Sejarah berdirinya Kerajaan Pajang adalah sekitar pada akhir abad ke 16 M yang
pada saat itu sekaligus berakhirnya Kerajaan Demak. Kerajaan Pajang ini muncul
dikarenakan adanya konflik intern pada Kerajaan Demak sendiri. Keruntuhan
Kerajaan Demak yang diawali dengan konflik keluarga, kemudian memicu
pertumpahan darah yang membawa pada berdirinya Kerajaan Pajang. Konflik
internal ini terjadi diantara Aryo Penangsang dan Joko Tingkir (menantu Sultan
Trenggono). Kedua tokoh ini terlibat konflik dan perang yang sangat sengit yang
kemudian membawa kematian dari Aryo Penangsang. Arya Penangsang yang saat
itu merupakan Raja Demak, berhasil dibunuh oleh Jaka Tingkir dari Pajang.
Arya Penangsang sendiri dalam prosesnya menjadi Raja Demak tidak direstui
oleh keluarga besar kerajaan Demak sendiri. Sehingga, Jaka Tingkir yang
merupakan menantu Sultan Trenggono turun tangan untuk menghabisi kekuasaan
Arya Penangsang. Joko Tingkir sendiri pada saat itu dibantu oleh Sutawijaya dari
Mataram. Setelah Aryo Penangsang mati, maka pusat Kerajaan Demak digeser ke
Pajang dan kemudian Joko Tingkir yang menjadi raja pertama di Pajang. Sebelum
menjadi raja di Pajang, Joko Tingkir adalah seorang adipati Pajang pada masa
Sultan Trenggono. Kerajaan Islam Pajang ini berlangsung tidak terlalu lama
karena letaknya yang berdekatan dengan kerajaan Islam lainnya yaitu Kerajaan
Islam Mataram Islam.
Masa Kejayaan Kerajaan Islam Pajang
Kerajaan Islam Pajang sendiri mengalami masa keemasan atau masa kejayaan
kerajaan Pajang adalah pada masa Sultan Hadiwijaya. Ada banyak pencapaian
yang berhasil diraih pada masa Sultan Hadiwijaya. Perpindahan kekuasaan Islam
Demak ke Pajang sendiri seakan menjadi sebuah simbol dari kemenangan Islam
kejawen atas Islam ortodok pada masa itu.
Disisi lain, anak dari Hadiwijaya yang bernama Pangeran Benawa diangkat
sebagai adipati Jipang. Pangeran Benawa merasa tidak puas atas pengangkatan
dirinya sebagai adipati bukan sebagai penerus tahta ayahnya sebagai raja di
Kerajaan Pajang. Pangeran Benawa kemudian meminta bantuan kepada senopati
Mataram yang bernama Sutawijaya yang merupakan anak angkat Hadiwijaya
untuk menyingkirkan Arya Pangiri dan merebut tahta Kerajaan Pajang.
Perang akhirnya pecah di kota Pajang. Pasukan Pajang dibawah Arya Penangsang
berjumlah 300 orang pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang bayaran mampu
dikalahkan pasukan Pangeran Benawa dan Sutawijaya. Pajang berhasil direbut,
Arya Pangiri ditangkap namun diampuni setelah Ratu Pembayun, istrinya,
meminta ampunan.
2. Arya Pangiri
Kedudukan raja Kerajaan Pajang sepeninggal Hadiwijaya adalah Arya Pangiri
yang berasal dari Demak. Arya Pangiri merupakan anak dari Prawoto yang
merupakan raja Demak keempat. Arya Pangiri sempat menjadi adipati Demak.
Namun setelah Hadiwijaya meninggal, ia diangkat sebagai raja Kerajaan Pajang
dengan gelar Sultan Ngawantupura.
Akibat gaya pemerintahannya yang timpang terhadap warga asli Pajang, sebagian
penduduk Pajang pindah ke Jipang dibawah pemerintahan Pangeran Benawa, dan
sebagian diantara penduduk Pajang kemudian memutuskan untuk menjadi
perampok karena kehilangan mata pencaharian. Hingga pada akhirnya, Pangeran
Benawa mampu menggulingkan kekuasaan dari Arya Pangiri dan Arya Pangiri
dipulangkan ke Demak.
3. Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah anak kandung dari Hadiwijaya yang bergelar Sultan
Prabuwijaya. Sejak kecil Pangeran Benawa sudah bersaudara dengan Sutawijaya
yang diangkat anak oleh Hadiwijaya. Pada perkembangannya Sutawijaya
mendirikan Kerajaan Mataram. Dari Pangeran Benawa lah akan lahir orang -
orang besar dan pujangga - pujangga besar. Pangeran Benawa meninggal pada
tahun 1587 M, Kerajaan Pajang sepenuhnya tunduk kepada Kerajaan Mataram.
Hal ini disebabkan karena keturunan Pangeran Benawa kurang cakap dalam
menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Pajang.
Masjid Laweyan
Masjid Laweyan adalah masjid peninggalan kerajaan Pajang yang hingga kini
bangunan fisiknya masih dapat kita temukan Kampung Batik, Laweyan, Solo.
Masjid ini didirikan oleh raja pertama Kerajaan Pajang pada tahun 1546.
Menurut beberapa sumber, masjid ini awalnya ternyata adalah sebuah bangunan
pura tempat ibadah masyarakat Hindu di Pajang. Karena kedekatan Ki Ageng
Henis dengan pimpinan Hindu setempat, pura Laweyan tersebut kemudian
dialihfungsikan menjadi masjid untuk melayani peribadatan masyarakat Islam
Laweyan. Oleh karena itu, hingga masjid Laweyan juga kerap disebut masjid Ki
Ageng Henis.
4. Pasar Laweyan
Tak jauh dari Bandar Kabanaran terdapat sebuah pasar yang bernama Pasar
Laweyan. Pasar peninggalan Kerajaan Pajang ini dulunya adalah penyokong
utama kegiatan perdagangan yang terjadi di Bandar Kabanaran. Hingga kini, pasar
Laweyan masih digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan transaksi jual
beli. Kendati demikian, tidak ada sisa benda yang mencirikan bagaimana sejarah
peradaban Kerajaan Pajang dari bangunan pasar yang ada saat ini.
5. Kesenian Batik
Selain meninggalkan beberapa benda dan situs bersejarah, peradaban masyarakat
Kerajaan Pajang pada masa silam juga mewariskan kesenian batik tulis. Batik
yang selama ini kita kenal ternyata awalnya merupakan buah karya masyarakat
Laweyan di masa silam. Meskipun kesenian batik tulis Laweyan pernah meredup
pada sekitar tahun 1980 karena perkembangan batik Printing, namun kini geliat
kesenian tulis kain ini kembali hidup berkat minat masyarakat terhadap batik
tradisional yang semakin besar.