8:02 AM No Comment
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah berdirinya kerajaan Pajang
2. Mengetahui perkembangan kerajaan Pajang
3. Mengetahui Raja-raja Kesultanan Pajang
4. Mengetahui runtuhnya kerajaan Pajang
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah berdirinya Kesultanan Pajang
Baik serat kandha maupun Babad Tanah Jawi memuat banyak cerita mengenai pendiri
kerajaan Pajang. Waktu kecilnya bernama mas Karebet, sebab pada saat lahirnya sedang
diadakan wayang beber di rumahnya. Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, karena
sepeninggal ayahnya ia dipelihara oleh janda di Tingkir. Letak Tingkir di sebelah selatan Kota
Salatiga sekarang.
Banyak cerita yang hebat-hebat tersebar luas, pejuang muda ini kemudian mengabdi ke
Keraton Demak sebagai prajurit tamtama. Karena perkawinannya dengan putri sultan Trenggana
ia pun dapat memasuki kehidupan keluarga istana.[1]
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, maka terjadilah kekacauan akibat perebutan tahta
antara calon pengganti Sultan Trenggana. Para pengganti Sultan Trenggana adalah pangeran
Prawoto, anak sultan Trenggana dan pangeran Seda Ing Lepen, adik Sultan Trenggana. Dalam
pertikaian ini Pangeran Seda Ing Lepen mati terbunuh dan Pangeran Prawoto beserta
keluarganya mati dibunuh oleh anak Pangeran Seda Ing Lepen, Aryo Penangsang. Aryo
Penangsang terkenal sebagai orang yang sangat kejam. Untuk dapat merebut tahta Kesultanan
Demak, maka ia harus mengalahkan menantu sultan Trenggana, Adiwijaya. Pada masa ini,
Adiwijaya kedudukannya adalah sebagai adipati Pajang. Akhirnya atas bantuan beberapa adipati,
Adiwijaya berhasil membunuh Aryo Penangsang.[2]
Setelah Arya Panangsang berhasil dikalahkan, Joko Tingkir diangkat menjadi raja pertama
Pajang. Pengangkatan tersebut disahkan oleh Sunan Giri. Selanjutnya, demak diubah statusnya
menjadi kadipaten. Setelah menjadi kadipaten, demak dipimpin oleh adik ipar Sultan Adiwijaya,
yaitu, Arya Pangiri.[3]
2. Perkembangan kesultanan Pajang
Wilayah ini di akhir abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan Pajang, yaitu Jaka tingkir
telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang “Ki Gede Ngenis” yang kemudian popular
dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukan wilayah tersebut ke dalam
pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang. Wilayah Mataram dianugrahkan Sultan Pajang
kepada Ki Gede Ngenis beserta puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa
mereka dalam ikut serta melumpuhkan Aria Penangsang di Jipang Panolan.
Ki Pamanahan disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada Sultan
Pajang. Ia mulai naik tahta di istananya yang baru di Kotagede pada tahun 1577 M sampai tutup
usianya di tahun 1584.[4]
Selama pemerintahan Jaka Tingkir, kesusastraan dan kesenian kraton yang sudah maju
peradabannya di demak dan jepara, lambat laun dikenal di pedalaman jawa tengah. Berkat ajaran
tokoh legendaris Syaikh Stiti Jenar, agama islam juga tersebar di Pengging. Diberitakan bahwa
hubungan keagamaan antara keratin Pajang dengan masyarakat santrinya yang telah dibentuk
oleh ulama dari Semarang. Di samping masalah keagamaan, di pajang juga terdapat tulisan
tentang sajak monolistik Jawa yang dikenal dengan Niti Sruti. Sajak tersebut ditulis oleh
pujangga Pajang, pangeran Karang Gayam. Pada masa kesultanan Pajang, kesusastraan Jawa
juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan. Selanjutnya, kesusastraan Jawa di
Pedalaman berkembang pada masa Mataram Islam.[5]
Setelah Jaka Tingkir meninggal dunia pada tahun 1587, para penggantiya tidak dapat
mempertahankan pemerintahannya. Ahli waris sultan pajang ialah tiga orang putra menantu’
yaitu raja Tuban, raja di Demak, dan raja di Araos Baya, di samping putranya sendiri, pangeran
Benawa, yang konon masih sangat muda. Oleh karena itu dia disingkirkan oleh Arya Pangiri
(dari demak) dan dijadikan adipati di Jipang. Sebagai pemimpin Pajang adalah Arya Pangiri.
Ternyata, tindakan-tindakannya banyak yang merugikan rakyat sehingga menimbulkan rasa tidak
senang di mana-mana.
Keadaan semacam itu dimanfaatkan oleh pangeran Benawa untuk merebut kembali
kekuasaaannya. Usahanya berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat pada tahun 1588.
Selanjutnya, Arya Pangiri dikembalikan ke demak. Kemenangan tersebut atas peran senopati
mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Namun, baru satu tahun memerintah, dia wafat.
Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa dia meninggalkan Pajang, menuju Parakan
(kedu).
Setelah itu, pemerintah Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang mataram. Buktinya,
senopati mataram mengangkat Gagak Bening, yang memerintah sampai dengan tahun 1591.
Senopati Mataram mengendalikan Pajang sampai dengan tahun 1618.[6]
Setelah wafat Gagak Bening diganti putranya, Ngabehi Loring Pasar, yang kemudian
diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur
dengan Panembahan Senopati.
Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan bawahan Pajang,
ia dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan dengan tidak seba atau
sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya akhirnya raja pajang memutuskan untuk
menyelesaikan pembangkangan Mataram dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata.
Ekspedisi penyerbuan dibawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena
bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit
Pajang. Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang
meninggal dunia. Momentum ini dimanfaatkan oleh panembahan Senopati untuk
memproklamasikan dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.[7]
Pengambil alihan kekuasaan kraton Islam di Jawa Tengah oleh Sultan Pajang tidak
menimbulkan keguncangan di pasuruan maupun di Jawa Timur lainnya. Ketika tahun 1581
Sultan Pajang diakui sebagai Sultan oleh Sunan Prapen dari Giri dalam suatu rapat Adipati Jawa
Timur, Adipati Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa penyatuan kekuasaan politik raja-raja
Islam jawa Tengah dan jawa Timur di bawah pimponan pemuka agama dari Giri dan Sultan
Pajang juga bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang dibantu oleh Dewa
Agung dari Bali. Adipati Pasuruan, yang tlatahnya hamper berbatasan langsung dengan
Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan dengan raja-raja Islam
lainnya. Sultan Pajang memang juga menguasai tlatah Pasuruan.[8]
Sebagaiaman disebutkan diatas, menjelang keruntuhan pemerintahan pajang, orang-orang
mataram sudah memainkan peran penting disana. Peran tersebut diawali tatkala senopati, anak
Kiai Ageng Pamanahan (teman adiwijaya) yang dapat membunuh Aria Panangsang, mendapat
gelar panembahan (bupati) mataram. Setelah aria panangsang meninggal pada tahun 1558,
orang-orang sela menerima daerah pati dan Daerah mataram sebagai hadiah bagi jasa yang telah
mereka berikan.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik politik kerajaan Demak berakhir setelah terbunuhnya Arya Panangsang pada tahun
1549. Arya panangsang dibunuh oleh Pemanahan, Penjawi, juru Mrentani dan raden bagus yang
mengiikuti sayembara dari jaka tingkir. Sepeninggal arya penangsang, jaka tingkir mendapat
restu dari sunan kudus untuk menjadi sultan di pajan yang kemudian menggunakan gelar sultam
hadiwijayadalam memerintah kesultanan pajang.
Peran Jaka Tingkir dalam merintis kesultanan pajang sangatlah vital, karena kecerdasan
dalam meramu strategi, ia berhasil menyingkirkan arya penangsang yang memiliki kekuatan
militer lebih besar. Kemenangannya itu membuatnya dapat membentuk kerajaan pajang.
Kerajaan pajang menjadi pusat dakwah jaka tingkir yang ingin menyebarkan islam di jawa sesuai
cara sunan kalijaga.
Peralihan wilayah demak ke pajang membawa beberapa dampak besar diantaranya adalah
perubhan dari kerajaan maritime ke agraris. Demak yang semula memiliki banyak armada kapal,
dan pelabuhan yang ramai oleh perdagangan, menjadi kerajaan agraris setelah berpindah ke
pajang, karena wilyah yang berada di daerah pedalaman.
B. Saran
Diharapkan penjelasan dari keterangan diatas dapat membantu dalam rangka melengkapi
informasi tentang Kerajaan Pajang.
Diharapkan pembaca dapat mengkoreksi jika terdapat kesalahan-kesalahan informasi yang
pemakalah sampaikan.
Daftar Pustaka
Daliman, A. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ombak :
Jakarta , 2012
Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara. PUSTAKA AL-KAUTSAR: Jakarta Timur, 2010.
Badio, Sabjan. Menelusur Kesultanan di Tanah Jawa. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
Harun, Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Sejahtera, 1995.
Anshoriy, Nasruddin. Arbaningsih, Dri. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang
Terhapus. Yogyakarta: Tri Wacana, 2008.
Burhanudin, Jajat. Ulama dan kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.
Jakarta: Mizan Publika, 2012.
Yusuf, Mundzirin. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Penerbit
Pinus, 2006.