Anda di halaman 1dari 8

Kerajaan Pajang

8:02 AM No Comment

Kerajaan Pajang, donisetyawan.com


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1546 , sultan Trenggana berusaha menguasai pelabuhan penarukan. Tiga bulan
lamanya, sultan Trenggana memimpin pasukan Islam dari Demak berperang melawan
penarukan yang mendapat bantuan dari Bali . dalam perang ini Sultan Trenggana memimpin
pasukan Islam dari Demak berperang melawan penarukan yang mendapat bantuan dari Bali.
Dalam perang ini sultan Trenggono tidak berhasil merebut Penarukan, bahkan ia sendiri
wafat di Penarukan. Setelah wafatnya sultan Trenggana, kondisi kesultanan Demak jatuh dalam
konflik istana dalam memperebutkan
jabatan sultan. Akhirnya kesultana Demak mengalami kemunduran dan sebagai gantinya, maka
lahirlah kesultanan Pajang di bawah pimpinan sultan HAdiwijaya alias Jaka Tingkir. Maka dari
itu pemakalah akan membahas tentang kesultanan Pajang lebih dalam lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Pajang ?
2. Bagaimana perkembangan kerajaan Pajang ?
3. Bagaimana Raja-raja kesultanan Pajang ?
4. Bagaimana runtuhnya kerajaan Pajang ?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah berdirinya kerajaan Pajang
2. Mengetahui perkembangan kerajaan Pajang
3. Mengetahui Raja-raja Kesultanan Pajang
4. Mengetahui runtuhnya kerajaan Pajang

BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah berdirinya Kesultanan Pajang
Baik serat kandha maupun Babad Tanah Jawi memuat banyak cerita mengenai pendiri
kerajaan Pajang. Waktu kecilnya bernama mas Karebet, sebab pada saat lahirnya sedang
diadakan wayang beber di rumahnya. Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, karena
sepeninggal ayahnya ia dipelihara oleh janda di Tingkir. Letak Tingkir di sebelah selatan Kota
Salatiga sekarang.
Banyak cerita yang hebat-hebat tersebar luas, pejuang muda ini kemudian mengabdi ke
Keraton Demak sebagai prajurit tamtama. Karena perkawinannya dengan putri sultan Trenggana
ia pun dapat memasuki kehidupan keluarga istana.[1]
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, maka terjadilah kekacauan akibat perebutan tahta
antara calon pengganti Sultan Trenggana. Para pengganti Sultan Trenggana adalah pangeran
Prawoto, anak sultan Trenggana dan pangeran Seda Ing Lepen, adik Sultan Trenggana. Dalam
pertikaian ini Pangeran Seda Ing Lepen mati terbunuh dan Pangeran Prawoto beserta
keluarganya mati dibunuh oleh anak Pangeran Seda Ing Lepen, Aryo Penangsang. Aryo
Penangsang terkenal sebagai orang yang sangat kejam. Untuk dapat merebut tahta Kesultanan
Demak, maka ia harus mengalahkan menantu sultan Trenggana, Adiwijaya. Pada masa ini,
Adiwijaya kedudukannya adalah sebagai adipati Pajang. Akhirnya atas bantuan beberapa adipati,
Adiwijaya berhasil membunuh Aryo Penangsang.[2]
Setelah Arya Panangsang berhasil dikalahkan, Joko Tingkir diangkat menjadi raja pertama
Pajang. Pengangkatan tersebut disahkan oleh Sunan Giri. Selanjutnya, demak diubah statusnya
menjadi kadipaten. Setelah menjadi kadipaten, demak dipimpin oleh adik ipar Sultan Adiwijaya,
yaitu, Arya Pangiri.[3]
2. Perkembangan kesultanan Pajang
Wilayah ini di akhir abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan Pajang, yaitu Jaka tingkir
telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang “Ki Gede Ngenis” yang kemudian popular
dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukan wilayah tersebut ke dalam
pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang. Wilayah Mataram dianugrahkan Sultan Pajang
kepada Ki Gede Ngenis beserta puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa
mereka dalam ikut serta melumpuhkan Aria Penangsang di Jipang Panolan.
Ki Pamanahan disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada Sultan
Pajang. Ia mulai naik tahta di istananya yang baru di Kotagede pada tahun 1577 M sampai tutup
usianya di tahun 1584.[4]
Selama pemerintahan Jaka Tingkir, kesusastraan dan kesenian kraton yang sudah maju
peradabannya di demak dan jepara, lambat laun dikenal di pedalaman jawa tengah. Berkat ajaran
tokoh legendaris Syaikh Stiti Jenar, agama islam juga tersebar di Pengging. Diberitakan bahwa
hubungan keagamaan antara keratin Pajang dengan masyarakat santrinya yang telah dibentuk
oleh ulama dari Semarang. Di samping masalah keagamaan, di pajang juga terdapat tulisan
tentang sajak monolistik Jawa yang dikenal dengan Niti Sruti. Sajak tersebut ditulis oleh
pujangga Pajang, pangeran Karang Gayam. Pada masa kesultanan Pajang, kesusastraan Jawa
juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan. Selanjutnya, kesusastraan Jawa di
Pedalaman berkembang pada masa Mataram Islam.[5]
Setelah Jaka Tingkir meninggal dunia pada tahun 1587, para penggantiya tidak dapat
mempertahankan pemerintahannya. Ahli waris sultan pajang ialah tiga orang putra menantu’
yaitu raja Tuban, raja di Demak, dan raja di Araos Baya, di samping putranya sendiri, pangeran
Benawa, yang konon masih sangat muda. Oleh karena itu dia disingkirkan oleh Arya Pangiri
(dari demak) dan dijadikan adipati di Jipang. Sebagai pemimpin Pajang adalah Arya Pangiri.
Ternyata, tindakan-tindakannya banyak yang merugikan rakyat sehingga menimbulkan rasa tidak
senang di mana-mana.
Keadaan semacam itu dimanfaatkan oleh pangeran Benawa untuk merebut kembali
kekuasaaannya. Usahanya berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat pada tahun 1588.
Selanjutnya, Arya Pangiri dikembalikan ke demak. Kemenangan tersebut atas peran senopati
mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Namun, baru satu tahun memerintah, dia wafat.
Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa dia meninggalkan Pajang, menuju Parakan
(kedu).
Setelah itu, pemerintah Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang mataram. Buktinya,
senopati mataram mengangkat Gagak Bening, yang memerintah sampai dengan tahun 1591.
Senopati Mataram mengendalikan Pajang sampai dengan tahun 1618.[6]
Setelah wafat Gagak Bening diganti putranya, Ngabehi Loring Pasar, yang kemudian
diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur
dengan Panembahan Senopati.
Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan bawahan Pajang,
ia dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan dengan tidak seba atau
sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya akhirnya raja pajang memutuskan untuk
menyelesaikan pembangkangan Mataram dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata.
Ekspedisi penyerbuan dibawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena
bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit
Pajang. Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang
meninggal dunia. Momentum ini dimanfaatkan oleh panembahan Senopati untuk
memproklamasikan dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.[7]
Pengambil alihan kekuasaan kraton Islam di Jawa Tengah oleh Sultan Pajang tidak
menimbulkan keguncangan di pasuruan maupun di Jawa Timur lainnya. Ketika tahun 1581
Sultan Pajang diakui sebagai Sultan oleh Sunan Prapen dari Giri dalam suatu rapat Adipati Jawa
Timur, Adipati Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa penyatuan kekuasaan politik raja-raja
Islam jawa Tengah dan jawa Timur di bawah pimponan pemuka agama dari Giri dan Sultan
Pajang juga bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang dibantu oleh Dewa
Agung dari Bali. Adipati Pasuruan, yang tlatahnya hamper berbatasan langsung dengan
Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan dengan raja-raja Islam
lainnya. Sultan Pajang memang juga menguasai tlatah Pasuruan.[8]
Sebagaiaman disebutkan diatas, menjelang keruntuhan pemerintahan pajang, orang-orang
mataram sudah memainkan peran penting disana. Peran tersebut diawali tatkala senopati, anak
Kiai Ageng Pamanahan (teman adiwijaya) yang dapat membunuh Aria Panangsang, mendapat
gelar panembahan (bupati) mataram. Setelah aria panangsang meninggal pada tahun 1558,
orang-orang sela menerima daerah pati dan Daerah mataram sebagai hadiah bagi jasa yang telah
mereka berikan.[9]

3. Raja-raja di Kesultanan Pajang


a. Jaka Tingkir
Nama kecil Jaka Tingkir adalah Mas Krebet. Hal tersebut dikarenakan ketika kelahiran Jaka
Tingkir, sedang ada pertunjukan wayang beber di rumahnya. Saat remaja, ia memiliki nama Jaka
Tingkir. Nama itu dinisbatkan pada tempat dimana ia dibesarkan. Pada perkembangannya, Jaka
Tingkir menjadi menantu dari Sultan Trenggana (Sultan Kerajaan Demak). Setelah berkuasa di
Pajang, ia kemudian mendapat gelar “Hadiwijaya”. Jaka Tingkir berasal dari daerah Pengging, di
Lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir juga merupakan cucu dari Sunan Kalijaga yang berasal
dari daerah Kadilangun.
Melalui pemberontakan yang kemudian menjadi akhir dari kerajaan Demak, Jaka Tingkir
berhasil mendirikan kerajaan Islam baru. Meskipun tidak lama, namun bukan berarti kerajaan ini
tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan Islam di Jawa Tengah, tepatnya di
daerah pedalam Jawa Tengah. Di bawah pimpinanya, kerajaan ini mengalami beberapa
kemajuan. Salah satu kemajuannya adalah usaha ekspansi wilayah kekuasaan, seperti ekspansi
ke daerah Madiun.
b. Arya Pengiri
Saat memerintah Pajang, Arya Pengiri terkesan kurang bijaksana. Oleh sebab itu, pada
tahun 1588 Pangeran Benawa atas bantuan Senopati dari Mataram mengambil alih takhta
Kesultanan Pajang. Senopati sendiri merupakan anak angkat Sultan Adiwijaya. Sejak saat itu,
Pajang diperintah oleh Pangeran benawa.
c. Pangeran Benawa
Setelah berhasil mendapatkan kembali tahta Kesultanan Pajang, pangeran benawa
menyerahkan kekuasaannya kepada Senopati yang dianggap sebagai saudaranya sendiri. Namun,
Senopati lebih suka tinggal di Mataram, sehingga Pangeran benawa tetap menjadi Raja Pajang.
Dalam memerintah pajang, pangeran Benawa didampingi oleh Senopati. Masa
pemerintahan Pangeran Benawa tidak lama. Baru satu tahun menjadi raja, Pangeran Benawa
wafat. Ada yang mengatakan bahwa Pangeran benawa tidak wafat melainkan meninggalkan
Pajang untuk membaktikan diri pada agama.[10]
d. Gagak Bening
Sepeninggalan Pangeran Benawa, Pajang diperintah oleh gagak Bening. Gagak Bening
adalah seorang Pangeran dari Mataram. Dalam pemerintahannya, Gagak Bening banyak
melakukan perombakan dan perluasan istana. Pemerintahan Gagak Bening tidak berlangsung
lama, hanya sampai tahun 1591.
e. Pangeran Benawa II
Setelah Gagak Bening wafat tahun 1591, dia digantikan oleh Pangeran Benawa, cucu
Sultan Adiwijaya. Ketika memerintah Pajang, Pangeran Benawa masih muda, dia dikenal dengan
Pangeran Benawa II. Pada masa pemerintahannya, pajang tidak banyak mengalami kesulitan.
Pada tahun 1617-1618 Pajang mendapat dukungan dari banyak pihak untuk melepaskan
diri dari Mataram. Maka Pajang kemudian menyerang Mataram. Penyerangan tersebut justru
menjadi sebab kehancuran Pajang.[11]
4. Runtuhnya kerajaan Pajang
Sultan Adiwijaya meninggal pada 1587. Kemudian dimakamkan di Butuh, yang terletak tidak
jauh di sebelah barat taman Kerajaan Pajang. Makam itu hingga kini masih dikenal sebagai
Makam Aji.
Sepeninggalan Sultan Adiwijaya pada 1587, kerajaan Pajang ditaklukan oleh negara
bawahannya, mataram. Keterangan mengenai hal ini pada umumnya hanya terdapat dalam buku-
buku babad, terutama Babad Tanah Jawi, yang ditulis oleh para pujangga Mataram satu abad
kemudian. Mudah dipahami apabila banyak keterangan-keterangan yang lebih memihak kepada
mataram, namun bahwa pertengahan terakhir abad ke-16 para sultan Pajang hanyalah
berkedudukan sebagai raja bawahan dari kerajaan mataram adalah pasti.
Sesudah sultan Adiwijaya masih ada lima raja lagi yang berturut-turut memerintah di Pajang.
Ahli waris pertama kerajaan Pajang ialah tiga putra menantu Sultan, yakni Raja di Tuban, Raja
di Demak dan raja di Arisbaya, disamping putranya sendiri, pangeran Banawa, yang masih
sangat muda ketika ayahnya meninggal dunia. Dalam hubungan ini Sunan Kudus menggunakan
wibawa kerohaniannya untuk mengangkat Aria Pangiri, anak susuhunan Prawoto yang terbunuh,
Raja Demak untuk menggantikan sebagai raja pajang. Jelas usaha ini dimaksudkan untuk
mengembalikan kekuasaan kesultanan Islam di jawa kepada keturunan langsung dari Demak.
Namun Aria Pangiri sebagai sultan kedua di Pajang tidaklah berlangsung lama. Ia berhasil
disingkirkan dan dikembalikan ke Demak oleh Pangeran Banawa dengan dukungan Senapati dari
Mataram.
Menurut Babad Mataram Pangeran Banawa menyerahkan hak waris kerajaanya kepada
Senapati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati ingin tetap tinggal di
Mataram dan ia hanya minta perhiasan emas intan kerajaan Pajang. Pangeran Banawa
dikukuhkan sebagai raja Pajang di bawah perlindungannya.
Hanya setahun saja Pangeran Banawa menjadi raja kemudian ia meninggalkan kerajaan untuk
membaktikan diri pada agama di Parakan (daerah Kedu utara). Oleh Senapati Pajang
dipercayakan kepada seorang Pangeran muda dari Mataram, Gagak Bening. Pangeran ini banyak
melakukan perombakan dan perluasan istana Pajang. Ia meninggal kira-kira tiga tahun
kemudian, 1591.
Sebagai penggantinya ditunjuk putra Pangeran Banawa, cucu almarhum Sultan Adiwijaya.
Pangeran Banawa II ini masih sangat muda ketika mulai memerintah. Pada masa-masa
pemerintahan raja-raja mataram berikutnya seperti pada masa Panembahan Seda-ing-Krapyak,
Pangeran Banawa II ini juga tanpa mengalami kesulitan yang besar dalam meemrintah.
Namun pemberontakan Pajang terhadap Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung
telah mengancurkan Pajang untuk selama-lamanya. Pemberontakan ini terjadi pada 1617-1618
dan memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang tidak puas di Mataram. Pmberontakan Pajang
ini mudah dipahami pula, karena secara ekonomis Pajang senantiasa ditekan, dahulu oleh Demak
dan sekarang oleh Mataram. Menurut catatan VOC pemberontakan itu terjadi pada masa musim
kering yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari tahun 1618-1624.
Sebagai hukuman atas pemberontakan yang berupa tidak mau menyetorkan hasil berasnya
kepada Mataram, sawah-sawah di Pajang yang padinya sedang menguning dibakar habis oleh
pasukan Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut secara
paksa ke Mataram. Tenaga mereka dimanfaatkan dalam pembangunan kraton baru di Plered
yang letaknya 1 km sebelah timur laut ibukota Mataram yang lama. Sesudah itu Pajang tidak lagi
berarti baik politik ataupun ekonomi.[12]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik politik kerajaan Demak berakhir setelah terbunuhnya Arya Panangsang pada tahun
1549. Arya panangsang dibunuh oleh Pemanahan, Penjawi, juru Mrentani dan raden bagus yang
mengiikuti sayembara dari jaka tingkir. Sepeninggal arya penangsang, jaka tingkir mendapat
restu dari sunan kudus untuk menjadi sultan di pajan yang kemudian menggunakan gelar sultam
hadiwijayadalam memerintah kesultanan pajang.
Peran Jaka Tingkir dalam merintis kesultanan pajang sangatlah vital, karena kecerdasan
dalam meramu strategi, ia berhasil menyingkirkan arya penangsang yang memiliki kekuatan
militer lebih besar. Kemenangannya itu membuatnya dapat membentuk kerajaan pajang.
Kerajaan pajang menjadi pusat dakwah jaka tingkir yang ingin menyebarkan islam di jawa sesuai
cara sunan kalijaga.
Peralihan wilayah demak ke pajang membawa beberapa dampak besar diantaranya adalah
perubhan dari kerajaan maritime ke agraris. Demak yang semula memiliki banyak armada kapal,
dan pelabuhan yang ramai oleh perdagangan, menjadi kerajaan agraris setelah berpindah ke
pajang, karena wilyah yang berada di daerah pedalaman.
B. Saran
 Diharapkan penjelasan dari keterangan diatas dapat membantu dalam rangka melengkapi
informasi tentang Kerajaan Pajang.
 Diharapkan pembaca dapat mengkoreksi jika terdapat kesalahan-kesalahan informasi yang
pemakalah sampaikan.

Daftar Pustaka
 Daliman, A. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ombak :
Jakarta , 2012
 Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara. PUSTAKA AL-KAUTSAR: Jakarta Timur, 2010.
 Badio, Sabjan. Menelusur Kesultanan di Tanah Jawa. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
 Harun, Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Sejahtera, 1995.
 Anshoriy, Nasruddin. Arbaningsih, Dri. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang
Terhapus. Yogyakarta: Tri Wacana, 2008.
 Burhanudin, Jajat. Ulama dan kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.
Jakarta: Mizan Publika, 2012.
 Yusuf, Mundzirin. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Penerbit
Pinus, 2006.

Anda mungkin juga menyukai