Anda di halaman 1dari 7

Kesultanan Demak

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai
utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari
kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran
Majapahit.[1]

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada
umumnya. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi
perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke
Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan
Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara
(dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah.
Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada
masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini
kerajaan disebut Demak Prawata.

Kerajaan Demak mulanya merupakan sebuah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan dari
Kerajaan majapahit. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, Demak lalu mulai memisahkan diri dari
Ibu Kota di Bintoro. Kerajaan Demak merupakan kerajaan islam pertama yang ada di Pulau
Jawa.

Kerajaan Demak pertama kali didirikan oleh Raden Patah. Kerajaan demak memiliki lokasi yang
sangat strategis karena terletak antara pelabuhan bergota dari kerajaan Mataram Kuno dan
Jepara, kedua tempat inilah yang telah membuat Demak menjadi kerajaan dengan pengaruh
sangat besar di Nusantara.

Kerajaan Demak didirikan oleh raden Patah asal yang masih keturunan dari Majapahit dengan
seorang putri dari Campa.
Daerah kekuasaan dari Kerajaan Demak mencakup Banjar, Palembang dan Maluku serta bagian
utara pada pantai Pulau Jawa.

Kehidupan Politik

Masa Awal
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa
wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas
kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang
mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari
Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir.
Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-
po.[2] Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tom Pires dalam Suma Oriental-
nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan
meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari
tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang
bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana
sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.

Pelabuhan

Kerajaan Demak Bintoro memiliki dua pelabuhan, yaitu:

Pelabuhan niaga = di sekitar Bonang (Demak)


Pelabuhan militer = di sekitar Teluk Wetan (Jepara)

Masa Keemasan

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak
satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas
kekuasaannya dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Urutan Raja
Raja pertama dari Kerajaan Demak ialah Raden Patah yang bergelar Senapati Jumbung
Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.

Pada tahun 1507, Raden Patah turun tahta dan digantikan oleh seorang putranya yang bernama
Pati Unus. Sebelum diangkat menjadi Raja, Pati Unus sebelumnya sudah pernah memimpin
armada laut kerajaan Demak untuk menyerang Portugis yang berada di Selat Malaka.

Sayangnya, usaha Pati Unus tersebut masih mengalami kegagalan. Namun karena keberaniannya
dalam menyerang Portugis yang ada di Malaka tersebut, akhirnya Pati unus mendapat julukan
sebagai Pangeran Sabrang Lor.

Lalu pada tahun 1521, Pati Unus wafat dan tahtanya digantikan oleh adiknya yang bernama
Trenggana. Pada masa inilah kerajaan Demak mencapai pusak kejayaannya.

Setelah berkuasa, lalu Sultan Trenggana mulai melanjutkan upaya dalam menahan pengaruh dari
Portugis yang sedang berusaha untuk mengikat kerjasama bersama kerajaan Sunda atau
Pajajaran.

Kala itu, Raja Samiam yang berasal dari kerajaan Sunda sudah memberikan izin untuk
mendirikan kantor dagangnya di Sunda Kelapa. Oleh karena itu, Sultan Trenggana akhirnya
mengutus Fatahillah atau Faletehan untuk bisa mencegah supaya Portugis tidak dapat menguasai
wilayah Sunda Kelapa dan Banten.

Sunda Kelapa merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Portugis
membangun benteng yang ada di Sunda Kelapa. Namun, kerajaan Demak tak senang dengan
adanya keberadaan orang-orang Portugis tersebut.

Akhirnya, Fatahillah lalu berhasil dalam mengalahkan Portugis. Banten dan Cirebon akhirnya
dapat dikuasai oleh Fatahillah bersama pasukannya.

Karena jasanya ini, untuk mengenang kemenangan tersebut maka Sunda Kelapa lalu diganti
namanya menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527. Kejadian itu membuat Sultan Trenggana
menjadi Raja terbesar yang ada di Demak.

Pasukan Demak mulai terus bergerak menaklukan pedalaman dan berhasil dalam menundukkan
sebagian wilayah yang berada di Timur.

Daerah-daerah yang masih memiliki kerajaan Hindu dan Buddha yang berada di Jawa Timur lalu
satu persatu dikalahkan yakni Wirosari dan Tuban pada tahun 1528, Madiun pada tahun 1529,
Lamongan, Blitar, Pasuruan dan Wirosobo pada tahun 1541 sampai dengan 1542.

Mataram, Madura dan Pajang pun akhirnya jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Demak. Demi
dapat memperkuat kedudukannya maka Sultan Trenggana mengawinkan putrinya dengan
Pangeran Langgar yang menjabat Bupati Madura.
Selanjutnya, Putra Bupati Pengging yang bernama Tingkir juga diambil menjadi menantu Sultan
Trenggana dan ia diangkat menjadi Bupati di Pajang.

Pada tahun 1546, Sultan Trenggana menemui ajalnya di medan pertempuran ketika melancarkan
penyerangan di Pasuruan. Sejak Sultan Trenggana wafat, Kerajaan Demak dilanda persengketaan
dalam memperebutkan kekuasaan yang berada di kalangan keluarga kerajaan.

Pengganti Sultan Trenggana seharusnya ialah Pangeran Mukmin atau Pangeran Prawoto selaku
putra tertua dari Sultan Trenggana , namun kemudian Pangeran Prawoto dibunuh oleh Bupati
Jipang yaitu Arya Penangsang.

Kemudian, tahta kerajaan Demak akhirnya diduduki oleh Arya Penangsang. Namun keluarga
kerajaan ternyata tidak menyetujui atas naik tahtanya Arya Penangsang menjadi Raja. Lalu
akhirnya Arya penangsang berhasil dikalahkan oleh kerajaan Demak berkat bantuan dari Jaka
Tingkir. Sejak saat itu wilayah kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang

Di bawah Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah
menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak
merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia
mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.[3]

Di bawah Trenggana

Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak
mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta
menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529),
Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di
ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah
seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera),
yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan
Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari
keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan
Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit
sebelum pindah ke Kudus.[1]

Kemunduran

Suksesi Raja Demak 3 tidak berlangsung mulus, terjadi Persaingan panas antara P. Surowiyoto
(Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P. Surowiyoto oleh Sunan
Prawoto (anak Trenggono), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang dari
Masjid sehabis sholat Jum'at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar) dikenal dengan sebutan
Sekar Sedo Lepen yang artinya Sekar gugur di Sungai. Pada tahun 1546 Trenggono wafat dan
tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak Trenggono, sebagai Raja Demak ke 4,
akan tetapi pada tahun 1549 Sunan Prawoto dan isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya
Penangsang, putera Pangeran Surowiyoto (Sekar). P. Arya Penangsang kemudian menjadi
penguasa tahta Demak sebagai Raja Demak ke 5. Pengikut Arya Penangsang juga membunuh
Pangeran Hadiri, Adipati Jepara, hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak
memusuhi P. Arya Penangsang, salah satunya adalah Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo).

Pada tahun 1554 terjadilah Pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Joko Tingkir
(Hadiwijoyo) untuk merebut kekuasaan dari Arya Penangsang. Dalam Peristiwa ini Arya
Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya
Penangsang sebagai Raja Demak ke 5, maka berakhirlah era Kerajaan Demak. Joko Tingkir
(Hadiwijoyo) memindahkan Pusat Pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Demak


Kerajaan Demak telah menjadi salah satu pelabuhan terbesar yang ada di Nusantara, Demak
memegang peran yang sangat penting dalam aktivitas perekonomian antarpulau.

Demak memiliki peran yang penting karena memiliki daerah pertanian yang lumayan luas dan
menjadi penghasil bahan makanan seperti beras. Selain itu, perdagangannya juga semakin
meningkat. Barang yang banyak diekspor yaitu Lilin, Madu dan Beras.

Barang-barang tersebut lalu diekspor ke Malaka melalui Pelabuhan Jepara. Aktivitas


perdagangan Maritim tersebut telah menyebabkan kerajaan demak mendapat keuntungan sangat
besar. Banyak kapal yang melewati kawasan laut jawa dalam memasarkan barang dagangan
tersebut.

Kehidupan Sosial dan Budaya


Dalam kehidupan sosial dan budaya, rakyat kerajaan Demak sudah hidup dengan teratur. Roda
kehidupan budaya dan sosial masyarakat Kerajaan Demak sudah diatur dengan hukum Islam
sebab pada dasarnya Demak ialah tempat berkumpulnya para Wali Sanga yang menyebarkan
islam di pulau Jawa.

Adapun sisa peradaban dari kerajaan Demak yang berhubungan dengan Islam dan sampai saat
ini masih dapat kita lihat ialah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut merupakan lambang
kebesaran kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam Indonesia di masa lalu.

Selain memiliki banyak ukiran islam (kaligrafi), Masjid Agung Demak juga memiliki
keistimewan, yaitu salah satu tiangnya terbuat dari sisa sisa kayu bekas pembangunan masjid
yang disatukan.
Selain Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga adalah yang mempelopori dasar-dasar perayaan
Sekaten yang ada dimasa Kerajaan Demak. Perayaan tersebut diadakan oleh Sunan Kalijaga
dalam untuk menarik minat masyarakat agar tertarik untuk memeluk Islam.

Perayaan Sekaten tersebut lalu menjadi sebuah tradisi atau kebudayaan terus menerus dipelihara
sampai saat ini, terutama yang berada didaerah Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta.

Peninggalan Kerajaan Demak


Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1475. Bukti sejarah yang mengabarkan tentang keberadaan
kerajaan ini di masa lalu sudah cukup banyak didapatkan. Adapun beberapa bukti lain yang
berupa peninggalan bersejarah seperti bangunan atau benda-benda tertentu juga masih terpelihara
hingga sekarang. Beberapa bangunan atau benda peninggalan kerajaan Demak tersebut misalnya
Masjid Agung Demak, Soko Guru, Pintu Bledeg, Bedug dan Kentongan, situs Kolam Wudlu,
serta maksurah yang berupa pahatan atau ukiran indah.

1. Masjid Agung Demak

Peninggalan Kerajaan Demak yang paling dikenal tentu adalah Masjid Agung Demak.
Bangunan yang didirikan oleh Walisongo pada tahun 1479 ini masih berdiri kokoh
hingga saat ini meski sudah mengalami beberapa renovasi. Bangunan ini juga menjadi
salah satu bukti bahwa kerajaan Demak pada masa silam telah menjadi pusat pengajaran
dan penyebaran Islam di Jawa. Jika Anda tertarik untuk melihat keunikan arsitektur dan
nilai-nilai filosofisnya , datanglah ke masjid ini. Letaknya berada di Desa Kauman,
Demak - Jawa Tengah.

2. Pintu Bledek

Dalam bahasa Indonesia, Bledek berarti petir, oleh karena itu, pintu bledek bisa diartikan
sebagai pintu petir. Pintu ini dibuat oleh Ki Ageng Selo pada tahun 1466 dan menjadi
pintu utama dari Masjid Agung Demak. Berdasarkan cerita yang beredar, pintu ini
dinamai pintu bledek tak lain karena Ki Ageng Selo memang membuatnya dari petir yang
menyambar. Saat ini, pintu bledek sudah tak lagi digunakan sebagai pintu masjid. Pintu
bledek dimuseumkan karena sudah mulai lapuk dan tua. Ia menjadi koleksi peninggalan
Kerajaan Demak dan kini disimpan di dalam Masjid Agung Demak.

3. Soko Tatal dan Soko Guru

Soko Guru adalah tiang berdiameter mencapai 1 meter yang berfungsi sebagai penyangga
tegak kokohnya bangunan Masjid Demak. Ada 4 buah soko guru yang digunakan masjid
ini, dan berdasarkan cerita semua soko guru tersebut dibuat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.
Sang Sunan mendapat tugas untuk membuat semua tiang tersebut sendiri, hanya saja saat
ia baru membuat 3 buah tiang setelah masjid siap berdiri. Sunan Kalijaga dengan sangat
terpaksa kemudian menyambungkan semua tatal atau potongan-potongan kayu sisa
pembuatan 3 soko guru dengan kekuatan spiritualnya dan mengubahnya menjadi soko
tatal alias soko guru yang terbuat dari tatal.

4. Bedug dan Kentongan


Bedug dan kentongan yang terdapat di Masjid Agung Demak juga merupakan
peninggalan Kerajaan Demak yang bersejarah dan tak boleh dilupakan. Kedua alat ini
digunakan pada masa silam sebagai alat untuk memanggil masyarakat sekitar mesjid agar
segera datang melaksanakan sholat 5 waktu setelah adzan dikumandangkan. Kentongan
berbentuk menyerupai tapal kuda memiliki filosofi bahwa jika kentongan tersebut
dipukul, maka
warga sekitar harus segera datang untuk melaksanakan sholat 5 waktu secepat orang naik kuda.

5. Situs Kolam Wudlu


Situs kolam wudlu dibuat seiring berdirinya bangunan Masjid Demak. Situs ini
dahulunya digunakan sebagai tempat berwudlu para santri atau musyafir yang berkunjung
ke Masjid untuk melaksanakan sholat. Namun, saat ini situs tersebut sudah tidak
digunakan lagi untuk berwudlu dan hanya boleh dilihat sebagai benda peninggalan
sejarah.

6. Maksurah Maksurah
adalah dinding berukir kaligrafi tulisan Arab yang menghiasi bangunan Masjid Demak.
Maksurah tersebut dibuat sekitar tahun 1866 Masehi, tepatnya pada saat Aryo
Purbaningrat menjabat sebagai Adipati Demak. Adapun tulisan dalam kaligrafi tersebut
bermakna tentang ke-Esa-an Alloh. 7. Dampar Kencana Dampar kencana adalah
singgasana para Sultan yang kemudian dialih fungsikan sebagai mimbar khutbah di
Masjid Agung Demak. Peninggalan Kerajaan Demak yang satu ini hingga kini masih
terawat rapi di dalam tempat penyimpanannya di Masjid Demak. 8. Piring Campa Piring
Camapa adalah piring pemberian seorang putri dari Campa yang tak lain adalah ibu dari
Raden Patah. Piring ini jumlahnya ada 65 buah. Sebagian dipasang sebagai hiasan di
dinding masjid, sedangkan sebagian lain dipasang di tempat imam.

Anda mungkin juga menyukai