Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH USHUL FIQH

KAIDAH USHULIYAH(AMM,KHASH,AMAR DAN NAHYI

DOSEN PEMBIMBING :

Liantha Adam Nasution, M.H

OLEH:

Fadhilah Rahmadani

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

MANDAILING NATAL

T.A 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas limpahan nikmat dan
karunia-Nya,kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah ini.

Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari
beberapa pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini,kami mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini terutama semua anggota
kelompok yang telah mencurahkan segala tenaga,materi,waktu dan pikirannya dalam
pembuatan makalah ini.

Kami juga menyadari bahwa dalam proses pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan,baik dari segi pembahasan maupun cara penulisannya. Namun demikian,kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki,sehingga makalah
ini dapat selesai dengan baik.

Oleh karena itu,kami dengan rendah hati dan tangan terbuka menerima masukan,saran
dan usulan guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami dan para pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Panyabungan, Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

PENDAHULUAN.........................................................................................................

PEMBAHASAN............................................................................................................

A. Kaidah-Kaidah Amr dan Nahi


1.Amr..................................................................................................................5
a.Bentuk-bentuk amr........................................................................................5
b.Kaidah-kaidah amr........................................................................................6
2.Nahi
a.Bentuk-bentuk nahi.......................................................................................7
b.Kaidah-kaidah nahi.......................................................................................7

B. Dalalah  ‘Am dan Khas


1.Am...................................................................................................................8

a.Lafadz-lafadz am.........................................................................................9

b.Macam-macam Lafadz’Am.........................................................................10

2.khas

a.Lafadz khas.................................................................................................11

3.Dalalah ‘Am dan khas

KESIMPULAN..............................................................................................................12

PENUTUP.......................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................1

ii
PENDAHULAN

Seorang mujtahid harus memahami nash alquran dan sunah. Berbagai bentuk ungkapan
hukum harus dikuasai, dengan itu seorang mujtahid dituntut menguasai gramatika bahasa
Arab dan semestinya memahami maqasyid syariah (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian ia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak
terdapat dalam nash perintah dan larangan (‫ )االمروالنهى‬tetapi dalam konteks kalimat tertentu
tidak selalu berarti hukum halal haram. Maka disinilah pentingnya kita mempelajari amar
nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat
umum/’am, tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan
terbatas. Kata tersebut dalam ushul fiqih disebut khas. Oleh karena itu, pemakalah akan
mencoba menjelaskan tentang kaidah ushul fiqih bagian amar, nahi dan ‘am, khas. Harapan
pemakalah lain untuk memenuhi tugas juga digunakan sebagai tambahan pengetahuan atau
wawasan pembaca tentang ushul fiqih.

1
PEMBAHASAN
A.  Kaidah-Kaidah Amr dan Nahi
1.    Amr (‫)امر‬
Amr secara bahasa berasal dar bahasa Arab, yaitu suruhan, perintah, dan perbuatan.
Sedangkan secara istilah, tuntutan perbuatan dari atasan kepada bawahan yang didalamnya
terdapat kaidah istimbat hukum.[1]
Jadi, amar adalah suatu lafal yang digunakan oleh orang lebih tinggi kedududkannya
kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Begitu juga
Jagalah dirimu sendiri, tiadalah orang yang sesat itu membahayakan kamujika kamu
mendapatkan petunjuk. (QS. perintah Allah SWT kepada manusia.

a.    Bentuk-bentuk Amr
Untuk mengetahui bentuk amr dalam bahasa Arab, ada beberapa bentuk yang
menunjukkan arti perintah. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:[2]
1)   Fi’il amr, contoh:
َ‫ الصالَةَ َواتُوْ ا الزكاَة‬L‫َواَقِ ْي ُموْ ا‬
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqoroh: 43)
2)   Isim fi’il amr
َ ‫ َعلَ ْي ُك ْم اَ ْنفُ َس ُك ْم الَت‬......
َ ‫م َم ْن‬Lْ ‫َضرُّ ُك‬
....‫ض َّل اِ َذا ا ْهتَ َد ْيتُ ْم‬
Al-Maidah: 105)
3)   Fi’il mudhari’ yang didahului huruf lam amr: )‫(ولتكن‬, contoh:
ٌ‫ َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ُأمة‬.....
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.....(QS. Ali Imran: 104)
4)   Isim masdar pengganti fi’il
Misal kata ً ‫اِحْ ساَنا‬ (berbuat kebaikan), contoh:
ْ ِ‫َوب‬
ً ‫اال َوالِ َدي ِْن اِحْ َسانا‬
Dan kepada kedua orang tuamu berbuat kebaikan (QS. Al-Baqoroh: 83)

b.    Kaidah-kaidah Amr
Kaidah merupakan ketentuan seorang mujtahid dalam  mengistimbatkan hukum. Ulama
ushul merumuskan kaidah dalam lima bentuk:

2
1)   Kaidah pertama (Pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib)[3]
a)    Nadb, anjuran sunnah. Contoh: (QS. An-Nur: 33)
“Hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan pada
mereka”.
b)      Irsyad, membimbing atau memberi petunjuk. Contoh (QS. Al-Baqoroh: 282) “Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Ada perbedaan antara bentuk nadb dan irsyad. Nadb diharapkan mendapat pahala,
sedangkan Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berhubungan dengan adat istiadat
atau sopan santun.
c)      Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: (QS-Al-Baqoroh: 60). “Makan dan
minumlah”.
d)     Tahdid, mengancam atau menghardik. Seperti: (QS. Fussilat: 40)
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”
e)      Taskhir, menghina atau merendahkan derajat. Seperti (QS. Al-Baqoroh: 65). “jadilah kamu
kera yang hina”.
f)       Ta’jiz, menunjukkan kelemahan lawan bicara. (QS. Al-Baqoroh: 23)
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran”.
g)       Taswiyah, menerangkan sama saja antara dikerjakan dan tidak. Seperti: (QS. At-Thur:
16). “masuklah kamu kedalamnya (rasakanlah panas api) maka baik kamu bersabar atau
tidak sama saja”.
h)      Takzib, mendustakan. Seperti: (QS. Al-Baqoroh:111)
“tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar”
i)        Talhif, membuat sedih atau merana. Seperti: (QS. Ali Imran: 119)
“matilah kamu dengan panasnya hatimu (kemarahanmu)”.
j)        Doa, memohon. Seperti: (QS. Al-Baqoroh: 201)
“Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”
2)   Kaidah ke dua (perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan)
Apabila ada perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan,
maka perintah tersebut bukan perintah wajib, tetapi bersifat membolehkan. Contoh QS. Al-
Jumuah: 10:
“Apabila halat jumat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka bumi dan
carilah karunia (rezeki) Allah”.
               Ayat tersebut menerangkanbahwa setelah mengerjakan sholat jumat
diperbolehkan melakukan aktivitas lain, seperti jual beli. Padahal sebelumnya

3
(QS.Aljumuah:9) melarang atau harus meninggalkan jual beli dan aktivitas apapun bila
panggilan sholat jumat telah dikumandangkan.
            Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi berdasarkan ayat 10 adalah
wajib, tapi hanya dibolehkan.
3)   Kaidah ketiga (pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan)
Misalnya tentang haji. “serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”. Jumhur
ulama’ sepakat perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus
dilaksanakan sesuai waktu yang ditetapkan.
4)   Kaidah keempat (pada dasarnya perintah tidak menghendaki pengulangan)
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya yang disuruh itu berulang-ulang
dikerjakan[4]. Contoh menunaikan haji, hanya perintahkan satu kali seumur hidup.
5)   Kaidah kelima (memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala
wasilahnya)
Perbuatan yang diperintahkan tidak bisa terwujud  tanpa disertai dengan sesuatu
perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Misalnya
kewajiban shalat. Shalat tidak bisa dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu, karena perintah
shalat berarti juga perintah suci.

2.    Nahi (‫)نهى‬
Nahi menurut bahasa berarti mencegah atau  melarang, sedangkan secara istilah
tuntunan untuk meninggalkan perbuatan orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang
yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa pada asalnya nahi menghasilkan hukum haram, karena
semua bentuk larangan dapat dikatakan dengan mendatangkan kerusakan. Seperti: larangan
merusak alam, larangan berzina, larangan riba,dan sebagainya.
a.    Bentuk-bentuk Nahi
1)   Fi’il mudhari’ yang didahului la nahiyah/lam nahi (jangan).

ِ ْ‫الَ تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر‬


‫ض‬
“Janganlah engkau membuat kerusakan dimuka bumi ini”.(QS.Al-Baqarah:11)
2)   Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan
perbuatan.
‫ ع َِن ْالفَ ْخ َشآ ِء َو ْال ُم ْن َك ِر‬L‫َويَ ْنهَى‬
“Dan dilarang berbuat keji dan mungkar”. (QS.An-Nahl:90)

4
b.    Kaidah-kaidah Nahi
1)   Kaidah pertama (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram)
Nahi merupakan keharusan dalam meninggalkan sesuatu yang dilarang, seperti
perbuatan zian. Kadang-kadang  nahi digunakan beberapa arti (maksud) sesuai dengan
larangan perkataan itu, antara lain sebagai berikut:[6]
a)  Karahah (makruh)
ِ َ‫ فِ ْى اَ ْعط‬L‫صلُّوْ ا‬
‫ان ااْل ِ بِ ِل‬ َ ُ‫َوالَ ت‬
Larangan dalam hadis ini tidak menunjukkan haram, namun hanya makruh, karena
tempatnya yang kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’.
b)   Doa
‫ بَ ْع َد ِإ ْذ هَ َد ْيتَنَا‬L‫َربَّنَا الَ تُ ِز ْغ قُلُوْ بَنَا‬
“Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah
engkau beri petunjuk kepada kami”.
Perkataan janganlah tidak menunjukkan larangan, melainkan permintaan hamba kepada
Allah.
c)    Irsyad
“Janganlah kamu tanyakan segala sesuatu, bila dilahirkan (jawabannya) akan
menyusahkanmu”.  (Qs.Al-Maidah: 101)
d)   Tahqir (menghina)
“janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan
hidupmu”.  (QS. Al-Hijr: 88)
e)    I’tinas (menghibur)
“janganlah engkau bersedih, karena sesunguhnya Allah bersama dengan kita”. (QS. At-
Taubah)
f)    Tay’is (menunjukan putus asa)
“dan janganlah engkau membela diri pada hari kiamat”. (QS. At-Tahrim: 7)
g)   Tahdid (ancaman)
Seperti perkataan seorang kepada pelayannya, tidak usah kamu turuti perintahku.
2)   Kaidah kedua (pada dasarnya larangan mutlak, namun menghendaki pengulangan dalam
segala zaman)
Apabila larangan dikaitkan dengan batasan waktu, maka disuruh untuk meninggalkan
selamanya (mutlak).

5
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32)
Tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu maka larangan itu berlaku jika ada
sebabnya saja (muqayyad).
“Apabila datang haidmaka tinggalkanlah shalat”.
3)   Kaidah ketiga (melarang sesuatu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya)
“dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan berlagak sombong”. (QS. Al-
Luqman: 18)
Larangan tersebut memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan
dengan sikap sopan.
4)   Kaidah keempat (pada dasarnya larangan itu  menunjukkan perbuatan yang dilarang, baik
ibadah maupun mu’amalah)
Seperti: larangan sholat dan puasa bagi wanita haid dan nifas, jual beli binatang yang masih
dalam kandungan. Hal tersebut dilarang oleh syara’.

B.  Dalalah  ‘Am dan Khas


1.    ‘Am (‫)العام‬
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘am berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan
menurut istilah ‘ama dalah lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas dengan jumlah tertentu.[7]
Jadi lafadz ‘am ini adalah bersifat umum, seperti kata al insan (manusia), maka
didalam kata al insan termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil
ataupun besar, merdeka maupun golongan budak.
a
Lafadz ‫كل‬  dan  ‫ام‬LL‫ح‬  tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas
jumlahnya. .    Lafadz-lafadz ‘Am
Lafadz-lafadz ‘am  yang digunakan untuk memberi faedah’am antara lain:[8]
1)      Lafadz kullu (tiap-tiap), lafadz jami’ (semua)
ِ ْ‫س َذاِئقَةُ ْال َمو‬
‫ت‬ ٍ ‫ ُكلُّ نَ ْف‬:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)

ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما فِي اَأْلر‬


‫ض َج ِميعًا‬ َ َ‫ه َُو الَّ ِذي خَ ل‬
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan
(jami’an)”. (Al-Baqarah:29).

6
2)      Lafadz jama’ yang dimakrifatkan dengan alif lam ( ْ‫ )اَل‬diawal
‫ض ْعنَ َأوْ اَل َده َُّن َحوْ لَي ِْن َكا ِملَ ْي ِن‬ ُ ‫َو ْال َوالِد‬
ِ ْ‫َات يُر‬
“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi  orang
yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233). Kata al-walidat dalam ayat
tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
3)      Kata benda tunggal yang dimakrifatkan dengan alif lam
‫م الرِّ بَا‬Lَ ‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27)
Lafadz  al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam.
Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat
dimasukkan kedalamnya.
4)    Isim maushul ((‫الذي‬
‫م نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِعيرًا‬Lْ ‫ِإ َّن الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ َأ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه‬
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api   sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
5)      Isim isyarah, seperti siapa (‫)من‬, apa saja (‫)ما‬
َّ َ‫ر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ ِإلَى َأ ْهلِ ِه ِإاَّل َأ ْن ي‬Lُ ‫َو َم ْن قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا خَ طًَأ فَتَحْ ِري‬
‫ص َّدقُوا‬
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.
(An-Nisa’:92) 
6)      Isim nakirah terletak setelah nafi

َ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم َأ ْن تَ ْن ِكحُوه َُّن ِإ َذا َآتَ ْيتُ ُموه َُّن ُأج‬
‫ُوره َُّن‬ َ ‫َواَل ُجن‬
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
b.    Macam-macam Lafadz ‘Am
1)   Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa  ditakhsis.

ِ ْ‫و َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي اَأْلر‬ 


‫ض ِإاَّل َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُهَا‬ َ

7
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.” (QS.Hud:6). Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali. 
2)   Lafadz ‘am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan
kekhususannya.
‫ُول هَّللا ِ َواَل يَرْ َغبُوا بَِأ ْنفُ ِس ِه ْم ع َْن نَ ْف ِس ِه‬
ِ ‫ب َأ ْن يَتَ َخلَّفُوا ع َْن َرس‬
ِ ‫َما َكانَ َأِل ْه ِل ْال َم ِدينَ ِة َو َم ْن َحوْ لَهُ ْم ِمنَ اَأْل ْع َرا‬
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di
sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang
mampu.
3)   Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang
tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis.
‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. ( Al-
Baqarah: 228). Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang
ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umum atau sebagian cakupannya.[9]

2.    Khas (‫)الخاص‬
Khas menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi
arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am. Menurut istilah, definisi khas
adalah  lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang,
sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah
individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua,
namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
a.    Lafadz Khas
1)      Berbentuk muthlak yaitu lafal khas yang tidak ditentukan       dengan sesuatu.Contohnya,
hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
2)      Berbentuk khas(muqoyyad) lafal khas yang ditentukan dengan sesuatu.Contohnya, masalah
bersuci.

8
3)      Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau  berbentuk khabar,dan hukumnya
wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.
4)      Berbentuk nahiy yaitu mengandug arti larangan dan hukumnya haram.

3.    Dalalah ‘Am dan Khas


Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am
itu dzanniy. Dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am
setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di
kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: ‫ص‬ ِّ ‫َام ِإالَّ ُخ‬
َ ‫ص‬ ٍ ‫ َما ِم ْن ع‬ “Setiap dalil
yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan
pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas
satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas
semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah
mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya
firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
‫واَل تَْأ ُكلُوا ِم َّما لَ ْم ي ُْذ َك ِر ا ْس ُم هَّللا ِ َعلَ ْي ِه‬ 
َ “dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121).
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi: ‫ال‬

‫ ِّم‬LLLLLLLLLLLLLLLLLLLLL‫ َّمى َأوْ ل َم يُ َس‬LLLLLLLLLLLLLLLLLLLLL‫ ِم هللاِ َس‬LLLLLLLLLLLLLLLLLLLLL‫ذبَ ُح َعلَى ا ْس‬LLLLLLLLLLLLLLLLLLLLL


ْ َ‫لِ ُم ي‬LLLLLLLLLLLLLLLLLLLLL‫ْم ْس‬
  “Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud).
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun
dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy
dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan
hadits tersebut. Karena kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy
dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.[10]
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang
dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada
dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

9
‫م ثَاَل ثَ ِة َأي ٍَّام فِي ْال َح ِّج‬Lُ ‫صيَا‬
ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
”Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji” (Al-Baqaarah :196).
Lafadz  tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah
maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada
qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai
contoh hadits Nabi yang berbunyi:
ٌ‫فِ ْي ُك ِّل َأرْ بَ ِع ْينَ َشاةً َشاة‬
  “pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
          Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing,
keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau
kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama
Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain.
Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat
dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan
menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

     

10
      SIMPULAN

Ketetapan hukum Sar’i yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus
dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan
mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak
bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus
menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal
dan diperhitungkan. Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh
kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulk

Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan tentang kaidah-kaidah ushul fiqih
khususnya amr dan nahi beserta’am dan khas. Kritik dan saran yang membangun kami
tunggu untuk perbaikan makalah yang akan datang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers. 1993.


Karim, Syafi’i. Fiqih-Ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Muhammad, Teuku Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001.
Syafe’i, Rachmad. Ilmu ushul Fiqih. Bandung: Pustaka setia. 1999.
Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul fiqi. Semarang: Dina Utama. 1994.

12

Anda mungkin juga menyukai