Anda di halaman 1dari 10

Artikel Kerajaan Pajang

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara

Dosen Pengampu : Febta Pratama, M.Pd.

Disusun oleh :

Aryo Dwi Pamungkas (202015500311)

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

PENDIDIKAN SEJARAH

2020/2021
ABSTRAK

Kerajaan Pajang merupakan Kerajaan yang mewarisi Demak. Diperoleh melalui politik
dan Genealogi, sebagai keturunan Majapahit serta sebagai menantu Sultan Trenggana, Sultan
terakhir Demak. Pergantian kekuasaan dari Demak ke Pajang tentu saja penuh dengan konflik
yang menimbulkan pertikaian dan pembunuhan di dalam keluarga kerajaan demi meraih takhta.
Pertikain ini diakhiri oleh pertarungan antara Jaka Tingkir dan Arya Panangsang. karena
pemenangnya adalah Jaka Tingkir, maka Demak Jatuh ke tangan Jaka Tingkir dan kemudian
memindah wilayah kekuasaan berpusat di Pajang.

Penelitian ini menggunakan metode Heuristik dengan menggunakan sumber skunder


yaitu sumber pustaka sebagai rujukan, kritik sumber dilakukan baik kritik ekstern dan intern
sebagai dasar pertanggungjawaban keabsahan tulisan. Metode berikutnya adalah mengintepretasi
yang digunakan untuk menganalisa maupun mensintesiskan tulisan sehingga menjadi karya
sejarah secara utuh dan berkesinambungan. Terakhir adalah historiografi yang digunakan untuk
pemaparan hasil penelitian.

Penitikberatan tulisan ini adalah : proses peralihan kekuasaan dari kesultanan Demak ke
Pajang dan masa kesultanan Hadiwijaya di Pajang tahun 1546-1586M. Detail pembahasan
meliputi proses keruntuhan Demak yang disebabkan oleh beberapa kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh Demak. Pembahasan berikutnya adalah konflik dan pertikaian yang terjadi dalam
keluarga kerajaan demi memperoleh kekuasaan. Kemudian pepindahan Kesultanan ke Pajang
yang membawah banyak perubahan corak agama dan mata pencaharian. Perpindahan ini
mengakibatkan beralihnya sistem Negara maritim berpindah menjadi Negara yang agraris, hal ini
didukung oleh wilayah geografis antara Demak dan Pajang. Peralihan aliran agama juga terlihat
dengan berpindahnya aliran syariat keamakrifat (aliran Syeikh Siti Jenar). Dengan dasar
Manunggaling Kawulo Gusti yang mampu menyebar cepat karna dirasa cocok dan sesuai dengan
kehidupan dan keyakinan masyarakat Jawa sebelumnya yang mayoritas beragama Hindu-Budha.

Kerajaan Pajang
Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa selalu diwarnai dengan dendam dan pertumpahan
darah. Sebagamana ketika Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menyingkirkan pemimpin Kerajaan
Demak, Arya Penangsang. Lalu berdirilah Kerajaan Pajang pada tahun 1568 Masehi.

Sebelum berdiri sendiri menjadi kerajaan, Pajang merupakan wilayah di bawah


kekuasaan Kerajaan Demak. Wilayah Pajang dipimpin oleh Adipati Jaka Tingkir. Jaka Tingkir
masih memiliki hubungan dengan Kerajaan Demak. Ia merupakan menantu dari Sultan
Trenggono. Namun tibalah suatu ketika, Jaka Tingkir menyerang Kerajaan Demak. Serangan
tersebut mengusung misi balas dendam Ratu Kalinyamat yang bekerja sama dengan Bupati
Pajang. Bupati Jepara tersebut ingin menyingkirkan Arya Penangsang yang telah membunuh
suami dan adik suaminya.

Setelah Arya Penangsang Lengser, Jaka Tingkir diangkat menjadi pemimpin Demak. Ia
mendapat gelar Sultan Hadiwijaya, yakni gelar pengukuhan dari wilayah-wilayah yang berada di
bawah Kerajaan Demak. Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari
Demak ke Pajang. Selain kekuasaan, Hadiwijaya juga memindahkan seluruh benda pusaka
Kerajaan demak ke Pajang. Ia pun menjadi raja pertama Kerajaan Pajang.

A. Letak Kerajaan Pajang


Berdasarkan sumber sejarah Kerajaan Pajang, letaknya berada di Pajang, Laweyan,
Surakarta, Jawa Tengah. Lokasinya berada di Surakarta bagian barat. Kerajaan tersebut berada di
datarang rendah, dan diapit oleh Sungai Pepe dan Sungai Dangke. Wilayah kekuasaan Kerajaan
Pajang meliputi Pengging (Boyolali dan Klaten), Butuh (Madiun dan derah lain di kawasan
Sungai Bengawan Solo), Tingkir (Salatiga), Mataram, Bagelen, Kedu, Pati, Demak, Jeparang,
Bojonegoro, Kediri, dan beberapa kota besar di Jawa Timur.
B. Kondisi Geografi Politik Negeri Pajang
Kerajaan Pajang adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang terletak di daerah
perbatasan Desa Pajang, Kota Surakarta, dan Desa Makamhaji, Kartasura, Kabupaten
Sukoharjo. Kerajaan Pajang berdiri pada tahun 1568 dan runtuh pada 1587. Sunan Kudus beserta
Raja - Raja demak selalu bersikap menentang bupati pajang yang mendapat bantuan Syekh Siti
Jenar dengan latar belakang keinginannya untuk mengembalikan pusat kerajaan Jawa Tengah ke
pedalaman sperti keadannya di zaman pemeintah kerajaan Hindu. Apabila Pajang dapat menjadi
suatu kerajaan besar dengan urat nadi Bengawan Solo, Kondisi Geografi Politiknya dapat
diperincikan Sebagai berikut :
1. Kerjaan kombinasi agraris - maritim ini memiliki front yang menghadap ke wilayah
Indonesia Timur, yang menjadi ajang perniagaan lautan yang kelak bersifat
internasional menurut ukuran zamannya. Pelabuhan - pelabuhan yang besar di Jawa
Timur seperti : Gresik, dan Jaratan berada didekat muara Bengawan Solo.
2. Sayap kiri dari urat nadi ini berupa daerah pesisir dengan pelabuhan - pelabuhan dari
barat ke timt, terdiri dari Demak, Jepara, Juwana, Rembang, Lasem, dan Tuban.
3. Sayapkanannya berupa lembah Sungai Brantas dengan daerah - daerah penting, seperti
Kediri, Kertasono dan Wirosobo.
Dalam menilai Bngawan Solo sebagai urat nadi negara tersebut, perlu dipikirkan situasi
ekonomi, politik, transportasi, dan teknologi lain yang ada pada abad - abad yang
bersangkutan.Panjang Bengawan Solo kurang lebih 540 km. Bersama wilayah yang dialirinya
mencakup wilayah seluas 15.425km. Ini kurang lebih sama dengan satu per delapan luas pulau
Jawa. Seluruh panjang Bengawan tersebut dpat dibagi atas tiga bagian antara lain :
1. Hilir atas, dengan Kota Soloyang letaknya 94km dari mata air sungai dilereng
Gunung Lawu
2. Hilir tengah, dengan Bojonegoro yang di masa lampau merupakan bagian dari
Kadipaten Jipang dengan tanah napal yang kering sehingga penduduknya miskin.
3. Hilir bawaah, mulai dari Babad smpai daerah pantai dengan pelabuhan Sedayu, Jaratan,
Gresik, dan Giri.
C. Raja-raja Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang pernah dipimpin oleh lima raja dari tahun 1568 - 1618. Setiap raja memiliki
kontribusi dan kekuranganya masing-masing.
1. Jaka Tingkir
Jaka Tingkir atau Hadiwijaya memerintah dari tahun 1568 – 1583. Raja pemberani tersebut
lahir di Pengging, daerah di lereng Gunung Merapi. Ia merupakan cucu dari Sunan Kalijaga yang
berasal dari Kadilangun. Jaka Tingkir mempunyai nama kecil Mas Krebet.Nama tersebut ia
dapatkan karena kelahirannya bertepatan dengan adanya pertujukan wayang beber di rumahnya.
Saat remaja, ia memperoleh nama Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir menikah dengan puteri dari Sultan Trenggana, Raja Kerajaan Demak. Setelah
berhasil menggulingkan Arya Penangsang, ia diangkat menjadi Raja Demak. Gelar “Hadiwijaya”
ia dapatkan. Hadiwijaya lalu memindahkan pemerintahan ke Pajang dan sukses mendirikan
Kerajaan Pajang. Ia berhasil menyebarkan ajaran Islam di daerah-daerah selatan Jawa. Wilayah
kekuasaanya juga meluas sampai ke Jawa Timur.
2. Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya
Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara. Arya
Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu,
Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya
Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai
bupati Demak. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di
Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan
dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda
daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
3. Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587,
bergelar Sultan Prabuwijaya. Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka
Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat
ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram. Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah
Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu
Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.

D. Masa Kejayaan Kerajaan Pajang


Saat dipimpin oleh Hadiwijaya, Kerajaan Pajang mencapai puncak masa kejayaannya.
Raja-raja penting di Jawa Timur pada saat itu mengakui kedudukan dan wilayah kekuasaannya.
Selain itu, Raja Hadiwijaya juga berhasil membuat kekuasaannya bertambah luas. Dari tanah
pedalamannya, ia berhasil memegang wilayah ke arah timur, yakni sampai madiun. Tahun 1554,
ia berhasil menggulingkan Blora. Ia juga menaklukan Kediri pada tahun 1577.
Tak hanya sukses dalam hal politik. Pajang juga mempunyai sumber daya alam dan sosial
budaya yang maju. Daerah Kerajaan Pajang merupakan lumbung padi yang besar. Di kawasan
tersebut saluran irigasi berjalan lancar. Hadiwijaya juga memperoleh penobatan sebagai Sultan
Islam. Penghargaan tersebut diberikan oleh raja-raja penting di Jawa Timur.

E. Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik Kerajaan Pajang


1. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajang
Pada masa kekuasaan Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya memindahkan wilayah
kekuasaannya dari pesisir ke daerah pedalaman yaitu di daerah Pajang. Peralihan pusat
kekuasaan ini menyebabkan berubahnya corak kehidupan masyarakatnya dari maritim menjadi
agraris. Masyarakat Kerajaan Pajang mengandalkan pada sektor pertanian hal ini ditunjang
dengan keadaan tanah di Kerajaan Pajang sangat subur. Wilayah ini merupakan triple junction
antara kali Pepe, kali Dengkeng dan sungai Bengawan Solo. Kali Pepe dan kali Dengkeng
memiliki muara mata air dari Merapi, sedangkan sungai Bengawan Solo memiliki muara mata
air yang berasal dari Gunung Lawu.
Dengan demikian, Kerajaan Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian. Bahkan
sempat menjadi lumbung beras selama abad ke- 16 sampai 17. Irigasi persawahan berjalan lancar
dan cukup untuk satu tahun berkat aliran air dari kali Pepe, kali Dengkeng, dan sungai Bengawan
Solo sehingga hasil pertanian di Pajang melimpah (Dede Maulana, 2015: 37).
Namun, masyarakat Pajang memiliki kelemahan dalam bidang perdagangan sebab letak
Kerajaan Pajang yang berada di pedalaman serta masyarakat Pajang yang kurang menguasai
perdagangan yang berbasis laut. Padahal saat itu perdagangan di laut sedang populer, Kerajaan
Pajang menjadi tertinggal dengan kerajaan lain di bidang ekonomi perdagangan. Hal ini
membuat perekonomian Pajang sedikit berantakan tetapi Hadiwijaya mengatasi hal itu dengan
pengembangan komoditas seni-budaya yang sosfistikasi, dapat dilihat dari adanya kampung
batik laweyan.
2. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan islam yang masih menganut beberapa tradisi hindu dan
jawa. Penduduk Pajang kala itu juga tetap melakukan tradisi-tradisi yang sudah ada sejak zaman
nenek moyang mereka. Akulturasi budaya yang terjadi antara agama islam dengan hindu pun
sangat terlihat. Salah satunya dapat dilihat pada bentuk arsitektur Masjid Laweyan yang mirip
dengan bentuk Kelenteng Jawa.
Masjid ini mendapat pengaruh yang kuat dari kebudayaan hindu-jawa. Letak masjid yang
berada di atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura hindu. Memang dulunya Masjid
Laweyan adalah bekas pura hindu yang dipimpin seorang biksu, namun seiring dengan banyak
masyarakat yang memeluk islam lalu oleh Sultan Hadiwijaya bangunan tersebut diubah menjadi
masjid (Dede Maulana, 2015: 40).
Dalam kehidupan agamanya, ajaran Islam Kejawen berkembang pesat di Kerajaan Pajang.
Sultan Hadiwijaya membuka kesempatan untuk masuknya aliran Islam Kejawen yang
sebelumnya dilarang di Kerajaan Demak. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam, namun
corak yang berkembang berbeda, aliran tauhid murni bergeser ke pinggir. Sedangkan penganut
kejawen mulai mendapatkan tempatnya disini. Penyebabnya adalah Sultan Hadiwijaya, selaku
raja di Kerajaan Pajang merupakan panata gama Khalifatullah tanah Jawa yang menganut
Manunggaling Kawula Gusti.
Kerajaan Pajang masih bernuansa islam namun adat istiadat masih dipertahankan. Seperti adat
walon, yakni tata krama yang diberikan sejak kecil. Pendidikan kasatupan, pendidikan pribadi
yang ditempuh dengan melalui cara tertentu meliputi ngelmu jaya kawijayan yaitu pendidikan
yang tujuannya untuk mendapat kesaktian dengan bertapa, berpuasa dan berpantang. Lalu ada
ngelmu pengawikan, yakni pendidikan yang tujuannya untuk menguasai berbagai ilmu seperti
ilmu tentan atau menjinakkan binatang dan benda pusaka. Ada juga ngelmu kasantikan, yakni,
pendidikan yang tujuannya untuk memiliki kebijaksanaan dan kesempurnan hidup. Demikianlah
ajaran Islam Kejawen berkembang di Kesultanan Hadiwijaya (Laili Affidah, 2011: 60&71).
3. Kehidupan Politik Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai lanjutan dari
Kerajaan Demak. Raja pertamanya bernama Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya
mewarisi Demak karena faktor politik serta berdasarkan garis keturunan yang masih memiliki
darah dari raja Majapahit. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga merupakan menantu dari Sultan
Trenggono raja ke-3 Demak. Pada awal berdirinya tahun 1549, kekuasaan Kerajaan Pajang
hanya Jawa Tengah saja karena di Jawa Timur sudah banyak wilayah yang melepaskan diri sejak
Sultan Trenggono meninggal.
Hadiwijaya dan Adipati Jawa Timut dipertemukan oleh Sunan Prapen di Giri Kedaton pada
tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para adipati sepakat untuk mengakui kedaulatan Kerajaan
Pajang atas wilayah di Jawa Timur. Lantas Panji Wiryakama dinikahkan dengan putri Sultan
Hadiwijaya sebagai ikatan politik. Sultan Hadiwijaya semakin memperluas wilayah
kekuasaannya, ia berhasil menguasai Madura. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu atau
Panembahan Lemah Dhuwur juga dijadikan menantu oleh Hadiwijaya (Laili Affidah, 2011: 50).
Setelah sepeninggal Sultan Hadiwijaya pada 1587, Kerajaan Pajang digantikan oleh Arya
Pengiri anak dari Sunan Prawoto, sultan Demak yang terbunuh akibat konflik dengan Arya
Penangsang. Tetapi kepemimpinan Arya Pengiri tidak terlalu bijaksana, ia disibukkan dengan
balas dendam dan ingin melakukan penaklukan terhadap Mataram sehingga kesejahteraan rakyat
terabaikan. Hal ini membuat Pangeran Benawa, putra dari Sultan Hadiwijaya yang berada di
Jipang merasa prihatin. Pangeran Benawa juga merasa tidak puas karena berada di lingkungan
asing yaitu Jipang padahal ia seharusnya menjadi putra mahkota di Kerajaan Pajang. Ia lalu
bersekutu dengan Sutawijaya, penguasa Mataram untuk menyerbu Pajang, terjadi pertempuran
singkat antara kerajaan pajang dengan mataram dan jipang. Lalu, Arya Pengiri kalah dan
kekuasaan Pajang beralih kepada Pangeran Benawa yang dalam memerintah didampingi oleh
Sutawijaya.

F. Runtuhnya Kerajaan Pajang


Tahun 1582 terjadi perang antara Pajang dan Mataram. Usai perang, Raja Hadiwijaya
sakit dan wafat. Lepas dari kepemimpinannya, kekuasaan Pajang menjadi rebutan putranya
Pangeran Benawa dengan menantunya Arya Pangiri. Tahta Kerajaan Pajang pun diambil alih
oleh Arya Pangiri. Sedangkan Pengeran Benawa bertolah ke Jipang. Namun kepemimpinan Arya
Pangiri tidak sebijak raja sebelumnya. Ia sibuk mengurusi upaya balas dendam terhadap
Mataram. Karena hal itu, kehidupan rakyat Pajang tidak diperhatikan.
Pangeran Benawa yang merasa prihatin mengetahui kondisi Pajang. Tahun 1586,
Pangeran Benawa bekerja sama dengan Sutawijaya untuk menyerang Pajang. Meski sebelumnya
Sutawijaya melawan ayahnya Hadiwijaya, tetapi Pangeran Benawa masih merangkulnya sebagai
saudara.
Arya Pangiri pun kalah di tangan dua persekutuan tersebut. Ia dipulangkan ke daerah asalny,
Demak. Kepemimpinan Kerajaan Pajang kemudian diambil oleh Pangeran Benawa. Tahun 1587,
pemerintahan Pangeran Benawa berakhir. Namun tidak ada putera mahkota yang meneruskan
tahtanya. Karena hal itu, Pajang pun diwariskan menjadi wilayah kekuasaan Mataram.
G. Peninggalan Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang mempunyai beberapa peninggalan yang masih bisa disambangi sampai
sekarang.
1. Makam Jaka Tingkir
Salah satu peninggalan Pajang yang cukup melegenda adalah Makam Jaka Tingkir. Makam
ini berada di Butuh, Gedongan, Plupuh, Dusun II, Gedongan, Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa
Tengah. Makam Butuh adalah nama Komplek pemakaman ini. Di kawasan kompleks terdapat
sebuah masjid bernama Masjid Butuh
2. Kampung Batik Laweyan
Kampung Batik Laweyan saat ini terkenal sebagai perkampungan wisata batik. Kompleks
perkampungan ini terletak di kelurahan Laweyan, kecamatan Laweyan, Surakarta.
Kampung ini sudah ada sejak era Kerajaan Pajang tahun 1546. Kampung ini memiliki konsep
desa yang terintegrasi. Luas kampung ini, yakni 24 hektar dan dibagi menjadi 3 blok.
3. Masjid Leweyan Solo
Masjid Leweyan didirikan oleh Joko Tingkir sekitar tahun 1546. Lokasi masjid ini berada di
Dusun Belukan, RT. 04 RW. 04, Kelurahan Pajang, Kecamatan Pajang, Surakarta. Di samping
masjid terdapat makam-makam kerabat Kerajaan Pajang. Ada makam Ki Ageng Henis, seorang
penasehat spiritual. Bangunan masjid ini bergaya perpaduan tradisional Jawa, Eropa, Cina dan
Islam. Bangunannya dibagi ke menjadi tiga bagian, yaitu ruang induk (utama), serambi kanan,
dan serambi kiri.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/voi.id/amp/41020/sumber-sejarah-kerajaan-pajang-raja-raja-
runtuhnya-dan-peninggalan-peninggalan
https://sejarahkita.com/kehidupan-ekonomi-sosial-budaya-dan-politik-kerajaan-pajang/
https://duniapendidikan.co.id/kerajaan-pajang/
Buku : N. Daldjoeni (Geografi Kesejarahan II Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai