Anda di halaman 1dari 19

HADITS DI TINJAU DARI SISI KUALITAS ISI/MATAN HADITS

Hani Haeni
NPM 12520.0033
STAI Sabili, Jln. Gagak no. 15, Sadang Serang, Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Hannyhonney271985@gmail.com

ABSTRACT
The discussion about the distribution of hadiths in terms of quality is inseparable from the
discussion regarding the distribution of hadiths in terms of quantity, which is divided into
mutawatir and ahad hadiths. Mutawatir hadith gives understanding to yaqin bi-al-alqath'i, that
the prophet Muhammad SAW actually said, did, or stated his iqrar in front of his companions,
based on many sources and it was impossible for them to agree together to lie to Rasulullah
SAW. In contrast to the hadith ahad which gives benefits dzanny (a strong prejudice about the
truth), requires us to carry out an investigation, both of the sanad and the material, so that the
status of the hadith on Sunday becomes clear.

In general, scholars of hadith classify the hadiths in terms of their quality into two groups,
namely the accepted hadiths and the mardud hadiths. Acceptable hadiths are classified into
authentic and hasan hadiths. Meanwhile, mardud hadiths are classified as daif hadiths with
variants names and terms given by hadith scholars.

Keywords: Distribution of Hadith, Quality


ABSTRAK (Bahasa Indonesia)
Pembicaraan tentang pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari
pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segikuantitasnya, yakni dibagi menjadi
hadits mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir memberikan pengertian kepada yaqin bi-al-
alqath’i, bahwa nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan
iqrarnya di hadapan parasahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka bersama-sama sepakat berbuat dusta kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan hadits
ahad yang memberikan faedah dzanny ( prasangka yang kuat akan
kebenarannya),mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap
sanadmaupun matannya, sehingga status hadis ahad tersebut menjadi jelas .

Secara umum ulama’ hadits menggolongkan hadits ditinjau dari segikualitasnya menjadi dua
kelompok, yaitu hadits yang maqbul dan hadits yang mardud. Hadits yang maqbul
digolongkan menjadi hadits shahih dan hasan.Sedangkan hadits yang mardud digolongkan
menjadi hadits dhaif dengan varian nama serta istilah yang diberikan ulama’ hadits.

Selain hadits diatas, dari penelitian yang dilakukan para ulama hadis,ternyata ada hadis-hadis
yang tidak layak untuk dijadikan sumber ajaran karena keberadaannya tidak memenuhi
kriteria yang ditetapkan, hadis itulah yang disebat maudhu (palsu). Hadis-hadis semacam itu
dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya: Menimbulkan dan mempertajam
perpecahan dikalangan ummat Islam, mencemarkan pribadi Nabi saw, mengaburkan
pemahaman terhadap Islam serta melemahkan jiwa dan semangat keislaman.
Kata Kunci: Pembagian Hadits, Kualitas

PENDAHULUAN
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah
para perawi menjadi mutawatir dan ahad. Jika jumlah para perawi para setiap tingkat
sanad mencapai jumlah maksimal yang tidak mungkin adanya consensus berdusta
maka dinamakan hadits mutawatir. Dan jika tidak mencapai jumlah maksimal disebut
hadits ahad. Hadits ahad pun terbagi-bagi menjadi beberapa bagian jika dilihat jumlah
perawinya. Jika jumlah para perawi dalam satu tingkatan (thabaqat) mencapai tiga
orang ke atas, tetapi tidak mencapai mutawatir, disebut hadits masyhur jika hanya dua
orang perawinya pada sebagian tingkatan sanad disebut hadits ‘aziz, dan jika hanya
seorang perawi saja disebut gharib. Hadits mutawatir jelas kualitasnya, yaitu hadits
yang paling shahih sama dengan ilmu dharuri (ilmu yang mudah dipahami semua orang,
tidak perlu pemikiran terlebih dahulu) yang wajib diterima. Sekalipun disini ditinjau
kuantitas, tetapi akan menjadi kualitas Ketika dilihat kuantitas para perawi yang banyak
itu bermakna kualitas, yaitu tidak mungkin terjadi kesepakatan berbohong di antara
mereka. Sedangkan hadis ahad dengan berbagai macamnya akan dilihat dari segi
kualitas para perawi dalam sanad dan matan-Nya. Pada bab ini hadis ahad akan dilihat
dari segi kualitas dan macam-macamnya. hadis di lihat dari segi kualitasnya terbagi
menjadi dua macam, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud, hadis maqbul terbagi
menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad, yang shahih dan hasan, baik lidzatihi maupun
lighayrihi sedangkan hadis mardud ada satu, yaitu hadis dha’if.
Hadits sebagai sumber hukum Islam setelah Al Qur’an telah disepakati oleh ulama
tokohtokoh ummat Islam. Setiap gerak dan aktivitas ummat, harus dilakukan
berdasarkan petunjuk yang ada dalam al Qu’an dan dan hadits. Begitu pula jika ada
permasalahan yang yang muncul di tengah tengah masyarakat, tentu haruslah
diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Cara penyelesaian dan jalan keluar yang
terbaik adalah dengan berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadits. Namun sangat
disayangkan keberadaan hadis yang benar-benar berasal dari Rasulullah saw, dinodai
oleh munculnya hadis-hadis maudhu (palsu) yang sengaja dibuat-buat oleh orangorang
tertentu dengan tujuan dan motif yang beragam, dan disebarkan ditengah-tengah
masyarakat oleh sebagian orang dengan tujuan yang beragam pula. Meyakini dan
mengamalkan hadis maudhu merupakan kekeliruan yang besar, karena meskipun ada
hadis maudlu yang isinya baik, tetapi kebanyakan hadis palsu itu bertentangan dengan
jiwa dan semangat Islam, lagi pula pembuatan hadis maudlu merupakan perbuatan
dusta kepada Nabi Muhammad saw.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode library research. Metode library research adalah
metode penelitian yang obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku
sebagai sumber datanya. Penelitian ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan
menganalisis berbagai literatur yang ada, berupa Al-Qur’an, Hadits, kitab, buku, jurnal
dan artikel yang relevan dengan tema penelitian.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hadits Maqbul
Dalam bahasa, kata maqbul (‫ )مقبول‬artinya diterima,1 Ma’khuz (yang diambil) dan
Mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima).2Adapun menurut istilah, hadits maqbul
adalah hadits yang unggul pembenaran pemberitaannya. 3 Disebutkan juga hadits
maqbul adalah hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan.4
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa hadits maqbul adalah hadits yang
mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan
pembenarannya.5
Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan
dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi
dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak berillat.6
B. Hadis Mardud
Mardud dalam bahasa lawan dari maqbul, yaitu = ditolak atau tidak diterima.
Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria persyaratan yang
di tetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti setiap perawi harus
bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut
matan tidak bertentangan dengan Alquran dan lain-lain7.
Dalam istilah hadits mardud adalah hadits yang tidak unggul pembenaran
beritanya8 Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits
maqbul.9
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan hujah
dan tidak wajib diamalkan10.
Kembali kepada pembagian hadits maqbul sebagaimana diatas, hadis maqbul
terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad yang shahih dan
hasan sedangkan hadis mardud adalah hadis dhaif.11
1. Hadits Shahih
a. Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih dalam bahasa diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim
artinya orang yang sakit.12 Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang
sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil, lagi cermat dari orang yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan
hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat

1
Abdul Mujid Khon., Ulumul Hadits (Jakarta:Amzah,2013), hlm.166
2
Munzier Suparta., Ilmu Hadits (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.124
3
Khon, op.cit., hlm. 166
4
Suparta, op. cit, hlm.124
5
Khon, op. Cit, hlm.167
6
Suparta, op. cit, hlm.124
7
Khon, op.cit. hlm. 167
8
Ibid. hlm.167
9
Suparta,op.cit, hlm.125
10
Khon, op. cit, hlm. 167
11
Ibid
12
Ibid

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
penerimaannya.13 Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadits sahih
sebagai berikut :
“Hadits sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwanyatan
oleh orang yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir
sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat.14
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi : “Hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz
dan tidak ber’illat.”
b. Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadits menerima
riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya; keadaaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Artinya, seluruh rangkaian para
perawi hadits, sejak perawi terakhir sampai kepada para perawi pertama
(para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi SAW, bersambung
dalam periwayatan. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan
ada dua macam lambang yang digunakan oleh periwayat:
a) Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung
dengan syaikh yang meyampaikan periwayatan.
b) Pertemuan secara hokum (hukmi); seseorang meriwayatkan hadits dari
seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin
mendengar atau mungkin melihat
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama
hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
c) Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata
lainnya
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila :
a) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqot (adil dan dhabit).
b) Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnyadalam
sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara
sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
2) Rawinya bersifat adil
Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu
pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, orang yang adil
adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama, baik akhlaknya,
tidak fasik, dan tidak melakukan cacat maru’ah.
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil,
adalah:15
13
Solahudin, & Suyadi, A. (2008). Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. Hlm 150
14
Suparta, op. cit, hlm. 129
15
Solahudin, & Suyadi, A. (2008). Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. Hlm 153

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
a) Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah orangyang
beragama Islam ketika menyampaikan riwayatnya.
b) Bersetatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh.
c) Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan larangannya.
d) Memelihara muru’ah yaitu memiliki rasa malu.
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat diketahui
melalui :

a) Popularitas perawi dikalangan ulama ahli hadits; perawi yang terkenal


keutamaan pribadinya;
b) Penilaian dari para kritikus perawi hadits tentang kelebihan dan
kekurangan yang ada pada diri perawi;
c) Penerapan kaidah al-jarh wa al- ta’dil, bila tidak ada kesepakatan di antara
para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
3) Rawinya bersifat dhabit
Secara bahasa, dhabith berarti, yang kokoh, yang kuat,yang tepat, yang
hafal dengan sempurna. Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi
tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadits yang
diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, dhabith dimaknai sebagai
orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalannya itu kapan saja bila menghendaki.
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar samasekali dari
kekeliruan atau kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan berbuat salah dan
keliru sangatlah wajar. Namun, kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali. Oleh
karenanya, yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat
ingatannya. Rawi yang‘adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqot.
4) Tidak terjadi kejanggalan (Syadz)
Maksud Syadz atau syudzuz (jamak dari Syadz) adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian
ini, yang dipegang oleh Al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan para ulama
lainnya.
Dapat dipahami hadis yang tidak syadz adalah ( ghair syadz ), adalah hadis
yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqqah
5) Tidak Terjadi Illat (Ghair Mu’allal )
Secara etimologis, term‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal ) berarti cacat,
kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut
hadits ber ’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang
merusakkan kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada
lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Dengan demikian,
maka yang dimaksud hadisyang tidak ber ’illat , adalah hadis-hadis yang
didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.16
c. Macam-macam Hadits Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih ini dibagi menjadi dua macam:
16
Aslamiah, R. (2016). Hadits Maudhu dan Akibatnya. Alhiwar Jurnal Ilmu Dan Teknik Dakwah, 35

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
1) Shahih Li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu hadits yang memenuhi
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-
syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas. Contoh“Andaikan tidak
memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap
kali hendak melaksanakan salat .”(HR. Bukhori). Hadis ini diriwayatkan
melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
2) Shahih Li Ghairihi (shahih karena yang lain), yaitu hadits yang tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits
maqbul (a’la sifat al qubul ). 17 Dalam pengertian lain hadits shahih li ghairihi,
yaitu hadits hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang
sama atau lebih kuat daripadanya.
Jadi hadis shahih li ghairihi, semestinya sedikit tidak memenuhi
persyaratan hadis shahih, ia baru sampai tingkat hadis hasan, karena diantara
perawi ada yang kurang sidikit hafalannya dibandingkan dengan hadis shahih,
tetapi karena diperkuat dengan jalan/sanad lain, maka naik menjadi shahih li
ghairihi. Kualitas sanad lain terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi
yaitu shahih. Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui jalan
Muhammad Bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda :“ Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan
kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan salat.”(HR.
Bukhori).
Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa Muhammad Bin Amradalah terkenal
sebagai orang yang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna,
sehingga hadits riwayatnya hanya sampai ketingkat hasan. Akan tetapi, hadits
ini mempunyai jalan lain yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim
melalui jalanbu Az-Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah. Maka hadis diatas
kualitasnya dapat naik menjadi shahih li ghairihi.
Jadi perbedaan antara kedua bagian hadits ini terletak pada segi
kedhabitan perawinya. Pada shahih li dzatihi ingatan perawinya sempurna,
sedangkan pada hadits shahih li ghairihi kurang sempurna (qalin al dhabth)
d. Kehujjahan Hadits Shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat
menjadikan hadits sahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.
Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal
dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.18
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’I yaitu al-Qur’an dan
hadis mutawatir. Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Sedang
sebagian ulama lainnya dan ibnHazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih
memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian sahih dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.19
Berdasarkan martabat tersebut, Muhadditsin (para ahli hadis) membagi
tingkatan sanad menjadi, beberapa tingkatan yaitu:
17
Ibid
18
Solahudin, & Suyadi, A. (2008). Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
19
Mustafa, Z. (1981). Kunci memahami Musthalah Hadits. Surabaya: Bina Ilmu Surya.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
1) Ashah al-asanid , yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Abu
‘Abdillah Al-Hakim mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah al-asanid” ada
yang mengkhususkan sahabat tertentu dan ada yang mengkhususkan daerah
tertentu.
2) Ashanul al-asanid , yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat
pertama seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Tsabit
dan Anas.
3) Adh’afal al-asanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah
tingkatan kedua, seperti hadits Riwayat Suhail bin Abi Shahih dari bapaknya
dari Abu Hurairah.20
e. Tingkatan Sanad
Para ahli hadits menguraikan tingkatan-tingkatan hadits sahih, pada
umumnya, secara berurutan sebagai berikut:
1) Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri (tanpa Muslim)
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri (tanpa Bukhari)
4) Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Bukhari dan Muslim, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij oleh keduanya.
5) Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Bukhari, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
6) Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Muslim, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
7) Hadits-hadits yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh Bukhari dan Muslim.21
f. Kitab-kitab Hadis Shahih
1) Shahih Al-Bukhari(w. 250 H), pertama kali penghimpunan khusus hadits
shahih. Di dalamnya terdapat 7.275 hadits termasuk yang terulang-ulang atau
4.000 hadis tanpa terulang-ulang.
2) Shahih Muslim (w. 261 H), di dalamnya terdapat 12.000 hadits termasuk yang
terulang-ulang atau sekitar 4.000 hadits tanpa terulang-ulang. Secara umum
hadits Al-Bukhari lebih shahih daripada shahih Muslim, karena
persyaratannya shahih Al-Bukhari lebih ketat muttasil dan tsiqah-nya sanad,di
samping terdapat kajian fiqh yang tidak terdapat dalam shahih Muslim.
3) Shahih Ibnu Kuzaymah (w. 311 H)
4) Shahih Ibnu Hibban (w. 345 H)
5) Mustadrak Al-Hakim (w. 405 H)
6) Shahih Ibnu As-Sakan
7) Shahih Al-Albani22
2. Hadits Hasan
a. Pengertian Hadis Hasan
Hasan, menurut lughat adalah musybahah dari Al-Husna, artinya bagus. Dan
20
Ibid
21
Khon, A. M. (2013). Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.hlm.154
22
Kholis, M. M. (2016). Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif dalam Fadhail A’mal. Al-Tsiqoh: Islamic Economy
and Da’wa Journal, 39.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
bermakna Al-Jamal artinya keindahan. Menurut istilah, para ulama memberikan
definisi hadits hasan secara beragam. Adapun pengertian lain dari para ulama-
ulama tentang hadits hasan ini, antara lain:
1) At-Turmudzi mendefinisikan hadits hasan sebagai “Tiap-tiap hadits yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, (pada matannya) tidak
ada kejanggalan (syadz) dan hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan
lain.
2) Ath-Thibi mengemukakan definisi hadits hasan sebagai “Hadis
musnad(muttashil dan marfu’) yang sanad -sanadnya mendekati derajat
tsiqah atau hadits mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan tetapi pada keduanya
ada perawi lain. Hadits itu terhindar dari syadz dan illat.”
3) Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang
di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, khabar ahad yang
di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung
sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila
kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.
4) Dalam definisi yang lain Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan
sebagai“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil kurang kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz”.
Dengan Demikian, hadits hasan pada dasarnya adalah hadis musnad
(sanadnya bersambung kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
(misalnya tidak tertuduh berdusta), tidak mengandung syadz ataupun illat, tetapi
di antara periwayatannya dalam sanad ada yang kurang dhabith.
Dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama dengan hadits sahih, hanya
saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits sahih, ingatan
atau daya hafalannya sempurna, sedangkan hadits hasan kurang sempurna.
b. Syarat-syarat Hadits Hasan
1) Sanadnya bersambung
2) Perawinya adil
3) Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitannya di bawah kedhabitan para
hadis shahih
4) Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
5) Tidak ber’illat23

c. Macam-macam Hadis Hasan


1) Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis yang sanadnya
bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna,
dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz ) dan cacat (
‘illat ) yang merusak.24
2) Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if jika banyak

23
Ibid
24
Kholis, M. M. (2016). Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif dalam Fadhail A’mal. Al-Tsiqoh: Islamic Economy
and Da’wa Journal, 39.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
periwayatannya, sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya
dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat
fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak
yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang
tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan
hadits tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu)
maupun mirip (nahwahu).
Jadi, hadits dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadits hasan ini,
hanyalah hadits-hadits yang tidak terlalu lemah. Sementara hadits-hadits yang
sangat lemah kedudukannya tetap sebagai hadits dhaif, tidak bisa berubah
menjadi hadits hasan.25
Contoh riwayat Ibnu Majah dari Al-Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah
dari Sa’ad bin Al-Musyyab dari Aisyah, Nabi bersabda:” Allah melaknat
kalajengking, janganlah engkau membiarkannya, baik keadaan shalat atau
yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram.
Hadis di atas dhaif karena Al-Hakam bin Abdul Malik seorang dhaif, tetapi
dalam sanad dan riwayat Ibnu Khuzaymah terdapat sanad lain yang berbeda
perawi di kalangan tabi’in (mutabi’) melalui syuhbah Qatadah, maka ia naik
derajatnya menjadi hasan lighairihi.
d. Kehujahan Hadits Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan seperti halnya
hadits sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang
memasukan hadits hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke
dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meski tanpa
memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak
yang beramal dengan hadits hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang
penerimaan mereka terhadap hadits ini. Makanya Al-Khattabi kemudian
menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang diterima
sebagai hujjah) adalah hadits hasan li-dzatihi. Sedangkan terhadap hadits hasan li-
ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh
banyaknya riwayat (riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak
demikian maka tidak sah berhujjah dengannya.
e. Tingkatan Hadis Hasan
Menurut Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip oleh ‘Ajjaj Al-Khatib ,tingkatan yang
paling tinggi adalah periwayatan dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari
kakeknya, dari Amr ibn Syu’dari bapaknya, dari kakeknya, dan Ibnu Ishaq dari Al-
Taymiy.26
f. Kitab-kitab Yang Mengandung Hadits Hasan
1) Jami’ Al -Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber
untuk mengetahui hadits hasan.
2) Sunan Abu Daud
3) Sunan Ad-Daruquthi
3. Hadits Dhaif
25
Ibid
26
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Musthalah Al-Hadits. Bandung: Al-Maarif.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
a. Pengertian Hadits Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa berasal dari kata dhuf’un yang berarti lemah,
lawan dari kata Al-qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna Bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak
kuat.27
Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘ajiz atau lemah sebagai lawan dari kata
Qawiy atau yang kuat. Adapun lawan dari kata shahih adalah kata dha’if yang
berarti saqim atau yang sakit. Sebutan hadits dha’if secara bahasa berarti hadits
yang lemah atau hadits yang kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat.
Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif sebagai:
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-
syarat hadits hasan”
Muhammad Ajjaj al-khatib mendefinisikan hadits dha’if sebagai berikut :
“Segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul ”
Kemudian Nur al-Din mendefnisikan hadits dha’if sebagai berikut:
” Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadist maqbul ”
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dha’if adalah
hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
shahih atau hadits hasan. Kemudian dha‘if -an atau kelemahan suatu hadits bisa
terjadi pada sanad maupun matan. Kelemahan ada sanad bisa terjadi pada
persambungan sanadnya atau ittishal al- sanad -nya dan bisa terjadi pada kualitas
te- tsiqah-annya. Sedangkan kelemahan pada matannya bisa terjadi pada
sandaran matan itu sendiri dan bisa pada kejanggalannya atau ke-syazannya.
b. Hukum Periwayatan Hadits Dhaif
Para ulama membolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa
menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu sebagai berikut :
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram,
tetapi berkaitan masalah mau’itzah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.28
c. Pengamalan Hadis Dhaif
Hukum mengamalkan Hadits Dha’if yang di kemukakan oleh beberapa Ulama
Hadits yaitu:
1) Hadits Dha’if tidak bisa diamalkan, baik yang berkaitan dengan Fadha’il al -
Amal maupun yang berkaitan dengan hukum. Pendapat ini dinisbahkan
kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi, Al-Bukhari,Muslim dan Ibnu Hazam.
2) Hadits Dha’if dapat diamalkan secara mutlak yakni baik berkenaan dengan
Fadha’il al-Amal maupun yang berkaitan dengan hukum . Sebagaimana
pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal dan Abu Daud.
3) Hadits Dha’if dapat diamalkan fadhail al-Amal, mauidzah, targhib ( janji-janji
yang menggemarakan), dan tarhib (ancaman yangmenakutkan) jika
memenuhi persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-
Asqalani, yaitu:
27
Ibdi hlm.123
28
Ibid, hlm 126

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
a) Tidak terlalu dhaif
b) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih)
c) Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.
d. Tingkatan Dhaif
Menurut Ibnu Hajar, urutan hadis dhaif yang terburuk adalah mawdu’, matruk,
munkar, mu’allal, mudraj, maqlub,kemudian mudhtharib.
e. Kitab-kitab Hadis Dhaif
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranyaadalah
sebagai berikut:
1) Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban, kitab ini memaparkan hadits yang menjadi
dhoif karena perawinya yang dhoif.
2) Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Dzahabi, karya ini juga memaparkan hadits
yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif
3) Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
4) Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni, juga secara khusus memaparkan hadits
yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
f. Sebab-sebab Hadis Dhaif Tertolak
Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
1) Sanad Hadis
Dari sisi sanad Hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
a) Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun
kedhabitannya, ada 10 macam:
- Dusta
- Tertuduh dusta
- Fasiq
- Banyak salah
- Lengah dalam menghafal
- Banyak wahamnya
- Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
- Tdak diketahui identitasnya
- Penganut bid’ah
- Tidak baik hafalannya
b) tidak bersambung
- Gugur pada sanad pertama
- Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
- Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
- Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut
2) Matan Hadits
a) Hadits Mauquf
b) Hadis Maqthu
g. Macam-macam Hadis Dhaifa.
1) Hadits Dhaif karena Sanadnya Terputus
a) Hadits Mursal

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
Dari segi bahasa, mursal artinya terlepas atau bebas tanpa ada ikatan. 29
Ini kemudian digunakan untuk hadis tertentu yang periwayatnya
melepaskan hadis terlebih dahulu mengkaitkannya kepada sahabat yang
menerima hadis itu dari Nabi.
Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang akhir sanadnya terdapat
orang yang gugur sesudah tabi’in, baik tabiin besar maupun kecil. 30
Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadits mursal dengan hadits yang
disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat
Nabi.
Jadi, dapat disimpulkan dari pendapat diatas mengenai pengertian
hadis mursal, yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh
tabi’in, tanpa disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi
dikarenakan gugurnya sanad setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur
disini ialah tidak disebutkannya namasanad terakhir.
Ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifat
pengguguran hadis, hadis mursal terbagi menjadi :
- Mursal Jaly yaitu bila pengguguran yang dilakukan oleh rawi (tabi’in,
adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang
menggugurkan tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan
yang mempunyai berita.
- Mursal Shahaby, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan
sendiri apa yang ia beritakan.
- Mursal Khafy, yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in, dimana
tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahaby, tetapi ia
tidak pernah mendengar sebuah hadis pun dari padanya.
Shubhi al-Shahih dengan mengutip pendapat al-Qasimi dalam
Qawa’id al -Tahdits dan al-Sakhawi dalam Fath al-Mughits, membuat
tingkatan hadis-hadis mursal dari yang tertinggi sampai terendah, sebagai
berikut:
- Hadis mursal dari sahabat yang bisa mendengar langsung.
- Hadis mursal dari sahabat yang hanya dapat melihat tetapi tidak bisa
mendengarnya sendiri.
- Hadis mursal dari sahabat yang hidup pada dua masa (masa jahiliyah
dan islam).
- Hadis mursal dari orang pandai seperti Sa’id bin al-Musayyib.
- Hadis mursal dari seorang yang tinggal bersama gurunya seperti al-
Sya’bi dan Mujahid.
- Hadis mursal periwayat yang mengutip dari setiap periwayatseperti al-
Hasan
- Hadis mursal dari angkatan muda tabi’in seperti Qatadah al-Zuhri, dan
Humayd al-Thawil yang mengutip hadis dari tabi’in.

29
Idri. (2010). Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
30
Ibid. hlm. 79

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis mursa.
Menurut Muhammad ‘Ajjal al-Khatib. Pertama, membolehkan berhujjah
dengan hadis mursal secara mulak. Ulamayang termasuk kelompok
pertama adalah Abu Hanifah, ImamMalik, Imam Ahmad, dan pendapat
sebagian ahli ilmu. Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan
oleh Imam Nawawi pendapat inididukung oleh jumhur ulama ahli hadis,
Imam Syafi’I, kebanyakan ulama ahl fiqih, dan ahli ushul. dan ketiga,
membolehkan menggunakan hadis mursal apabila ada riwayat lain yang
musnad, diamalkan oleh sebagian ulama. Apabila terdapat riwayat lain
yang musnad, maka hadis tersebut bisa dijadikan hujjah.
b) Hadis Munqathi
Kata munqathi’ merupakan isim fa’il dari inqatha’a lawan dari ittishal
yang artinya hadits yang terputus. Dalam istilah hadits Mungqathi adalah
hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau
gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.31
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadits munqati’ jelas
termasuk kategori hadits dha’if. Oleh karenanya tidak dapat dijadikan
hujjah. Sebab dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan
hilangnya salah satu syarat-syarat dari hadits shahih.
c) Hadis Mu’dhla
lKata mu’dhal merupakan isim maf’ul dari fi’il a’dhala yang artinya
memayahkan atau memberatkan atau tempat melemahkan. Secara istilah
hadits mu’dhal adalah hadis yang gugur dua sanadnya dua atau lebih,
secara berturut-turut
Hadis mu’dhal berbeda dengan hadis munqati’. Ada hadits mu’dhal,
gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedang pada
hadis munqati’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah (tidak
berturut-turut).
Sebagai contoh Imam Malik berkata dalam kitab Al-Muwaththa’: “Telah
menyampaikan kepadaku Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda: “Bagi budak itu ada hakmakanan dan pakaian”. Hadits seperti ini
disebut Mu’dhal karena tidak mungkin Imam Malik menerima hadits dari
Abu Hurairah.32
d) Hadits Muallaq
Secara etimologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata “allaqa ”
yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga itu
menjadi tergantung”. Secara terminologis hadis Muallaq yaitu hadis-hadis
yang gugur rawinya seorang ataulebih di awal sanad secara berturut-
turut.33
Contoh Bukhari meriwayatkan hadits dari Bahz Ibn Hakim dari
Bapaknya dan dari Kakeknya, bahwasanya Nabi bersabda: “ Allah itu lebih
berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu dari pada manusia”.

31
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Musthalah Al-Hadits. Bandung: Al-Maarif.
32
Ibid hlm.112
33
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Musthalah Al-Hadits. Bandung: Al-Maarif.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
Hadits di atas dalam sanad Abu Daud adalah ia menerima dari Abdullah
Ibn Maslamah, dari Ubay, dari Bahz Ibn Hakim dan seterusnya. itu berarti
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya men-taliqkan kira-kira dua orang
perawi.
Hukum hadits mu’allaq pada prinsipnya dikelompokkan kepada hadits
dha’if (mardud) disebabkan karena sanad yang digugurkan itu tidak
diketahui sifat-sifat dan keadaan-keadaannya secara menyakini baik
mengenai ke’adilannya maupun kedhabitannya, kecuali yang digugurkan
itu adalah seorang sahabat yang sudah terkenal ke’adilannya. Hadits
mu’allaq bisa dianggap shahih bila sanad yang digugurkan ini disebutkan
oleh hadits lain yang shahih
e) Hadis Mudallas
Kata Mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti
gelap. Hadits ini dinamakan demikian dikarnakan mengandung kesamaran
dan ketutupan. Secara istilah hadits mudallas adalah:
“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakanbahwa hadits
itu tidak ternoda”
Hadits mudallas terbagi menjadi tiga yaitu; Pertama, mudallas isnad
yaitu hadits yang disampaikan oleh seorang rawi dari orang yang sezaman
dengannya dan ia bertemu dengan orang tersebut, tetapi ia tidak
mendengar hadits yang diriwayatkan itu darinya atau orang yang semasa
dengannyatetapi ia seolah-olah mendengar darinya.
Kedua, mudallas syuyukh yaitu hadits yang diriwayatkan seorang
rawi dari gurunya dengan menyebut nama kuniyahnya, mana
keturunannya atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak atau
belum dikenal orang banyak.
Ketiga, mudallas taswiyah yaitu bila seorang rawimeriwayatkan
dari perawinya yang tsiqah yang oleh guru tersebut diterima oleh guru
yang lemah dan guru yang lemah ini menerima dari guru yang tsiqah tapi
si mudalis meriwayatkan tanpa menyebut nama rawi yang lemah bahkan
ia meriwayatkan dengan lafaz yang mengandung pengertian bahwa semua
perawinya tsiqah
Mengenai kehujjahan hadis Mudallas ini, secara umum para ulama
menyatakan tidak dapat dijadikan hujjah. Namun diantara para ulama ada
yang menyatakan bahwa hadis jenis iniTadlis Al- Isnad dapat dijadikan
hujjah.34
a. Dhaif Sebab Cacat Keadilan
1) Hadis Matruk
Hadis Matruk adalah yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh
dusta (terhadap hadis yang diriwayatkannya), atau tampak kefasikannya
baik pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang banyak lupa atau
banyak ragu.
Penyebab tertuduhnya seorang rawi bahwa dia berdusta adalah:
a) Hadits tersebut hanya diriwayatkan dari jalannya saja dan hadits

34
Abdul Mujid Khon., Ulumul Hadits (Jakarta:Amzah,2013), hlm.168

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
tersebut menyelisihi kaidah-kaidah yang yang sudahdimaklumi, yaitu
kaidah-kaidah umum yang telah disimpulkanoleh para ulama dari
seluruh dalil yang shahih.
b) Rawi tersebut terkenal dengan dusta dari bicaranya pada waktu biasa
namun tidak terlihat bahwa dia berdusta di waktumenyampaikan
hadits.
c) Periwayatan hadis yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang
meriwayatkannya. Hal ini dikarenakan tidak seorang pun yang
meriwayatkannya selain dia
Contoh hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Dunya dari jalan Juwaibir bin Sa’id al-Azdi dari ad-Dhahhak dari Ibnu
Abbas dari Nabi saw bahwa beliau bersabda :
“Hendaklah kalian selalu berbuat ma’ruf (baik), karena itu akan
menahan keburukan dan hendaklah kalian bershodaqoh dengan cara
sembunyi karena hal itu dapat memadamkan kemarahan Rabb (Tuhan)
‘Azza Wajalla”
Hadits dengan sanad ini di dalamnya terdapat Juwaibir bin Sa’id al-
Azdiyang mana imam Nasa’i, Daruquthni dan yang lainnya mengatakan
bahwa dia matrû kul hadîts, menurut Ibnu Ma’in: tidak apa-apa.
Hadits matruk adalah hadits terburuk setelah hadits mawdhu’ dan
tidak dapat dijadikan hujjah serta tidak dapat diamalkan sama sekali,
karena cacat yang sangat fatal dari rawinya yang tertuduh dusta.
2) Hadits Majhul
Kata majhul yang berarti tidak diketahui. Antonim dari kata ma’lum
yang berarti diketahui atau dimaklumi. Menurut istilah hadits majhul
adalah:“seorang perawi yang tidak dikenal jati diri dan identitasnya.”
Hadits majhul ialah hadis yang di dalam sanadnya terdapat seorang
perawi yang tidak dikenal jati dirinya, atau dikenal orangnya, tetapi tidak
dikenal identitas atau sifat-sifat keadilan dan ke-dhabithan-nya.
Majhul dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Majhul Al-‘Ayn, yaitu seorang perawi disebutkan dalam sanad, tetapi
tidak ada yang mengambil periwayatannya selain satu orang perawi.
b) Majhul Al-Hal disebut juga mastur adalah periwayatan seorang diambil
dari dua orang atau lebih, tetapi tidak ada yang tsiqah. Atau diartikan:
Tidak ada yang menukil tentang jarh (cacat) dan ta’dilnya (menilai
adil).
3) Hadis Mubham
Menurut bahasa mubham adalah samar, tidak jelas. Jadi perawinya
atau orang ketiga yang menjadi objek pembicaraan tidak dijelaskan siapa
nama dan dari mana dia. Menurut istilah adalah seorang perawi yang tidak
disebutkan namanya, baik dalam sanad atau dalam matan.
Jadi mubham adalah tidak adanya penyebutan seorang perawi yang
jelas, karena hanya disebutkan seorang laki-laki atau seorang perempuan
saja, tidak disebutkan nama jelas. Mubham adakalanya dalam sanad atau

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
dalam matan.
Hukum mubham dalam sanad, jika terjadi pada seorang sahabat, tidak
apa-apa, karena semua sahabat adil dan jika terjadi pada selain sahabat,
jumhur ulama menolaknya sehingga diketahui identitasnya seperti majhul
al-‘ayn. Sedangkan mubham dalam matan tidak mengapa dan tidak
mengganggu keshohihan suatu hadits.
b. Dha’if Sebab Cacat Ke-Dhabitan-Nya
1) Hadis Mungkar
Kata mungkar menurut bahasa berarti (menolak), tidak menerima,
lawan dari kata iqror yang artinya mengakui dan menerima. Cacat yang
ada pada perawi itu membuat bertolak dan diingkarinya, dalam istilah, ada
beberapa pendapat, di antaranya:
“ Hadis yang pada sanadnya ada seorang perawi yang parah
kesalahannya atau banyak kelupaan atau tampak kefasikannya.”
Contoh Hadis Mungkar :
Hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Majah melalui Usamah bin ZaiAl-
Madani dari ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari
ayahnya secara marfu’: “Seorang puasa Rhamadan dalam perjalanan
seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya.”
Tingkatan kedha’ifannya sangat dha’if setelah matruk karena cacat
hadits mungkar sangat parah, yaitu banyak kesalahan dan banyak
kelupaan dalam periwayatan sehingga menyalahi periwayatan para perawi
yang tsiqah.
2) Hadits Mu’allal
Dalam bahasa mua’allal berasal dari akar kata ‘illah yang diartikan al-
maradhah yaitu penyakit. Secara istilah ‘illah atau mu’allal adalah
ungkapan beberapa sebab yang sama tersembunyi yang datang pada
hadits, kemudian membuat cacat dalam keabsahannya padahal lahirnya
selamat daripadanya. Contoh ‘illah hadits, adakalanya seorang perawi
meng-irsal kan hadis yang marfu’/mawshul, me-mauqufkan suatu hadis
yang marfu’ atau menyisipkan suatu matan hadis pada matanlain menjadi
suatu hadis.35
3) Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan,
padahal bukan (bagian dari) hadits.36
Hadis mudraj terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Mudraj pada sanad, yaitu hadis yang diubah konteks sanadnya.37
b) Mudraj pada matan, yaitu hadits yang dimasukkan kedalam matannya
sesuatu yang bukan darinya tanpa ada pemisah.
4) Hadits Maqlub
Maqlub berasal dari kata qolaba, berarti mengubah, mengganti,

35
Abdul Mujid Khon., Ulumul Hadits (Jakarta:Amzah,2013), hlm.170
36
Muzayyin, A. (2017). Kualitas Hadits ditentukan oleh kualitas matan hadits. Al-Muta'aliyah STAI, 8.
37
Ibid

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
berpindah, dan atau membalik. Menurut istilah, hadits maqlub adalah
hadits yang terbalik (redaksinya), baik pada sanad atau pada matan. Hadits
maqlub adalah hadits yang terbalik susunan kalimatnya tidak sesuai
dengan susunan yang semestinya, terkadang mendahulukan yang
seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata lain dengan
tujuan tertentu.
5) Hadits Mudhtharib
Mudhtharib berasal dari kata ‘idthoroba’ , berarti guncang dan brgetar,
seperti guncangnya ombak di laut. Secara istilah hadits mudhtharib adalah
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda-beda padahal dari
satu perawi (yang meriwayatkan) dua atau lebih, atau dari dua perawi
atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).
6) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Dari segi bahasa mushahhaf berasal dari kata shohhafa berarti salah
baca tulisan (shahifah). Secara istilah sebagian ulama mengartikan
perubahan kalimat dalam hadis selain apa yang diriwayatkan oleh orang
tsiqah, baik secara lafal atau makna. Sedangkan muharraf menurut bahasa
berasal dari kata harrafa yang berarti mengubah atau mengganti,
sedangkan menurut istilah hadis yang terdapat perbedaan di dalamnya
dengan mengubah syakal/harkat sedang bentuk tulisannya tetap.
7) Hadits syadzdz
Dari segi bahasa berasal dari kata syadda diartikan ganjil, secara istilah
ada beberapa pendapat yaitu: “ periwayatan orang tsiqah menyalahi
periwayatan orang yang lebih tsiqah.”
“Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya
lebih utama.”
Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits
syaadzdz adalah hadis yang ganjil, karena hanya dia sendiri
yangmeriwayatkannya atau periwayatannya menyalahi periwayatan orang
tsiqah atau yang lebih tsiqah dan yang terakhir ini pendapat yang shahih.
C. Hadits Maudhu’
1. Pengertian Hadits Maudhu’
Apabila dilihat dari segi bahasa, kata maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul
dari kata ‫عض و ـ عيضي‬. Kata ‫ عضو‬memiliki beberapa makna, antara lain:
(menggugurkan) : ‫اقس الا‬ ٍ ‫( ط‬meninggalkan) : ‫( ك ترال‬memalsukan dan mengada-
adakan) : ‫فالتخالا و ءاترفٍالا‬
ٍ
Adapun pengertian maudhu’ menurut istilah ulama hadits yaitu: “Sesuatu
yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw dengan cara mengada-ada dan dusta ,
yaitu yang tidak pernah beliau sabdakan, beliau kerjakan maupun beliau
taqrirkan”.38
Para ahli hadis mendefinisikan bahwa Hadis Maudhu adalah: Hadis yang
diciptakan dan dibuat-buat oleh orang-orang pendusta dan kemudian dikatakan

38
Aslamiah, R. (2016). Hadits Maudhu dan Akibatnya. Alhiwar Jurnal Ilmu Dan Teknik Dakwah, 35

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
bahwa itu hadis Rasulullah saw.39
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa Hadist maudhu’ adalah
segala sesuatu (riwayat) yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw, baik
perbuatan, perkataan, maupun taqrir secara di buat-buat atau disengaja dan
sifatnya mengada-ada atau berbohong. Tegasnya hadis maudhu adalah hadis yang
diada-ada atau dibuat-buat.
2. Ciri-ciri Hadis Maudhu
a. Ciri yang berkaitan dengan rawi / sanad:
1) Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain yang
periwayatnya tsiqoh meriwayatkan hadist itu. Misalnya, Ketika saad ibn
Dharif mendapati anaknya pulang sekolah sedang menangis dan
mengatakan bahwa dia dipukul gurunya, maka Saad ibn Dharif berkata :
Bahwa Nabi saw bersabda :"Guru anak kecil itu adalah yang paling jahat
diantara kamu, merekka paling sedikit kasih sayangnya kepada anak
yatim dan paling kasar terhadap orang miskin."
Al Hafdz Ibnu Hibban mengatakan bakwa Saad ibn Dharif adalah seorang
pendusta/ pemalsu hadits.
2) Periwayatnya mengakui sendiri membuat hadist tersebut. Maisarah ibn
Abdirrabih al Farisi mengaku bahwa dia telah membuat hadis maudhu
tentang keutamaan Al qur’an.., dan ia juga mengaku membuat hadis
maudhu tentang keutamman Ali ibn Abi Tahalib sebanyak 70 buah hadis.
3) Ditemukan indikasi yang semakna dengan pengakuan orang yang
memalsukan hadist, seperti seorang periwayat yang mengaku
meriwayatkan hadist dari seorang guru yang tidak pernah bertemu
dengannya.
SIMPULAN
Hadits di lihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits
maqbul dan hadits mardud, hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan
ahad, yang shahih dan hasan, baik lidzatihi maupun lighayrihi sedangkan hadits mardud
ada satu, yaitu hadits dha’if.
Macam-macam hadits dhaif yakni, hadis dhaif karena sanadnya terputus, meliputi
hadits mursal, hadits munqathi, hadits mu’dhlal, hadits muallaq, hadits mudallas. Hadits
dhaif sebab cacat keadilan meliputi, hadits matruk, hadits majhul, hadits mubham, hadits
mubham. Hadits dha’if sebab cacat ke-dhabitan-nya, meliputi hadits mungkar, hadits
mu’allal, mudraj, maqlub, mudhatharib, hadits mushahhaf dan muharraf, dan hadits
syadzdz.
Selain hadits maqbbul dan mardud, juga muncul hadits maudhu’ yang menodai
hadits Rosululloh SAW.

DAFTAR PUSTAKA
Aslamiah, R. (2016). Hadits Maudhu dan Akibatnya. Alhiwar Jurnal Ilmu Dan Teknik
Dakwah, 35.
Idri. (2010). Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
39
Ibid

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits
Kholis, M. M. (2016). Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif dalam Fadhail A’mal. Al-Tsiqoh:
Islamic Economy and Da’wa Journal, 39.
Khon, A. M. (2013). Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Mustafa, Z. (1981). Kunci memahami Musthalah Hadits. Surabaya: Bina Ilmu Surya.
Muzayyin, A. (2017). Kualitas Hadits ditentukan oleh kualitas matan hadits. Al-
Muta'aliyah STAI, 8.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Musthalah Al-Hadits. Bandung: Al-Maarif.
Sarbanun. (2019). Macam-macam Hadits Dari Segi Kualitasnya. Ath-Thariq, 110.
Solahudin, & Suyadi, A. (2008). Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Suparta, M. (2014). Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pers.

Jurnal Ilmiah Program Studi S-1 Pendidikan Agama Islam STAI Sabili Bandung
Intifa’: Jurnal Ilmiah Ulumul Hadits

Anda mungkin juga menyukai