Masa awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijayadengan
gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengahsaat ini,
mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak
kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton
(tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak diBanguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede.
Sesudah ia meninggal (dimakamkan diKotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang
setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan
saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda
Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu
tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro.
Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas
Jolang yang bernama Mas Rangsangpadamasa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami
masa keemasan.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal
dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di
Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY,
dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul
sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan
antara Mataram dengan VOCyang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan
Banten dan Kesultanan Cirebondan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan
VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia
tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan").
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat
bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan
Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga
kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton
dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama
dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-
1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya
Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak
dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah
Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13
Februari1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram
sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa
beranggapan bahwaKesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari
Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas
jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki
Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena
rumahnya di utara pasar).
1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang
badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati
Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang
bergelarPanembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak"
karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro.
Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang
digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah
Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah
1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat.
Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing
Ngalaga.
1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I.
Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya
pada1734.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar
Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar
Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak
dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh
Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan
Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai
Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana.
Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan
Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan
Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada
1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono
oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai
Susuhunan Paku Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran
(daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota
Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia
walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang
membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin
Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas
sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1799 - Voc dibubarkan
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta
dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta
dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta
dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh
Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara
de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
Diposkan oleh R. Wijaya di 11.39 1 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:
Ngayogyakarta Serambi Madinah
A. Semenjak tahun 1755 di wilayah Ngayogyakarta telah hadir masyarakat baru
yang hidup dala m tatanan islam. Masyarakat hidup rukun dan saling menghormati
karena disatukan oleh ikatan etnik, budaya, kesamaan tujuan, dan filosofi
kehidupan.
B. Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat hadir memimpin mereka, melindungi, dan
mensejahterakan mereka, mendidik dan membimbing ke arah yang mendekati
tujuan idiil bersama, hingga matang da n menjadi sebuah bangsa dan umat yang
satu yaitu bangsa jawa.
C. Sultan Khalifatulloh dalam dinasti Hamengku Buwana adalah pelanjut dan
pembangun kembali negara Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung
Hanyakrakusuma dan didirikan oleh Panembahan Senopati, sebagai pewaris
Kesultanan Pajang yang berpangkal dari kesultanan Demak Bintoro.
D. Sepanjang perjalanan sejarah Dinasti Hamengku Buwana dalam fungsi
hamangku, hamengku dan hamengkoni pada masyarakat bangsanya, telah berhasil
mengaplikasikan nilai-nilai luhur pada tatanan masyarakat yang berbudaya Islami.
E. Pemahaman tentang nilai-nilai luhur pada tatanan masyarakat madinah dalam
konteks Ngayogyakarta telah teadi semenjak HB 1, yaitu kajian integratif dalam
Majelis Bukhoren yang dipimpin oleh KH Nur Iman (BPH Sandiyo) dalam pesantren
luhur di Mlangi.
F. Deri serangkaian pembicaraan rutin dalam kurun waktu yang cukup panjang
pada Majelis Bukhoren yang diselenggarakan oleh keraton, maka pada tahun 2008
berhasil diadakan Halaqoh (semiloka) di Keraton Ngayogyakarta (Ndalem
Joyokusuman) dan disepakati untuk melahirkan Ngayogyakarta Serambi Madinah
sebagai sebutan untuk masyarakat Ngayogyakarta yang berbudaya adhiluhung dan
agar segera di-birawa-kan. Pada bulan Agustus 2008 Ngayogyakarta Serambi
Madinah dideklarasikan di Masjid Gedhe, dihadiri oleh para ulama dan tokoh
masyarakat dari seluruh DIY dan para tamu dari Banten. Selanjutnya pada 2009
diadakan kesepahaman (MoU) antara Kraton Ngayogyakata dengan Kanwil Depag
DIY.
G. Deklarasi Masjid Gedhe tersebut telah mendeskripsikan dasar-dasar
Ngayogyakarta Serambi Madinah, yang dituangkan dalam definisi, identifikasi, visi,
dan semangat. Selengkapnya sbb: definisi Serambi Madinah adalah sebutan untuk
Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebutan ini telah mereprentasikan karakter sosial,
budaya dan keagamaan dalam hidup dan berkembang secara riil, sehingga
menggambarkan sosok khittah Ngayogyakarta hadiningrat yang hakiki.
Ngayogyakarta Serambi Madinah ini bukan partai, bukan ormas dan bukan
organisasi apapun juga bukan bagian dari struktur pemerintah. Ia merupakan
sebutan yang terekspresikan dari luapan cita rasa adiluhung yang mengental dalam
diri masyarakat Ngayogyakarta dalam jati diri mereka.
H. Nilai-nilai Ngayogyakarta Serambi Madinah diyakini telah termuat secara
keseluruhan dalam ajaran Walisongo, Piwulang Agung Kraton Ngayogyakarta,
kaweruh filosofi dan budaya masyarakat sebagai reinterpretasi terhadap Piagam
Madinah pada zaman Nabi. Namun tetap diakui bahwa tidaklah mudah untuk
mengambil mutiara-mutiara ajaran yang tersebar dalam samodera kaweruh
tersebut sebagai “penjelasan yang dikehendaki” terhadap naskah deklarasi Masjid
Gedhe dimaksud.
Bila dikategorikan, paling tidak penjelasan itu akan menyangkut sub-sub tema berikut:
• Kedaulatan pangan bagi masyarakat sebagai inti dari kesejahteraan sosial ekonomi.
Pembicaraan ini ingin difokuskan pada vitalisasi pertanian dalam kaitan kemajuan ilmu
pengetahuan.
• Filosofi Ngayogyakarta Serambi Madinah, yaitu sejumlah nilai dasar dari ajaran Islam Jawa yang
membingkai wujudnya Ngayogyakarta Serambi Madinah.
• Kemajemukan sosial budaya, yaitu pemahaman akan kemajemukan masyarakat sebagai potensi
pengembangan Ngayogyakarta Serambi Madinah.
• Ngayogyakarta Serambi Madinah sebagai implementasi fungsi khilafah. Pembicaraan di sini
sangat erat kaitannya dengan fungsi hamangku, hamengku dan hamengkoni pada diri Sultan sebagai
Khalifatullah.
• Sejarah Muhammad saw, baik sebagai pribadi maupun sebagai Rasulullah. Pembicaraan di sini
terutama untuk mengungkap kebesaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan interelasi antara
Muhammad sebagai pribadi dan utusan Allah swt, atau format manunggaling kawulo gusti antara
beliau dan Dia Yang Maha Mutlak.
Diposkan oleh R. Wijaya di 11.30 1 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:
Reaksi:
Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, bangunan
tempat ibadah islam yang tertua di Yogyakarta. Bangunan itu merupakan tempat yang seringkali
hanya dilewati ketika wisatawan hendak menuju kompleks pemakaman raja Mataram, padahal
pesona bangunannya tak kalah menarik. Tentu, banyak pula cerita yang ada pada setiap piranti di
masjid yang berdiri sekitar tahun 1640-an ini.
Sebelum memasuki kompleks masjid, akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah
ratusan tahun. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir. Karena
usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya
mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di
bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi
terentang.
Berjalan mendekat ke arah kompleks masjid, akan ditemui sebuah gapura yang berbentuk
paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf L. Pada
tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan
tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang
masih memeluk agama Hindu dan Budha.
Memasuki halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti bertinggi 3
meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini. Bagian dasar
prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan
surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat.
Adanya prasasti itu membuktikan bahwa masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan.
Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang
berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun
oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan
Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan agung tiangnya
berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.
Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap
yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit
itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara
masjid. Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar parit
dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga yang ingin
beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun berderet.
Pada bagian luar inti masjid terdapat bedug tua yang bersebelahan dengan kentongan. Bedug yang
usianya tak kalah tua dengan masjidnya itu merupakan hadiah dari seseorang bernama Nyai Pringgit
yang berasal dari desa Dondong, wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan
bedug itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang
kemudian dinamai Dondongan. Sementara bedug pemberiannya, hingga kini masih dibunyikan
sebagai penanda waktu sholat.
Sebuah mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari bahan kayu yang diukir indah dapat dijumpai di
bagian dalam masjid, sebelah tempat imam memimpin sholat. Mimbar itu juga merupakan
pemberian. Saat Sultan Agung menunaikan ibadah haji, ia mampir ke Palembang untuk menjenguk
salah satu adipati di tempat itu. Sebagai penghargaannya, adipati Palembang memberikan mimbar
tersebut. Mimbar itu kini jarang digunakan karena sengaja dijaga agar tidak rusak. Sebagai
pengganti mimbar itu, warga setempat menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah
sehari-hari.
Berjalan mengelilingi halaman masjid, akan dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi
bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang
lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa.
Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan
polos. Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan agung, sementara
tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa
Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat.
Masjid yang usianya telah ratusan tahun itu hingga kini masih terlihat hidup. Warga setempat masih
menggunakannya sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan. Bila datang saat waktu
sholat, akan dilihat puluhan warga menunaikan ibadah. Di luar waktu sholat, banyak warga yang
menggunakan masjid untuk tempat berkomunikasi, belajar Al Qur'an, dan lain-lain.
Diposkan oleh R. Wijaya di 10.52 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:
sejarah kauman
Tulisan pendek ini dibuat sekedar untuk membuka pembicaraan kita tentang Kauman, sebuah
komunitas santri di Yogyakarta yang telah berusia 233 tahun ( hampir 2,50 abad ). Nama Kauman
berasal dari Pa- Kaum – an, pa= tempat, Kaum dari kata Qoimuddin ( penegak agama Islam ), jadi
Kauman adalah tempat para penegak agama atau para ulama. Setelah Masjid Gedhe didirikan,
maka sangat diperlukan masyarakat yang memelihara-mengelola- memakmurkan masjid. Untuk itu
Sultan Hamengku Buwana I yang sangat aktif beribadah meletakkan para ulama pilihan dari
berbagai daerah, untuk ditempatkan di sekitar Masjid Gedhe sebagai pemakmur dan pengelola
masjid, sekaligus dijadikan Abdi Dalem urusan keagamaan. Pimpinan para ulama itu adalah Kyai
Pengulu Fakih Ibrahim Dipaningrat ( Pengulu Pertama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ). Semua
ulama difungsikan dalam organisasi kemasjidan, dengan pembagian tugas yang telah tertata rapi.
Para ulama dan Pengulu yang ditempatkan di sekitar Masjid Gedhe itu, kemudian membentuk
komunitas santri dengan perkawinan “indogami Kampung”. Dalam perkembangan lebih lanjut
terjadilah komunitas kampong santri dengan ikatan keagamaan dan kekerabatan. Dengan demikian
solidaritas komunitas ini sangat kuat. Tradisi kesantrian seperti dalam pendidikan, pergaulan, serta
dalam kehidupan bermasyarakat dengan masjid sebagai pusatnya memberikan warna, nuansa, dan
cirikhas tersendiri bagi Kauman di bandingkan dengan kampong-kampung lainnya di kota Jogjakarta
pada waktu itu.
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan budaya selalu berkembang dan berubah sesuai
dengan dinamika zaman. Kampung Kauman pun yang dihuni oleh kaum santri tidak terlepas dari
poses perkembangan dan perubahan dari zaman ke zaman hingga saat ini. Sebuah pertanyaan
bagaimanakah perkembangan dan perubahan yang terjadi ?, mari kita bicarakan.
KAUMAN TEMPO DOELOE SAMPAI TEMPO KINI
Berdasarkan beberapa sumber dan fakta sejarah yang ditemukan, gambaran kampong Kauman
tempo doeloe ( awal berdirinya ), dapat direkonstruksi sebagai berikut :
Secara pisikè Setting Kampung Kuman berada di atas tanah seluas +192000 m2, letaknya di barat
Masjid Gedhe dan sekitarnya. Dihuni oleh para ulama, Pengulu Kraton dan 9 Ketib, masing-masing
menghuni sebidang tanah di atasnya dibangun rumah dan Langgar ( tempat sholat dan mengaji ).
Perkembagan sosial è Perkampungan para ulama itu berkembang dengan pernikahan
indogami,sehingga membuat satu kampong dengan sebagian besar punya ikatan kekerabatan dan
ikatan keagamaan. Dengan demikian memiliki solidaritas yang kuat, baik dalam membela agama
Islam, keadilan dan kebenaran, maupun juga membela komunitasnya.
Warga kampungKauman juga memiliki juga memiliki jaringan yang berhubungan dengan kampong
atau desa santri di Jawa, antara lain di Tambak Beras Jombang, Banjarnegara, Mlangi, Plosokuning,
Krapyak, dan sebagainya.
Pada tahun 1912 merupakan tahun monumental bagi Kauman, yaitu munculnya seorang ulama yang
cerdas dan punya perspektif yang tepat dalam pencerahan masa depan, ialah KHA Dahlan. Dalam
rangka memajukan dan mengembangkan umat Islam, ia punya jurus yang handal, yaitu : Pertama,
menggerakkan Sosial-keagamaan; Kedua, menggerakkan pembaharuan pendidikan Islam; dan
Ketiga, menggerakkan pemurnian Islam, kembali pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Gerakannya
itu diberi nama Muhammadiyah, lahir dan berdiri di kampong Kauman Jogjakarta. Pesarekatan
Muhammadiyah ini kemudian menasional, bahkan mengglobal, sehingga gaungnya sampai dunia
internasional. Berbagai kajian memberikan nama gerakan ini sebagai “Reformasi”; “Modernisasi”,
“Tajdid/ Pembaharuan” dan sebagainya. Tentu saja KHA Dahlan tidak sendirian, didukung oleh para
ulama dan para santrinya yang kemudian meneruskan perjuangan Muhammadiyah hingga sampai
kini tetap utuh ( Alhamdulillah tidak pernah pecah ).
Reaksi:
Mataram Islam
Merunut Sejarah pecahnya Mataram Islam
Mengingat situasi politik, ekonomi, dan keamanan di tahun 1775.Kerajaan Mataram Islam dengan
raja Sunan Paku Buwono III dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri,
yakni Pangeran Mangkubumi, yang menolak persekutuan Mataram dengan VOC. Perlawanan
Pangeran Mangkubumi terhadap Paku Buwono III akhirnya dicarikan solusi dengan digelarnya
pertemuan di Giyaanti. Proses panjang dialog kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi
ditengahi oleh Gubernur Jenderal N Hartings akhirnya menghasilkan beberapa poin dalam
perjanjian yang ditandatangani pada 17 Maret 1755
Poin yang sangat mendasar dari pertemuan itu, Pangeran Mangkubumi mendapat bagian setengah
dari Kerajaan Mataram di sebelah barat Sungai Opak. Bagi yang sering atau pernah ke Yogyakarta
atau Surakarta, kali Opak merupakan sungai kecil yang membelah kompleks Candi Prambanan,
Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja yang pusat pemerintahannya di Yogyakarta dengan gelar
Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah. Hak
menguasai wiayah Mataram sebelah barat, menurut perjanjian itu, sifatnya turun temurun hingga
sekarang. Sedangkan Mataram sebelah timur sungai Opak tetap dikuasai Paku Buwono III dengan
pusat pemerintahan di Surakarta.Wilayah bagian barat sungai Opak yaang dikuasai Pangeran
Mangkubumi merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya yang
memisahkan diri dari kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Saat itu, Danang Sutawijaya atau
Panembahan Senopati diberi hadiah hutan Mentaok dan kemudian atas kekuasaan Panembahan
Senopati dibangunlah kerajaan Mataram.Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu
domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah. Dalam perjalanan sejarah,
Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom
terpisah dari Kerajaan Surakarta. Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal
hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.
Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan
daerah otonom yang terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo mendapat
kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten
Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam. Kedua
pangeran itu secara turun temurun mewariskan kekuasaan ekonomi, sosial., politik dan keamanan
masing-masing kepada anak keturunan mereka.Jika keempat raja di empat kerajaan berdarah
Mataram itu kemudian berkumpul menyamakan visi di era modern ini, tentu bukan bermaksud
untuk menyatukan kekuatan untuk mendirikan negara baru. Sebab secara jelas, dan disebutkan
dalam undang-undang, Kerajaan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran.