Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hadis atau sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur‟an dan
ini merupakan pedoman hidup umat islam, hadis memiliki fungsi yang penting
untuk menjelaskan berbagai ayat-ayat muhkamat ataupun mutasyabihat sebagai
penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Menurut al-Qur‟an, ilmu yang hakiki
adalah ilmu yang mendorong dan memantapkan keimanan bagi orang yang
berilmu.1 Oleh karena itu kedudukan hadis atau sunnah, baik secara struktural
maupun fungsional hampir disepakati oleh mayoritas kaum muslim dari berbagai
mazhab islam sebagai sumber teks keagamaan fundamental dan otoritas kedua
setelah al-quran menempati posisi yang sangat sentral dan signifikan.2
Bagi kaum Muslimin, hadis diyakini sebagai sumber hukum pokok setelah
al-Qur‟an. Ia adalah salah satu sumber penting dalam Islam. Urgensinya semakin
nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir al-
Qur‟an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-
Qur‟an sendiri. Ini terkait dengan tugas Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah
dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung di dalamnya. Sungguhpun hadis
Nabi mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat besar, namun hadis Nabi
berbeda dengan al-Quran dalam berbagai segi.3
Berdasar hal ini umat Islam meyakini bahwa al-Qur‟an dan hadis
merupakan sumber hukum Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam kepentingan
istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu nash. Keduanya
saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari'ah memenuhi kriteria-
kriteria disebut hadis mardud. Kita sebagai seorang muslim tidak meyakini bahwa

1
Anis Malik dan La Ode Ismail Ahmad, Memahami Mutiara Hadis, (Cet. I; Zadahaniva
Publishing, 2013), h. 72.
2
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 30.
3
Muhammad Yahya, Metode Kritik Hadis oleh Nasirun Al-Albani, (Cet. I; Makassar:
Alauddin University Press, 2014), h. 11.
2

semua hadis adalah shahih. Namun juga tidak benar bila menganggap bahwa
semua hadis itu palsu, sebagaimana anggapan para orientalis. Jadi memang ada
hadis yang shahih, hasan, dha'if, dan maudu‟ (palsu).Dilihat dari segi kualitasnya,
hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu hadis shahih, hasan dan
dha‟if. Pembahasan tentang hadis shahih dan hasan ini mengkaji tentang dua jenis
hadis yang hampir sama, tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis
maqbul, yang dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi dilihat juga
dari segi persyaratan dan berbagai kriterianya yang sama, kecuali pada hadis
hasan.4 Diantara periwayatnya ada yang kurang hafalannya (qalil al-dabth),
sementara pada hadis shahih diharuskan kuat hafalan (dhabith), sedangkan
persyaratan lain, terkait dengan persambungan sanad, keadila Pembagian hadis
secara simple menjadi tiga macam ini dikarenakan pada dasarnya hadis maqbul
adakalanya disebabkan telah memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara
sempurna dan adakalanya memenuhi syarat-syarat untuk diterima tetapi kurang
sempurna.5
Hadis-hadis maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima dengan
sempurna disebut hadis shahih sedang yang kurang memenuhi syarat-syarat untuk
diterima dengan sempurna disebut hadis hasan, sedangkan hadis mardud (ditolak)
adalah hadis dhaif. Berbagai istilah atau nama-nama penyebutan hadis yang bisa
digolongkan kedalam istilah shahih, hasan dan dhaif itu sangat tergantung kepada
sejauh mana terpenuhi syarat-syaratnya. Maksudnya, jika memenuhi berbagai
syarat hadis shahih maka hadis tersebut menjadi shahih, tetapi jika memenuhi
berbagai syarat hadis hasan maka hadis tersebut menjadi hasan dan jika tidak
memenuhi kedua syarat tersebut maka hadis menjadi hadis dhaif.6
Kehujjahan hadis sangat berkait erat dengan kualitas hadis yang
bersangkutan. Berkaitan dengan kehujjahan dari kualitas hadis yang tergolong
pada jajaran shahih dan hasan, jumhur ulama tidak mempertentangkannya, hanya

4
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 27.
5
Idri, Studi Hadis (Cet.II; Jakarta: Prenada Media Group, 2013), h. 157
6
Alawi al-Maliki, “Al-Manhalu Al-Lathifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi”, terj. Adnan
Qohar, Ilmu Ushul Hadis (Cet.III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) h. 51
3

posisi hadis hasan dibawah hadis shahih.7 Kajian terhadap hadis sangat penting
dengan beberapa faktor yang telah dipaparkan sebelumnya untuk mengetahui
validitas suatu hadis serta menghindarkan diri dari keraguan yang kemudian
mengantar kepada pemahaman hadis yang dapat dijadikan hujjah.8
Berdasarkan pembahasan diatas maka menarik untuk selanjutnya
membahas secara mendalam mengenai pembagian hadis berdasarkan kualitasnya
yakni hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟.

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah definisi hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟?
2. Bagaimanakah kriteria hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟?
3. Bagaimanakah pembagian hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟?
4. Bagaimanakah asal mula munculnya hadis maudu‟?
5. Bagaimana mengetahui hadis maudu‟?
6. Apakah yang mendorong hingga adanya pemalsuan hadis?
7. Apa ancaman bagi yang membuat hadis maudu‟
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan definisi hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟.
2. Menjelaskan kriteria hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟.
3. Menjelaskan pembagian hadis shahih, hasan, dhaif dan maudu‟.
4. Menjelaskan bagaimana asal mula munculnya hadis maudu‟.
5. Menjelaskan cara mengetahui hadis maudu‟.
6. Menjelaskan tentang apa saja yang mendorong hingga adanya pemalsuan
hadis.
7. Menjelaskan tentang apa saja ancaman bagi yang membuat hadis maudu‟

7
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 28.
8
Muhammad Yahya, Metode Kritik Hadis oleh Nasirun Al-Albani, (Cet. I; Makassar:
Alauddin University Press, 2014), h. 10.
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. HADIS SHAHIH
1. Pengertian hadis shahih
Secara etimologi, kata shahih berasal dari kata shahha-yashihhu wa
shihhatan wa shahahan yang bermakna yang sehat; yang selamat dari aib; yang
benar; yang sah dan yang sempurna. Dengan demikisn hadis shahih menurut
bahasa adalah hadis yang sah, hadis yang sehat atau hadis yang selamat.9
Secara terminologis, menurut Shubhi al-Shalih, yang dikutip oleh Idri
bahwa hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
periwayat yang „adil dan dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada
sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz
(kejanggalan) ataupun illat (cacat).10
Shahih menurut istilah ilmu hadis adalah suatu hadis yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang
adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada
penyelisihan dengan periwayat yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak
ada „illat yang berat”.11
Menurut Ash-Siddieqy, “Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafaznya
tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau
ijimak serta para periwayatnya adil dan dabit.”12

2. Kriteria hadis shahih


a. Sanadnya bersambung: yaitu bahwa setiap periwayat dari seluruh periwayatnya
meriwayatkan hadis tersebut secara langsung dari syeknya. Kondisi dari awal
hingga akhir sanad hadis.

9
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 20.
10
Shubhi al-Shalih, “Ulum al-Hadis wa Musthalahuh”, dalam Idri, Studi Hadis (Cet.II;
Jakarta: Prenada Media Group, 2013), h. 157.
11
Manna al-Qaththan, “Mubahasu fii Ulum al-Hadis”, terj. Mifdhol Abdurrahman,
Pengantar Study Ilmu Hadits (Cet. VIII; Jakarta: pustaka al-kautsar, 2014), h. 117.
12
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra,2010), h. 44.
5

b. Perawayat yang adil, yaitu bahwa seluruh periwayatnya harus memiliki sifat-
sifat seperti Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan tidak memilki cacat.
c. Dhabit, yaitu bahwa seluruh periwayat yang ada harus memilki ketepatan, baik
dalam hafalan hadis, maupun dari tulisan atau catatn hadis.
d. Tidak syadz, yang dimaksud dengan syadz adalah bertentangannya hadis
periwayat yang tsiqah dengan riwayat periwayat lain yang lebih tsiqah darinya.
e. Tidak ada illat, sedangkan illat adalah sebab-sebab yang tidak terlihat, yang
dapat merusak kesahihan suatu hadis, meskipun secara dzahir terlihat shahih.13

3. Pembagian hadis shahih


Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih
lighairihi. Penjelasannya hadis tersebut yaitu:
a. Shahih li zatih adalah hadis shahih dengan sendirinya sebagai implikasi
terenuhinya lima kriteria hadis shahih.14 Hadis shahih kategori ini telah
dihimpun oleh para mudawwin hadis seperti al-Bukhari dalam kitab shahihnya
al-Bukhari, Muslim ibnal-Hajjaj dalam shahih Muslim, Abu Dawud dalam
Sunan Abu Dawud, Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad dan lain
sebagainya.
b. Shahih li Ghairih adalah hadis hasan lidzatihi, apabila terdapat hadis dari jalur
sanad lain yang menguatkannya, baik yang serupa atau yang lebih kuat
darinya.15 Pada mulanya hadis pada kategori ini mempunyai kelemahan yakni
periwayat yang kurang dhabit, sehingga dapat dinilai tidak memenuhi kriteria
untuk dikategorikan sebagai hadis yang shahih tetapi setelah diketahui ada
hadis lain dengan kandungan matan yang sama dan memiliki kualitas shahih,
maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi hadis shahih. Menurut Ilyas dan
Ahmad bahwa dukungan keterangan bisa berupa syahid atau muttabi yang
dapat menguatkan sanad yang kurang keadilan dan ketsiqahannya.16

13
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005), h. 43
14
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 22.
15
Al-Naisaburi, Kitab Ma‟rifat Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, 2000),
h. 22-24.
16
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 22.
6

B. HADIS HASAN
1. Pengertian Hadis Hasan
Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam al-Turmudzi. Hadis semacam
ini tidak pantas disebut dhaif namun kurang tepat disebut hadis shahih. Kata hasan
berasal dari bahasa al-hasnu (‫ )ال ح سن‬bermakna al-jamal (‫ )ال جمال‬bermakna
keindahan sedangkan menurut istilah para ulama memberikan hadis hasan secara
beragam.17 Namun, yang lebih kuat dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam An-Nukhbah, yaitu:
‫وخيس االحبد بٌمل عدل تبم الضبط هتصل السٌد غيس هعلل وال شبذ هى الصحيح‬
‫ فئب ى خف الضبط فب لحسي لراته‬,‫لراته‬
“Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ke
dhabith-annya, bersambung sanaxdgu4dnya, tidak ber‟illat, dan tidak ada syadz
dinamakan shahih lidzatih. Jika kurang sedikit ke dhabith-annya disebut hasan
lidzatih.”18
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
periwayat yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya tidak rancu dan
tidak bercacat. Disini, hadis sahih diriwayatkan oleh periwayat yang sempurna
daya hafalnya yakni kuat hafalannya dan tingkat akurasinya, sedangkan periwayat
hadis hasan adalah yang rendah tingkat daya hafalnya.19
Pengertian dari Ibnu Hajar memberikan definisi:
‫هب ًهّله عدل لليل الضبط هتصل الوسٌد غيس هعلل والشبذ‬
“Hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang sedikit
kedlabithannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada Nabi dan tidak
mempunyai „illat serta tidak syadz.”20

2. Kriteria hadis hasan


Berikut ini adalah kriteria yang termasuk dalam hadis hasan yakni sebagai
berikut:21

17
Muh. Zuhri, Pengantar Ilmu Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), h. 93.
18
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 159.
19
Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 374.
20
Muh. Zuhri, Pengantar Ilmu Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), h. 93.
7

a. Muttasil sanadnya (sanadnya bersambung).


b. Periwayat hadis adil.
c. Periwayat hadis bersifat dhabith. Kedhabitan periwayat disini tingkatannya
dibawah ke dhabitan hadis shahih, yakni kurang sempurna kedhabithannya.
d. Terhindar dari syadz (kejanggalan)
e. Tidak terdapat illat (cacat)

Hukum hadis hasan yaitu sebagai hujjah dan implementasinya yaitu sama
seperti halnya hadis yang shahih, meskipun kualitasnya dibawah hadis yang
shahih. Pertentangan antara hadis shahih dan hadis hasan, maka yang didahulukan
adalah hadis shahih karena tingkat kualitas dari hadis hasan dibawah hadis shahih.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan kedhabitan
periwayat hadis hasan, yang tidak seoptimal kesempurnaan kedhabitan periwayat
hadis shahih.22

3. Pembagian hadis hasan


Hadis hasan dibagi menjadi dua macam yakni sebagai berikut:
a. Hadis hasan li Dzatihi merupakan hadis yang memenuhi kriteria sebagai hadis
shahih, hanya saja kualitas kedhabitan salah seorang atau beberapa orang
periwayatnya berada dibawah kualitas periwayat hadis shahih.
Menurut oleh Ibnu Hajar yaitu:

‫هب اشتهس زاويه بب لصدق واالهبًت ولن يصل في الحفظ واالتمبى زتبت زجبل الصحيح‬

“Hadis yang terkenal para periwayatnya tentang kejujuran dan


amanahnya tetapi hafalannya tidak mencapai derajat para periwayat hadis
shahih.”23
Pengertiannya dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar di atas,
dan definisi inilah yang juga dimaksudkan juga oleh Al Khaththaby diatas yaitu:24

21
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2009),
h. 59.
22
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2009),
h. 60.
23
Muh. Zuhri, Pengantar Ilmu Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), hl. 93-94.
24
Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadis, (Surabaya: Al Ikhlas, 2000), h. 61.
8

ّ ‫ّللا صلى‬
‫ّللا عليه وسلن‬ ّ ‫عي هحودبي عوسوعي أبي سلوت عي أبي هسيسة اى زسىل‬
‫ لى الأى أشك على أهتي ألهستهن ببلسىان عٌد ول صالة‬:‫لبل‬
“Dari Muhammad ibn „Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa
Rasululloh saw. Berkata, “Sekiranya tidak merepotkan kepada umatku, niscaya
aku perintah mereka bersiwak (gosok gigi) untuk setiap kali hendak sholat.”

Seorang periwayat yang bernama Muhammad ibn „Amru ibn „Alqamah


terkenal akan kejujurannya. Namun, dia tidak termasuk orang yang kuat
hafalannya karena itu ada yang menilainya lemah dari segi kekuatan hafalan dan
ada pula yang menilai “adil” dari segi kejujurannya, sehingga hadis ini disebut
Hasan li dzatihi. Kemudian ia naik derajat menjadi shahih li ghairihi karena hadis
tersebut diriwayatkan melalui jalur lain, oleh al-A‟raj dan Sa‟id al-Maqbari.
b. Hadis hasan li Ghairihi merupakan hadis yang pada asalnya tidak hasan
kemudian meningkat mencapai hasan karena ada sesuatu hal yang
mendukungnya. Hadis ini asalnya dhaif disebabkan mursal atau tadlis atau
periwayat tidak dikenal, atau hafalan periwayatnya yang jujur serta dipercaya
atau dalam sanadnya terdapat yang tertutup dan dia periwayat yang tidak
pelupa dan termasuk orang fasik, dan hadis itu ditolong oleh periwayat-
periwayat yang kenamaan yang dikuatkan oleh hadis mutabi‟ atau hadis syahid
sehingga tingkatan hadis itu meningkat sampai pada derajat hasan. Atau
dengan kata lain hadis yang dhaif ini memiliki jalur sanad lebih dari satu yang
sama atau lebih kuat kualitas periwayatnya.25
Hadis tersebut juga bisa meningkat dari hadis munkar atau hadis yang
tidak diketahui sumbernya dan apabila dilihat dari dimensi banyaknya riwayat-
riwayat lain seperti hadis yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan dia menilainya
hasan, dari Abdullah bin „Amir bin Rabi‟ah, dari ayahnya, berbunyi sebagai
berikut:

‫ّللا عل ْي ِه‬ ّ ‫ت على ًعْلي ِْي فمبل زسُىْ ُل‬


‫ّللاِ صلَّى ه‬ ْ ‫اِ َّى اِ ْهساةً ِه ْي بٌِى فُصاز ِة تص َّوج‬
ْ ‫ت ِه ْي ً ْف ِس ِه وهبلُ ِه بٌِعْلي ِْي؟ لبل‬
‫ت ًع ْن فأجبش‬ ِ ‫ض ْي‬
ِ ‫ از‬:‫وسلن‬
25
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, (Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011), h. 25.
9

“Bahwasanya seorang perempuan dari Bani Fuzarah menikah dengan mahar


sepasang sandal. Kemudian, Rasulullah berkata kepadanya, „Apakah kamu
merelakan dirimu dinikahi sedang harta yang diberikan kepadamu sebagai mahar
hanya sepasang sandal? Dia menjawab, Ya. Maka, Rasulullah SAW
melangsungkan perkawinan itu.”26

B. HADIS DHAIF
1. Pengertian hadis dhaif
Kata dhaif berasal dari bahasa Arab yang artinya lemah. Menurut
Muhammad Ajjaj al-Khatib bahwa hadis dhaif merupakan hadis yang yang tidak
memenuhi kriteria yang bisa diterima. Hadis dhaif merupakan hadis yang
diterdapat sesuatu yang menyebabkan ia lemah. Lemah karena tidak memiliki
kriteria hadis sahih maupun hasan.
Sebab-sebab kedhaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok yaitu:
(1). Ketidak-muttashilan sanad (2) Cacatnya seorang atau beberapa periwayat.
Sehingga pembagian hadis dhaif bisa didasarkan pada hal tersebut.27
2. Kriteria hadis dhaif
Hadis dhaif tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadis shahih atau hadis
hasan, berhubung hadis dhaif tidak memenuhi salah satu dari beberapa kriteria
tersebut maka kriteria hadis dhaif adalah sebagai berikut:28
a. Sanadnya terputus;
b. Periwayatnya tidak adil
c. Periwayatnya tidak dhabit
d. Mengandung syadz
e. Mengandung illat.
3. Pembagian hadis dhaif
Hadis dhaif termasuk banyak macamnya dan memiliki perbedaan derajat
satu sama lainnya, hal ini disebabkan karena banyak atau sedikitnya kriteria hadis
sahih ataupun hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadis dhaif karena tidak

26
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2009),
h. 62.
27
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadis. (Cet. III; Bandung: CV. Diponegoro,
2000), h. 91.
28
Idri, studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), h. 178-179.
10

bersambung sanadnya dan periwayatnya yang tidak adil adalah lebih dhaif
daripada hadis dhaif yang hanya keguguran satu kriteria untuk dapat diterima
sebagai hadis hasan atau dengan kata yang lain hadis dhaif yang keguguran tiga
kriteria atau lebih dhaif daripada hadis dhaif yang hanya keguguran dua syarat.29
Pembagian hadis dhaif menurut Ajjaj al-Khatib yaitu sebagai berikut:30
a. Hadis-hadis dhaif karena ketidak-muttashilan sanad yakni sebagai berikut;

(1) Hadis Mursal


Hadis mursal merupakan hadis yang dimarfu‟kan oleh seorang tabi‟i
kepada Rasulullah saw. baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir,
dengan tidak menyebutkan orang yang menceritakan kepadanya:
contohnya yaitu Abdullah bin Abi Bakr pada hadis diatas merupakan
seorang Tabi‟i, sedangkan seorang tabi‟i tidak semasa dan tidak bertemu
dengan Nabi saw, tetapi dia tidak menyebutkan orang yang mengabarkan
kepadanya sehingga disebut mursal.31

(2) Hadis Munqathi‟


Hadis munqathi merupakan hadis yang sanadnya gugur satu orang
periwayatnya dalam satu tempat atau lebih atau didalamnya disebutkan
seorang periwayat yang mubham. Dalam segi gugurnya seorang periwayat
ia sama dengan hadis mursal. Kalau hadis mursal gugurnya periwayat
dibatasi oleh tingkatan sahabat, sementara dalam hadis munqathi seperti
itu. Jadi setiap hadis yang sanadnya gugur satu orang periwayat baik awal,
ditengah ataupun diakhir disebut munqathi.

(3) Hadis Mu‟dhal


Hadis Mu‟dhal yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih
periwayatnya secara berturut hadis ini sama, bahkan lebih rendah dari
hadis munqathi. Dalam segi keburukan kualitasnya, bila munqathi lebih
29
Rahmatunnair, Tinjauan dalam Pemakaian Hadits Daif, Jurnal STAIN Watampone PC.
30
Ajjaj al-Khatib, Al-Khathib, „Ajjaj. Ushul al-Hadis; „Ulumuh wa Mushthalahuh.
diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al-Hadis,( Cet.I; Jakarta : Gaya Media,
1998.), h. 304-310.
31
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadis. (Cet. III; Bandung: CV. Diponegoro,
2000), h. 108..
11

dari satu tempat. Seperti Ibnu Juraij pada hadis tersebut sampai dengan
Nabi, bahkan masanya itu dibawah tabi‟in, jadi antara dia dengan Rasul
saw. diantarai oleh dua perantara yaitu tabi‟in dengan sahabat.

(4) Hadis Mudallas


Kata Tadlis secara etimologis berasal dari kata ad-Dalas yang artinya
kedzaliman. Tadlis dalam jual-beli artinya menyembunyikan aib barang
dari pembelinya. Dari disinilah diambil pengertian dalam sanad karena
keduanya memiliki kesamaan alasan yaitu menyembunyikan sesuatu
dengan cara diam tanpa menyebutkan. Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu
tadlis al- Isnad dan tadlis asy-syuyukh.
(a) Tadlis al-isnad merupakan seseorang periwayat (mengatakan)
meriwiyatkan sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu
dengan orang itu atau pernah bertemu tetapi diriwiyatkan itu tidak
didengar dari orang tersebut dengan cara menimbulkan dugaan mendengar
langsung. Seperti diriwayatkan oleh an-Nu‟man oleh an-Nu‟man bin
Rasyid, dari Zuhri, dari „Urwah, dari Aisyah, bahwa Imam Abu Khatim
berkata bahwa Zuhri tidak pernah mendengar hadis ini dari Urwah, ini
artinya ada seseorang yang tidak disebutkan oleh zuhri sehingga menjadi
samar.
(b) Tadlis asy- syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad
disebabkan karena periwayat tidak sengaja mengugurkan salah seorang
dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar
langsung melalui ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung.
Periwayat hanya menyebut gurunya saja atau memberikan nisbat ataupun
memberikan sifat yang tidak lazim dikenal.

b. Hadis-hadis dhaif karena sebab selain ketidak-muttashilan sanad yaitu;


(1) Hadis Mudha‟af merupakan hadis yang tidak disepakati ke-dhaifannya.
Dimana sebagian ahli hadis menilai mengandung ke-dhaifan baik didalam
sanad maupun matannya dan sebagian lainnya menilainya kuat tetapi
penilaian dhaif itu lebih kuat.
12

(2) Hadis Mudhtharib merupakan hadis yang diriwayatkan dengan beberapa


bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan
sebagiannya atas bagian yang lainnya. Ke-mudhthariban mengakibatkan
ke-dhaifan suatu hadis dikarena menunjukkan ketidak-dhabitan.
(3) Hadis Maqlub merupakan hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri
periwayat, yang kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu
terbaliknya nama seorang periwayat. Seperti Murrah ibn Kab dan Kab bin
Murrah.
(4) Hadis Syadz, penadapat Imam Syafi‟ilah berawal memperkenalkan hadis
syadz ini menurutnya bila diantara periwayat tsiqat ada diantara mereka
yang menyimpang dari lainnya. Kemudian generasi setelahnya sepakat
bahwa hadis syadz merupakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
maqbul dalam keadaan menyimpang dari periwayat lain yang lebih kuat
darinya.
(5) Hadis Munkar merupakan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat dhaif
serta banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya.
Oleh karena itu kriteria hadis munkar ini adalah penyendirian
periwayatnya dhaif dan mukhalafah.
(6) Hadis Matruk dan Mathruh. Hadis matruk merupakam hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang dituduh berdusta dalam hadis nabawiy,
atau sering berdusta atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan
maupun kata-katanya atau yang sering sekali salah dan lupa. Misalnya
hadis-hadis Amr ibn Syamr dari Jabir al-Ja‟fiy. Sedangkan hadis mathruh
ialah hadis yang terlempar hadisnya karena cacatnya periwayatnya.32

D. Hadis Maudu’
1. Pengertian hadis maudu’
Hadis maudu‟ secara etimologis berarti sesuatu yang digugurkan (al-
masqath), yang ditinggalkan (al-matruk) dan diada-adakan (al-muftara).33

32
Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 311-315
33
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), h. 247
13

Sedangkan dari segi terminologi maudu‟ adalah pernyataan yang dibuat oleh
seseorang kemudian dinisbahkan pada Nabi saw.34
Hadis maudu‟ itu diciptakan oleh pendusta serta disandarkan kepada
Rasulullah untuk memperdayai. Hadis maudu‟ diciptakan serta dibuat-buat atau
palsu baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Dengan kata lain, hadis maudu‟
dibuat dan dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan
tujuan buruk atau baik sekalipun.
2. Kriteria hadis maudu’
Secara umum hadis maudu‟ tersebut muncul berdasarkan atas kemauan si
pembuat dengan kata-kata rekaanya dan sanad-sanad susunannya. Mereka
membuat sanad-sanad rekaan tersebut berakhir pada Nabi saw. dengan
melontarkan kata-kata yang indah atau kalimat yang lengkap, atau peribahasa
yang ringkas padat.
Ulama hadis telah menetapkan ciri-ciri maudu‟ sebagaimana mereka
menetapkan hadis sahih, hasan dan dhaif. Adapun ciri-ciri tersebut yaitu:
a. Ciri-ciri yang terdapat pada sanad :
(1) Periwayat terkenal pendusta.
(2) Pemalsu mengakui perbuatannya sebagai pemalsu hadis, sebagaimana
pengakuan Abdul Karim Auja' yang didalam berbagai kitab ulum hadis
dijelaskan jika dirinva telah membuat hadis palsu tidak kurang dari empat
ribu hadis.
(3) Adanya indikasi yang menunjukkan bahwa seorang periwayat adalah
pembohong. Seperti halnya periwayat tersebut mengaku telah menerima
hadis dari seorang guru, keyataannya tidak pernah menerima dari guru atau
guru yang disebut tersebut sudah meninggal dunia sebelum la lahir.
Indikasi yang lain, sebagaimana seorang periwayat mengaku telah
memperoleh hadis seorang guru di sebuah negeri, padahal sebenarnya dia
tidak pernah pergi ke negeri tersebut. Misalnya Ma'mun Ibn Ahmad al
Halawi yang mengaku telah memperoleh hadis dari Hisyam Ibn Ammar,

34
Muhammad Ibn Ismail al-Shan ani, Tawdhih al-Afkar li Ma‟ani al-Anzhar (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), h. 41.
14

lantas ditanya Ibn Hibban; Kapan engkau bertemu Hisyam di Syiria? la


menjawab “Tahun dua ratus lima puluh” lantas Ibn Hibban mengatakan
Hisyam yang anda sebut meninggal pada pada “tahun dua ratus empat
puluh lima”
b. Ciri-ciri yang terdapat pada matan:
(1) Kerancuan lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan.
(2) Rusaknya makna yang terdapatvdalam hadis seperti menyalahi pandangan
akal sehat.
(3) Kandungan hadis yang bertentangan dengan al-Qur‟an atau hadis
mutawatir.35
(4) Kandungan hadis yang bertentangan dengan fakta sejarah.36
(5) Kandungan hadis cenderung apologis dalam madhabnya periwayat, baik
fiqh maupun teologi.
(6) Cenderung menuduh sahabat Nabi dengan sesuatu yang tidak layak
dipandang sahabat. Kandungan Hadis keterlaluan dalam hal -hal yang
berkaitan dengan wa'id.
3. Awal munculnya hadis maudu’
Perpecahan yang bermula dari peristiwa masyarakat Islam pada waktu itu.
Perpecahan yang bermula dari peristiwa politik itu beralih pada peristiwa teologis,
teologis dan lain-lain serta adanya klaim kebenaran dariberbagai kelompok, yang
mendorong mereka untuk memalsukan hadis.37 Adanya perpecahan kaum
Muslimin ini menjadi beberapa bagian kelompok setelah fitnah seperti masa
setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, menjadikan setiap bagian kelompok
mencari dukungan dari al-Qur‟an dan as-Sunah. Sebagian kelompok
mentakwilkan al-Qur‟an bukan pada makna sebenarnya dan adapula membawa
as-Sunah bukan pada maksudnya. Apabila mereka mentakwilkan hadis lalu
mereka menisbatkan kepada Nabi apalagi tentang keutamaan para Imam mereka

35
Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Ifakatiatuha fi al-Tashn' al-Islami (Beirut Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1985), h. 47.
36
Al-Khatib, al-Swnwh, 244. Iihat juga Muhammad al-Farasi, Fadl 71-Khitab bi
Nfcm,aqif al-Ashab, h. 245.
37
Muhammad Yahya, Metode Kritik Hadis oleh Nasirun Al-Albani, (Cet. I; Makassar:
Alauddin University Press, 2014), h. 24.
15

dan kelompok yang pertama melakukan hal itu adalah Syiah. Hal ini tidak pernah
terjadi pada masa Rasulullah serta tidak pernah dilakukan seorang shahabat
sekalipun dan apabila diantara mereka berselisih mereka berijtihad, dengan
mengedepankan mencari kebenaran.
Hadis maudu‟ merupakan hadis yang paling rendah dan paling buruk.
Sehingga para ulama sepakat, haramnya meriwayatkan hadis maudu‟ dari orang
yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan
penjelasan akan maudu‟nya. Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang menceritakan hadis dari sedang dia mengetahui
bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.” (HR. Muslim).

4. Bagaimana mengetahui hadis Maudu’


a. Adanya pengakuan dari seseorang yang telah memalsukan hadis. Seperti
pengakuan Abi 'Ishmat Nuh bin Abi Maryam yang digelari Nuh Al Jami',
bahwasanya dia telah memalsukan hadis atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-
keutamaan al-Qur'an surah demi surah dan seperti pengakuan Maisarah bin
Abdi Rabbihi Al Farisi bahwa dia telah memalsukan hadis tentang keutamaan
Ali sebanyak tujuh puluh hadis.

b. Pernyataan yang diposisikan sama dengan pengakuan.


Seperti seseorang menyampaikan hadis dari seorang Syeikh dan hadis tersebut
tidak diketahui kecuali dari Syeikh tersebut. Saat ditanya periwayat itu tentang
tanggal kelahirannya dan ternyata periwayat dilahirkan sesudah kematian
Syeikh atau pada saat Syeikh meninggal dia masih kecil dan tidak
mendapatkan periwayatan.

c. Adanya indikasi periwayat yang menunjukkan akan kepalsuannya.


Misal periwayat Rafidhah yang hadisnya tentang keutamaan ahli bait. As
Suyuthi berkata indikasi periwayat (maudu‟) adalah dia seorang Rafidhah dan
hadisnya tentang keutamaan ahli bait. Hamad bin Salamah berkata
menceritakan kepada syeikh mereka yakni Rafidhah dengan berkata bila
16

mereka berkumpul kemudian ada sesuatu yang mereka anggap baik maka
mereka jadikan sebagai hadis.”38

d. Adanya indikasi pada isi hadis yang bertolak belakang dengan akal sehat,
bertentangan dengan indra dan berlawanan dengan ketetapan agama atau
susunan lafadz lemah dan kacau serta kemustahilan hadis tersebut bersumber
dari Rasulullah saw. Menurut Abu Bakar bin Ath Thayib: “Sesungguhnya
bagian dari petunjuk maudu‟ adalah tidak masuk akal yang tidak bisa ditakwil
disertai dengan tidak berdasar pada panca indra, atau menafikan dalil-dali Al
Qur'an yang qathi, sunah yang mutawatir dan ijma'. Adapun jika
bertentangannya memungkinkan untuk dijamak, maka ia tidak (maudu‟).”
Ibnu Al Jauzi berkata bahwa perkataan yang paling tepat yang berhubungan
dengan hadis maudu‟ yakni apabila kamu melihat hadis yang menjelaskan akal,
bertentangan dengan naql (dalil) dan yang membatalkan masalah ushul
(akidah), ketahuilah sesungguhnya itu adalah maudu‟."39 Seperti apa yang
diriwayatkan Abdurahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya
secara marfu', Bahwa kapal Nabi Nuh thawaf mengelilingi ka'bah tujuh kali
dan shalat dua rakaat dimaqam Ibrahim.

5. Hal-hal yang mendorong melakukan pemalsuan hadis


Ada banyak niat seseorang memalsukan hadis baik timbul dari motif
politik, kebodohan, kezindikan atau hobi semata. Berikut adalah hal-hal yang
mendorong pemalsuan hadis:
a. Membela suatu madzhab. Madzhab yang terpecah menjadi suatu aliran politik
setelah munculnya fitnah (masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan) dan
maraknya aliran-aliran politik seperti Khawarij dan Syi'ah. Masing-masing
aliran membuat hadis-hadis yang palsu yang bertujuan untuk memperkuat
golongannya. Hal ini merupakan asal dari kedustaan yang mengatas namakan
Rasulullah saw.

38
Manna' Al Qaththan, Ulumul Hadis (Tarikh At Tasyri' Al Islami, 2000), h. 280.
39
Al Baa'its Al Hatsits, Syarh Ihtishaar 'Ulum Al Hadis Li Al Hafidz Ibnu Katsir, (Ahmad
Muhammad Syakir,1998), h. 83
17

b. Imam Malik ditanya tentang Rafidhah, berkata: “Janganlah engkau bicara


dengan mereka, jangan meriwayatkan (hadis) dari mereka sesungguhnya
mereka berdusta.”

c. Dalam rangka Taqarrub kepada Allah, dengan meletakkan hadis-hadis targhib


yang mendorong manusia dalam berbuat kebaikan ataupun hadis yang
mengandung ancaman terhadap perbuatan munkar. Mereka yang membuat
hadis-hadis maudu‟ ini kemudian menisbatkannya kepada golongan ahli zuhud
dan orang-orang shalih. Mereka ini termasuk kelompok pembuat hadis maudu‟
yang paling buruk dimana manusia menerima hadis-hadis maudu‟ mereka
disebabkan kepercayaan terhadap mereka.

Diantara mereka adalah Maisarah bin Abdi Rabbihi. Ibnu Hibban telah
meriwayatkan dari kitabnya Ad Dhu'afa', dari Ibnu Mahdi, dia bertanya kepada
Maisarah bin Abdi Rabbihi: “Dari mana engkau mendatangkan hadis-hadis
seperti ini, “Barangsiapa membaca ini maka ia akan memperoleh itu? Ia
menjawab: “Aku sengaja membuatnya untuk memberi dorongan kepada
manusia.”40
d. Mendekatkan diri kepada penguasa untuk menuruti hawa nafsunya. Dimana
sebagian orang yang imannya masih lemah berusaha untuk mendekati sebagian
penguasa lainnya dengan cara membuat hadis yang palsu serta menisbatkan
kepada penguasa agar mendapat perhatian. Contohnya kisah Giyat bin Ibrahim
An Nakh'I Al Kufi dengan Amir Mukminin Al Mahdi dan menjumpai Al
Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati.41
Dia menambahkan perkataan dalam hadis yang disandarkan kepada Nabi saw
bahwa beliau bersabda: "Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang,
pacuan, menggali atau sayap." Dia menambahkan kata saya yang dilakukan
untuk menyenangkan hati al-Mahdi, lalu kemudian al-Mahdi tersebut
memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, sang Amir kemudian berkata
“Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama

40
Tadrib Ar Periwayat, Juz I/283.
41
Muhammad Yahya, Metode Kritik Hadis oleh Nasirun Al-Albani, (Cet. I; Makassar:
Alauddin University Press, 2014), h. 33.
18

Rasulullah”, lalu kemudian al-Mahdi memerintah untuk menyembelih burung


merpati itu.

e. Kaum Zindiq yang berusaha ingin merusak manusia serta agamanya. Hamad
bin Zaid berkata, “Orang-orang zindiq membuat hadis dusta yang disandarkan
kepada Rasulullah saw. sebanyak empat belas ribu hadis.”42 Ahmad bin Shalih
Al Mishri berkata: “(Hukuman bagi) orang-orang zindiq adalah akan dipenggal
lehernya, orang-orang bodoh itu telah membuat hadis maudu‟ sebanyak empat
ribu, maka berhati-hatilah.”43
Ketika akan dipenggal lehernya Ibnu Adi berkata “Aku telah memalsukan
hadis diantara kalian sebanyak empat ribu hadis, kemudian aku mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram.”44 Hal berarti mengikuti hawa
nafsu serta ahli rayu yang tidak memiliki dalil yang berasal dari kitab dan as-
Sunah kemudian menciptakan hadis maudu‟ agar membenarkan hawa nafsu
dan pendapatnya.
f. Untuk mencari penghidupan serta memperoleh rezeki, seperti halnya yang
telah dilakukan oleh sebagian pen-dongeng yang mencari penghidupan melalui
berbagai cerita yang disampaikan kepada masyarakat. Mereka menambah
nambahkan ceritanya agar masyarakat mau mendengar, lalu mereka memberi
upah, mereka ini adalah Abu Sa'id al-Madani.

g. Untuk meraih popularitas yaitu dengan menciptakan hadis yang gharib (asing)
yang tidak pernah dijumpai pada seorangpun dari Syeikh-syeikh hadis,
kemudian mereka membolak-balikan sanad hadis yang bertujuan agar orang
yang mendengarnya terperangah dan diantara mereka yaitu Ibnu Abu Dihyah
dan Hammad bin An Nashibi.

h. Sikap fanatisme terhadap Imam ataupun Negeri. Asy Syu'ubiyun memalsukan


hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah apabila murka menurunkan wahyu

42
Al Baa'its Al Hatsits, Syarh Ihtishaar 'Ulum Al Hadis Li Al Hafidz Ibnu Katsir, (Ahmad
Muhammad Syakir, 1999), h. 88.
43
Manna' Al Qaththan, Ulumul Hadis (Tarikh At Tasyri' Al Islami, 2000), h. 121.
44
Ahmad ibn, Al-Adlabi, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Hadis al- Nabawi,
diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik
Matan Hadis. (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h. 56.
19

dengan menggunakan bahasa Arab dan apabila ridha menurunkan wahyu


dengan bahasa Persi (al-Farisiyah).” Maka terdapat seorang Arab yang jahil
membalikkannya perkataan ini, yaitu “Sesungguhnya Allah apabila murka
menurunkan wahyu dengan menggunakan bahasa Persi (Al Farisiyah), dan
apabila ridha menurunkan wahyu dengan bahasa Arab.”
Orang yang ta'ashub (fanatik) terhadap Abu Hanifah, memalsu hadis, yang
berbunyi, “Akan ada dari umatku seorang laki-laki yang disebut Abu Hanifah
Al Nu'man, dia adalah penerang umatku.” Kemudian orang yang tidak senang
dengan Imam Asy Syafi'I membuat hadis yang berbunyi, “Akan ada dari
umatku seorang laki-laki yang disebut Muhammad bin Idris, dia lebih bahaya
atas umatku dari pada iblis.”

6. Ancaman bagi yang membuat hadis maudu’.


Orang yang berdusta atas nama Rasulullah saw. ancamannya sangat keras.
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia


bersiap-siap menempati tempatnya dineraka.”

Dimana hadis ini diriwayatkan secara mutawatir yakni diriwayatkan oleh


70 orang sahabat. Pendapat Syeikh Muhammad Abu Al Juwaini bahwa kafir bagi
orang yang memalsu hadis Rasulullah saw. dengan sengaja dan mengetahui
(hukum berkenan) dengan yang ia ada-adakan.45

7. Kitab-kitab Referensi Hadis Palsu


Para ulama telah berusaha untuk mengumpulkan hadis-hadis yang palsu
yang bertujuan agar kaum muslimin selamat dari makar pembuatnya diantara
kitab-kitab tersebut yaitu:46
a. Al Madhu'at, karangan Ibnu Al Jauzi.
b. Al La'ali Al Mashnu'ah fi Al Ahadis Al Maudu‟ah, karaya As Suyuthi

45
Zuhri, Muh. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Cet.I; Jakarta :Tiara
Wacana Yogya, 2006), h. 76.
46
M. Syuhud Ismail, Pengantar Ilmu Hadis. (Cet. II; Bandung: Angkasa, 2005), h. 77.
20

c. Tanzihu Ay Syri'ah Al Marfu'ah 'an Al Ahadis Asy Syani'ah Al Maudu‟ah


karya Ibnu 'Iraqi Al Kittani
d. Silsilah Al Ahadis Ad Dha'ifah, karya Al Albani.
21

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut


hadis dhaif adalah hadis yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan ia
lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat hadis Sahih dan Hasan
Sebab-sebab kedhaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok yaitu: (1)
Ketidak-muttashilan sanad, dan (2) Selain ketidak-muttashilan sanad Untuk hal
yang berkenaan dengan akidah, sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ahad
tidak dapat dijadikan hujjah, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa hadis
ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah.
Untuk hadis hasan, ulama berbeda pendapat. Sebagian pendapat menerima
dan sebagian lagi menolak. Tetapi pada umumnya ulama masih menerimanya
sebagai hujjah. Hadis hasan dengan kedua pembagiannya dapat dijadikan hujjah
sebagaimana hadis sahih dan dapat diamalkan, meskipun kekuatannya lebih
rendah dibawah hadis sahih. Hadis maudu‟ ialah sesuatu yang dinisbatkan kepada
Rasul saw, secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau
kerjakan, dan beliau taqrirkan.
Hadis maudu‟‟ itu diciptakan oleh pendusta dan disandarkan kepada
Rasulullah untuk memperdayai. Hadis maudu‟‟ dicipta dan dibuat-buat atau palsu
baik secara sengaja maupun tidak. Dengan kata lain, hadis maudu‟ dibuat dan
dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk
atau baik sekalipun.

B. Saran
Adapun hal-hal yang dapat disarankan yaitu:
1. Sebagai pembaca hendaknya berpikir bijak dalam menanggapi kajian hadis
shahih, hasan dan maudu‟‟. Mengkritik untuk proses perkembangan ilmu.
2. Adanya kekurangan dari penyusunan makalah ini hendaknya menjadi motivasi
bagi teman-teman untuk lebih memperluas ide, wawasan serta menggali lebih
dalam tentang banyaknya kajian tentang Ulumul Hadis.
22

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad ibn, Al-Adlabi, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Hadis al- Nabawi,
diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul
Metodologi Kritik Matan Hadis. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004.
Al Hatsits, Al Baa'its. Syarh Ihtishaar 'Ulum Al Hadis Li Al Hafidz Ibnu Katsir.
Ahmad Muhammad Syakir,1998.

Al-Qaththan, Manna. Mubahasu fii Ulum al-Hadis”, terj. Mifdhol Abdurrahman,


Pengantar Study Ilmu Hadits. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.

_________________. Ulumul Hadis. Tarikh At Tasyri' Al Islami, 2000.

Al-Khathib, Ajjaj. Ushul al-Hadis; „Ulumuh wa Mushthalahuh. diterjemahkan


oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al-Hadis. Cet.I; Jakarta : Gaya
Media, 1998

_______________, Muhammad al-Farasi, Fadl 71-Khitab bi aqif al-Ashab.

Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustakapelajar,


2009.

___________________. “Al-Manhalu Al-Lathifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi”,


terj. Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis.Cet.III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012.
Al-Shalih, Shubhi. “Ulum al-Hadis wa Musthalahuh” dalam Idri, Studi Hadis.
Cet.II; Jakarta: Prenada Media Group, 2013.

Al-Shan Ani, Muhammad Ibn Ismail. Tawdhih al-Afkar li Ma‟ani al-Anzhar.


Beirut: Dar al-Fikr, 1998.

Al-Siba'i, Mustafa. al-Sunnah wa Ifakatiatuha fi al-Tashn' al-Islami. Beirut Dar


al-Kutub al-Ilmiyah, 1985.

Anwar, Moh. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya: Al Ikhlas, 2000.


Hasan, A. Qadir. Ilmu Mushthalaha al-Hadis. Cet. III; Bandung: CV.
Diponegoro, 2000.
Hasbi, Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2010.

Idri, Studi Hadis. Cet.II; Jakarta: Prenada Media Group, 2013.


23

Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad. Filsafat Ilmu Hadis. Cet. I; Surakarta:
Zadahaniva Publishing, 2011.
Ismail, M. Syuhud Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Bandung: Angkasa, 2005.
Itr Nuruddin, „Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Malik, Anis dan La Ode Ismail Ahmad. Memahami Mutiara Hadis. Cet. I;
Zadahaniva Publishing, 2013
Rahmatunnair. Tinjauan dalam Pemakaian Hadits Daif. Jurnal STAIN
Watampone PC.
Tadrib Ar Periwayat, Juz I/283.

Yahya, Muhammad. Metode Kritik Hadis oleh Nasirun Al-Albani. Cet. I;


Makassar: Alauddin University Press, 2014.

Zuhri, Muh. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Cet.I; Jakarta :Tiara
Wacana Yogya, 2006.
Zuhri, Muh. Pengantar Ilmu Hadis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011.

Anda mungkin juga menyukai