Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umat Islam telah mengakui bahwa hadis Nabi SAW itu dipakai sebagai
pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak
ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih
utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut
petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak
dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam alQur’an, maka
hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam hadis.1 Hadis sebagai sumber ajaran
Islam kedua menempati posisi sangat penting dan strategis di dalam kajian-kajian
keislaman, setidaknya dengan hanya melihat lika liku perjalanan historis para ulama
itu dalam mencari dan menelusuri hadis-hadis yang dipandang otentik.2
Semua ulama dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam
berbagai disiplin ajaran Islam, termasuk tafsir, fiqih dan akhlak serta seterusnya. 3
Maka hadis sebagai sumber kedua yang merupakan penjelasan rinci dari sumber
pertama harus diyakini bahwa bimbingan dan arahannya mampu mengantarkan
manusia pada kesuksesan dan kebahagaiaan lahir batin dan dunia akhirat. 4 Untuk itu
tidak diragukan lagi bahwa semua perkataan, perbuatan, pembiaran dan semua
aktivitas Rasulullah SAW merupakan model dan teladan yang bisa dan harus
diteladani oleh semua manusia, sebab beliau adalah satu-satunya utusan sebagai
“rahmatan lil ‘âlamîn” (sebagai rahmat bagi seluruh alam).
Kajian terhadap hadis Nabi sampai saat ini masih tetap menarik, meski tidak
semarak yang terjadi dalam studi pemikiran terhadap al-Qur’an. Faktor utama yang

1
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 135

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 6

3
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam…, h. 148

4
Nurdin, dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Jawa Barat: Alfabeta, 2001), h. 61

1
menjadi pemicu adalah kompleksitas problem yang ada, baik menyangkut otensitas
teks, variasi lafadh (jumlah hadits bil ma’na), maupun rentang waktu yang cukup
panjang antara Nabi dalam realitas kehidupannya sampai masa kodifikasi ke dalam
teks hadits.5 Namun semangat koleksitas hadis banyak dilakukan oleh ulama demi
menjaga eksistensi sumber hukum kedua umat Islam ini. Untuk itu dalam makalah ini
akan membahas salah satu pembagian hadits, yaitu hadist hasan serta pembagian-
pembagian hadis hasan,

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijelaskan diatas, maka dalam hal ini
peneliti akan merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian hadits hasan.
2. Apa saja pembagian hadits hasan.
3. Bagaimanakah kehujjahan hadits hasan.
4. Bagaimanakah Kriteria Hadis Hasan

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hadits hasan
2. Untuk mengetahui pembagian hadits hasan.
3. Untuk mengetahui kehujjahan hadits hasan
4. Untuk mengetahui Kriteria Hadis Hasan

5
M. Mansyur dkk, Metodologi Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH-Press, 2007), h.
87

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Hasan
Secara etimologi, pengertian kata “Hasan” berarti sifat yang bermakna indah.
Sedangkan secara terminologi, para Ulama’ mempunyai pendapat tersendiri, seperti
yang disebutkan berikut ini: Menurut Jumhur Ulama’ memberikan efinisi Hadis
Hasan, ialah:6

“Hadis yang dinukilkan oleh seorang yang adil, tidak begitu kokoh ingatannya,
sanadnya bersambung dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan.”

Menurut Ibnu Hajar al Asqalani:

“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya,
bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz”7

Jalaluddin al-Suyuthi memberi batasan hadis Hasan sebagai berikut :

“Hadis hasan yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang
adil, kurang dhabithnya, dan tidak ada syuduz dan 'illat.”8

6
Mahmud Yunus, Ilmu Mustalah Hadis, (Jakarta: HidakaryaAgung, 1984), hal.133

7
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), 145146

8
al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz 10, Kairo, Muhammad Abd alMuhsin al-Kutubi, tth,
hlm. 519.

3
Dari semua pengertian diatas bahwa Hasan berarti baik dan derajat hadis
hasan berada dibawah hadis shahih dan perbedaan antara Hadis Shahih dan Hasan,
adalah hanya terletak pada soal kedhabitan Rawi.

B. Pembagian Hadits Hasan


1. Hadits Hasan Li Dzatihii
Hadits hasan li dzatihii adalah hadits yang memenuhi segala syaratsyarat
hadits hasan,9 hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria
dan persyaratan yang ditentukan. 10
Sebuah hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatihi karena jalur
periwayatannya, hanya melalui satu jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan
pada umumnya, ada kemungkinan melalui jalur riwayat yang lebih dari satu. Atau
didukung dengan riwayat yang lainnya. Bila hadits hasan ini jumlah jalur riwayatnya
hanya satu, maka hadits hasan itu disebut dengan hadits hasan li dzatihi. Tetapi jika
jumlahnya banyak, maka ia akan saling menguatkan dan akan naik derajatnya
menjadi hadits shahih li ghairihi.
Contoh hadits hasan lidzatihii :
Diriwayatkan oleh At-Tirmizi, dia berkata: telah bercerita kepada kami Qutaibah,
telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’I, dari Abi Imran AlJauni,
dari Abu Bakar bin Abu Musa Al-Asy’ari, dia berkata, Aku telah mendengar ayahku
berkata dihadapan musuh, Rasulullah bersabda,:

9
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis…, h. 146

10
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,…161

4
“ ......dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, (berkata), saya mendengar ayahku
ketika berada dihadapan musuh berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ‘sesungguhnya
pintu-pintu surga berada dibawah bayang-bayang pedang’.” (HR. al-Tirmidzi)
Empat perawi hadits tersebut adalah tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-
Dhab’I, sehingga hadits ini sebagai hadits hasan.11
2. Hadits Hasan Li Gahirihi
Hadits hasan li ghairihi adalah hadits dhaif yang bukan dikarenakan
perawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan
syahid, hadits yang dhaif dikuatkan dengan beberapa jalan, dan sebab kedhaifannya
bukan karena kefasikan perawi (yang keluar dari jalan kebenaran) atau kedustaannya.
Seperti satu hadits yang dalam sanadnya ada perawi yang mastur (tidak diketahui
keadaannya), atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur
hafalannya karena tuanya, atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, lalu
dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya, atau yang lebih kuat darinya.
Hadits ini derjatnya lebih rendah dari pada hasan lidzatihii dan dapat dijadikan hujjah.
Contoh hadits hasan li ghairihi:
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan dia menilainya hasan,
dari riwayat Syu’bah dari ‘Asim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah
dari ayahnya, berbunyi sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari
Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari
bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal…”

11
Syaikh Manna’Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,… h.
12

5
Al-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain,
yaitu dari Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini Al-Turmudzi
menilai hadits tersebut hasan, karena meskipun ‘Asim dalam sanad hadits yang
diriwayatkannya itu dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya
riwayat-riwayat lain.

C. Kehujjahan Hadits Hasan


1. Kehujjahan dari segi wurud dan dalalah
Menurut seluruh fuqaha, hadits hasan dapat diterima sebagai hujjah dan
diamalkan walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih. Demikian pula pendapat
kebanyakan Muhadditsin dan ahli ushul,12 kecuali sedikit dari kalangan yang sangat
ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkannya ke dalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah.
2. Persamaan dan Perbedaan Kehujjahan hadits shahih dan hasan
a. Persamaan kehujjahan hadits shahih dan hasan
Sebagaiman hadits hasan, hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan syari’at Islam baik hadits itu ahad terlebih yang mutawatir.13 Mengenai
kehujjahan hadits shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan
hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal
ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah al-Hasyr ayat 7:
        
       

12
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis…, h. 268.

13
Idri, Studi Hadis,… h. 175

6
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah sangat keras hukumannya”14
Jadi hadits shahih dan hadits hasan didalam berargumentasi hukumnya sama
sekalipun dari sisi kekuatannya hadits hasan berada dibawah hadits shahih Oleh
karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya.
b. Perbedaan kehujjahan hadits shahih dan hasan
Hukum hadits hasan dalam hal fungsinya sebagai hujjah dan implementasinya
adalah sama seperti hadits shahih, meskipun kualitasnya di bawah hadits shahih.
Hanya saja, jika terjadi pertentangan antara hadits shahih dengan hadits hasan, maka
harus mendahulukan hadits shahih, karena tingkat kualitas hadits hasan berada di
bawah hadits shahih.15
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan kedhabithan
perawi hadits hasan nilainya memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadits
shahih, karena kedhabithan para perawi hadits shahih sangat sempurna (tamm).
Hadits shahih itu ada yang mutawatir dan ada juga yang ahad. berbeda dengan
hadits hasan, hadits hasan tidak ada yang berstatus mutawa>tir kesemuanya berstatus
ahad baik ahad yang masyhur. ‘aziz, maupun gharib, sehingga status kehujjahannya
juga tidak sama persis dengan hadits shahih.

D. Kriteria Hadis Hasan


1. Pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta. Kriteria ini
mengecualikan hadits seorang rawi yang dituduh berdusta, dan mencakup
hadits yang sebagian rawinya memiliki daya hafal rendah tidak dijelaskan
jarh maupun takdilnya, atau diperselisihkan jarh dan takdilnya namun tidak
dapat ditentukan, atau rawi mudallis yang meriwayatkan hadits dengan an-

14
Al-Habra, Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi (Bandung: Fajar Utama Madani, 2008).

15
Muhammad, Ilmu Ushul Hadis, h. 60

7
anah (periwayatan dengan menggunakan banyak lafal ‘an). Karena sifat-sifat
yang demikian itu tidak bisa membuatnya dituduh dusta.
2. Hadits tersebut tidak janggal. Orang yang peka dan waspada akan mengetahui
bahwa yang dimaksud dengan syadz (janggal) menurut At-Turmudzi adalah
hadits tersebut berbeda dengan para rawi yang tsiqah. Jadi, diisyaratkan hadits
hasan harus selamat dari pertentangan, karena bila bertentangan dengan
riwayat para rawi yang tsiqah, maka ia ditolak.
3. Hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat. Hadits
hasan itu harus diriwayatkan pula melalui jalan lain satu atau lebih, dengan
catatan sederajat dengannya atau lebih kuat dan bukan berada dibawahnya,
agar dengannya dapat diunggulkan salah satu dari dua kemungkinan
sebagaimana yang dikatakan oleh AlSakhawi, akan tetapi tidak diisyaratkan
harus diriwayatkan dalam sanad yang lain dengan redaksi yang sama,
melainkan dapat diriwayatkan hanya maknanya dalam satu segi atau segisegi
lainnya.
4. Kitab-Kitab Hadis Hasan
Kita bisa melihat HadisHadis Hasan pada kitab-kitab yang memuat Hadis-
Hadis Hasan tersebut:
a. Jami’ al-Tirmizi atau lebih dikenal dengan Sunan atTirmizi, oleh Abu Isa
Muhammad bin Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah alTirmidzi (209-279 H).
b. Sunan Abu Daud, oleh Sulaiman ibn al-Asy’at ibn Ishak al-Azali al-
Sijistani atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Daud (202-275 H),
c. Sunan al-Darquthni, olehh Abu alHasan Ali ibn ‘Umar ibn Ahmad alDar
Quhni (306-385 H/ 919-995 M)

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan permasalahan tentang hadis hasan diatas, maka
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1. Secara etimologi, pengertian kata “Hasan” berarti sifat yang bermakna indah.
Sedangkan secara terminologi, para Ulama’ mempunyai pendapat tersendiri,
seperti yang disebutkan berikut ini: Menurut Jumhur Ulama’ memberikan
efinisi Hadis Hasan, ialah: “Hadis yang dinukilkan oleh seorang yang adil,
tidak begitu kokoh ingatannya, sanadnya bersambung dan tidak terdapat ‘illat
serta kejanggalan.”
2. Hadits hasan dibagi menjadi dua:
a. Hadits Hasan Li Dzatihii
b. Hadits Hasan Li Gahirihi
3. Menurut seluruh fuqaha, hadits hasan dapat diterima sebagai hujjah dan
diamalkan walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih.
4. Kriteria hadis hasan yaitu:
 Pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta.
 Hadits tersebut tidak janggal.
 Hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat.

9
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1994


Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010
Nurdin, dkk, Moral dan Kognisi Islam, Jawa Barat: Alfabeta, 2001
M. Mansyur dkk, Metodologi Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: TH-Press, 2007
Mahmud Yunus, Ilmu Mustalah Hadis, Jakarta: HidakaryaAgung, 1984
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2011
al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz 10, Kairo, Muhammad Abd alMuhsin al-Kutubi,
tth,
Syaikh Manna’Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman
Idri, Studi Hadis
Al-Habra, Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi Bandung: Fajar Utama Madani,
2008

10

Anda mungkin juga menyukai