Anda di halaman 1dari 7

Kerajaan Mataram Islam

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Pada mulanya, Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan Adiwijaya kepada Ki
Gede Pemanahan. Sultan Adiwijaya menghadiahkannya karena Ki Gede Pemanahan telah
berhasil membantu Sultan Adiwijaya dalam membunuh Arya Penangsang di Jipang Panolan.
Ki Pamenahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh kepada sultan Pajang. Ia
mulai naik tahta di Istananya di Kotagede pada tahun 1577 M. Di tangan Ki Gede
Pemanahan, Mataram mulai menunjukkan kemajuan. Pada tahun 1584 Ki Gede Pemanahan
meninggal, maka usaha memajukan Mataram dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya.[2]

Sutawijaya atau dikenal dengan nama Panembahan Senapati. Sepeninggal ayahnya, ia


dilantik sebagai penguasa penting di Mataram menggantikan Ayahnya. Ia seorang yang
gagah berani, mahir dalam hal berperang. Sehingga sejak ia masih sebagai pemimpin pasukan
pengawal raja Pajang ia telah diberi galar oleh Sultan Adiwijaya, Senapati ing Alaga
(panglima perang).

Senapati memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa tertinggi
di Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Senapati mengambil dua
langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang dan kedua untuk memperluas
wilayah kerajaan Mataram keseluruh jawa. Konflik antara raja Pajang dengan Sutawijaya
menghasilkan kemenangan dipihak Sutawijaya. Setelahnya, keturunan Adiwijaya, yaitu
pangeran Benawa yang seharusnya menjadi ahli waris kesultanan pajang, menyerahkan tahta
kekuasaan kerajaan Pajang kepada Senapati. Sejak saat itu Senapati mengambil gelar
Panembahan tahun 1586. Sutawijaya berhasil membangun  Mataram pada tahun 1586.
Wilayah yang dikuasai Kesultanan  Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas.
Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Timur.[3] Di sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap
merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang,
Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram.[4]

Setelah Sutawijaya meninggal, posisinya sebagai Sultan digantikan oleh putranya yaitu
Raden Mas Jolang. Ia diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada tahun 1601-
1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari wilayah pesisir, yang
merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak mampu memperluas wilayah
Kesultanan Mataram. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia cenderung mengadakan
pembangunan dibanding ekspansi. Menjelang wafatnya, RM Jolang menunjuk Raden Mas
Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM Rangsang diberi gelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahaman. Ia memerintah dari tahun 1613-
1645. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mengalami kejayaan.[5]
Masa Kejayaan Mataram Islam

Raden Mas Rangsang diangkat menjadi raja baru yang memakai nama Sultan Agung
Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Jika para pendahulunya mengambil ibukotanya di
Kotagede, maka Sultan Agung mengambil ibukotanya di Karta. Sultan Agung dikenal dengan
politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya melainkan wilayah
Nusantara. Musuh-musuh Sultan Agung bukan saja kerajaan-kerajaan  yang ada di pesisir
dan kerajaan Hindu di Blambang, tetapi juga para penguasa asing yang berkoloni di
Nusantara. Misalnya, Portugis dan Belanda. Oleh karena itu, wajarlah jika semenjak
diangkatnya, ia selalu mengangkat senjata dalam rangka menerapkan taktik ekspansi.

Sebagai orang Islam, Sultan Agung selalu menaati ibadah dan menjadi contoh untuk
rakyatnya. Setiap hari Jum’at Sultan agung bersama rakyatnya melakukan shalat Jum’at.
Dalam tahun 1633 ia membuat tarikh (kalender baru) yaitu kalender Jawa-Islam. Guna
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin Islam, Sultan Agung mengirim utusan ke
Mekkah untuk kembali ke Mataram dengan membawa gelar Sultan untuknya dan ahli-ahli
agama untuk menjadi penasihat baginya di istana. Gelar dari Mekkah itu lengkapnya adalah
Sultan Abu Muhammad Maulana Matarami.

Akan tetapi setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, para penggantinya lemah-lemah,
kejam, dan mengadakan perjanjian dengan Belanda sehingga memberi peluang kepada
Belanda untuk berkoloni di Nusantara. Hal ini menimbulkan berbagai kerusakan disana-sini.
Pemberontakan dan perebutan kekuasaan itu muncul mengakhibatkan perpecahan di
kalangan bangsa Mataram yang menguntungkan Belanda.[6]

Bidang Perekonomian Kesultanan Mataram

Negara Mataram tetap merupakan negara agraris yang tetap mengutamakan pertanian. Selain
beras, Mataram juga menghasilkan gula kelapa dan gula aren. Hasil gula tersebut berasal dari
daerah Giring di Guningkidul. Gula kelapa dan gula aren itu diekspor ke luar melalui
Tembayat dan Wedi.[7]

Dasar-dasar kehidupan maritim tidak dimiliki oleh Mataram. Pada hakikatnya Sutawijaya
memeriksa apakah laut Hindia dapat digunakan sebagai pelabuhan kesultanan Mataram yang
sedang dalam taraf pembentukan. Bagaimanapun laut Jawa masih dikuasai oleh orang
Tionghoa dari kesultanan Demak pada zaman pemerintahan Dinasti Jin Bun. Selain itu,
Ternyata gelombangnya terlalu besar sehingga pembuatan pelabuhan di pantai selatan tidak
mungkin. Kesultanan Mataram yang sedang dalam taraf pembangunan tidak berhasil
memiliki pelabuhan dan tidak akan menjadi negara Maritim. Kesultanan Mataram hanya akan
menjadi negara pertanian karena pusat kerajaannya berada di pedalaman.[8]

Kehidupan Sosial, agama serta Peran Ulama dan Partisipasinya

            Pada masa pemerintahan Sultan Agung, para ulama yang ada di kesultanan Mataram
dapat dibagi dalam tiga bagian. Yaitu ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang
bekerja sebagai alat birokrsi, ulama pedesaan yang tidak menjadi alat birokrasi. Sebagai
penguasa Mataram, Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka mempunyai
moral dan ilmu pengetahuan tinggi. Jika ingin membuat kebijakan, Sultan Agung selalu
memeinta nasihat dan pertimbangan kepada para ulama.[9]

Ulama pada saat itu sedang konsentrasi menggarap soal Islamisasi terhadap budaya-budaya
yang masih melekat di hati masyarakat Mataram. Sunan Kalijaga misalnya, beliau  adalah
ulama yang selalu berusaha keras agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat yang
sudah kuat nilai kepercayaan terhadap ajaran dan doktrin budaya sebelum Islam. Berbagai
cara telah beliau tempuh termasuk melalui karya seni yang telah mentradisi di masyarakat.

Memang disadari pindahnya pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman
yang agraris serta telah dipengaruhi budaya pra Islam menimbulkan warna baru bagi Islam
yang kemudian disebut dengan Islam Sinkretisme. Demikianlah keadaan Islam semenjak
berpusat di Mataram campur tangan budaya setempat yang kemudian terkenal dengan Islam
Kejawen.[10]

Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa sejak awal
berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam. Raja berkedudukan sebagai
pemimipin dan pengatur agama. Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari
kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua. Sunan Kalijaga sebagai penghulu terkenal
masjid suci di Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram. Tidak hanya sebagai
pemimpin rohani, tetapi juga sebagai pembimbing di bidang politik. Hubungan-hubungan
erat antara Cirebon dan Mataram memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di
Mataram. Sifat mistik Islam dari keraton Cirebon merupakan unsur yang menyebabkan
mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Jawa di Mataram. Islam tersebut tentu adalah
Islam Sinkretis yang menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha.[11]

Namun peran ulama menjadi tergeser semenjak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I. Pada
saat itu terjadi de-islamisasi. Banyak ulama yang dibunuh sehingga kehidupan keagamaan
merosot, sementara dekadensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram akibat dari
campur tangan budaya asing.[12]

Peran di bidang kebudayaan Islam

Peranan kegiatan di bidang kebudayaan pada masa awal berdirinya Mataram, kurang
berkembang dikarenakan dua alasan. Pertama, para pendiri Mataram belum punya waktu
untuk memikirkan hal-hal yang spiritual. Perhatiannya lebih tercurah pada soal-soal
pembukaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi kemajuan ekonomi dan strategi
pertahanan. Pengolahan tanah dan penggarapan daerah-daerah tandus lebih banyak menyita
waktu. Kedua, penanaman kekuasaan politik ternyata hanya dapat dilakukan dengan kekuatan
senjata. Oleh sebab itu seluruh masa pemerintahan raja-raja pertama Mataram hanya
dihabiskan dalam peperangan. Demikianlah maka ki Gede Pemanahan Senapati dan Mas
Jolang belum sempat untuk mengembangkan kebudayaan yang sifatnya lebih rohaniah.
Baru pada masa pemerintahan raja yang ketiga, Sultan Agung gagasan untuk
mengembangkan kebudayaan dapat dimulai. Diambillah unsur-unsur peradaban dari daerah-
daerah pesisir Utara dan Jawa Timur yang dapat mempertinggi martabat keraton Mataram
dibidang kebudayaan sesuai dengan kedudukannya sebagai istana raja penguasa tertinggi
diseluruh tanah Jawa juga dalam hal penyebaran agama Islam, menyatukan diri dengan
unsur-unsur Hindu-Budha yang disebut dengan islam Sinkretis.[13]

Sistem Politik Kesultanan Mataram

Dalam sistem politik di kerajaan Mataram periode Senopati hingga Susuhunan Amangkurat I
mengalami turun-naik secara drastis. Periode Raden Mas Jolang kemudian dengan anaknya
Raden Mas Rangsang. Kemudian Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa
yang telah ditempuh pendahulunya.

Untuk sistem politik yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi tata
pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-maasing mereka
hampir tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan wilayah, kadang-
kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan Senopati, ia mampu
mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan Mataram berdiri
sendiri (yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Pajang). Ketika kendali pimpinan
beralaih ke tangan susuhunan amangkurat 1 martabat mataram menjadi merosot kembali,
wilayah kekuasaan mulai menciut karena hubungannya dengan kolonial Belanda.

Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan. Secara
tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putra laki-laki dari istri selir pun biasa dinobatkan
sebagai pengganti raja. Apabila dari keduanya tidak mendapatkan anak laki-laki,
maka.paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.

Mengenai sistem politik eksternalnya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan
yang mencolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi barat. Ada yang
menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang anti pati sama sekali. Pada masa
panembahan senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun
saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan
untuk konsolidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan disekitarnya. Sedangkan pada masa
Raden Mas Jolang, kehadiran belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaannya. Beda hal
dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang
antipatis pada kompeni. Berbagai usaha telah dikerahkan untuk mengusik keberadaan dan
membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara. Dua kali sesudah ekspansinya,
pasukan militer, ia kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC, masing-masing pada
tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh kegagalan.[14]

Raja-raja tersebut adalah:


1. Ki ageng pamanahan (1556)
2. Penembahan senepati (1564-1601)
3. Raden mas jolang (1601-1613)
4. Raden mas rangsang (1613-1645)
5. Amangkurat I (1645-1677).

Masa Kemunduran Mataram Islam

Setelah Sultan Agung wafat, Mataram kemudian diperintah oleh raja yang pro dengan
kompeni yaitu Susuhunan Amangkurat I. ia memerintah pada tahun 1645-1677. Sebagai
penguasa Mataram yang baru, Sultan Amangkurat I membuat kebijakan- kebijakan yang
kontrofersial yaitu pertama, tidak lagi menghargai para ulama bahkan berusaha untuk
menyingkirkannya. Pada masanya ribuan ulama Syahid dibunuh Sultan Amangkuran I.
kedua, menghapus lembaga-lembaga agama yang ada di Kesultanan, seperti menghapus
Mahkamah Syariah yang telah dibentuk oleh Ayahnya. Ketiga, membatasi perkembangan
islam dan melarang kehidupan Agama mencampuri masalah kesultanan. Keempat,
membangun kerjasama dengan penjajah Belanda yang menjadi musuh bebuyutan Ayahnya.

Cara Amangkurat I dalam memerintah yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan itu telah
mendatangkan kemarahan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, Raden Kajoran, seorang
ulama bangsawan yang hidup dalam pedesaan, melakukan perlawanan. Ia menyusun
kekuatan dari para santri dan rakyat pedesaan. Raden Kajoran mendapat dukungan dari
Raden Anom, anak Sultan Amangkurat I dan Trunojoyo bangsawan dari Madura. Kekuatan
semaki kuat ketika Karaeng Galesong bangsawan dari Gowa. Namun perkembangan
selanjutnya, Adipati Anom melakukan pengkhianatan. Ia keluar dari aliansi, karena ia sudah
di ampuni oleh ayahnya. Pada tahun 1677, aliansi Raden Kajoran berhasil mengepung pusat
pemerintahan Amangkurat I di Pleret. Sedangkan Amangkurat I dan anaknya berhasil
melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan kepada Belanda. Dalam perjalanan menuju
Batavia, Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal.

Sebelum  Amangkurat I wafat, ia sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan Mataram
yang baru. Setelah dilantik, Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat II ia segera
melanjutkan kerjasamanya dengan Belanda untuk merebut kembali tahta Mataram dalam
perjanjian di Jepara yang mana Belanda mengiginkan wilayah timur karawang dan upah
dalam bentuk uang. Setelah perjanjian Jepara ditandatangani, Amangkurat II dan Belanda
melakukan penyerangan ke Mataram dan berhasil memukul mundur aliansi Raden Kajoran.
Dengan demikian, Sultan amangkurat II berhasil merebut kembali tahta Mataram.

Walaupun Sultan Amangkurat II meduduki Mataram dan mengembalikan fungsi ulama,


tetapi persoalan Mataram belum selesai.[15] Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayah-
wilayah Begelen, Kedu, Jogjakarta, Surakarta. Tragisnya lagi, Mataram terpecah menjadi dua
kerajaan, sesuai dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kedua kerajaan tersebut adalah
Kerajaan Surakarta dengan rajanya Susuhunan (Pakubuwono III) dan Yogyakarta dengan
rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Selanjutnya pada tahun 1757,
Kerajaan Surakarta dipecah lagi menjadi dua yaitu, wilayah yang dirajai Pakubuwono III dan
wilayah yang dirajai oleh Mangkunegara I. Demikian juga pada tahun 1813 oleh Inggris,
Yogyakarta dipecah menjadi dua, yaitu wilayah Kesultanan yang dirajai oleh Sultan
Hamengku Buwono III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendara Pangeran
Natakusuma atau dikenal dengan Pangeran Pakualam I.[16]

PENINGGALAN KERAJAAN

1. Masjid Agung Gedhe Kauman


Masjid Agung Gedhe Kauman erat kaitannya dengan Kasultanan Yogyakarta. Masjid
ini berada di sebelah barat kawasan Alun-Alun Utara, tepatnya di Kampung Kauman,
Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
Pembangunan masjid dilakukan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I pada
1773. Baca juga: Di Malang, Ada Masjid yang Disebut Mirip Taj Mahal Masjid
Kauman memiliki satu gedung induk dengan satu ruang utama sebagai tempat shalat.
Selain itu, ada pula maksura yang digunakan sebagai pengamanan raja ketika hendak
shalat. Pada halaman masjid terdapat pagongan yang digunakan sebagai tempat
menyimpan gong. Gong ini dipergunakan saat acara Sekaten.

2. Masjid Kotagede
Pintu gerbang masuk kompleks Masjid Gede Mataram dan makam raja-raja
Mataram. Lihat Foto Pintu gerbang masuk kompleks Masjid Gede Mataram dan
makam raja-raja Mataram. (KOMPAS/SRI REJEKI) Masjid ini terletak di selatan
kawasan Pasar Kotagede, Yogyakarta. Jika dibandingkan Masjid Agung Kauman,
Masjid Kotagede berusia lebih tua. Masjid Kotagede dibangun oleh Sultan Agung
pada 1640.

3. Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning Masjid ini berada di Desa Minomartani,
Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bangunan Masjid Pathok
Negara Plosokuning memiliki luas bangunan sekitar 228 meter persegi dan berdiri
setelah Masjid Agung Yogyakarta pada 1724. Pendirinya adalah Kiai Mursodo yang
merupakan keponakan Sri Sultan HB I. Masjid Pathok Negara Ploso Kuning yang
dibangun sekitar tahun 1724 hingga 1792 di Kelurahan Minomartani, Kecamatan
Ngaglik, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, masih berdiri kokoh, Jumat (10/10).
4. Masjid Agung Surakarta Masjid Agung Surakarta merupakan peninggalan Kerajaan
Mataram. Masjid ini berada di barat Alun-Alun Utara Keraton Surakarta. Awalnya,
masjid ini dibangun oleh Paku Buwono III pada 1763, dengan pengaruh arsitektur
Jawa Kuno dan Belanda. Bangunan masjid ini dominan kayu dan bagian dinding
utama juga terbuat dari kayu dengan ditempeli berbagai prasasti bertulisan Jawa kuno.
Baca juga: Masjid-masjid di Jabotabek-Jabar Mulai Pakai Kencleng Digital Pada
masa Paku Buwono IV, pembangunan mahkota masjid mulai dibangun. Di Masjid
Agung Surakarta terdapat kolam-kolam air yang digunakan untuk sarana wudhu dan
jam matahari peninggalan Pakubuwono IV. Jam matahari tersebut dibangun sekitar
tahun 1700-an. Pada waktu itu, jam matahari digunakan untuk menentukan waktu
shalat.

5. Masjid Al Fatih Kepatihan Solo Masjid ini berada di daerah Kepatihan, Jebres, Solo,
dan merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Mataram terutama Kasunanan
Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai