amar ma’ruf nahi munkar secara
bermartabat.
10.    Etos kerja yang tinggi untuk mencapai prestasi dalam bingkai tawakkal dan do’a.

Bila dikategorikan, paling tidak penjelasan itu akan menyangkut sub-sub tema berikut: 
•    Kedaulatan pangan bagi masyarakat sebagai inti dari kesejahteraan sosial ekonomi.
Pembicaraan ini ingin difokuskan pada vitalisasi pertanian dalam kaitan kemajuan ilmu
pengetahuan.
•    Filosofi Ngayogyakarta Serambi Madinah, yaitu sejumlah nilai dasar dari ajaran Islam Jawa yang
membingkai wujudnya Ngayogyakarta Serambi Madinah.
•    Kemajemukan sosial budaya, yaitu pemahaman akan kemajemukan masyarakat sebagai potensi
pengembangan Ngayogyakarta Serambi Madinah.
•    Ngayogyakarta Serambi Madinah sebagai implementasi fungsi khilafah. Pembicaraan di sini
sangat erat kaitannya dengan fungsi hamangku, hamengku dan hamengkoni pada diri Sultan sebagai
Khalifatullah.
•    Sejarah Muhammad saw, baik sebagai pribadi maupun sebagai Rasulullah. Pembicaraan di sini
terutama untuk mengungkap kebesaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan interelasi antara
Muhammad sebagai pribadi dan utusan Allah swt, atau format manunggaling kawulo gusti antara
beliau dan Dia Yang Maha Mutlak.
Diposkan oleh R. Wijaya di 11.30 1 komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
 Link ke posting ini

Reaksi:

ISLAMISASI WARISAN BUDAYA KRATON yogyakarta

ISLAMISASI WARISAN BUDAYA


KRATON
itu adalah proses Islamisasi warisan budaya kraton ketimbang Jawanisasi unsur-unsur Islam. 
Masih menurut Simuh, Ada empat pertimbangan yang melatarbelakangi proses Islamisasi tradisi
lama ini; Pertama, warisan budaya kraton yang sangat halus, adiluhung serta kaya raya itu pada
zaman Islam tentu bisa dipertahankan dan dimasyarakatkan apabila dipadukan dengan unsur-unsur
Islam. Secara obyektif para priyayi dan sastrawan Jawa sejak abad ke-8, berhasil mengembangkan
kebudayaan istana dengan memanfaatkan unsur-unsur Hinduisme. Cerita mitos Ramayana dan
Mahabarata telah mengilhami munculnya berbagai macam karya sastra dan seni pewayangan
langkap dengan pakemnya. Dalam serat Babad disebutkan, bahwa perkembangan bentuk-bentuk
kesenian tersebut, tidak lepas dari sentuhan para Wali, terutama Sunan Kalijaga. Contoh kongkret
Islamisasi dalam pewayangan tercermin dengan masuknya jimat layang kalimasada (kalimat
syahadah) yang dijadikan senjata pusaka kerajaan Amarta (Pandawa).
Kedua, para pujangga dan sastrawan Jawa membutuhkan bahan sebagai subject matters dalam
berkarya. Karena Hinduisme telah terputus pada zaman ramai-ramainya Islam mewarnai Nusantara,
maka satu-satunya sumber acuan yang mendampingi kitab-kitab kuno hanyalah kitab-kitab yang
bersumber dari lingkungan kebudayaan pesantren. Maka para pujangga dan sastrawan Jawa yang
mengetahui bahwa dalam lingkungan budaya pesantren terdapat sumber konsep-konsep ketuhanan,
etika, falsafah kebatinan yang kaya, mereka bergairah memasukkan unsur-unsur baru tersebut
dalam khasanah budaya Jawa.
Ketiga, pertimbangan stabilitas sosial, budaya, dan politik. Adanya dua lingkungan budaya, yakni
tradisi pesantren dan kejawen perlu dijembatani agar tercapai saling pengertian dan dapat
mengeliminasi konflik-konflik yang mungkin dapat terjadi. Dan keempat, pihak kraton sendiri
sebagai pendukung dan pelindung agama merasa perlu mengulurkan tangan untuk menyemarakkan
syi’ar Islam. Untuk itu, pihak penguasa kraton membangun berbagai sarana, baik yang bersifat
struktural maupun kultural demi tercapainya syi’ar Islam. Sehingga sejak jaman Demak
bermunculanlah upacara-upacara keagamaan seperti sekaten, grebeg maulud, grebeg hari raya
fitrah, juga grebeg hari raya haji dan sebaginya.
A.Makna Simbolis Kraton Yogyakarta
Yang disebut karaton ialah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata-kata : ka + ratu + an =
kraton. Juga disebut kadaton, yaitu Indonesianya ialah istana, jadi kraton ialah sebuah istana,
tetapi istana bukanlah keraton. Kraton ialah sebuah istana yang mengandung arti, arti keagamaan,
arti filsafat dan arti kulturil (kebudayaan).
Dan sesungguhnya kraton Yogyakarta itu penuh dengan arti-arti tersebut diatas. Arsiktur bangunan-
bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasanya, sampai pada warna gedung-
gedungnya pun mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditaman di dalamnya bukan sembarangan
pohon. Semua yang terdapat disini seakan-akan memberi nasehat kepada manusia untuk cinta dan
menyerahkan diri kepada Allah, berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah laku kita
sehari-hari dan lain-lain.
Menurut Mark R. Woodward, mengutip apa yang telah diungkap Heine-Geldern, di kawasan Asia
Tenggara yang mengalami Indianisasi, negara, kota-kota dan istana-istana adalah mikrokosmos.
Konstruksi negara dan istana sebagai mikrokosmos yang sempurna merupakan salah satu diantara
sumber legitimasi kerajaan yang penting. Tema ini, masih menurut Woordward, bergema dalam
banyak studi mengenai agama dan usaha bina negara di kawasan tersebut belakangan ini. Mengutip
Tambiah, yang menyebut Mataram dengan apa yang dia istilahkan sebagai “masyarakat galaktis
(galactic polity), yakni sebuah negara yang diorganisasikan sebagai suatu mendalam.
Berbeda dengan negara-negara yang mengalami indianisasi, kraton Yogyakarta dalam paham
kosmologinya menempatkan kasekten pada posisi subordinat dengan wahyu dan kewalian. Kraton
Yogyakarta sendiri adalah model kosmik, tetapi kosmos yang dia wakili adalah Islami.
Ikonografi, simbolisme dan arsitektur kraton Yogyakarta menggambarkan struktur kosmos Muslim,
hubungan antara sufisme dengan syari’ah, rumusan instropektif dan kosmologis jalan mistik, asal
usul dan anak-turun manusia insan kamil. Sehingga kraton lebih dari segala hal, ia merupakan
daerah (precinct) yang suci yang mendefinisikan negara dan masyarakat. Dalam hal ini, ia adalah
analog dengan Ka’bah di Mekah, yang menjadi pusat dunia Muslim sebagai suatu keseluruhan.
Kraton adalah pusat mistis dan badan spiritual kesultanan yang berperan sebagai wadah untuk
mewujudkan esensi ilahiyah yang diwakili oleh sultan.
Karena alasan itu, kraton memainkan peran yang demikian penting dalam kehidupan negara Jawa.
Milik kraton, lebih dari penguasaan terhadap kawasan, penduduk dan sumber-sumber, adalah kurnia
yang menandai legitimasinya. Lebih dari faktor apapun, keratonlah yang membedakan seorang raja
dengan pangeran-pangeran penguasa daerah atau tokoh-tokoh pemberontak.
Bentuk arsitektual dan geometrisnya bersifat linier, dan terdiri atas sejumlah pintu gerbang dan
halaman yang berorientasi pada poros utara-selatan. Dalam pengertian yang paling umum ia adalah
model badan manusia sempurna dan jalan menuju penyempurnaan manusia. Ia didasarkan pada
teori wahdah al-wujud, dan tujuh tingkatan wujud (martabat wujud).Kraton mempunyai sembilan
pintu gerbang, yang mempresentasikan lubang-lubang di dalam badan (yang menurut Serat Wirid,
harus tertutup dalam proses meditasi maupun dalam ritual pemakaman Muslim).
Pertiga selatan kraton menggambarkan turunnya manusia sempurna dari eensi ilahiyah dan lahirnya
seorang bayi kerajaan. Hal itu hanya bisa dibaca dari selatan ke utara. Pertiga utara kraton itu
merupakan model dari formula intropektif dan kosmologis jalan mistik. Jika dibaca dari selatan ke
utara, ia melukiskan jalan menuju kesatuan sesaat dengan Allah, sementara jika dibaca dari utara
ke selatan ia memantulkan jalan kosmologis dan eskatologis menuju kesatuan akhir. Dipandang dari
selatan, bagian tengah kraton adalah pusat administrasi kerajaan, yang perhatian utamanya adalah
konsep-konsep loyalitas dan kewajiban. Ini sama dengan kesalehan normatif dan ibadah kepada
Allah. Dipandang dari utara, bagian halaman dan tengah kraton itu sama dengan pendakian dari axis
mundi, masuk ke dalam surga, dan pencapaian kesatuan yang kekal dengan Allah. Dengan
perspektif ini, Sultan analog dengan ketuhanan yang transenden dan istana-Nya, dan dengan para
malaikat yang menggitari singgasana Allah.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa kraton Yogyakarta memiliki makna simbolik
yang cukup dalam, khususnya jika dilihat dari perspektif religiusitas Islam-Jawa. Konsep religius
lebih kongret dicerminkan dari tata-rakit kraton-masjid Agung yang memuat filosofi :
“manunggaling kawula-Gusti”. Kraton adalah wadah kegiatan fisik material, lambang manusia
dengan dunianya sebagai pusat kebudayaan. Sedangkan dalam dimensi vertikal, masjid Agung
adalah isi kegiatan spiritual menyembah Tuhan sebagai pusat religi.

b. Makna Simbolis Tradisi Kraton Yogyakarta


Setelah melihat makna simbolik kraton Yogyakarta, sebagai pusat kebudayaan dan kehidupan
masyarakat Jawa, sekarang dicoba untuk melihat berbagai ritual sebagai bagian dari tradisi kraton
Yogyakarta yang juga mengandung nilai-nilai religiusitas yang cukup tinggi. Diantara upacara/ritual
itu adalah Garebeg. Ada tiga macam upacara Garebeg, yaitu Garebeg Pasa untuk merayakan ‘Idul
Fitri, Garebeg Besar pada bulan Besar atau Dzulhijjah untuk merayakan ‘Idul Qurban, dan Garebeg
Mulud untuk merayakan Maulud (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Khusus yang terakhir, upacara itu
disebut Sekaten, yang konon, berasal dari Syahadatain atau dua kalimah Syahadah.
Di dalam ritual-ritual ini dikumpulkan sedekah di dalam masjid Kraton (Agung). Sesudah pembacaan
do’a-do’a berbahasa Arab, sedekah-sedekah itu dibagi-bagikan kepada sekitar puluhan ribu orang.
Obyek-obyek ini, terutama gunungan yang terbuat dari nasi ketan, sebagian besar berisi berkah dan
dianggap bisa menjamin kesejahteraan dan kesehatan penduduk.Sebelum dan selama pembagian
gunungan berlangsung, Sultan duduk di atas tahta, dikelilingi oleh anggota-anggota kraton dan
pusaka yang sangat sakti. Perhatiannya menagrah ke Tugu, sebuah monumen yang terletak di
bagian utara kraton yang mensimbolisasikan kesatuan manusia dengan Allah. Pada saat itulah,
Sultan mencapai kesatuan mistik. Inilah sumber berkah yang utama yang dibagi-bagikan kepada
sekumpulan orang yang sudah menunggu. Sultan dengan demikian, bisa memanfaatkan pencapaian
mistiknya sebagai suatu upaya menegarkan keabsahan kraton. Di salam ritual ini, ia tidak semata-
mata sebagai Wakil Allah; ia adalah, dengan semua keinginan dan tujuan, Allah itu sendiri. Karena
itu, ia menyampaikan berkah ilahiyah langsung kepada para pengikutnya.
Ritual ini dan teori kerajawian yang menjadi dasarnya adalah produk dari suatu “imperalisasi”
doktrin sufi mengenai qutb. Qutb adalah poros dunia dan wali paling terkemuka. Ia menjaga alam
dan berperan sebagai pengatur spiritual untuk seluruh dunia. Schimmel menggambarkan perannya
dalam sufisme : “Dunia tidak akan ada tanpa kutub atau poros – yang menggerakkan dunia hanya
seperti sebuah penggilingan menggerakkan porosnya dan tidak berlaku sebaliknya”.
Sultan, karena itu, merupakan qutb negara. Sebagai konsekuensi pencapaian kesatuan mistik ini, ia
membela integritas hukum, mengontrol sumber-sumber kesaktian (pusaka dan tempat-tempat
kramat), dan berperan sebagai penyalur yang melaluinya berkah dan inspirasi ilahiyah ditebarkan
ke masyarakat. Perannya sebagai pembimbing spiritual ditonjolkan dalam garebeg, saat tiap orang
diminta untuk melafalkan pengakuan iman sebelum menerima bagian gunungan. Perbedaan prinsipil
antara rumusan kraton Jawa dan Sufi Klasik berkaitan dengan doktrin ini, terletak pada keharusan
Sultan berperan sebagai sumber kesejahteraan material dan berkah spiritual ini. Namun, ini lebih
merupakan akibat digunakannya doktrin kesatuan mistik sebagai basis orde politik dan sosial
daripada sebagai perbedaan ideologis fundamental apa pun.
Menanggapi berbagai ritual dalam tradisi kraton Yogyakarta itu, Prof Simuh memberikan ulasannya,
bahwa semuanya mencerminkan perkawinan budaya antara budaya Islam (dalam hal ini aliran
sufisme) dengan budaya Hindu-Budha, bahkan dengan budaya animisme-dinamisme. Dan tampak
karakter kraton sentrisnya dan sifat mistiknya.
Diposkan oleh R. Wijaya di 11.12 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
 Link ke posting ini

Reaksi:

Masjid Kota Gede, masjid tertua di jogja

Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, bangunan
tempat ibadah islam yang tertua di Yogyakarta. Bangunan itu merupakan tempat yang seringkali
hanya dilewati ketika wisatawan hendak menuju kompleks pemakaman raja Mataram, padahal
pesona bangunannya tak kalah menarik. Tentu, banyak pula cerita yang ada pada setiap piranti di
masjid yang berdiri sekitar tahun 1640-an ini.
Sebelum memasuki kompleks masjid, akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah
ratusan tahun. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir. Karena
usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya
mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di
bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi
terentang.
Berjalan mendekat ke arah kompleks masjid, akan ditemui sebuah gapura yang berbentuk
paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf L. Pada
tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan
tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang
masih memeluk agama Hindu dan Budha.

Memasuki halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti bertinggi 3
meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini. Bagian dasar
prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan
surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat.
Adanya prasasti itu membuktikan bahwa masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan.
Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang
berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun
oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan
Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan agung tiangnya
berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.
Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap
yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit
itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara
masjid. Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar parit
dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga yang ingin
beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun berderet.
Pada bagian luar inti masjid terdapat bedug tua yang bersebelahan dengan kentongan. Bedug yang
usianya tak kalah tua dengan masjidnya itu merupakan hadiah dari seseorang bernama Nyai Pringgit
yang berasal dari desa Dondong, wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan
bedug itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang
kemudian dinamai Dondongan. Sementara bedug pemberiannya, hingga kini masih dibunyikan
sebagai penanda waktu sholat.
Sebuah mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari bahan kayu yang diukir indah dapat dijumpai di
bagian dalam masjid, sebelah tempat imam memimpin sholat. Mimbar itu juga merupakan
pemberian. Saat Sultan Agung menunaikan ibadah haji, ia mampir ke Palembang untuk menjenguk
salah satu adipati di tempat itu. Sebagai penghargaannya, adipati Palembang memberikan mimbar
tersebut. Mimbar itu kini jarang digunakan karena sengaja dijaga agar tidak rusak. Sebagai
pengganti mimbar itu, warga setempat menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah
sehari-hari.
Berjalan mengelilingi halaman masjid, akan dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi
bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang
lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa.
Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan
polos. Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan agung, sementara
tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa
Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat.
Masjid yang usianya telah ratusan tahun itu hingga kini masih terlihat hidup. Warga setempat masih
menggunakannya sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan. Bila datang saat waktu
sholat, akan dilihat puluhan warga menunaikan ibadah. Di luar waktu sholat, banyak warga yang
menggunakan masjid untuk tempat berkomunikasi, belajar Al Qur'an, dan lain-lain.
Diposkan oleh R. Wijaya di 10.52 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
 Link ke posting ini

Reaksi:

sejarah kauman

Tulisan pendek ini dibuat sekedar untuk membuka pembicaraan kita tentang Kauman, sebuah
komunitas santri di Yogyakarta yang telah berusia 233 tahun ( hampir 2,50 abad ). Nama Kauman
berasal dari Pa- Kaum – an, pa= tempat, Kaum dari kata Qoimuddin ( penegak agama Islam ), jadi
Kauman adalah tempat para penegak agama atau para ulama. Setelah Masjid Gedhe didirikan,
maka sangat diperlukan masyarakat yang memelihara-mengelola- memakmurkan masjid. Untuk itu
Sultan Hamengku Buwana I yang sangat aktif beribadah meletakkan para ulama pilihan dari
berbagai daerah, untuk ditempatkan di sekitar Masjid Gedhe sebagai pemakmur dan pengelola
masjid, sekaligus dijadikan Abdi Dalem urusan keagamaan. Pimpinan para ulama itu adalah Kyai
Pengulu Fakih Ibrahim Dipaningrat ( Pengulu Pertama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ). Semua
ulama difungsikan dalam organisasi kemasjidan, dengan pembagian tugas yang telah tertata rapi. 
Para ulama dan Pengulu yang ditempatkan di sekitar Masjid Gedhe itu, kemudian membentuk
komunitas santri dengan perkawinan “indogami Kampung”. Dalam perkembangan lebih lanjut
terjadilah komunitas kampong santri dengan ikatan keagamaan dan kekerabatan. Dengan demikian
solidaritas komunitas ini sangat kuat. Tradisi kesantrian seperti dalam pendidikan, pergaulan, serta
dalam kehidupan bermasyarakat dengan masjid sebagai pusatnya memberikan warna, nuansa, dan
cirikhas tersendiri bagi Kauman di bandingkan dengan kampong-kampung lainnya di kota Jogjakarta
pada waktu itu.
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan budaya selalu berkembang dan berubah sesuai
dengan dinamika zaman. Kampung Kauman pun yang dihuni oleh kaum santri tidak terlepas dari
poses perkembangan dan perubahan dari zaman ke zaman hingga saat ini. Sebuah pertanyaan
bagaimanakah perkembangan dan perubahan yang terjadi ?, mari kita bicarakan.
KAUMAN TEMPO DOELOE SAMPAI TEMPO KINI
Berdasarkan beberapa sumber dan fakta sejarah yang ditemukan, gambaran kampong Kauman
tempo doeloe ( awal berdirinya ), dapat direkonstruksi sebagai berikut :
Secara pisikè Setting Kampung Kuman berada di atas tanah seluas +192000 m2, letaknya di barat
Masjid Gedhe dan sekitarnya. Dihuni oleh para ulama, Pengulu Kraton dan 9 Ketib, masing-masing
menghuni sebidang tanah di atasnya dibangun rumah dan Langgar ( tempat sholat dan mengaji ).
Perkembagan sosial è Perkampungan para ulama itu berkembang dengan pernikahan
indogami,sehingga membuat satu kampong dengan sebagian besar punya ikatan kekerabatan dan
ikatan keagamaan. Dengan demikian memiliki solidaritas yang kuat, baik dalam membela agama
Islam, keadilan dan kebenaran, maupun juga membela komunitasnya.
Warga kampungKauman juga memiliki juga memiliki jaringan yang berhubungan dengan kampong
atau desa santri di Jawa, antara lain di Tambak Beras Jombang, Banjarnegara, Mlangi, Plosokuning,
Krapyak, dan sebagainya.
Pada tahun 1912 merupakan tahun monumental bagi Kauman, yaitu munculnya seorang ulama yang
cerdas dan punya perspektif yang tepat dalam pencerahan masa depan, ialah KHA Dahlan. Dalam
rangka memajukan dan mengembangkan umat Islam, ia punya jurus yang handal, yaitu : Pertama,
menggerakkan Sosial-keagamaan; Kedua, menggerakkan pembaharuan pendidikan Islam; dan
Ketiga, menggerakkan pemurnian Islam, kembali pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Gerakannya
itu diberi nama Muhammadiyah, lahir dan berdiri di kampong Kauman Jogjakarta. Pesarekatan
Muhammadiyah ini kemudian menasional, bahkan mengglobal, sehingga gaungnya sampai dunia
internasional. Berbagai kajian memberikan nama gerakan ini sebagai “Reformasi”; “Modernisasi”,
“Tajdid/ Pembaharuan” dan sebagainya. Tentu saja KHA Dahlan tidak sendirian, didukung oleh para
ulama dan para santrinya yang kemudian meneruskan perjuangan Muhammadiyah hingga sampai
kini tetap utuh ( Alhamdulillah tidak pernah pecah ).

Dengan adanya Muhammadiyah ini, kampung Kauman jadi


dikenal oleh masyarakat luas secara nasional maupun internasional. Kauman juga dikenal sebagai
tempat persemaian ulama dan gudangnya ulama serta muballigh/muballighot. Anak-anak mudanya
juga dikenal ‘Alim, suka mengaji dan memiliki aktivitas lain yang menonjol, seperti Sepak Bola,
Beladiri/Pencak, dan juga banyak yang berhasil dalam bidang keilmuwan, bidang pengusaha dan
sebagainya. Kaum mudaya juga punya “power” yang cukup disegani oleh masyarakat kampung-
kapung lainnya. Kauman memiliki Perguruan Bela-diri yang khas bernama Tapak Suci. Tapak Suci di
samping untuk media membangun jiwa dan raga bagi generasi muda Kauman, juga pada
kelahirannya dipersiapkan untuk pertahanan menghadapi kaum Komunis (PKI). Pada
perkembangannya Tapak Suci secara resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah sebagai Tapak Suci
Putera Muhammadiyah, dan selanjutnya menjadi Beladiri yang menasional dan juga mengglobal.
Sampai saat ini memiliki cabang di hamper seluruh propinsi di Indonesia, dan juga punya cabang di
Negeri Belanda, Arab Saudi, Prancis, Suriname, Australia dan sebaginya.
Dalam berbagai era perjuangan, Kampung Kauman punya andeel yang tidak sedikit, antara lain
seperti dalam menghadapi penjajah di Zaman Jepang, ulama Kauman yang berani menentang
Seikere, sehingga sekolah-sekolah Muhammadiyah dan warga kampung Kauman tidak diwajibkan
Seikere (sebab Syirik). Putera-putera Kauman menjadi motor di pasukan Hizbullah Sabilillah, dan
kemudian dari Kauman pula didirikan Markas Ulama Asykar Perang Sabil (MU- APS) yang pusatnya di
Gedung Pejagan Plataran masjid Gedhe. Pasukan-pasukan yang dimotori oleh putera-putera
Kauman ini ikut perang gerilya membantu TNI sampai ke Semarang, Ambarawa, Kedu, dan
Kebumen. Dalam peristiwa Kota Baru, Plataran Masjid Gedhe juga digunakan menyusun kekuatan
untuk penyerbuan, putera-putera Kauman pun ikut aktif dan juga ada yang menjadi korban sebagai
pahlawan.
Plataran Masjid Gedhe Kauman pun dipakai juga untuk menyusun kekuatan dalam rangka
penumpasan pemberontakan PKI ( 18 September 1948, pusatnya di Madiun ); dan juga Demonstrasi
Pembubaran PKI tahun 1965 karena pemberontakan G-30S/PKI, dari tuntutan Demonstrasi Generasi
Muda Islam (GEMUIS) Jogjakarta, maka PKI dibekukan di Jogjakarta ( tindakan ini pertama kali
untuk seluruh Indonesia ). Plataran Masjid Gedhe dikenal sebagai ajang perjuangan umat. Angkatan
1966 (KAMI –KAPPI-KAWI-KASI ) bila bila demonstrasi berangkatnya dari plataran Masjid Gedhe.
Demonstrasi untuk Reformasi dan menurunkan rezim Soeharto salah satu tempat konsentrasinya
adalah plataran Masjid Gedhe Jogjakarta, dan warga Kauman pun ikut berpartisipasi baik tenaga
maupun logistiknya.
Dalam bidang pendidikan generasi muda, pada awalnya dilakukan melalui pondok-pesantren dan
banyak menghasilkan para ulama serta pengusaha. Setelah Muhammadiyah berdiri dan dikenalkan
adanya sekolah ( seperti HIS ned de Qur’an; Volkschool med de Qur’an; Kweekschool med de
Qur’an; MULO men de Qur’an dan sebagainya ), maka putera-puteri Kauman mulai merambah
memasuki sekolah-sekolah, namun juga masih ada yang bertahan di Madrasah Mu’alimien dan
Mu’alimat, serta di pesantren. Dari pengalaman ini, maka generasi Kauman selanjutnya lebih
banyak yang belajar ilmu pengetahuan umum dan menghasilkan para sarjana sampai dengan Guru
Besar dalam berbaga bidang keilmuan ( Profesor perempuan pertama di Indonesia berasal dari
Kauman, Ibu Sitti Baroroh Baried ).
Konsekwensi logis dari perkembangan ini ialah semakin langka lahirnya kader ulama ( dalam
pengertian agama ) di Kauman, sehingga sampai pada saat ini pun dapat dirasakan Kauman yang
dulunya gudang ulama, jadi kekurangan ulama ( hal ini perlu diperhatikan ! ).
Dalam bidang pendidikan non formal berjalan adanya pengajian anak-anak di berbagai tempat di
Kauman, pada tahun 80-an pernah sampai didirikan organisasi “Himpunan Pengajian Anak-anak
Kauman (HPAK)”. Pada awalnya “Tarbiyatul Atfal”, kemudian di hamper di setiap langgar didirikan
pengajian anak-anak dan cukup gayeng. Kaderisasi lewat pengajian anak-anak itu masih terasa
hasilnya, munculnya aktivis pemuda Kauman pada saat ini. Di kalangan remaja dibentuk Orena dan
Oreka, dan di kalangan orang tua diadakan pengajian di setiap sector, sedangkan pengajian ibu-ibu
Diadakan di gedung Pesantren dan di Kauman Selatan (malam sabtu), serta pengajian PKK.
Adapun yang menjadi keprihatinan pada saat ini adalah antara lain, berkurangnya pengajian anak-
anak yang berjalan efektif , usaha mendirikan Madrasah Diniyah tidak lama umurnya, sehingga
sebagian besar anak-anak di Kauman belum tergarap dalam pendidikan agama melalui pengajian.
Sistim pembinaan khusus remaja dan pemuda/pemudi masih kurang mendapatkan perhatian,
sehingga masa depan kader-kader generasi muda Kauman perlu dibangun lebih serius. Keringnya
ulama yang menguasai berbagai ilmu agama Islam, setelah wafat dan udzurnya para ulama, untuk
mempersiapkan kadernya masih membutuhkan waktu yang panjang, dan perlu segera diupayakan
keberadaannya kembali. Masih banyak lagi keprihatinan yang perlu segera dicari solusinya yang
mantab.
KAUMAN TEMPO YANG AKAN DATANG
Dalam melihat perspektif ke depan tidak dapat begitu saja meninggalkan realitas masa kini, dan
yang menjadi sebab terjadinya kenyataan yang ada pada masa kini. Dari sinilah insyaAllah akan
dapat ditemukan “terapi” yang lebih tepat, sesuai dengan perkembangannya. Sesuai dengan nama
Kauman dan realitas yang pernah dimilikinya, yaitu kampungnya para “Penegak Agama Islam”,
sudah sewajarnya bila di masa depan berusaha dikembalikan keberadaan para ulama di kampung ini
(salah satu alternative). Tentu saja akan terdapat Redifinisi tentang ulama itu sendiri, yaitu tidak
persis dengan keulamaan di Kauman pada awal berdirinya, seperti ulama yang harus jadi Abdi
Dalem, ulama yang hanya menguasai ilmu agama Islam dan sebagainya. Pengertian ulama bias lebih
diluaskan lagi, yaitu memiliki dasar salah satu ilmu agama Islam yang kuat dan juga menguasai
salah satu ilmu umum ( keilmuan agama Islam dan ilmu umum tidak didekotomikan, namun integral
dalam pribadi ). Dengan demikian, maka dapat dimunculkan para ulama yang tadinya berasal dari
pendidikan umum, kemudian ditambah dengan wawasan keagamaan yang intensif, dan atau
sebaliknya, dalam rangka mengantisipasi keadaan zaman. Untuk memben- tuk insan semacam ini
perlu difikirkan. ( antara lain : Mendidikkan putera-putrinya ke pesantren dan perguruan tinggi
agama Islam; mengadakan kusus-kursus keIslaman, dan sebagainya ).
Warga Kauman tentu saja tidak harus semuanya jadi ulama, namun sebagai kampung Islam tentu
saja warga Kauman paling tidak dalam kehidupannya memiliki dan mengamalkan nilai-nilai Islami.
Oleh karena itulah pendidikan berupa pengetahuan dan pengamalan hidup Islami bagi warga
Kauman amat sangat diperlukan. Sebagai pelaksanaannya diperlukan sebuah konsep dan program
yang matang, melalui berbagai jalur dalam masyarakat, dan didukung serta disengkuyung oleh
berbagai lembaga yang ada di Kauman ( Muhammadiyah dan ortomnya; Takmir Masjid Gehe; dan
pemerintahan RW-RT )
Adapun Konsep Hidup Islami dapat dipakai PHI ( Pedoman Hidup Islami ) yang telah diolah oleh
Muhammadiyah, tentang metode pendidikan ke masyarakatnya dibicarakan bersama. Jalur-jalur
yang dapat digunakan antara lain melalui berbagai lembaga/organisasi yang ada di Kauman,
menghidupkan kembali pengajian anak-anak, remaja, pemuda-pemudi, dan orang tua ( dicari model
yang menarik untuk dapat dilaksanakan ).
Untuk mendukung itu semua, Pertama diperlukan konsolidasi lembaga-lembaga yang ada di
Kauman, membicarakan program bersama bersama, dan pembagian tugas sesuai dengan
kelembagaannya masing-masing. Kedua, diadakan sosialisasi program bersama kepada warga
Kauman, dengan target untuk menyadarkan dan minta dukungan serta dorongan aktiv dari warga.
Ketiga, mencari dukungan moril dan materiil dari para aghniya’ Kauman, baik yang ada dalam
kampung, atau yang ada di luar kampung. Dari upaya itu semua yang dilandasi dengan niat ibadah,
insya Allah prospek masa depan Kauman akan lebih baik.
KHOTIMAH
Sekali lagi disampaikan bahwa makalah kecil ini hanyalah sebagai pembuka dan pemancing
pembicaran dalam majelis ini. Kalau di dalamnya terdapat urun rembug, nilainya masih baru
sebuah wacana dan usulan belaka, sedangkan yang diharapkan lebih jauh dari pembicaraan kita di
pagi hari ini adalah kesepakatan bersama sebagai konsep yang jitu untuk membangun masa depan
Kauman. Oleh karena itu, dihimbau agar seluruh peserta seminar ini dapat berperan aktiv
membemberikan andel pemikiran dan konsep-konsepnya.
Kami yakin bahwa warga Kauman menginginkan perbaikan dan kemajuan, serta kami yakin pula
bahwa warga Kauman punya kemampuan untuk berbuat demi perbaikan dan kemajuan itu. Hanya
mungkin yang belum ditumbuhkan adanya komunikasi idea, kesepakatan, dan bagaimana cara untuk
berupaya baik dan maju itu. Satu hal lagi yang perlu didorong, yaitu adanya kemauan dan hasrat
yang kuat kebersamaan untuk melaksanakan kesepakatan demi perbaikan dan kemajuan Kauman
yang kita cintai bersama.
Semoga Allah Swt. memberikan pencerahan pada pemikiran, memberikan kekuatan dan kelancaran
pada upaya perbaikan serta kemajuan, selalu memberikan petunjuk serta lindungan, sehingga
dapat mewujudkan cita-cita kita bersama, Amien.
Diposkan oleh R. Wijaya di 10.47 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
 Link ke posting ini

Reaksi:

Mataram Islam
Merunut Sejarah pecahnya Mataram Islam
Mengingat situasi politik, ekonomi, dan keamanan di tahun 1775.Kerajaan Mataram Islam dengan
raja Sunan Paku Buwono III dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri,
yakni Pangeran Mangkubumi, yang menolak persekutuan Mataram dengan VOC. Perlawanan
Pangeran Mangkubumi terhadap Paku Buwono III akhirnya dicarikan solusi dengan digelarnya
pertemuan di Giyaanti. Proses panjang dialog kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi
ditengahi oleh Gubernur Jenderal N Hartings akhirnya menghasilkan beberapa poin dalam
perjanjian yang ditandatangani pada 17 Maret 1755
Poin yang sangat mendasar dari pertemuan itu, Pangeran Mangkubumi mendapat bagian setengah
dari Kerajaan Mataram di sebelah barat Sungai Opak. Bagi yang sering atau pernah ke Yogyakarta
atau Surakarta, kali Opak merupakan sungai kecil yang membelah kompleks Candi Prambanan,
Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja yang pusat pemerintahannya di Yogyakarta dengan gelar
Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah. Hak
menguasai wiayah Mataram sebelah barat, menurut perjanjian itu, sifatnya turun temurun hingga
sekarang. Sedangkan Mataram sebelah timur sungai Opak tetap dikuasai Paku Buwono III dengan
pusat pemerintahan di Surakarta.Wilayah bagian barat sungai Opak yaang dikuasai Pangeran
Mangkubumi merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya yang
memisahkan diri dari kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Saat itu, Danang Sutawijaya atau
Panembahan Senopati diberi hadiah hutan Mentaok dan kemudian atas kekuasaan Panembahan
Senopati dibangunlah kerajaan Mataram.Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu
domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah. Dalam perjalanan sejarah,
Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom
terpisah dari Kerajaan Surakarta. Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal
hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.
Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan
daerah otonom yang terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo mendapat
kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten
Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam. Kedua
pangeran itu secara turun temurun mewariskan kekuasaan ekonomi, sosial., politik dan keamanan
masing-masing kepada anak keturunan mereka.Jika keempat raja di empat kerajaan berdarah
Mataram itu kemudian berkumpul menyamakan visi di era modern ini, tentu bukan bermaksud
untuk menyatukan kekuatan untuk mendirikan negara baru. Sebab secara jelas, dan disebutkan
dalam undang-undang, Kerajaan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran.

Perundingan pembagian Kerajaan Mataram


Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun
1757
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10
September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari
berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran
Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi
Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah
Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena
tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu
Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan
berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah
untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC
mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana
saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5
tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang
Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan
VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754
akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan
mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa
(orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang
Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura
Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran
memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian
disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama,
Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau
tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada
13 Februari 1755 ditandatangani ‘Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti
dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga
Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang
diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati
Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan
Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-
masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum
mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah
diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei
1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja
Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746,
1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J.
Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. “
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan
persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya
(bukan di tangan Sultan).
Badai belum berlalu
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden
Mas Said) masih terus melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III. Perlawanan ini berakhir dua
tahun kemudian melalui Perjanjian Salatiga. Latar belakang perjanjian ini pada waktu selanjutnya
diabadikan dalam bentuk babad yang dinamakan Babad Giyanti.

Anda mungkin juga menyukai