Anda di halaman 1dari 2

Budi Utomo

Awal nasionalisme Indonesia modern secara konvensional dianggap dimulai pada 1908 dengan
pembentukan Budi Utomo, yaitu suatu organisasi yang didirikan oleh para prelajar STOVIA (School
tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sekolah dokter pribumi di Weltevreden yang sekarang
dilestarikan sebagai tempat bersejarah. Sebenarnya, Budi Utomo merupakan organisasi Jawa dan
berfokus pada kemajuan sosial dan ekonomi masyarakat. Namun, inilah organisasi pertama yang
didirikan oleh orang Indonesia. ( Susan Blackburn, 2011 : 132 – 136).

Organisasi kaum muda Jawa ini didirikan oleh Soetomo pada hari Minggu 20 Mei 1908 pukul
sembilan pagi. Di dalam mengorganisasi Boedi Oetomo, Soetmo mempunyai banyak rekan cakap
yang membantunya, antara lain Goenawan Mangoenkoesoemo(yang bertugas memberikan
keterangan pers ), Soewarno (yang kekuatannya terletak pada ketajaman pena yang bisa
menggerakan hati lawan-lawannya, sehingga mereka pun secara sadar atau tak sadar mengikuti cita-
cita Boedi Oetomo), Goemberg, Mohammad Saleh, Soelaiman dan Soeradji (yang mencurahkan
seluruh kepandaiannya dengan kemahiran dalam bahasa Jawa kromo, menjelaskan tujuan organisasi
kepada angkatan tua di Jawa Tengah ).

Kongres pertama di Yogyakarta, tanggal 3 – 5 Oktober 1908, terjadj perselisihan antara anggota-
anggota priyayi professional angkatan tua yang diwakili oleh Wahidin Soedirohoesodo dan anggota-
anggota angkatan muda yang berpikiran lebih maju yang diwakili oleh Tjipto Mangoenkoesoemo,
pecah. Wahidin membuka kongres itu dengan sebuah pidato yang mengagungkan sejarah Jawa dan
kemudian menekankan pentingnya pendidikan Barat bagi kemajuan Jawa. Yang dipikirkannya
hanyalah pendidikan golongan priyayi itu, bukan pendidikan desa secara umum. Dwijosewaya,
seorang guru bahasa Melayu pada sekolah guru di Yogya, menyatakan sekali golongan atas itu
terdidik, seluruh masyarakat Jawa yang lain pasti akan menjadi terdidik di bawah bimbingan mereka.

Pada kongres pertama ini terjadi perdebatan yang merupakan antagonisme antara konservatisme
yang diwakili oleh Dokter Radjiman Wediodiningrat, seorang dokter Kraton Surakarta dan
radikalisme yang diwakili oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang dokter yang bekerja di Demak,
mengenai tujuan gerakan. Yang pertama menggunakan bahasa Jawa dan kedua memakai bahasa
Melayu dalam mengemukakan buah pikirannya. Yang pertama menghendaki langkah secara
bertahap dalam mencapai kemajuan dengan mengikuti jenjang yang ditetapkan oleh penguasa,
sedang yang kedua tidak puas dengan gerakan yang hendak meningkatkan taraf pengajaran kaum
bumiputra, tetapi mencita-citakan suatu pendobrakan masyarakat kolonial dan tradisional dengan
segala kekolotan, statisme, diskriminasi, tradisi yang menekan. Perdebatan antara Radjiman
Wediodiningrat dengan Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan salah satu titik puncak kongres Boedi
Oetomo oleh karena konfrontasi antara kedua pendiri itu mencerminkan orientasi yang berbeda
dalam menghadapi Westernisasi.

Meskipun Radjiman kelak mengenal peradaban Barat dan dekat dalam kunjungannya ke Negeri
Belanda untuk studi, namun pada 1908 persepsi kulturalnya menunjukkan kenyataan bahwa pada
hakikatnya peradaban Barat dan Timur itu berlainan. Ditegaskannya bahwa nasionalisme Jawa perlu
dipertahankan, lagi pula pengetahuan Barat tidak sesuai dengan nasionalitas Jawa serta
kebudayaannya sehingga tidak memberikan hasil. Namun, Tjipto Mangoenkoesoemo membantah
kesemuanya itu dan mengutarakan bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan
Barat dan unsur-unsur kultural lainnya, sehingga dapat memperbaiki tingkat kehidupannya. Hasil inti
dari konfres pertama ini yaitu keputusan yang telah disetujui para anggota secara konsensus
menetapkan bahwa Budi Utomo pada tahap ini akan menolak pengembangan politik bagi golongan
priyayi dan sebaliknya akan memiliki pengembangan kebudayaan.

Tjipto dan Soerjodipuro mencoba di hadapan kongres kedua bulan September 1909, membuat
organisasi itu menjadi organisasi politik dan memperluas keanggotaannya selain orang Jawa dan Bali
mencakup semua penduduk Hindia Belanda, termasuk masyarakat Indo-Eropa dan masyarakat Cina.
Namun, usul-usul mereka itu ditolak, dan mereka memutuskan untuk mengundurkan diri.

Dampak berdirinya Boedi Oetomo di tahun 1908 bagi masyarakat Jawa elite dapat dilihat pada
beberapa tingkat. Boedi Oetomo, lebih daripada persatuan mana pun yang berkembang kemudian di
Jawa, Boedi Oetomo memaksa golongan-golongan yang berbeda-beda itu mengorganisasikan diri
mereka, tidak hanya sebagai kelompok-kelompok yang terpisah satu dari yang lain, melainkan juga
dalam pertentangan satu sama lain. Dengan demikian Boedi Oetomo bukan hanya gagal dalam
tujuannya meningkatkan kehidupan yang selaras di kalangan masyarakat Jawa, tetapi sesungguhnya
mempercepat perubahan dan perselisihan di lingkungan priyayi Jawa, yang mulai saat itu meledak
ke permukaan.

Dengan berdirinya Boedi Oetomo bulan Mei 1908 lahirlah organisasi pribumi pertama Indonesia
menurut model Barat, yaitu sebuah perhimpunan yang pengurusnya secara periodik diganti,
memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta program kegiatan, mengadakan rapat-
rapat dan kongres-kongres, dan anggotanya memiliki suara. Setelah Budi Utomo, banyak menyusul
lahir organisasi-organisasi lain, seperti Indische Partij, Sarekat Islam, Indische Social Democratische
Vereeninging (ISDV), Perhimpunan Indonesia dan lain-lain.

Peter Kasenda, Dr. Yudha Tangkilisan, Prof. Dr. Djoko Marihandono, 2013. Judul buku Dokter
Soetomo. Jakarta : Museum kebangkitan nasional.

Anda mungkin juga menyukai