Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KERAJAAN PAJANG

KELOMPOK 2

Disusun Oleh :
- Annisa Maharani (4)
- Fitry Dian Septiany (7)
- Salwa Dwi Rahmadani (17)
LETAK GEOGRAFIS KERAJAAN PAJANG

Kerajaan Pajang berada di daerah Pajang, Laweyan, Surakarta, Jawa


Tengah. Peninggalan fisik pada bangunan keratonnya berupa fondasi yang
terletak di perbatasan antara Kelurahan Pajang di Kota Surakarta dengan Desa
Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Saat berkuasa, wilayah kekuasaan Kerajaan
Pajang Wilayah mencakup Pengging (Boyolali & Klaten); Tingkir (Salatiga);
Butuh; Madiun & daerah aliran Sungai Bengawan Solo; Kedu; Blora; Bagelan;
Banyumas; Kediri; Surabaya dan Madura. Kerajaan Pajang berada di area
pedalaman pulau Jawa.

Secara geografis, Kerajaan Pajang berada di kawasan dataran rendah yang


subur dan strategis karena diapit aliran sungai Pepe dan Sungai Dangke.
SUMBER SEJARAH KERAJAAN PAJANG
Melansir dalam jurnal Memperebutkan Wahyu Majapahit dan Demak: Membaca
Ulang Jejak Kesultanan Pajang oleh Bambang Purwanto disebutkan Kerajaan Pajang
memiliki sumber sejarah yang sedikit dibanding kerajaan Islam lainnya.

Ada sumber sejarah tertulis yang bisa dijadikan acuan adanya Kerajaan Pajang,
yaitu:
1. Serat Nitisruti
Serta Nitisruti sering dihubungkan dengan keberadaan Kesultanan Pajang. Naskah
yang banyak mengandung unsur mistik ini dipengaruhi oleh serat Ramayana dan serat
Koja-jajahan. Sayangnya, keberadaan serat ini masih terus menjadi perdebatan, terutama
tentang siapa yang menggubah dan kapan digubahnya.

2. Babad Tanah Jawi


Babad Tanah Jawi menjadi sumber utama untuk merekonstruksi posisi Kerajaan
Pajang dalam sejarah Jawa. Namun kembali lagi informasi dari sumber lain baik dalam
bentuk data-data arkeologi ataupun kearsipan tentang Kerajaan Pajang sangatlah terbatas.

3. Kitab Negarakertagama
Kitab Negarakertagama adalah catatan perjalanan Prabu Hayam Wuruk dan
menyebutkan Pajang menjadi salah satu wilayah yang dikunjunginya.
Disebutkan Hayam Wuruk pernah mengunjungi Pajang pada 1275 saka dan 1279 saka
karena menjadi wilayah kekuasaan Majapahit.

Selain itu, sumber tertulis di atas ada dua sumber sejarah lainnya membuktikan
keberadaan Kerajaan Pajang yaitu Masjid Laweyan Solo dan Makam Butuh.
Masjid Laweyan dibangun oleh Adipati Jaka Tingkir saat Pajang masih di bawah Demak
pada 1546. Masjid ini berada di Dusun Belukan, Kelurahan Pajang, Surakarta. Masjid
dibangun dengan unsur tradisional Jawa, Islam, China, dan Eropa.
Dikutip dari Cagar Budaya Kemendikbud, Masjid Laweyan merupakan masjid pertama di
Kerajaan Pajang, hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung
Surakarta yang baru dibangun pada tahun 1763. Awalnya Masjid Laweyan merupakan
pura agama Hindu milik Ki Beluk.
Sumber sejarah lainnya adalah kompleks makam kesultanan Pajang yang dinamakan
Makam Butuh. Di dalamnya ada makam Sultan Hadiwijaya dan orang penting di
Kerajaan Pajang lainnya.
RAJA RAJA YANG BERKUASA DI KERAJAAN PAJANG
Kerajaan Pajang atau Kesultanan Pajang adalah salah satu kerajaan bercorak Islam
yang berpusat di Jawa Tengah. Kerajaan Pajang terletak di daerah perbatasan Desa
Pajang, Kota Surakarta, dan Desa Makamhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Pendiri
Kerajaan Pajang adalah Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya
pula yang membawa kerajaan ini menuju puncak kejayaan dengan memperluas wilayah
kekuasaannya sampai Madiun, Blora, dan Kediri. Kerajaan Pajang berdiri pada tahun
1568 dan runtuh pada 1587 masehi.
Raja-raja Kerajaan Pajang Selama 21 tahun berdiri, berikut ini tiga sultan yang
pernah memimpin Kerajaan Pajang.
Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (1568-1583 M) Selama 15 tahun berkuasa
Sultan Hadiwijaya melakukan perluasan wilayah untuk mendapatkan pengakuan atas
kekuasaannya. Salah satu strateginya adalah dengan menikahkan putrinya dengan
Panembahan Lemah Duwur dari Aresbaya. Puncak kejayaan Kerajaan Pajang dapat
dilihat dari luas wilayah kekuasaannya yang mencapai tanah pedalaman ke arah timur
sampai Madiun. Setelah itu, ia menaklukkan Blora pada 1554 dan Kediri pada 1577. Pada
1581, Sultan Hadiwijaya berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam dari raja-
raja terpenting di Jawa Timur. Sebagai penerus Kerajaan Demak, Pajang juga membina
hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di pesisir utara Jawa. Pada 1582, meletus perang
Pajang dan Mataram. Sepulang dari pertempuran, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan
meninggal dunia.
Arya Pangiri atau Ngawantipura (1583-1586 M) Sepeninggal Sultan Hadiwijaya,
terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya
Pangiri. Arya Pangiri berhasil naik takhta pada 1583, sedangkan Pangeran Benawa
tersingkir ke Jipang. Namun selama pemerintahannya, Arya Pangiri hanya disibukkan
dengan usaha balas dendam terhadap Mataram, sementara kehidupan rakyatnya
terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa merasa prihatin dan melancarkan
serangan pada 1586, dibantu oleh Sutawijaya.
Pangeran Benawa atau Prabuwijaya (1586-1587 M) Pangeran Benawa menang atas
Arya Pangiri dan dinobatkan sebagai raja Kerajaan Pajang yang ketiga dengan gelar
Prabuwijaya. Kekuasaannya hanya berlangsung singkat karena Prabuwijaya lebih
memilih menjadi penyebar agama Islam. Pada 1587, pemerintahannya berakhir tanpa
meninggalkan seorang putra mahkota. Pada akhirnya, kekuasaan justru jatuh ke tangan
Raja Sutawijaya dan Pajang dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KERAJAAN PAJANG

Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya dan Politik Kerajaan Pajang

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajang

Pada masa kekuasaan Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya memindahkan wilayah


kekuasaannya dari pesisir ke daerah pedalaman yaitu di daerah Pajang. Peralihan pusat
kekuasaan ini menyebabkan berubahnya corak kehidupan masyarakatnya dari maritim
menjadi agraris. Masyarakat Kerajaan Pajang mengandalkan pada sektor pertanian hal ini
ditunjang dengan keadaan tanah di Kerajaan Pajang sangat subur. Wilayah ini
merupakan triple junction antara kali Pepe, kali Dengkeng dan Sungai Bengawan Solo.
Kali Pepe dan kali Dengkeng memiliki muara mata air dari Merapi, sedangkan sungai
Bengawan Solo memiliki muara mata air yang berasal dari Gunung Lawu.

Dengan demikian, Kerajaan Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian. Bahkan


sempat menjadi lumbung beras selama abad ke- 16 sampai 17. Irigasi persawahan
berjalan lancar dan cukup untuk satu tahun berkat aliran air dari kali Pepe, kali
Dengkeng, dan sungai Bengawan Solo sehingga hasil pertanian di Pajang melimpah
(Dede Maulana, 2015: 37). Namun, masyarakat Pajang memiliki kelemahan dalam
bidang perdagangan sebab letak Kerajaan Pajang yang berada di pedalaman serta
masyarakat Pajang yang kurang menguasai perdagangan yang berbasis laut. Padahal saat
itu perdagangan di laut sedang populer, Kerajaan Pajang menjadi tertinggal dengan
kerajaan lain di bidang ekonomi perdagangan. Hal ini membuat perekonomian Pajang
sedikit berantakan tetapi Hadiwijaya mengatasi hal itu dengan pengembangan komoditas
seni-budaya yang sosfistikasi, dapat dilihat dari adanya kampung batik laweyan.

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang merupakan kerajaan islam yang masih menganut beberapa tradisi
hindu dan jawa. Penduduk Pajang kala itu juga tetap melakukan tradisi-tradisi yang sudah
ada sejak zaman nenek moyang mereka. Akulturasi budaya yang terjadi antara agama
islam dengan hindu pun sangat terlihat. Salah satunya dapat dilihat pada bentuk arsitektur
Masjid Laweyan yang mirip dengan bentuk Kelenteng Jawa. Masjid ini mendapat
pengaruh yang kuat dari kebudayaan hindu-jawa. Letak masjid yang berada di atas bahu
jalan merupakan salah satu ciri dari pura hindu. Memang dulunya Masjid Laweyan adalah
bekas pura hindu yang dipimpin seorang biksu, namun seiring dengan banyak masyarakat
yang memeluk islam lalu oleh Sultan Hadiwijaya bangunan tersebut diubah menjadi
masjid (Dede Maulana, 2015: 40).

Dalam kehidupan agamanya, ajaran Islam Kejawen berkembang pesat di Kerajaan


Pajang. Sultan Hadiwijaya membuka kesempatan untuk masuknya aliran Islam Kejawen
yang sebelumnya dilarang di Kerajaan Demak. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan
Islam, namun corak yang berkembang berbeda, aliran tauhid murni bergeser ke pinggir.
Sedangkan penganut kejawen mulai mendapatkan tempatnya disini. Penyebabnya
adalah Sultan Hadiwijaya, selaku raja di Kerajaan Pajang merupakan panata gama
Khalifatullah tanah Jawa yang menganut Manunggaling Kawula Gusti. Sultan
Hadiwijaya secara tegas menyatakan bahwa Ki Ageng Tingkir sebagai gurunya, adalah
pengikut ajaran Syekh Siti Jenar. Demikian juga, Ki Ageng Pemanahan, yang nantinya
akan mendirikan Kerajaan Mataram adalah penganut Manunggaling Kawula Gusii,
menurut paham itu Tuhan bersemayam dalam diri manusia hakikatnya berasal dari
Tuhan.

Manusia hanyalah gambaran nyata dari Tuhan Yang Maha Ghaib, pencipta alam
semesta. Ajaran Islam yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar ini melahirkan juga ajaran
yang ditulis, berupa suluk dan primbon. Masyarakat pedalaman masih menerima agama
islam hanya untuk  abon – aboning ngaurip atau sebagai kelengkapan hidup saja. Aliran
ini dihidupkan kembali sejak kekuasaan Pajang hingga Mataram. Kerajaan Pajang masih
bernuansa islam namun adat istiadat masih dipertahankan. Seperti adat walon, yakni tata
krama yang diberikan sejak kecil Pendidikan kasatupan, pendidikan pribadi yang
ditempuh dengan melalui cara tertentu meliputi ngelmu jaya kawijayan yaitu pendidikan
yang tujuannya untuk mendapat kesaktian dengan bertapa, berpuasa dan berpantang. Lalu
ada ngelmu pengawikan, yakni pendidikan yang tujuannya untuk menguasai berbagai
ilmu seperti ilmu tentan atau menjinakkan binatang dan benda pusaka. Ada juga ngelmu
kasantikan, yakni, pendidikan yang tujuannya untuk memiliki kebijaksanaan dan
kesempurnan hidup. Demikianlah ajaran Islam Kejawen berkembang di Kesultanan
Hadiwijaya (Laili Affidah, 2011: 60&71)

Kehidupan Politik Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang merupakan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai lanjutan
dari Kerajaan Demak. Raja pertamanya bernama Jaka Tingkir yang bergelar Sultan
Hadiwijaya mewarisi Demak karena faktor politik serta berdasarkan garis keturunan yang
masih memiliki darah dari raja Majapahit. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga merupakan
menantu dari Sultan Trenggono raja ke-3 Demak. Pada awal berdirinya tahun 1549,
kekuasaan Kerajaan Pajang hanya Jawa Tengah saja karena di Jawa Timur sudah banyak
wilayah yang melepaskan diri sejak Sultan Trenggono meninggal. Sultan Hadiwijaya dan
Adipati Jawa Timut dipertemukan oleh Sunan Prapen di Giri Kedaton pada tahun 1568.
Dalam pertemuan itu, para adipati sepakat untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Pajang
atas wilayah di Jawa Timur. Lantas Panji Wiryakama dinikahkan dengan putri Sultan
Hadiwijaya sebagai ikatan politik. Sultan Hadiwijaya semakin memperluas wilayah
kekuasaannya, ia berhasil menguasai Madura.

Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Dhuwur juga
dijadikan menantu oleh Hadiwijaya (Laili Affidah, 2011: 50). Setelah sepeninggal Sultan
Hadiwijaya pada 1587, Kerajaan Pajang digantikan oleh Arya Pengiri anak dari Sunan
Prawoto, sultan Demak yang terbunuh akibat konflik dengan Arya Penangsang. Tetapi
kepemimpinan Arya Pengiri tidak terlalu bijaksana, ia disibukkan dengan balas dendam
dan ingin melakukan penaklukan terhadap Mataram sehingga kesejahteraan rakyat
terabaikan. Hal ini membuat Pangeran Benawa, putra dari Sultan Hadiwijaya yang berada
di Jipang merasa prihatin. Pangeran Benawa juga merasa tidak puas karena berada di
lingkungan asing yaitu Jipang padahal ia seharusnya menjadi putra mahkota di Kerajaan
Pajang. Ia lalu bersekutu dengan Sutawijaya, penguasa Mataram untuk menyerbu Pajang,
terjadi pertempuran singkat antara kerajaan pajang dengan mataram dan jipang. Lalu,
Arya Pengiri kalah dan kekuasaan Pajang beralih kepada Pangeran Benawa yang dalam
memerintah didampingi oleh Sutawijaya.

Pemerintahan Benawa hanya berlangsung sekitar satu tahun saja, setelah itu ia wafat
atau menurut cerita tutur lain ia meninggalkan Pajang untuk membaktian diri pada agama
di Parakan (De Graaf, 1985: 212-213). Setelah kepemimpinan Benawa, tidak ada putra
mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang berangsur-angsur menjadi wilayah
bawahan Mataram yang saat itu kekuasaannya sudah cukup kuat (Alifah, 2010: 95).
Setelah Kerajaan Pajang menjadi bawahan Kerajaan Mataram. Pajang diperintah oleh
bupati yaitu Gagak Bening  dan Pangeran Benawa II. Setelah pemerintahan Pangeran
Benawa, Pajang diperintah oleh Gagak Bening yang merupakan seorang Pangeran
Mataram adik dari Sutawijaya. Dalam pemerintahanya ia melakukan banyak perombakan
dan perluasan istana. Selanjutnya, pemerintahan digantikan oleh Pangeran Benawa II
yang merupakan cucu dari Sultan Hadiwijaya.
MASA KERUNTUHAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.Terjadi
persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri
sebagai raja selanjutnya.Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta
tahun 1583. Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam
terhadap Mataram.Kehidupan rakyat Pajang terabaikan.Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.Pada tahun 1586 Pangeran
Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang.Meskipun pada tahun 1582
Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap
menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri.Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian
menjadi raja Pajang yang ketiga.Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587.
Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai
negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning,
adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai
raja pertama bergelar Panembahan Senopati Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber
Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar
abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu
tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.

Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari
sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang
disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai
Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6
Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah
diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri,
akan dipotong tangannya.
PENUTUP
Kesimpulan
Kesultanan kerajaan Pajang adalah pelajut atau pewaris tahta
dari kerajaan Islam di Demak. Kesultanan Pajang yang di pimpin
oleh Jaka Tingkir dari pengging ini. Ia adalah seorang
raja pertama kali, semenjak ia memimpin kerajaan Pajang
kerajaan ini terkenal serta di akui kedaulatannya oleh kerajaan
lain yang dulunya berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak.
Sebelum kerajaan ini berdiri, Demak adalah kerajaan yang kuat dari
beberpa kerajaan yang ada di tanah nusantara. Namun pada masa
pemerintahan Prawoto ia di bunuh oleh orang bayaran Arya
Penangsang, sedangkan Arya Penangsang juga terbunuh oleh Jaka
Tingkir.
Setelah itu, Jaka Tingkir memerintahkan agar semua benda
pusaka Demak di pindahkan
ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di tanah
Jawa, ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di
Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik pesisir
(Demak) menuju ke pedalaman. Peralihan politik itu membawa akibat
yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa. Hal
ini berdampak kecemburuan putra mahkota yaitu
Pangeran Benawa.

Lalu ia memberontak pada kerajaan Pajang dan akhirnya di


menangkan Pangeran Benawa atas bantuanSenopati dari Mataram.
Pangeran Benawa menjabat pemerintahan
selama satu tahun dan kerajaan ini di jadikan sebagai negeri bawahan
Mataram.
SARAN
Dari keberadaanya Kerajaan Pajang di nusantara pada masa
yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya. Rasa syukur tersebut
dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang tulus
serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan
dan memelihara budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut
berpartisipasi dalam menjamin kelestariannya berarti kita ikut
mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Oleh karena itu marilah kita
bersama – sama menjaga dan memelihara peninggalan budaya bangsa
yang menjadi kebanggaan kita semua

Anda mungkin juga menyukai