Anda di halaman 1dari 17

Sejarah Perkembangan Islam di Demak

Atika Khoirunnisa, 1806209191


Atikakhrns17@gmail.com

Abstrak
Salah satu kerajaan Islam terbesar adalah Kerajaan Demak di pulau Jawa. Sebuah
kerajaan yang hanya berkuasa selama kurang lebih 60 tahun, dan hanya memiliki empat
pemimpin itu mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap ke-Islam-an di
Nusantara. Tulisan ini memfokuskan bahasan mengenai keadaan masyarakat sebelum
Islam tersebar luas di Pulau Jawa. Faktor apakah yang menyebabkan agama Islam mudah
berkembang di tengah-tengah masyarakat hindu dan budha di pulau jawa. Bagaimana
proses berdirinya kerajaan Islam di demak. Bagaimana proses Islamisasi serta pengaruh
perkembangannya agama Islam di masa demak. Bagaimana corak kebudayaan yang
dihasilkan di masa Demak. Data penelitian ini diperoleh melalui sumber literatur. Hasil
akhir dalam pembahasan ini menyimpulkan diantaranya bahwa masyarakat di pulau Jawa
pada umumnya menganut agama hindu dan budha sebelum masuknya Islam. Agama
hindu ini membagi masyarakat dalam beberapa kasta. Kekuasaan politik di pulau Jawa
khususnya pada waktu itu dipegang oleh kerajaan Majapahit yang sudah mendekati
keruntuhannya karena perpecahan di kalangan keluarga yang kemudian berkembang
menjadi pertempuran untuk merebut kekuasaan. Pusat penyebaran agama Islam di Jawa
Timur khususnya yang telah dirintis oleh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian
dilanjutkan oleh Raden Rahmat yang dipusatkan di Ampel Surabaya. Berdirinya Demak
atas dorongan dari Raden Rahmat kepada Raden Patah yang kemudian mendapat restu
dari raja Majapahit. Dengan kedatangan Raden Patah ke kota tersebut berarti disaat
itulah agama Islam masuk yaitu pada Tahun 1475 Masehi.

Kata Kunci : Kerajaan Demak, Islamisasi, Penyebaran Islam, Hasil Kebudayaan

A. Pendahuluan
Ketika berbicara tentang kerajaan Demak, maka kita tidak akan bisa terlepas dari
proses Islamisasi Pulau Jawa, karena kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama
yang didirikan sebagai ditandainya perkembangan Islam. Kerajaan Demak juga menjadi
salah satu kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa. Bintara Demak sebelumnya berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit sebelum akhirnya berdiri menjadi Kerajaan Islam
Demak. Keruntuhan Kerajaan Majapahit menjadi salah satu faktor penyebab agama
Islam mudah berkembang di Kerajaan Demak.
Penyebaran Islam di Kerajaan Demak tidak lepas dari peran serta ulama dan umara
yang dengan tulus menyiarkan agama Islam. Dalam proses penyebaran agama Islam
banyak metode-metode kreatif yang digunakan oleh Walisongo khusunya Sunan
Kalijaga. Metode tersebut adalah dengan tidak menghilangkan budaya yang sudah ada
pada masyarakat sebelumnya tetapi dengan menggabungkan kebudayaan lama tersebut
dengan kebudayaan Islam yang baru. Sehingga dakwah Islam di Kerajaan Demak
diterima dengan senang hati oleh masyarakatnya.
Kerajaan Demak yang hanya berdiri selama kurang lebih 60 tahun ini pengaruhnya
cukup besar terhadap ke-Islam-an di Indonesia hingga saat ini. Hasil kebudayaan Islam
yang ditinggalkannya punPeninggalan-peninggalannya pun masih menjadi perhatian
masyarakat Indonesia. Maka dari itu, penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana keadaan masyarakat di Pulau Jawa sebelum masuknya agama Islam,
bagaimana masuknya agama Islam di pulau Jawa, bagaimana proses berdirinya Kerajaan
Demak, serta apa saja hasil kebudayaan yang ditinggalkan oleh Kerajaan Demak.
B. Metodologi dan Kerangka Teori
Metode penulisan yang digunakan dalam pembuatan jurnal ini adalah metode
kualitatif berupa studi literatur. Adapun literatur yang digunakan adalah buku-buku,
jurnal, serta artikel ilmiah yang terkait dengan Kerajaan Islam Demak dan
menjadikannya referensi. Penulis membaca buku-buku tersebut dan menjadikannya
referensi, kemudian ditulis ke dalam jurnal ini dengan gaya bahasa penulis.
C. Pembahasan
1. Letak Kerajaan Demak
Kerajaan Demak bernama Bintara yang merupakan daerah bawahan Kerajaan
Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan kepada Raden Fatah (dari kerajaan
Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam dan berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai).
Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada
zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan
Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga
kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.
Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat. Pada
abad XVI agaknya Demak telah menjadi gudang padi dari daerah pertanian di tepian
selat tersebut. Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut pada
sekitar 1500. Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti
Patih, panglima besar Kerajaan Majapahit yang bukan Islam.Ini kiranya merupakan
perlawanan terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak
menjadi penguasa tunggal di sebelah selatan Pegunungan Muria. Yang menjadi
penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang
(dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara
Demak dan Jepara. Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun
sudah baik.Kesempatan untuk menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula,
persediaan padi untuk kebutuhan sendiri dan untuk pergadangan masih dapat ditambah
oleh para penguasa di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan
penghubung di pedalaman Pegging dan Pajang. (Soemarsaid Moertono, 2017: 38)
2. Keadaan Masyarakat Menjelang Lahirnya Demak
a. Bidang Agama
Sebelum agama Islam masuk dan berkembang di kerajaan Demak, masyarakat di
pulau Jawa pada umumnya masih menganut agama Hindu dan Budha. Hal ini
dikarenakan jauh sebelum adanya ajaran Islam, agama Hindu-Buddha sudah ada dan
berkembang terlebih dulu di nusantara. (R. Soekmono, 1973: 74)
Agama Hindu yang berkembang di Pulau Jawa pada masa itu terkenal dengan sebutan
Siwa Sidanta. Agama Hindu termasuk agama Politeisme, karena dalam ajaran ke
Tuhanannya mengenal banyak dewa, dan di antara dewa-dewa itu ada tiga dewa tertinggi
yang paling dihormati dan dianggap menguasi alam semesta ini yaitu dewa Brahma yang
dikenal sebagai dewa pencipta alam, dewa Wisnu yang dikenal sebagai dewa pemelihara
alam, dan dewa Syiwa yang dikenal sebagai dewa perusak alam. Agama hindu
berpegang teguh pada suatu kitab yang sering disebut Kitab Agama.
Sedangkan Agama Budha adalah ajaran yang berasal dari Sang Budha. Para pemeluk
ajaran Budha, mempunyai ikrar yang disebut Tisarana yang meliputi :
 Saya berlindung kepada Budha.
 Saya berlindung kepada Dharma.
 Saya berlindung kepada Sangga. (Harun Hadiwiyono, 2008: 29-30)
b. Bidang Sosial
Seperti yang banyak diketahui bahwa menjelang lahirnya Demak kerajaan Majapahit
merupakan salah satu Kerajaan yang memiliki kekuasaan besar di Nusantara. Majapahit
merupakan agama yang bercorak Hindu, maka dari itu tata masyarakatnya berdasarkan
ajaran Hindu. Ciri Khuhus dari penerapan ajaran Hindu ini adalah dengan membagi
masyarakatnya dalam beberapa kasta. Menurut Drs. Adham Nasution kasta adalah suatu
kelas dalam masyarakat yang hanya didasarkan atas keturunan. Ada empat kasta yang
sangat dikenal yaitu :
 Kasta Brahmana yaitu kasta para pendeta. Kasta ini merupakan kasta yang tertinggi
tingkatannya dan mempunyai kedudukan yang mulia.
 Kasta Ksatria, yaitu kasta para raja-raja atau kaum bangsawan, tugas utamanya
adalah melindungi negara dan sebagai pahlawan perang.
 Kasta waisya, yaitu kasta yang terdiri dari kaum saudagar dan kaum petani.
 Kasta Sudra, yaitu kasta yang rendah dan diperuntukan untuk mengabdi pada kasta
yang lebih tinggi tingkatannya terutama kasta Brahmana. (Slamet Muljana, 2006:
199)
c. Bidang Politik
Menjelang lahirnya Kerajaan Demak, situasi politik di pulau jawa khususnya dan
Nusantara pada umumnya dikuasi oleh Kerajaan Majapahit. Sejarah kekuasaan
Majapahit mencapai zaman keemasannya dibawah kekuasaan raja Hayam Wuruk dengan
seorang patih yang terkenal Gajah Mada. Setelah kematian Patih Gajah Mada kekuasaan
Majapahit dipengang penuh oleh Hayam Wuruk. Pada saat kekuasaan dipegang penuh
oleh Hayam Wuruk terlihat tanda-tanda bahwa masa keemasan Majapahit telah memudar
dan tidak dapat dipulihkan kembali. Lebih-lebih ketika Hayam Wuruk meninggal dunia
pada tahun 1389 Masehi. Kerajaan Majapahit terbagi menjadi dua kekuatan dan
kekuasaan oleh kedua putra Hayam Wuruk. Wilayah timur diberikan kepada Bhre
Wirabumi dan wilayah barat dengan ibukotanya adalah Majapahit dikuasi oleh
Wikramawardhana.
Hubungan baik antara wilayah timur dan barat dari Majapahit ini tidak berlangsung
lama. Seiring berjalannya waktu, hubungan persaudaraan itu berbalik menjadi
permusuhan yang kemudian pecahlah menjadi peperangan. Peperangan ini sangat
merugikan bagi kedua belah pihak. Karena peperangan ini membawa akibat perlemahan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Karena hal ini, keadaan masyarakat pada
saat itu sangatlah memprihatinkan. Rakyat yang seharusnya berkerja memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari harus merelakan tenaganya digunakan untuk kepentingan
perang. Kemenangan perang ini berhasil didapatkan oleh pihak barat.
3. Masuk dan Berkembangnya Islam di Demak
a. Peranan Pantai Utara Laut Jawa
Sejak beratus-ratus tahun lamanya pantai utara Laut Jawa telah menjadi jalur
penghubung pelayaran dan perdagangan laut antara Malaka, Indonesia bagian barat dan
Kepulauan rempah-rempah di Maluku. Banyak berita Cina dan Arab yang menyebutkan
peranan penting Laut Jawa dalam pelayaran dan perdagangan. Seringkali bandar-bandar
di sepanjang pantai utara Laut Jawa menjadi tempat pemberhentian para pelayar yang
hendak membeli bekal untuk perjalanan mereka yang mungkin masih berminggu-minggu
lamanya. Melimpahnya bahan makanan yang disediakan membuat bandar-bandar ini
semakin menarik.
Sebagai pemasok bahan makanan, kota-kota pelabuhan di Jawa berkembang menjadi
tempat perdagangan rempah-rempah yang tidak kalah dengan Kepulauan rempah di
Maluku. Karena hal ini, banyak pedagang-pedagang asing yang mengambil rempah-
rempah di Jawa dan merasa tidak perlu berlayar jauh hingga ke Malaka.
Maka tidak mengherankan jika pada abad ke-15 para pelaut dan pedagang Islam
berupaya untuk merebut dan menggantikan kekuasaan para pedangang Hindu yang
berada di perairan Laut Jawa. Karena hal ini kemunduran peradaban Hindu-Buddha
makin terasa dan mempercepat keruntuhan kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Islamisasi bandar-bandar serta kota-kota di sepanjang pantai utara Laut Jawa, menurut
Tome Pires sebagai diungkapkannya dalam Suma Oriental, dapat terjadi dengan dua cara
yaitu secara sukarela atau dengan paksaan. Islamisasi secara sukarela adalah cara tertua.
Dengan ini para bangsawan Jawa yang belum islam dengan sukarela masuk dan
memeluk agama islam. Dengan memeluk agama Islam, Para bangsawan akan
mendapatkan kehormatan dan martabat yang “lebih tinggi” dan pada umumnya para
bangsawan tersebut tetap dapat menduduki kekuasaannya yang semula seperti adipati
atau penguasa-penguasa lokal. Proses islamisasi secara sukarela ini banyak terjadi di
utara Jawa Timur.
Sedangkan Islamisasi secara paksaan lebih banyak terjadi di pantai utara Jawa
Tengah. Para islam asing dari berbagai negara bayak membangun perkampungan
tersendiri di kota-kota pelabuhan. Rmah dan perkampungan itu kemudian mereka
perkuat sebagai kubu-kubu pertahanan. Dari tempat-tempat itulah mereka melakukan
serangan-serangan terhadap perkambungan yang mayoritas bukan islam itu. Kemudian
mereka merebut seluruh kekuasaan pemerintahan bandar atau kota pelabuhan. Islamisasi
dengan paksaan ini banyak terjadi di kota-kota seperti Demak dan Jepara. (A. Daliman,
2012: 121)
b. Lahirnya Kerajaan Islam Demak
Sejarah lahirnya Demak tidak dapat terlepas dari peranan para mubaligh Islam pada
waktu itu, terutama kepada Raden Rahmat yang telah membuka pesantren di Ampel.
Kemudian Ia dikenal sebagai Sunan Ampel. Pada waktu itu Ampel merupakan pusat
penyebaran agama Islam di Jawa. Sehingga banyak orang yang datang untuk menuntut
ilmu pengetahuan agama Islam di Ampel.
Kisah berdirinya Kerajaan Demak tidak jauh berbeda dengan kisah berdirinya
Kerajaan Majapahit yang digantikannya. Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa Raden
Patah atas petunjuk dari Sunan Ampel membuka hutan di Glagah Wangi dan
membangun kota baru di Glagah Wangi itu yang kemudian diberi nama Bintara. Raden
Rahmat menganggap bahwa Raden Patah sudah mampu untuk berdiri sendiri dan
membuat suatu permukiman baru. (A. Daliman, 2012: 123)
Peristiwa tersebut diatas diterangkan juga dalam berita yang diperoleh dari Klenteng
Sam Po Kong yang telah disalin oleh Slamet Mulayana bahwa Raden Patah ditugaskan
oleh Raden Rahmat di daerah kosong dan tidak bertuan, tanahnya sangat subur,
merupakan rawa-rawa dan terletak di kaki Gunung Muria. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1475 Masehi (Slamet Mulajana, 2005: 75). Setelah daerah itu berpenghuni,
semakin hari bertambah banyak jumlah penduduknya yang berdatangan dari daerah-
daerah lain disekelilingnya untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam.
Berkembangnya Islam dengan pesat di Bintara Demak tidak hanya datang dari para
mubaligh saja. Tidak dapat dilupakan juga peranan penting dari Pesisir Pantai Utara
Pulau Jawa yang merupakan bandar-bandar perdagangan besar di Jawa. Berita kepesatan
perkembangan Islam tersebut ternyata telah sampai ke Majapahit. Maka setelah Prabu
Brawijaya V mendengar berita tersebut, Baginda memerintah Adipati Terung agar
mempersiapkan diri menghancurkan kekuatan Islam yang baru timbul itu. Setelah
Adipati Terung mendapat perintah untuk menyerang Bintara, kemudian Adipati Terung
memberi keterangan bahwa yang berkuasa di Bintara adalah saudaranya sendiri, seibu
tapi tidak seayah. Mendengar hal itu, Prabu Brawijaya V memerintah Adipati Terung
untuk pergi ke Bintara dan memanggil Raden Patah yang sangat berpengaruh di daerah
tersebut. Saat Adipati Terung sampai di Bintara disampaikanlah pesan dari Prabu
Brawijaya V agar Raden Patah mau menghadap sang Prabu. Raden Patah bersedia dan
berangkat ke Majapahit dengan Adipati Terung (Sugiarta Sriwibawa, 1977: 24)
Sesampainya Raden Patah di Majapahit, Ia langsung pergi ke Istana dan mengahadap
sang Prabu. Setelah pertemuan berlangsung, amat dalam kesan Prabu Brawijaya V
terhadap Raden Patah, karena bagus dan tampannya wajah Raden Patah, yang rupanya
hampir mirip dengannya.
Ketika Prabu Brawijaya mengetahui bahwa Raden Patah sebenarnya adalah putranya
sendiri dari selir putri cina yang Ia hibahkan kepada Arya Damar, kemudian Raden Patah
diangkat sebagai adipati di Bintara tersebut dan Bintara dijadikan sebagai bawahan
Majapahit yang mewajibkan Raden Patah untuk menghadap kepada Sang Prabu setahun
sekali di Istara Majapahit. Sejak saat itu nama Bintara diganti dengan Demak (A.
Daliman, 2012: 123). Asal usul pemberian nama Demak ini menimbulkan banyak silang
pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Demak berasal dari Bahasa Jawa Kuno
atau Kawi yang berarti pegangan atau pemberian. Kedua, dari bahasa Sanskerta yang
berarti Rawa, dan yang ketiga berasal dari Bahasa Arab, dzi ma’ yang berarti sumber air.
Setelah acara penobatan sebagai adipati telah selesai, Raden Patah meninggalkan
majapahit. Sekembalinya dari Majapahit, Ia singgah terlebih dahulu ke Ampel untuk
memohon petunjuk kepada Raden Rahmat. Setelah nasihat dan petunjuk telah diberikan
oleh Raden Rahmat, Raden Patah mohon diri untuk kembali ke Demak. Sesampainya di
Demak, Raden Patah memperkuat kedudukan kota tersebut, dakwah Islam dipergiat dan
Masjid Agung Demak didirikan dengan bantuan para Ulama dan mubaligh. Sehingga
makin terasalah syiar Islam di Demak dan makin ramailah kota tersebut.
Dikala agama Islam sedang berkembang dengan baik di Kerajaan Demak, Kerajaan
Majapahit mengalami situasi pemerintahan yang buruk yang diakibatkan oleh perebutan
kekuasaan di antara keluarga kerajaan yang berlanjut dengan perang. Ranawijaya yang
berkuasa di Daha memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha untuk mengambil alih
kerajaan majapahit dari tangan Prabu Brawijaya V. Ranawijaya berhasil mengambil alih
kerajaan dan meduduki tahta kerajaan Majapahit pada 1478 Masehi. (Muhammad
Yamin, 2008: 87.)
Setelah itu, Ranawijaya berusaha untuk menghancurkan kekuatan Islam yang berpusat
di Demak yang dipegang oleh Raden Patah selaku adipati di wilayah tersebut. (Solichin,
1972: 12). Dalam posisi seperti itulah akhirnya umat Islam terpaksa mempersiapkan diri
untuk menjawab tantangan dari Majapahit dibawah kekuasaan Ranawijaya. Dalam jarak
waktu yang tidak lama, terjadilah pertempuran antara Majapahit dengan pasukan Demak.
Peperangan ini berakhir dengan kemenangan di pihak Demak. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1478 Masehi.
Dengam kemenangan itulah kemudian kerajaan Islam Demak resmi berdiri dan hal ini
terjadi pasa 1478 Masehi. Dalam pemerintahan Demak yang pertama, sebagai pemegang
kekuasaan adalah Raden Patah, dengan memakai gelar “Sultan Sri Alam Akbar” yang
memerintah sampai tahun 1518 Masehi (Hamka, 2016: 156). Dalam masa pemerintahan
Raden Patah yang perlu mendapat perhatian adalah pernah mengadakan pengiriman
pasukan ke Malaka di bawah pimpinan putranya sendiri, yaitu Adipati Unus yang
kemudian terkenal dengan sebutan Pangeran Sebrang Lor, yang bertolak dari Jepara,
melalui pesisir barat pulau Sumatra untuk merebut Malaka dari tangan Portugis.
Pertempuran berakhir dengan kegagalan di pihak Demak dan peristiwa ini terjadi pada
tahun 1513 Masehi. (Ismail Jakub, 1974: 33)
Disamping itu Raden Patah masih memberi kebebasan kepada raja yang berkuasa di
Majapahit yaitu Ranawijaya, yang terkenal dengan gelar nya Dyah Ranawijaya
Giridrawardhana untuk melanjutkan memegang pemerintahannya di bawah pengawasan
Demak. Akan tetapi kepercayaan yang telah diberikan oleh Demak itu, kemudian
diselewengkan oleh Giridrawardhana, yaitu dengan mengerjakan kerja sama dengan
pemerintah Portugis untuk menghancurkan kekuasaan Demak. Maka setelah hubungan
ini diketahui oleh Demak, akhirnya pemerintahan Demak terpaksa bertindak untuk
menghancurkan Majapahit dan hal inipun terjadi setelah pemerintahan Demak dipegang
oleh Sultan Trenggana. Peristiwa ini terjadi pasa 1527 Masehi. (Slamet Mulyana, 2005:
186)
Pada kurun waktu 1476-1478, Demak menjadi wilayah yang ramai dan pusat ilmu
pengetahuan dan penyebaran agama Islam. Sejak dipegang Sultan Fattah sebagai
penguasanya, Demak juga memiliki pelabuhan yang besar yang menjadi lalu lintas bagi
para nelayan dan perdagangan, hingga akhirnya Kesultanan Demak menjadi Pusat
Kerajaan Islam pertama di Jawa (Rachmad Abdullah, 2015: 80-81). Lebih daripada itu,
Demak dijadikan pusat kegiatan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan sekaligus
dijadikan ibu kota kerajaan Islam. Dalam keputusan mubaligh pada saat itu, yang telah
mengambil inisiatif memilih Demak sebagai pusat kegiatannya dalam mengembangkan
ajaran agama Islam di pulau Jawa mempunya beberapa alasan diantaranya adalah
sebagai berikut :
 Demak terletak agak jauh dari pusat pemerintahan Majapahit.
 Letak Demak diperkirakan berada di tengah-tengah pulau Jawa, sehingga mudah
untuk berhubungan ke Barat dan Timur.
 Demak dengan mudah dapat menjangkau daerah-daerah pedalaman (Hamka, 2016:
149).
Kisah Babad Tanah Jawi tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi historis,
yuridis dan genealogis terhadap kedudukan Demak sebagai kerajaan Islam yang pertama
di Jawa. Dua legitimasi yang pertama, historis dan yuridis, mencatat tiga hal yang pokok
dari kisah Babad Tanah Jawi terebut. Pertama, penebangan Hutan Glagah Wangi yang
kemudian dinamai Bintara. Dalam masyarakat agraris rupanya penebangan, pembukaan
dan pengusahaan hutan senantiasa dipandang sebagai awal sejarah suatu dinasti dan
memberikan legalisasi suatu pemukiman. Kedua, legalisasi Bintara sebagai bagian
wilayah Majapahit dengan kedudukan sebagai kadipaten. Raden Patah diangkat sebagai
Adipati Bintara yang pertama. Dan yang ketiga, pengukuhan kedudukan dengan
penganugerahan nama baru Demak bagi Bintara. (A. Daliman, 2012: 123).
c. Peran Ulama-Umara dalam Dakwah di Demak
Proses masuknya Islam di Nusantara tidak lepas dari peran serta jasa para pedagang
Islam pada waktu itu, yang telah bersungguh-sungguh dengan tekun menyebarluaskan
agama Islam di samping perkerjaan utamanya sebagai pedagang. Peran para ulama/wali
juga sangatlah besar terhadap jalannya pemerintahan di kesultanan Demak. Hal ini
terlihat sejak pertama kali proses Islamisasi di Jawa Tengah dengan memposisikan
Raden Patah sebagai pemuka di Glagahwangi Bintoro Demak sekitar tahun 1468 M,
hingga pengangkatan Raden Patah sebagai Sultan Demak Pertama dan sultan-sultan
penggantinya. Para ulama juga mengambil bagian dalam menentukan kebijakan
pemerintahan dan ikut bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan negara.
Bahkan disebutkan pula bahwa para ulama juga ikut berperang sebagai panglima,
pengatur siasat, dan penggerak massa (Ridin Sofwan, 1999: 15). Hal ini dapat dimengerti
mengingat Raden Patah merupakan murid dari Sunan Ampel. Dalam berguru tersebut,
Raden Patah seusia dan seangkatan dengan Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus,
dan Sunan Kalijaga.
Metode pengembangan dan penyiaran Islam yang ditempuh ulama selama proses
dakwah yaitu mengedepankan hikmah kebijaksanaan, mendekatkan rakyat dan penguasa
secara langsung dengan menunjukkan kebaikan ajaran Islam, memberikan teladan akhlak
mulia dalam kehidupan sehari-hari serta menyesuaikan dengan kondisi masyarakat
setempat. Ini mengesankan bahwa proses Islamisasi yang dilakukan para ulama abad XV
dulu jauh dari paksaan. Mereka tertarik kepada Islam karena keluhuran pribadi yang ada
pada para ulama yang menjadi teladan mereka dalam segala aspek kehidupan. Tidak
hanya keluhuran pribadi yang dimiliki para ulama saat itu, bahkan mereka juga memiliki
kekuatan di luar kewajaran manusia atau yang biasa disebut karamah. Banyak tindakan
luar biasa yang dilakukan para ulama/ wali saat itu, baik secara kolektif maupun
individual. Salah satu contohnya adalah proses pembuatan masjid Agung Demak yang
dibuat dalam waktu yang relatif singkat. Masjid ini disamping menjadi sarana
peribadatan, juga digunakan sebagai pusat kegiatan dakwah (Ridin Sofwan, 1999: 16).
Adapun seorang mubaligh yang berjasa dalam penyiaran agama Islam di Demak
adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden Sahid/Raden
Said/Syaikh Malaya/Lokajaya. Ia putra dari Tumenggung Wilatikta yang merupakan
adipati Tuban. Kakek Sunan Kalijaga adalah Arya Teja, seorang ulama yang behasil
mengIslamkan Raja Tuban, Arya Dikara, dan menikahi putri Raja Tuban tersebut.
Sunan Kalijaga berguru dengan Sunan Bonang, juga berguru kepada Syaikh Sutabris
di Malaka, dan Sunan Gunung Jati Cirebon. Setelah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan
para gurunya, Sunan Kalijaga mulai mencurahkan segala waktu, tenaga, dan ilmunya
untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di Cirebon. Berkat kesungguhan dan
keikhlasannya menyebarkan agama Islam, banyak masyarakat yang tertarik untuk masuk
agama Islam tanpa paksaan. Nama Sunan Kalijaga pun menjadi sangat akrab di telinga
masyarakat, hingga kemasyhurannya sampai ke telinga Sultan Fattah, Raja Kesultanan
Bintoro Demak. Sultan Fattah berkenan memanggil Sunan Kalijaga dan mengangkatnya
sebagai pujangga sekaligus penasehat kerajaan (Muhammad Khafid, 2009: 141).
Sunan Kalijaga memainkan peran penting dalam proses dakwah Islam di Kerjaan
Demak, baik secara langsung, ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni dan budaya
pada umumnya. Ia merupakan sunan yang paling toleran dari seluruh walisongo. Ia tidak
mau menghilangkan tradisi, budaya, dan aliran kepercayaan yang melekat pada
masyarakat saat itu. Menurutnya, rakyat justru akan menjauh jika diserang
keyakinannya. Dakwah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat tidak
dibinasakan, melainkan diubah dan disesuaikan secara perlahan.
Sikap permisif Sunan Kalijaga terhadap adat dan budaya lalu mengisinya dengan
nilai-nilai Islami dapat dilihat dari beberapa hal berikut: Pertama, gambar bulus yang
notabene merupakan binatang yang hidup di dua alam: darat dan air, serta dihukumi
haram justru diletakkan di mihrab masjid agung Demak, yang merupakan tempat suci
bagi umat Islam. Ini sejatinya menunjukkan kebijaksanaan berdakwah ketika itu dimana
pemeluk agama lama diingatkan bahwa di dalam masjid juga ada suatu lambang
kesucian sebagaimana diyakini para pemeluk Hindu dan Budha yang memandang bulus
sebagai binatang suci. Hanya saja, kesucian dan keabadian dalam Islam diperoleh dengan
cara melaksanakan shalat berbakti kepada Allah Yang Maha Esa. Ajakan untuk
menunaikan shalat pun dikenalkan dengan menggunakan istilah yang akrab bagi
pemeluk ajaran lama. Rohroh yang mereka sembah sering disebuh ‘hyang’ yang berarti
Tuhan. Para ulama saat itu juga menggunakan istilah ‘sembahyang’ hanya saja yang
dimaksudkan adalah menyembah Allah, sebagai padanan dari kata shalat sehingga
mudah dipahami oleh mereka (Zaini Muhtarom, 2002: 57).
Peran Sunan Kalijaga dalam politik pemerintahan sudah dimulai sejak awal berdirinya
kesultanan Demak hingga akhir kesultanan itu. Ini menunjukkan bahwa perannya
bersama para wali lainnya sangat penting dalam politik dan pemerintahan saat itu.
Sedangkan peran dalam dakwah Islam maka fungsi para waliy al-amr adalah memberi
nasehat tentang pelaksanaan tata pemerintahan agar tidak terlepas dari nuansa Islam.
Salah satunya dibuktikan dengan saran Sunan Kalijaga terkait dengan teknik
pembangunan kota Kabupaten maupun Kotapraja yang selamanya tampak di dalamnya
terdapat empat bangunan yaitu:
 Istana keratin atau kabupaten,
 Alun-alun,
 Pohon beringin,
 Masjid.
Sikap toleran yang dimiliki masyarakat Demak, memiliki arti dan pengaruh besar
terhadap perkembangan dakwah Islam. Mereka bersedia menerima apa yang datang dari
luar dengan tidak membuang sama sekali apa yang sudah dimiliki. Sehingga dalam
waktu tidak terlalu lama, Raden Patah beserta para Walisongo memperoleh sukses besar
dan berhasil mengIslamkan masyarakat Demak bahkan masyarakat Jawa pada umumnya
yang saat itu masih memeluk kepercayaan lama seperti Hindu, Budha, Animisme, dan
lain- lain.
d. Demak Sebagai Pusat Agama dan Peradaban Islam
Demak yang berdiri pada paruh kedua abad ke-15 itu tidak saja berkembang sebagai
pusat lalu lintas pelayaran dan perdangangan, tetapi juga sebagai pusat ibadat bagi umat
Islam yang baru timbul. Babad Tanah Jawi menjelaskan bahwa sesuai dengan peran
Sunan Ampel segera setelah selesai membuka hutan rawa-rawa Glagah Wangi, Raden
Patah mendirikan masjid. Masjid Demak dan kerajaan Islam yang pertama itu tidak dapat
dipisahkan. Masjid Demak telah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa. Mungkin
sekali Raja-raja demak memandang Masjid Demak sebagai lambang kerajaan Islam
mereka. Politik ekspansi Raja-raja Demak pada masa kejayaannya yang mampu
menjangkau jauh memasuki Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada dasarnya
dijiwai dan disemangati oleh semangat keagamaan serta merupakan wujud dari dakwah
agama. Ketika kekuasaan Raja-raja Demak itu sendiri jatuh pada paruh kedua abad ke-16
oleh karena kesetiaan agama itu telah berurat akar, maka Masjid Demak tetap dipandang
sebagai pusat kehidupan beragama di Jawa sampai sekarang. (A. Daliman, 2012: 123)
4. Hasil Kebudayaan Islam di Masa Demak
a. Bidang Seni
Peranan yang dimainkan para mubaligh yang telah menyebar luaskan agama Islam
dikalangan masyarakat yang telah mempunyai bentuk-bentuk kebudayaan dan
kepercayaan serta pola hidup tertentu, sangat besar artinya bagi sejarah perkembangan
kebudayaan. Diantara jasa dan pengaruh dari akibat strategi di dalam menyiarkan agama
Islam dikalangan masyarakat itu, mempunyai efek di dalam segala bidang kehidupan dan
kebudayaan. Diantara hasil kebudayaan Islam yang merupakan ciptaan, kelanjutan atau
percampuran dengan kebudayaan sebelumnya, yang telah disesuaikan dengan tradisi
daerah setempat yang sudah dirasa medarah daging adalah upacara sekaten.
Upacara sekaten masih dapat disaksikan sampai sekarang di kraton Yogyakarta, yang
diadakan setahun sekali pada bulan Maulid dan berasal dari zaman kerajaan Islam
Demak. Upacara itu dirintis oleh Sunan Kalijaga sebagai cara mengumpulkan
masyarakat untuk diberi pelajaran membaca syahadat dengan mengadakan pemukulan
gamelan. Karena gamelna pada waktu itu sangant digemari rakyat, maka Sunan Kalijaga
memukul gamelan tersebut, dengan maksud agar masyarakat berkumpul, maka mereka
diajak mengucapkan dua kalimat Syahadat, dengan demikian berarti orang tersebut telah
masuk Islam biarpun belum menjalankan rukun Islam dengan sempurna. Adapun kata
sekaten sebenarnya berasal dari kata Syahadatain, maksudnya dua kalimat syahadat,
perubahan semacam ini sudah biasa terjadi misalnya : Pesantrian menjadi pesantren.
Selain sekaten, hasil kebudayaan Islam lain di Demak adalah wayang. Wayang
merupakan salah satu kesenian masyarakat Jawa khususnya sejak dahulu. Oleh sebab itu
Sunan Kalijaga dalam usahanya untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam dengan
melalui pertunjukan wayang yang sudah digemari oleh masyarakat. Dalam pertunjukan
itu, beliau tidak meminta upah dengan uang, hanya sebagai syarat utama beliau meminta
kepada penonton untuk mengikuti mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah syarat itu
dipenuhi kemudian baru dilanjutkan dengan memasukan ajaran agama Islam di dalam
pertunjukan itu.
Wayang kulit yang diciptakan Sunan Kalijaga ini disinyalir sebagai media dakwah
yang paling efektif mengingat masyarakat Jawa saat itu memang sangat menggandrungi
seni ini. Wayang terbukti mampu mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap
agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam memainkan wayang juga begitu memikat.
Cerita wayang lainnya yang juga diciptakan oleh Sunan Kalijaga adalah Serat Dewa
Ruci, yang pada hakekatnya mengibaratkan usaha ke arah tarekat, hakikat, dan ma’rifat.
Salah satu lakon yang dimainkan adalah Bima atau Arya Sena yang mencari air suci
perwitasari yang akan dipersembahkan kepada Pandita Durna sebagai syarat agar sang
Pandita mau mengajarinya tentang ilmu Jatining Jejer ing Pangeran atau ilmu tentang
hakikat kedudukan Tuhan (Ridin Sofwan, 1999:277).
Sebagai mana diketahui dalam tokoh pandawa lima yang sebenarnya adalah
merupakan personifikasi atau gambaran dari rukun Islam yang lima. Hal ini telah
diterangkan oleh Saifuddin Zuhri dalam bukunya “Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia” diantaranya : “Kalimat Syahadat”, dipersonifikasikan ke
dalam tokoh Puntadewa sebagai saudara tertua dari tokoh Pandawa. Memanglah bahwa
kalimat syahadat merupakan rukun yang pertama. Dalam cerita diluksikan sifat-sifat
Puntadewa sebagai seorang raja yang memiliki sifat “berbudhi bowo leksono” berbudi
yang luhur dengan kewibawaan yang melindungi seorang raja yang arif bijaksana, adil
dalam ucapan dan perbuatan. Sebagai kalimat syahadat yang selamanya mengilhami
kearifan dan keadilan, Puntadewa memimpin saudara-saudaranya dalam suka dan duka,
penuh dengan rasa kasih sayang dan Puntadewa tidak pernah akan mati karena Ia
memiliki jimat kalimosodo, selalu unggul dalam menempuh perjuangan, senantiasa
ikhlas dalam hidup, memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang banyak.
“Shalat lima waktu” dipersonifikasikan dengan tokoh wekudara atau Bima. Dalam
kisah pewayangan dilukiskan Bima adalah sebagai penegak Pandawa. Ia tetap Cuma
berdiri, tidurpun konon menurut Ki Dalang sambil berdiri, demikian pula shalat lima
waktu selamanya harus ditegakkan karena fungsinya adalah sebagai tiang agama. Bima
selalu memperlakukan semua orang tanpa membedakan pangkat dan kedudukan, oleh
sebab itu Ia selalu menggunakan bahasa yang sama jika berbicara kepada siapapun. Oleh
sebab itu shalat dilambangkan dengan Werkudara, dimana shalat itu berlaku terhadap
siapapun dan dalam keadaan apapun.
“Zakat” merupakan rukun Islam yang ketiga dipersonifikasikan dengan Arjuna yang
disebut sebagai lelaki pilihan. Ia selalu didambakan bagi wanita, karena cintanya
kepadanya dan Ia selalu unggul tak terkalahkan. Demikianlah rukun Islam yang ketiga
mengandung suatu kebijaksanaan agar orang Islam tetap berusaha mencari rizqi yang
halal, kemudian diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya setelah mencapai batas
tertentu dan bukankah harta yang banyak itu merupakan sesuatu yang didambakan oleh
setiap orang.
Rukun Islam yang keempat adalah “Puasa” dan yang kelima adalah “Pergi Haji”
dimana hal tersebut di atas dipersonifikasikan dengan dua tokoh Nakula dan Sadewa.
Tidaklah dalam setiap lakon pewayangan itu, si kembar ini tampil. Demikian juga
dengan puasa dan haji tidak setiap waktu dikerjakan dan hanya diperlukan dalam waktu
yang telah ditentukan. Demikianlah sekedar perumpamaan, yang menunjukan betapa
halus kebijaksanaan yang ditempuh oleh para mubaligh Islam.
Hasil kebudayaan Islam lainnya dapat dilihat dari sisi tata perkotaan. Dalam
pembangunan daerah terutama tata perkotaan di Jawa tengah khususnya, dilandasi oleh
kebijaksanaan politik dan kebudayaan yang diajarkan oleh Islam. Bekas peninggalan dari
kebijaksanaan pemerintahan di masa kerajaan Demak ialah selalu meletakan lokasi bagi
ibukota kerajaan, tempat seorang kepala pemerintahan atau Adipati. Biasanya sebuah
masjid didirikan dekat sekali dengan istana. Di sebelah utara atau selatan dari Istana itu
terdapat alun-alun. Masjid didirikan sebelah barat dari alun-alun tersebut. Hal ini
mempunyai maksud tertentu yaitu adalah alun-alun merupakan tempat bertemunya raja
atau pembesar dengan rakyat walaupun secara tidak langsung, maka masjid merupakan
tempat bersatunya raja dan rakyat, sebagai sesama makhluk illahi.
Dengan demikian seorang raja disini seakan-akan membedakan tugas atau kewajiban
dirinya menjadi dua bagianyakni sewaktu melakukan tugasnya sebagai raja, dia
mengatur pemerintahan, maka ia bertindak sebagai raja atau pimpinan pemerintahan.
Akan tetapi, sewaktu ia melakukan tugasnya untuk beribadah, menunaikan kewajiban
kepada Tuhan, maka secara pribadi kedudukannya sama seperti rakyatnyatanpa ada
perbedaan kecuali karena ketakwaannya. Demikianlah sepintas perbedaan antara
kerajaan Islam dengan raja-raja sebelum Islam yang telah membedakan diri menjadi
beberapa golongan atau kasta.
Kemdian ada Seni Suara. Hasil kebudayaan Islam di masa Demak dalam bidang seni
suara yang masih bisa dirasakan sampai sekarang dan masih sering dinyanyikan oleh
masyrakat di antaranya adalah lagu yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk memberi
nasihat kepada Sunan Bayat, yang bait-baitnya merupakan Tembang Dandan Gula. Dari
seni tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup di dunia ini tidaklah lama , di umpamakan
pergi ke pasar dan tidaklah selamanya akan berada disana, melainkanp pasti akan pulang.
Oleh sebab itu janganlah kita lupa akan hakekat tujuan hidup ini agar kita tidak tersesat.
Jika tersesat maka sia-sialah hidup kita ini.
Berdasarkan uraian ajaran Sunan Kalijaga tersebut diatas yang berdasarkan ajaran
agama Islam, yang telah menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia ini tidak lama,
tetapi hanya sebentar. Disamping itu masih ada beberapa lagu yang sampai saat ini masih
banyak dinyanyikan di masyarakat, lebih-lebih dikalangan anak-anak diantaranya adalah
lagu Ilir-Ilir. Dari syair lagu tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam dapat hidup
subur di masyarakat, sehingga banyak orang yang senang lalu mengikutinya, bagaikan
pengantin baru , siapa saja ingin memandangnya. Wahai para pengembala, penguasa,
lekas-lekaslah sadar dan jalankan syariat agama Islam, terutama shalat lima waktu.
b. Masjid Agung Demak
Salah satu peninggalan Kerajaan Demak yang paling dikenal oleh masyarakat
Indonesia adalah Masjid Agung Demak yang dibangun pada abad ke-15. Saat itu,
Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan Fattah. Fungsi Masjid Agung Demak di masa itu
antara lain sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Demak, tempat ibadah orang Islam dan
sarana berdakwah Wali Songo. Arsitektur bangunannya masih dipengaruhi oleh Hindu
Budha, seperti banyaknya simbol-simbol Majapahit yang digunakan sebagai hiasan.
Selain itu, bentuk atap Masjid Agung Demak juga dikatakan mengambil filosofi dari
ajaran Hindu Budha. Bentuk atap tersebut dikatakan meminjam konsep bentuk gunung
dan candi. Sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa percaya bahwa tempat yang
tinggi adalah tempat yang sakral. Dari bentuknya, atap Masjid Agung Demak
menyerupai candi yang berundak-undak dan mengerucut ke atas yang berarti upaya
mendapatkan citra gunung yang dianggap sebagai tempat sakral. Hingga saat ini, selain
untuk beribadah Masjid Agung Demak menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun
asingyang ingin melihat bukti peninggalan Kerajaan Demak tersebut.
Masjid Agung Demak yang terkenal dengan soko tatalnya bukan dibuat tanpa
kesengajaan, melainkan sebagai lambang kerohanian, kerukunan, dan persatuan. Konon
sewaktu mendirikan masjid agung Demak, masyarakat sedang ditimpa perpecahan antar
golongan, bahkan dalam bekerja mendirikan masjid itu juga terjadi perselisihan-
perselisihan hanya dikarenakan permasalahan kecil. Sunan Kalijaga memperoleh ilham
untuk menyelesaikan perpecahan dan perselisihan tersebut. Tatal (serpihan-serpihan
kayu kecil) yang merupakan simbol dari permasalahan-permasalahan kecil itu disusun
dan diikat menjadi satu yang digunakan sebagai tiang penyangga yang kokoh bagi
tegaknya masjid. Ini menunjukkan bahwa permasalahanpermasalahan kecil tersebut jika
dihilangkan dan disatukan maka dapat menjadi kekuatan besar untuk menegakkan
dakwah Islam. Demikian pula jumlah soko tatal yang empat melambangkan pedoman
hidup setiap umat Islam, yakni al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas.
D. Penutup
Bintara lahir diawali dengan dibukanya Hutan Glagahwangi oleh Raden Patah yang
kemudian dijadikan daerah bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raden Patah diangkat
menjadi adipati Bintara dan kemudian bergantilah nama Bintara menjadi Demak.
Menjelang lahirnya Kerajaan Demak masyarakat di Pulau Jawa mayoritas menganut
agama Hindu dan Buddha. Sistem sosial masyarakatnya juga berdasarkan ajaran Hindu
dan Buddha yaitu dengan sistem kasta. Kekuasaan politik pada masa sebelum lahirnya
Demak masih dikuasai oleh Kerajaan Majapahit.
Penyebaran agama Islam di Kerajaan Demak tidak lepas dari jasa para mubaligh dan
pedagang-pedagang yang singgah di pantai utara pulau jawa. Disamping tugas utamanya
sebagai pedagang mereka dengan tulus menyebarkan agama Islam di Kerajaan Demak.
Adapun tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam di Kerajaan Demak adalah Sunan
Kalijaga juga Raden Patah sebagai Raja pertama dari Kerajaan Demak. Islam
berkembang sangat pesat di kerajaan Demak yang kemudian Kerajaan Demak menjadi
pusat kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Adapun hal-hal menarik yang tidak dituliskan oleh penulis adalah penjabaran
pemimpin-pemimpin Kerajaan Demak secara khusus yaitu Raden Patah yang kemudian
digantikan oleh putranya Adipati Unus kemudian berpindah tangan kepada Sultan
Trenggana dan digantikan oleh Sunan Prawoto sebelum akhirnya Kerajaan Demak
runtuh. Penulis juga tidak menjelaskan bagaimana proses runtuhnya Kerajaan Demak
yaitu karena terjadinya kekosongan kepemimpinan setelah wafatnya Sultan Trenggono
dan perebutan kekuasaan antara Sunan Prawoto dan Arya Penangsang. Penulis juga tidak
menuliskan apa saja metode penyebaran Islam yang dilakukan di masa Kerajaan Demak,
perayaan besar Islam yang apa saja yang ada pada masa itu, dan pengaruh kekuasaan
Kerajaan Demak terhadap kerajaan lain.
Daftar Pustaka
Daliman, P. A. (2012). Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: Lkis.
Soekmono, R. (1990). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta:
Kanisius.
Hadiwijono, Harun. (2008). Agama Hindu dan Budha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Muljana, Slamet. (2006). Negara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: Lkis.
Supratikno dan Wiwin Djuwita Ramelan. (1994). Kota Demak Sebagai Bandar Dagang
di Jalur Sutra. Jakarta: Proyek Invanterisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Sriwibawa, Sugiarta. (1977). Babad Tanah Jawa Jilid II, Jakarta: Pustaka Jaya.
Sofwan, Ridin. Wasit dan Mundiri. (1999). Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar
Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Rachmad. (2015). Walisongo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa 1404-
1482 M., Sukoharjo: al-Wafi.
Muhatrom, Zaini. (2002). Islam di Jawa dalam Perspektif Santri & Abangan, Jakarta:
Salemba Diniyah.
Salam, Solichin. (1972). Sekitar Wali Sanga, Kudus: Penerbit Menara.
H.J. de Graff, dan Th.G.Th. Pigeaud. (1986) Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa,
Terj. Grafiti Pers & KITLV, Jakarta: PT. Grafiti Pers.

Anda mungkin juga menyukai